"We did it boys. You are guys really awesome." Januar mengapresiasi GMC yang baru selesai melakukan conference.
"You too Jan." Tian menepuk pundak Januar. Sang ketua juga harus diapresiasi.
Tian berjalan menuju sofa dan mengistirahatkan punggungnya yang sedari tadi tegang.
"Lo naik apa kesini tadi? Kenapa dekil banget?" tanya Septa yang baru sempat berbicara dengan Tian.
"Naik motor ojek online," jawab Tian sambil makan, karena ia belum sempat makan sedari pulang tadi.
Semua member terkejut, terheran-heran. Seorang Christian Hartanto menggunakan motor?
Tian yang merasa diperhatikan oleh seluruh orang di ruangan, menghentikan makannya dan ikut melihat sekeliling.
"Kenapa?" Ia mengernyitkan dahi. Bingung dengan reaksi mereka.
"Lo? Naik motor? Ojek online? Lagi ngelucu atau bagaimana?" Jimmy menertawakan pertanyaannya sendiri, dan seluruh orang di ruangan ikut tertawa.
"Christ, Christ, aduh gak bisa berkata-kata gue." Septa menggelengkan kepala, seolah memaklumi kehaluan Tian.
"Yaudah kalau gak percaya." Tian memilih melanjutkan makannya dari pada meladeni member lainnya.
"Jaket punya siapa? Gue gak pernah lihat lo pakai itu." Samuel yang dari tadi diam akhirnya melayangkan pertanyaan.
"Adaa lah, udah lama kok." Tian lupa, para member sudah hafal dengan pakaian yang dimilikinya.
"Tumben juga lo pakai iWatch, kemana Rolex nya?" Jimmy ikut menimpali karena melihat style Tian yang tak seperti biasanya.
Elang mendekati Tian dan mengendus jaket yang dikenakannya.
"Wah baunya bukan bau Tian ini. Soft sekali wanginya," ujar Elang dan membuat member yang lain ikut mencium bau dari jaket yang Tian kenakan.
"Bau siapa hayooo Tian ngaku, ini bukan bau lo." Septa mencolek dagu Tian diikuti yang lain juga.
"Apaa sih, bukan bau siapa-siapa."
"Muka Tian merah guys, mukanya merah." Septa senang sekali menggoda Tian kali ini.
"HAHAHAHAHAHA." Tawa kembali mengudara di ruangan tersebut. Ruangan yang penuh canda tawa ya, GMC memang terbaik di kelasnya.
Pukul 11 malam, semua urusan GMC di hotel Santika sudah selesai. Member dan para staf bersiap untuk pulang. Ada yang menuju apartemen milik kantor, ada yang kembali ke apartemen masing-masing dan tentu saja ada yang tak kembali di antara kedua tempat tersebut.
"Gue capek banget hari ini." Tian memijat kepalanya yang terasa sangat berat.
"Iya, semua juga cape Yan, kan kita tour nya barengan." Jimmy yang satu mobil dengan Tian menimpali dan menyandarkan kepalanya pada pundak Tian.
"Lo pulang kemana?" Jimmy kembali bersuara.
"Apartemen Rajawali tower 3 pak." Tian memberitahu supir mereka.
"Lo baru beli apartemen di Rajawali? Gue ikut nginap tempat lo aja deh"
"Bukan punya gue, dan gak bisa ikut nginap," terang Tian tak mau dibantah dan tak mau disanggah.
"Aduh gue lupa bawa kartu akses nya." Tian menepuk dahinya begitu ingat bahwa ia lupa membawa kartu akses yang ia tinggalkan di meja resepsionis.
"Yaudah lo pulang ke apartemen kantor aja bareng gue Yan." Jimmy sudah makin mengantuk terdengar dari suaranya yang mulai melemah.
"Gak bisa, gue takut dia nungguin." Tian teringat Ria yang kemungkinan akan menunggunya pulang.
"Hah? Dia siapa?" Jimmy sudah menuju alam mimpi dan tidak peduli lagi dengan jawaban Tian.
"Terima kasih pak. Saya titip Jimmy, tolong antar sampai kamarnya ya." Tian pamit pada supir dan bodyguard yang memang disediakan oleh perusahaan untuk mereka.
Tian berjalan menuju resepsionis dan menyerahkan KTP miliknya sebagai tanda ia memang salah satu pengunjung yang diberikan akses menuju kamar di lantai atas.
"Bisa tolong dibuka dulu masker, kacamata dan topinya mas? Untuk memvalidasi KTP dengan pemiliknya," ujar resepsionis tersebut.
"Aduh, topinya gak usah ya mbak. Lagi ramai lobinya soalnya." Tian melakukan penawaran demi keamanan privasinya.
