Semua Bab Crescent Moon: Bab 1 - Bab 10
80 Bab
1. Para Serigala
Aku terus berlari menyusuri hutan belantara. Bertanya-tanya dalam ketidakpastian, apakah mereka—orang-orang suruhan paman Scott masih mengejarku di belakang? Berapa lama lagi aku harus berlari? Sepuluh menit? Dua puluh menit? Aku tidak mungkin mampu berlari selama itu. Aku mengatur napas sebelum kembali memaksakan diri untuk berlari, membiarkan oksigen mengisi kantong paru-paruku. Saat suara kicau burung nuthatch tidak lagi terdengar, aku menyadari suasana hening yang ganjil menyelimuti pemandangan di sekitar. Hanya ada sekelompok pohon beech berukuran besar dengan banyak cabang; rantingnya berkelok-kelok membentuk jebakan, tumbuh dengan jarak yang rapat satu sama lain. Daun-daunan lebatnya menciptakan kanopi alami sebagai pelindung dari sinar matahari untuk menembus masuk. Semuanya berwarna hijau, te
Baca selengkapnya
2. Makhluk Pengisap Darah
“Jalan keluarnya... apa kau bisa membantu menunjukkan jalan keluarnya?” pintaku setengah merengek, berharap Xaferius melepaskan tubuhku dari dekapannya. “Tentu saja, lagi pula tempat ini bukan untuk manusia. Berbahaya.” “Berbahaya?” ulangku, perasaan takut kembali merayapi diriku. “Lebih berbahaya dari yang kau bayangkan, Anna.” “Dari yang kubayangkan?” lagi-lagi aku membeo. Xaferius melonggarkan dekapannya dari balik pinggangku, “Kita harus bergegas pergi sebelum matahari terbenam.” “Terima kasih.”&n
Baca selengkapnya
3. Rahasia
Anna. Nama yang diberikan dad padaku, artinya cantik; baik hati; karunia Tuhan—sesuai dengan diriku, katanya. Gen dari dad mewarisi ciri-ciri fisikku lebih banyak. Tinggiku hanya seratus-enam-puluh-dua senti, kecuali warna mata dan rambut yang gen dari mom sumbangkan untukku. Rambutku selalu cokelat, kadang-kadang memerah diterpa sinar matahari, serupa dengan iris mataku.   Aku suka memasak. Kegiatan itu membuatku tenang, melepaskan penat dan melupakan rindu yang terus-menerus datang. Aku masih berusia tujuh tahun, manja dan suka membuang sayur-sayuran—terutama brokoli, dari piringku, saat d
Baca selengkapnya
4. Para Peri
Aku tidak pernah merasa istimewa, aktivitas keseharianku juga selalu datar dan monoton. Aku mengalami masa-masa sulit dengan tujuan hidup yang tidak lagi kupunya saat Dad dan Mom pergi, tetapi—secara ajaib, aku berhasil melewatinya. Bukti bahwa takdir masih tetap memegang kendali atas diriku. Setelah semua peristiwa panjang yang terjadi, aku harus memulai kehidupan baru. Jauh dari keluargaku yang lain. Saat Xaferius menanyakan alamat tujuanku, aku terenyak—sadar jika aku sebatang kara dan menyedihkan, tidak mempunyai apa pun. Pria itu menawarkan kemurahan hatinya, dia mengizinkan aku tinggal untuk sementara di rumahnya. Dengan syarat, aku harus tutup mulut pada orang-orang, pada dunia, tentang eksistensi para
Baca selengkapnya
5. Terjebak
Kepalaku terasa pening saat terbangun, pemandangan lanskap kota dengan deretan gedung pencakar langit yang mengesankan, berlatar fajar bersama cakrawala dramatisnya langsung terpampang begitu apik di hadapanku lewat jendela kaca tanpa sekat. Aku mengerjap-ngerjap, setengah kebingungan. Aku mengedarkan pandang ke sekeliling, mencoba untuk mendapatkan kesadaranku sepenuhnya. Namun, aku hanya menemukan sebuah ruangan bergaya klasik dengan desain Mediterania yang memikat. Dindingnya dilapisi batu granit, berpadu serasi dengan chandelier berbahan kristal yang tergantung di langit-langit. Aku turun dari atas ranjang, menginjak karpet bermotif jaldar yang estetik dengan kedua kaki telanjangku. Tatapanku berhenti pada sebuah foto yang membingkai beberapa s
Baca selengkapnya
6. Déjà vu
Seharusnya potongan haggis itu menjadi suapan yang terakhir, tetapi semua isi perutku keluar saat Aldrich tiba-tiba muncul ke dapur sambil menenteng tiga kantong darah hewan dan memamerkannya pada kami. Aku lari tergopoh ke arah bak cuci, menyerah dengan rasa mual yang menohok di bagian abdomenku. Pria itu terkejut sekaligus terlambat menyadari keberadaanku di kediaman Xaferius. “Manusia?” desisnya pada Xaferius, menuntut penjelasan. “Iya, seperti yang kau lihat.” “Siapa?” desaknya lagi, tidak puas dengan jawaban itu. “Namanya Anna, Aldrich.” 
