Jantungku seketika terasa mencelus ke rongga perut. Suara Aldrich terdengar seperti alunan musik yang paling ingin kuputar sekarang—menghalau kesepian yang telah meninggalkan jejaknya di seluruh sudut ruangan sejak perpisahanku dan Xaferius terjadi. Aku beranjak dari dipan yang lagi-lagi menjerit, seolah-olah mencegahku untuk beralih membuka pintunya.
“Anna? Apa kau masih di sana? Bukalah, kumohon.”
Sepasang kakiku berhenti melangkah—ragu-ragu, apa aku harus membiarkan Aldrich masuk dan melakukan sesuatu yang akan kusesali lagi? Rasa curigaku kembali mendominasi—mengapa pria itu mengunjungiku di waktu yang kurang tepat? Aku spontan menggeleng, lantas mencoba mengenyahkan segenap pikiran buruk yang muncul di dalam kepalaku—memutar kuncinya dan menarik kosen itu yang serta-merta membuatku menyaksikan
“Cium aku.”Aku terperangah, lantas membenturkan keningku pada pundak Aldrich sebab ukuran tubuhku memang hanya berkisar setinggi itu di hadapannya—berharap tindakan yang baru saja kulakukan dapat memberikan efek menyakitkan baginya. Namun, aku justru mencederai diriku sendiri. Aku mengaduh dan kepalaku mendadak jadi pening—astaga, mengapa tubuh pria itu seperti batu?“Apa yang kau lakukan?” tanya Aldrich—ekspresi wajahnya menahan geli.“Apa hanya itu yang ada di dalam otakmu? Mengapa kau tidak bisa mengontrol pikiranmu?” jeritku gusar sambil menggertakkan gigi padanya.“Bukankah aku pernah mengatakannya padamu, Anna? Aku selalu kehilangan kendali jika aku
“Demi Tuhan, kau manis sekali,” komentar Aldrich setelah melepaskan tautan bibir kami yang basah.“Apa itu cukup manis untuk membuatmu mabuk?”Aldrich memamerkan senyumnya—lebar dan ramah, “Sejak kapan kau jadi pintar menggoda? Apa keahlianmu berkembang sepesat itu dalam dua bulan terakhir?”“Anggap saja aku tipikal murid yang cepat belajar,” bisikku sambil menatap wajahnya.“Sayang sekali kau bukan milikku, Anna. Aku akan menyimpan seseorang sepertimu selamanya.”Selamanya.Aku lagi-la
Perbuatan kami semalam masih membekas di dalam pikiranku. Aldrich mahir menghabisi tenagaku dengan seluruh stamina yang dia punya—kami bahkan mengulangi aktivitas luar biasa itu hingga tiga kali. Sungguh, dia pria yang hebat. Aku tidak ingin membandingkan Aldrich atau Xaferius karena mereka punya nilainya masing-masing.Kini tubuh jahanamku menjadi lebih cepat beradaptasi pada ukuran Aldrich dan Xaferius, seolah-olah aku memang diciptakan untuk mereka—dua werewolf yang sama-sama mengisi hatiku dengan tiang neraca yang tak seimbang. Aku tahu aku terdengar serakah atau apa ada cap yang jauh lebih buruk dari itu? Aku akan menerimanya.Aldrich pergi pagi-pagi sekali, dia bermaksud menghindari fajar—meninggalkan aku yang masih merasa k
Aku berhasil melewati dua minggu tanpa Xaferius di sisiku—kondisi yang awalnya terasa mustahil, tetapi siapa yang menyangka bahwa aku mampu melalui seluruh prosesnya? Rasa patah hati yang hebat itu masih menggoresku hingga sekarang. Aku sudah mencoba menghalau bayang-bayang mate-ku sendiri, meskipun gagal—aku selalu menangis dan menyesali segenap tindakan bodohku. Ironis, bukan? Aku memang mendapatkan ‘hidup normal’ yang kuinginkan—berinteraksi dengan wajar seperti diriku yang dahulu, menjadi manusia yang bebas, dan sejumlah hal lain yang lumrah untuk dilakukan sebagai entitas tak abadi. Namun, mengapa aku justru merasa... kosong? Bukankah aku seharusnya merasa bahagia? Apa itu artinya keputusan yang kubuat salah?
“Apa kau menyukainya?”Aku menoleh pada Aldrich sebelum menyahut, “Tentu saja. Aku suka sensasinya. Itu membuatku berpikir seolah-olah aku merupakan seorang nomaden yang selalu bepergian dengan van tuanya untuk menjelajah ke seluruh negeri.”“Apa kau tahu, Anna? Dahulu, aku juga sempat berpikir bahwa aku ingin hidup seperti itu. Aku ingin menjadi seorang werewolf nomadik, tetapi sayangnya aku tidak bisa melakukannya,” balas Aldrich yang masih memfokuskan pandangannya ke depan.“Kau bisa jika kau memang mau. Maksudku, semua orang akan mendapatkan yang mereka inginkan jika mereka mengusahakannya. Kau hanya tinggal mengurus beberapa hal yang harus kau
Hampir seluruh makam yang ada di The Necropolis mempunyai genogram pada nisannya—silsilah tentang satu keluarga itu ditulis dengan apik dan rapi, pekuburan estetik yang juga menjadi destinasi wisata bagi para wisatawan. Namun, keadaan sepi saat kami berkunjung sekarang. Sebelum kami keluar dari kawasan kuno itu, aku menangkap sebuah bangunan lain yang letaknya cukup dekat dari posisi katedral.“Apa itu?” tanyaku pada Aldrich yang masih berjalan di belakangku.“Itu museum, Anna. Apa kau juga ingin masuk ke sana?”“Tidak sekarang. Mungkin lain kali.”Akhirnya, kami tiba di dua buah makam yang posisinya berdampingan—nisan itu berdiri menjulang dengan monumen dan patung se
“Apa kau pernah mendengar tentang para vampir yang menjadi musuh bebuyutan kaum werewolf?”Aku sontak menggeleng, “Apa hubungan kalian memang seperti itu?”Aldrich mendesah dan menghela napas berat sesaat sebelum menjawab—sesuatu yang jarang dia lakukan sebelumnya, “Quann dan Marie meninggal di usia yang cukup muda.”Cukup muda? Yang benar saja, Aldrich membuat waktu seribu tahun terdengar seperti hanya setahun baginya. Pria itu kemudian kembali meneruskan, “Aku tidak tahu penyebabnya, tetapi dari cerita yang beredar di keluarga Black selama bertahun-tahun, Quann dan Soleil merupakan musuh abadi.”
“Anggap saja sebagai salam perpisahan,” lanjut Aldrich lagi—kilat jahil sempat terlukis di raut wajahnya, tetapi mataku memilih untuk mengabaikan isyaratnya.“Aku tidak suka menerima lelucon tentang hidupmu, Aldrich. Jadi, berhentilah mencobanya.”“Kau menolakku lagi?”Air mataku kembali berderai menjadi isak tangis yang sontak membuat Aldrich panik, “Apa aku penyebab dari seluruh kekacauan yang terjadi di dunia kalian? Apa aku juga sama terkutuknya seperti makhluk air itu?”“Tenanglah, Anna. Aku hanya bercanda. Aku baik-baik saja. Aku tidak akan bernasib seperti Quann dan Marie,” aku Aldrich sambil menyentuh kedua bahuku.