Lobby tower 3 memang baru ramai menjelang tengah malam karena banyak pekerja yang baru pulang dan beberapa baru kembali dari jalan-jalannya.
Resepsionis tersebut mengiyakan dan mencocokan wajah yang berada di KTP dengan Christian Hartanto yang berdiri di depannya saat ini.
Resepsionis tersebut mengecek nama Christian pada komputer di depannya, apakah termasuk ke dalam daftar tamu yang diberikan akses oleh pemilik unit apartemen Rajawali tower 3.
"Baik, sudah sesuai semuanya. Mas Christian akan diantar oleh security sampai depan kamar yang dituju ya. Selamat malam, have a nice dream." Resepsionis tadi menelepon security dan meminta untuk mengantar Tian menuju kamar unit di lantai atas.
Keamanan pada apartemen ini memang tidak diragukan lagi. Apartemen ini juga mendapat berbagai penghargaan dalam segi keamanan dan kenyamanan penghuni. Walaupun terkesan berbelit-belit, tapi tak masalah, demi keamanan dan kenyamanan penghuni apartemen di tengah maraknya kejahatan di ibukota saat ini.
Pemilik unit sendiri, tentu saja tidak memiliki akses yang sulit dan rumit seperti pengunjung. Mereka cukup mendaftarkan wajah dan iris mata untuk dapat mengakses lift dengan mudah.
Harga yang ditawarkan pihak manajemen apartemen memang sebanding dengan fasilitas dan pemeliharaan yang dilakukan mereka. Tidak sembarang orang yang dapat memiliki satu unit di sini. Mereka dengan pendapatan bersih mendekati tiga digit yang biasanya mampu tinggal di apartemen ini dan memiliki satu unit.
Letaknya yang berada di kawasan pusat perekonomian negara, di mana terdapat gedung-gedung tinggi yang mampu menghasilkan profit hingga puluhan bahkan hingga ratusan milyar per tahun lah yang membuat harga unit apartemen tersebut melambung tinggi. Tak jarang, Rajawali ini menjadi incaran para crazy rich untuk ditempati.
"Sudah sampai mas," ujar security tersebut begitu mereka tiba di depan kamar Ria.
"Terima kasih pak." Satpam tersebut pamit undur diri.
Tian tidak memberinya tips, karena ia sedang tak memegang uang cash. Tak apa, satpam tersebut sudah memiliki gaji yang sangat mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Tian memasukkan sandi untuk membuka pintu tersebut.
Klik..
Beruntung Ria hanya mengunci satu lapis. Mungkin ia tahu bahwa Tian pasti akan kembali lagi.
Biasanya Ria mengunci hingga tiga lapis, dengan kata sandi, iris mata, dan kartu akses. Dan itu semua bisa di custom sesuai keinginan pemilik unit.
Tian langsung menuju dapur untuk mengambil minum. Sepanjang perjalanan ia menahan haus.
Setelah mengambil minum, ia menuju meja makan dan melihat sudah tersedia makan malam yang sepertinya dimasak sendiri oleh Ria, karena itu makanan kesukaannya.
Tian merasa bersalah karena ia sudah makan banyak di ballroom tadi. Tian beranjak menuju ruang keluarga untuk sekedar merebahkan tubuhnya di sofabed. Ia kembali dikejutkan dengan sosok Ria yang masih mengenakan pakaian kantornya dan sedang terlelap di sofabed tersebut.
Rasa bersalah kian menggebu tatkala melihat Ria yang baru pulang kerja dan masih menyempatkan diri untuk memasak. Terlihat dari makanan yang masih hangat dan perabotan yang belum kering sempurna.
Tian mengangkat tubuh Ria dan membawanya menuju kamar milik Ria. Ia melakukan rutinitas sebelum tidur yang biasa dilakukan Ria. Membersihkan wajah Ria menggunakan micelar water, memberikan toner pada wajahnya, beberapa serum wajah yang diketahuinya, dan sentuhan terakhir yaitu vitamin rambut. Rambut berkilau, hitam legam dan tebal milik Ria tentu saja didapat dari hasil merawat dirinya selama ini.
Megapa Christian tahu? Karena mereka sering video call ketika malam hari sebelum tidur dan Tian akan bercerita tentang hari yang dilaluinya. Tentu saja Ria hanya mendengarkan dan diam sepanjang mereka video call. Dan Tian yang memperhatikan Ria melakukan night routine ala Ria Ananta.
Ria hanya punya waktu ketika malam hari sepulangnya bekerja, dan tak jarang mereka sulit untuk menghubungi satu sama lain karena Tian yang sering keliling dunia untuk pekerjaannya. Perbedaan waktu dan jam kerja tersebut lah yang membuat Tian sangat mencari momen yang tepat untuk mereka berkomunikasi.
