Tian terdiam membisu di kursi depan ruang rawat inap Ria. Ia masih terkejut dan berusaha mencerna terkait kejadian hari ini yang dialaminya. Seumur hidupnya ia tidak pernah melihat nyawa seseorang hilang begitu saja di depan matanya.
Napas Tian menjadi berat tatkala teringat bahwa Ria menghilangkan nyawa seseorang dengan kedua tangannya sendiri. Bagaimana ia bisa dengan mudah dan tanpa rasa bersalah melakukan hal itu?
Setelah insiden tersebut, Ria kehilangan kesadaran dan segera dibawa kembali ke rumah sakit. Kejadian di hadapannya nyata, melihat Anton dan seorang pengawal wanita berpulang ke pangkuan Tuhan. Anton disemayamkan di TPU terdekat dari rumah sakit ini. Tian ikut serta dalam prosesi pemakaman Anton secara islam.
Tian hadir sebagai perwakilan dari Ria dan keluarganya untuk menyampaikan be
"Kamu gak kerja?" tanya Ria setelah beberapa waktu menyadari bahwa Tian tidak beranjak sedikitpun dari ruangannya. "Seharusnya kerja. Tapi aku gak bisa meninggalkan kamu sendirian sementara tidak ada keluargamu yang berkunjung dari kemarin." Penjelasan Tian membuat Ria mendengus. "Mereka memang seperti itu. Membuang aku ke rumah sakit dan rela mengeluarkan uang puluhan bahkan ratusan juta untuk menyerahkan kepengurusan aku dengan pihak rumah sakit," jawab Ria dengan diakhiri tawa yang miris. "Gapapa Yan kalau kamu mau kerja. Aku ada Nia dan suster jaga lainnya yang standby di sini," ujar Ria mempersilakan Tian untuk pergi bekerja. Ria tahu bahwa jadwal GMC tidak mungkin kosong dalam jangka waktu satu minggu lebih kecuali memang mereka sedang off. "Sebenarnya Ri, kalau aku pergi dari rumah sakit aku gak bisa kembali mengunjungi kamu." Tian mengungkapkan alasan sesungguhnya ia tidak beranjak sedikitpun dari ruangan ini.
Hartanto duduk termenung di ruang kerjanya. Ia sedang mencerna situasi yang sedang dihadapinya saat ini. Kedatangan Ria barusan tentu saja mengejutkan, terlebih penyerangan yang dilakukan dengan kedua tangan Ria sendiri terhadap putranya.Iya, Hariadi adalah putra Hartanto yang kelima. Alasan Hartanto hadir saat rapat di green house karena anaknya sendiri yang mengundang dan memintanya hadir agar meramaikan proyek tersebut. Pertemuan yang ternyata awal dari segala permasalahan yang menimpa keluarga Hariadi terutama.Hartanto kala itu tidak tahu jika putranya memperpanjang urusan dengan Ria di ruang kerjanya. Ia baru mengetahui belakangan ini dari anak buahnya yang mencari awal mula permasalahan yang dihadapi Hariadi. Ia mau tidak mau turun tangan membantu anaknya menyelesaikan masalah tersebut karena Hariadi yang nampak sangat menderita.Sayangnya anaknya yang bodoh ini dan merasa bahwa kekuatannya sangatlah besar, memilih lawan yang salah. Har
"Saya gak suka pegang uang cash, kalian harus selalu menyediakan uang tersebut dalam nominal yang cukup besar untuk melakukan transaksi yang tidak dapat menggunakan debit," jelas Ria pada para pengawal baru di depannya yang diketuai Fikri.Setelah dua hari Ria menghilang dari peradaban, ia kembali pada rutinitasnya. Banyak yang harus diselesaikan di pusat. Ria bahkan tidak melakukan check out dari rumah sakit, dapat dipastikan Nia sangat marah mengetahui hal tersebut.Setelah insiden penyerangan pada Hariadi di kediaman Hartanto, Ria memang sempat bermalam di rumah Hartanto karena ia sangat lelah secara jiwa dan raga. Ia tertidur di kamar tamu sampai larut malam dan memutuskan untuk melanjutkan tidur panjangnya sampai keesokan pagi.Paginya ia memilih kembali ke Rajawali dan merombak suasana apartemennya. Sempat terbesit ingin membeli unit baru di tempat lain tapi ia masih belum menemukan fasilitas selengkap Rajawali. Setiap sudut di apartemenn
"Hallo, lo sibuk gak?" tanya Ria pada seseorang di ujung sana. "Open table yuk. Di Afterhour PIK," ajak Ria tanpa basa-basi. "Ok, see you." Mematikan sambungan telepon dan mengangkat kedua tangannya ke atas. Melakukan sedikit peregangan akibat bekerja non stop dari pagi hingga pukul 11 malam. Ria berhasil menyelesaikan semua pekerjaannya yang terbengkalai selama dua minggu. Tidak begitu terbengkalai sebenarnya karena Dika dan Wira mengambil alih sementara waktu. Selama menyelesaikan pekerjaannya, Ria tidak berbicara sedikitpun. Mau bicara dengan siapa? Fikri sudah ia usir dari ruangannya karena tidak bermanfaat. Iya, Ria kesal dan marah pada lelaki tersebut yang hanya diam saja memperhatikan Ria kerja. Mengajaknya berbicara pun tidak, apalagi menyediakan makanan untuknya. Fikri bahkan tidak mengingatkan terkait waktu kerja Ria yang sudah berlebihan. Benar-benar tidak berfungsi. Ria turun ke basement dengan casing