Baca selengkapnya
7. Cinta Terlarang
“A-apa?” sahutku, mengira alat pendengaranku bermasalah atau sejenis itu. “Aku tertarik padamu,” balas Aldrich tanpa berpikir dua kali. Dia bukan tipe orang yang gemar berdiplomatis, jelas. Pria itu lebih suka mengatakan sesuatu secara terbuka, tanpa memikirkan reaksi Xaferius yang berjarak hanya sekitar lima-puluh senti jauhnya dari kami. Aldrich mengembangkan senyumnya. Dia tampak lega dan puas, kepercayaan diri yang membuatku iri. “Apa yang kau katakan?” Ekspresi wajah Aldrich berganti dari berseri-seri, kemudian menjadi marah dan murung, “Aku menyukai Anna. Apa ada yang salah dengan itu?” “Tentu saja
Baca selengkapnya
8. Kejutan
Dua minggu berlalu sejak peristiwa perkelahian di antara Aldrich dan Xaferius terjadi. Waktu yang cukup lama bagiku. Namun, aku mulai terbiasa dengan beberapa rutinitas baru di kediamannya, termasuk dilayani, meskipun aku tidak menginginkannya. Xaferius mempunyai lima belas orang pelayan, sembilan di antaranya merupakan para gadis yang berusia sekitar enam belas sampai dua puluh tahun. Sementara sisanya para pria paruh baya yang menjadi orang-orang kepercayaannya. Mereka bekerja dari pagi bahkan sebelum matahari terbit dengan sempurna. Aku juga memperhatikan semua kebiasaan yang Xaferius lakukan setiap harinya. Dia selalu bangun di jam yang sama, mandi, menikmati sarapannya selama sepuluh menit, lantas bergegas pergi ke kantor. Belakangan, aku mengetahui pria itu pemilik Celcius Grup—perusahaan properti yang berdiri sejak beberapa tahun lalu. Industri yang merajai sebagian besar pertumb
Baca selengkapnya
9. Diculik
Xaferius menawarkan perjalanan yang menyingkat jarak dari rumah menuju ke portal. Aku langsung mengangguk mengiyakan, tidak menyangka jika yang dia maksud adalah dengan cara menaiki punggungnya sepanjang kepergian kami. Pria itu bertransformasi sesaat setelah melampiaskan ciumannya padaku. Punggungnya lagi-lagi bergetar, dia berubah menjadi sosok serigala hitam sampai membuat lapisan tanah di sekelilingnya retak karena entakkan keempat kakinya. “Apa kau yakin dengan idemu?” tanyaku sekali lagi dari sekian puluh kali mengatakannya. Xaferius mendengking, sepasang matanya menyoroti wajahku dengan tatapan ‘ayo’. Aku tidak pernah menunggang seekor kuda seumur hidupku, apalagi seekor serigala—serigala yang notabene ukurannya dua kali lipat lebih besar dari ukuran seharusnya. Bagaimana jika aku melorot dan jatu
Baca selengkapnya
10. Ciuman
Aku memekik, terbangun dari mimpi buruk dengan peluh yang membanjiri sekujur tubuhku. Pakaian yang sedang kukenakan terasa lengket, menjiplak di beberapa bagian anggota tubuh tertentu. Aku baru menyadari sepasang tanganku terikat, saat aku bermaksud ingin menyeka bulir yang jatuh meleleh di ujung hidungku. Siapa yang melakukannya? Aku panik, berusaha melepaskan diri dari bebatan itu. Aku meronta-ronta dan menggigitnya dengan gigiku. Namun, hasilnya nihil. Tali itu masih tetap mengekang, membuatku tidak bisa bergerak leluasa. “Ah, rupanya Tuan Putri sudah bangun,” celetuk suara itu dari arah pintu yang ukurannya tiga kali lipat lebih besar dari tubuhnya. “Aldrich?” “Ya, ini aku.”
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
8
DMCA.com Protection Status