Tian mengatur suhu ruangan melalui AC dan dibuat sesuai nyaman versi Ria. Memandang sang pujaan hati, tersenyum dibuatnya.
"Good night, have a nice dream Ri. You know that I'm still loving you. I hope you too." Tian mengecup kening Ria cukup lama dan mengucapkan doa-doa di hadapannya. Segala doa ia panjatkan demi bisa terus bersama dengan orang terkasihnya.
Begitu dirasa cukup, Tian keluar dari kamar Ria dan melanjutkan aktivitasnya yang belum terselesaikan.
"Me too, Tian," ujar Ria menahan tangis begitu Tian keluar dari kamarnya.
Ria terbangun begitu Tian mulai berbicara. Ia begitu mudah terbangun jika ada yang bicara di sekitarnya. Tapi terkait sentuhan, tak mampu membuatnya terbangun.
Hhhhh. Seberapa berat sebenarnya hubungan mereka...
############################
"Good morning Ri. Aku udah buat sarapan untuk kamu," ujar Tian yang baru memasuki apartemen. Ria menuju ruang makan tanpa membalas sapaan Tian. Ia duduk dan memperhatikan Tian dengan seksama, menunggu pengakuan darinya. Tian yang ditatap seperti itu hanya melongo. Ia tak paham maksud tatapan Ria. Ria yang malas menjelaskan, memilih untuk menyantap sarapannya. Tian yang diperlakukan seperti itu, menggaruk belakang kepalanya. Apa yang salah dengannya? Ikut sarapan bersama Ria dan terus mencuri pandang ke arahnya. "Kenapa sih? What's wrong?" tanya Tian karena ia terganggu dengan keterdiaman Ria. Ria hanya menggelengkan kepala dan mengabaikan pertanyaan Tian. "Dari mana?" akhirnya Ria buka suara. "Gym." "Aaaaa, I see. Iyaa aku pakai kartu a
"MRT or Commuter line?" tanya Ria begitu mereka sudah berada di pinggir jalan. "Gak tahu. Ikut mau kamu aja." Tian minim sekali pergerakan sedari tadi. "Kamu jangan diam-diam aja dong Yan. Tau gitu mending di apartemen aja." Ria menghentikan langkahnya. Ia kesal dengan Tian yang tidak responsif. "Aku bingung Ri. Yaudah cari yang gak ramai aja biar aku gak ketahuan fans deh." Tian mengusulkan menghindari kerumunan agar keberadaannya tidak terdeteksi. Nasib superstar yang sulit untuk kemanapun. "MRT aja kalau begitu." Ria berjalan menuju stasiun MRT yang letaknya tak jauh dari kawasan Rajawali. Memang benar-benar pusat perekonomian negara, karena segala fasilitas transportasi umum sudah sangat terjamin di wilayah ini. "Nanti kita berhenti di stasiun secara acak aja ya. Aku gak punya tujuan." Mereka berjalan tanpa perencanaan. Bukan tipikal Ri
"Ya Tuhan, anakku," ujar Antara begitu tiba di kamar putrinya. "Kenapa dia bisa begini Randy?" tanya Antara-papah nya Ria. "Dia main keluar sama Tian." "Tian? Christian Hartanto?" tanyanya memastikan. Randy menganggukan kepalanya. Beberapa saat yang lalu, ketika Ria sedang kejang dan masuk ke dalam 'delusi'-nya, pengawal pribadi yang diutus oleh keluarga mereka untuk menjaga Ria langsung menelepon melalui panggilan grup. Peraturannya adalah jika terjadi sesuatu yang sangat genting di antara mereka berlima -Antara dan keempat anaknya, perwakilan pengawal pribadi mereka harus langsung menghubungi melalui panggilan grup. Siapa yang sedang senggang saat itu dan bisa mengangkat telepon, harus menghampiri tempat kejadian. Berhubung mereka berlima orang yang sangat sibuk, tak jarang para pengawal yang menangani sendiri. Sebenarnya mereka jarang se
"Gimana? Si bocah tengil itu berhasil masuk rumah sakit ndak?" tanya Hartanto pada anak buah yang diutusnya untuk merecoki acara jalan Tian dengan Ria. "Engga bos. Ternyata backingan dia banyak sekali," balas Rizal-tangan kanan Hartanto, orang kepercayaannya. "Banyak gimana? Bukannya kamu bilang cuman ada pengawal si Christian?" Hartanto merengut kesal karena rencananya tak berjalan. "Saya tidak tahu bos, yang pasti semua rencana kita digagalkan oleh orang lain. Seolah mereka hadir memang untuk melindungi Nona," jelas Rizal. Bagaimana pun Rizal tetap menghormati Ria dengan memanggilnya Nona. Walaupun tindakannya tidak menunjukkan rasa hormatnya. "Lalu untuk pencegatan bahan baku produksi dia bagaimana? Sudah dialihkan ke perusahaan saya?" tanya Hartanto kembali. Entah ada masalah apa Hartanto dengan Ria. Kakek tersebut selalu berusaha untuk mengganggu Ria. "Sudah bos