Tok. Tok. Tok."Non, bangun. Gak kerja kah?" tanya Bi Inah dari luar kamar.Tidak ada tanggapan karena sang empunya kamar masih asik terlelap. Sekali lagi Bi Inah mencoba mengetuk pintu kamar sang nona. "Non, kerja gak? Sudah siang loh."Ria yang merasa terusik dan mendengar pertanyaan Bi Inah lantas menjawab, "Enggak! Aku ngantuk banget, Bi. Biarin aku tidur lagi.""Baik, Non."Ria dan Jimmy menghabiskan waktunya dengan maksimal semalam di Afterhour. Setelah kejadian Rafasya yang sempat menghentikan perbincangan, mereka melanjutkannya lagi seolah hal itu tidak pernah terjadi.Obrolan mereka seru dan asik, sampai mereka lupa waktu dan sudah menghabiskan sepuluh botol minuman keras. Mereka mabuk, tapi yang tidak sampai teler. Obrolan memang terasa lebih asik ketika di bawah pengaruh alkohol. Ria baru menemukan klik bersama Jimmy mulai malam itu. Jimmy teman berbincang yang asik, mereka tidak pernah kehabisa
Dua orang berbeda generasi duduk berhadapan tanpa mengeluarkan sedikitpun suara sedari beberapa menit yang lalu. Mereka saling bertatapan seolah kata dapat terucap dari pandangan tersebut.Wira menghela napas jengah melihat kekeraskepalaan cucunya yang tidak juga membuka suara. "Kamu mau berbicara apa?" Ia mengalah dan membuka percakapan di antara mereka.Ria tidak langsung menjawab. Ia masih memandang orang tua tersebut dengan tatapan tajam. Jika dari tatapan saja bisa mencabik seseorang, maka Ria dapat melakukannya."Obati dulu lukamu," pinta Wira dengan pelan. Ia tidak kuasa jika memerintah seperti biasanya pada gadis di hadapannya."Ria, anaknya Antara, cucunya Wira." Wira menghentikan perkataannya seolah teringat sesuatu. "Eh cucunya Hartanto deh," lanjut Wira dengan jenaka. Ia teringat di rumah Hartanto tadi ketika cucunya mengatakan sederet kalimat yang membuatnya kesal. Dia yang berjuang mati-matian membuat hidup Ria aman s
"Kenapa Kakek melakukan itu?" Wira menghembuskan napas dengan keras. "Bukan saya yang membunuhnya," ungkap Wira melakukan pembelaan. "Bohong!" sentak Ria tidak mempercayai perkataan orang tua di hadapannya. "Terakhir kali kamu menyangkal pengakuan jujur dari seseorang, sesaat kemudian orang tersebut meninggal tepat di hadapan kamu." Ingatkan Ria bahwa yang dihadapinya saat ini Wira, orang yang tahu segalanya apa yang dialami Ria. Jelas perkataan Wira barusan merujuk pada kejadian berpulangnya Anton di ruang tahanan sana dan pada saat kejadian Wira tidak berada di tempat yang sama dengan Ria. "Kakek yang memperkeruh keadaan ini semua," tuduh Ria dan tidak disangkal oleh Wira. "Kalau saja Kakek gak ikut campur dan membiarkan aku menyelesaikan semuanya secara damai, aku yakin gak akan makan korban sebanyak ini!" lanjut Ria dengan intonasi yang mulai meninggi. "Bagaimana caranya saya bisa d
Ria duduk termenung memandangi rumput di hadapannya. Ia masih terbayang raut terkejut diiringi kecewa tatkala mengatakan kalimat terakhirnya di hadapan Wira. Ria tidak berniat menyakiti, sungguh. Ia hanya, apa? Tidak tahu. Ria menutup wajahnya dengan kedua tangan. Perasaan bersalahnya kian membuncah ketika mengingat ekspresi Wira terakhir kali.Fikri menginterupsi lamunan Ria dengan mengatakan, "Ayo ke rumah sakit. Sudah saya buatkan janji temu dengan dokter spesialis kulit."Ria melihat kedua tangannya yang selalu diperban. Belum benar-benar pulih dari luka sebelumnya, sudah mendapat luka yang baru lagi. Tidak pernah sembuh. Entah sampai kapan harus menanggung luka tersebut.Ria menuju rumah sakit ditemani keheningan. Tidak ada yang berani mengajak Ria berbincang. Mereka seolah tahu bahwa nonanya sedang tidak baik-baik saja.Sesuai instruksi dari Fikri, Ria memasuki ruang praktik spesialis penyakit kulit yang tidak begitu ramai. M