"Saya benci kamu." "Kenapa lo harus mengingatkan gue dengan wanita gila itu?" "Gue benci lo dek." "Aku gak bisa dekat kakak, pasti akan mengingatkan ku sama dia." "Lo atau gue yang pergi?" "Tolong dedek bang. Bang jangan tinggalin dedek sendiri." "Anak gak tahu diuntung." Gangguan suara itu lagi. Kenapa rasanya masih sama? Sama-sama menyakitkan. Tuhan. Tolong Ria... Gue berusaha menggapai setitik cahaya di tengah kegelapan yang menyelimuti. Suara-suara tersebut terus mengelilingi. Apa dosa yang diperbuat Ria di masa lalu, Tuhan? Kenapa harus Ria yang mengalami ini? Gue berhasil membuka mata dan melihat sekitar bahwa gue masih di rumah papah. Tidak terjadi apa pun. Air mata tumpah mewakili perasaan gue saat ini. Sudah
Tutttt. Tutttt. Tutttt.Nomor yang anda tuju tidak menjawab. Silakan coba beberapa saat lagi."Arrghh kamu kemana sih?" Sudah tiga hari berlalu Tian kehilangan kabar dari Ria. Terakhir kali ia berkunjung ke rumah kakeknya dan berujung diare, ia tahu bahwa satai tersebut dikirim oleh Ria."Ayo Christ, sebentar lagi kita mulai shooting," ujar salah satu staf yang masih melihat Tian berada di luar ruangan."Oh, iyaa."GMC melakukan taping untuk acara variety show milik mereka sendiri. Acaranya berupa games dan terdapat kompetisi di dalamnya. Mereka sudah menjalani 141 episode yang tiap episode tayang seminggu sekali.Acara mereka dinamakan playing with GMC dengan penonton di platform youtube bisa mencapai 5-10 juta dalam sekali penayangan.Sepanjang taping mereka semua menjalani
"Kamu mau sarapan apa Ri?" tanya Tara begitu melihat anaknya sedang berjemur di halaman rumah."Bubur ayam yuk Pah yang di depan sana." Ria membuka mata tatkala mendengar suara Tara."Anton, ambilin dompet sama ponsel saya!" titah Tara dan ia berjalan menghampiri Ria."Dari kapan kamu di sini?" Mengusap peluh yang hadir di sekitar kening Ria."Lupa. Aku lanjut tidur sepertinya," balas Ria dibarengi dengan senyuman.Terlihat Anton menghampiri mereka. "Ini pak. Mau saya antar atau bagaimana?"Ria menggeleng pada Tara. Ia sedang bosan diikuti terus."Gak usah. Standby saja kalau saya butuh sesuatu," ujar Tara. Ria memutar bola mata, tentu saja papahnya tak akan membiarkan mereka pergi tanpa pengawalan dari Anton."Gak boleh keliatan mata aku loh. Kalau sampai keliatan, kalian aku hukum!" tekan Ria pada mereka. Ia benar-benar sedang pengap diikuti terus sedari awal di sini.Tara menggenggam tangan Ria."Hushh gak
Seminggu lebih mereka tinggal di salah satu rumah Antara yang tidak Ria sukai karena terlalu besar. Tara memilih rumah ini dengan pertimbangan rumah yang besar dan sedikit barang akan memperkecil kemungkinan Ria menyakiti dirinya sendiri ketika kambuh. Tentu saja anggapan Tara salah. Suara yang didengar oleh Ria memiliki kekuatan dan dorongan yang sangat besar bagi hidupnya. Sakit yang diterimanya sudah sangat besar sehingga outputnya mencari jalan kesakitan yang lain. Antara menambahkan penghuni rumah ini, bila perlu tiap ruangan terisi oleh orang yang sigap jika mendengar sekecil apapun suara. Tara juga manusia yang perlu istirahat, jadi ia tak bisa mengawasi Ria 24 jam tiada henti. Tara memberlakukan sistem shift malam dan pagi, karena terakhir kali ia melihat putrinya kambuh ketika tengah malam di mana waktu yang senggang dari pengawasan. Selama seminggu Ria tidur di dekapan Tara.