Hawa dingin dan salju sama sekali bukan iklim yang kusuka. Rasa-rasanya satu tiupan angin—dari sisi mana saja—mampu membekukan seluruh tulangku. Kebosanan pun mendadak melanda selama beberapa hari terakhir.
Aku menutup toko bungaku sekitar dua jam lebih awal setiap akhir pekan—sama seperti sekarang—agar aku punya lebih banyak kesempatan untuk menikmati kebersamaanku dengan Xaferius. Namun, sore itu aku memutuskan untuk pergi ke supermarket. Bukan duduk manis menunggu kekasihku pulang seperti biasanya.
Aku mulai bosan dilayani sepanjang waktu. Jadi, kuputuskan untuk berhenti menjadi Cinderella dalam dua atau tiga jam berikutnya. Aku juga ingin melihat-lihat keluar sekaligus mengambil waktu untuk diriku sendiri. Kegiatan yang sudah sangat jarang kulakukan.
Jarak dari lok
Alisku secara otomatis bertaut mendengarnya dan Aldrich lagi-lagi meneruskan, “Aku dilukai oleh perasaan rinduku, Anna. Itu sangat menyiksa.”Aku mendongakkan kepala lebih tinggi—memandang tanpa kedip ke dalam rona kelam di sepasang irisnya, lantas berpaling dengan cepat. Mengapa Aldrich harus mengatakan sesuatu yang juga melukaiku sekarang? Seolah-olah aku dan pria itu punya raga yang sama—jika dia sakit, maka aku juga akan merasa seperti itu.“Kau membuang muka. Apa kau membenciku? Atau apa wajahku tidak menarik untuk kau tatap?” gumamnya lagi dengan nada parau.Apa yang Aldrich pikirkan? Membencinya? Bagaimana mungkin aku membenci pria yang juga menjadi bagian diriku? Bukankah kau tak akan membenci salah satu anggota tubuhmu? Itulah mak
Aku terus berlari menyusuri hutan belantara. Bertanya-tanya dalam ketidakpastian, apakah mereka—orang-orang suruhan paman Scott masih mengejarku di belakang? Berapa lama lagi aku harus berlari? Sepuluh menit? Dua puluh menit? Aku tidak mungkin mampu berlari selama itu. Aku mengatur napas sebelum kembali memaksakan diri untuk berlari, membiarkan oksigen mengisi kantong paru-paruku.Saat suara kicau burung nuthatch tidak lagi terdengar, aku menyadari suasana hening yang ganjil menyelimuti pemandangan di sekitar. Hanya ada sekelompok pohon beech berukuran besar dengan banyak cabang; rantingnya berkelok-kelok membentuk jebakan, tumbuh dengan jarak yang rapat satu sama lain. Daun-daunan lebatnya menciptakan kanopi alami sebagai pelindung dari sinar matahari untuk menembus masuk. Semuanya berwarna hijau, te
“Jalan keluarnya... apa kau bisa membantu menunjukkan jalan keluarnya?” pintaku setengah merengek, berharap Xaferius melepaskan tubuhku dari dekapannya.“Tentu saja, lagi pula tempat ini bukan untuk manusia. Berbahaya.”“Berbahaya?” ulangku, perasaan takut kembali merayapi diriku.“Lebih berbahaya dari yang kau bayangkan, Anna.”“Dari yang kubayangkan?” lagi-lagi aku membeo.Xaferius melonggarkan dekapannya dari balik pinggangku, “Kita harus bergegas pergi sebelum matahari terbenam.”“Terima kasih.”&n
Anna. Nama yang diberikan dad padaku, artinya cantik; baik hati; karunia Tuhan—sesuai dengan diriku, katanya. Gen dari dad mewarisi ciri-ciri fisikku lebih banyak. Tinggiku hanya seratus-enam-puluh-dua senti, kecuali warna mata dan rambut yang gen dari mom sumbangkan untukku. Rambutku selalu cokelat, kadang-kadang memerah diterpa sinar matahari, serupa dengan iris mataku. Aku suka memasak. Kegiatan itu membuatku tenang, melepaskan penat dan melupakan rindu yang terus-menerus datang. Aku masih berusia tujuh tahun, manja dan suka membuang sayur-sayuran—terutama brokoli, dari piringku, saat d
Aku tidak pernah merasa istimewa, aktivitas keseharianku juga selalu datar dan monoton. Aku mengalami masa-masa sulit dengan tujuan hidup yang tidak lagi kupunya saat Dad dan Mom pergi, tetapi—secara ajaib, aku berhasil melewatinya. Bukti bahwa takdir masih tetap memegang kendali atas diriku. Setelah semua peristiwa panjang yang terjadi, aku harus memulai kehidupan baru. Jauh dari keluargaku yang lain.Saat Xaferius menanyakan alamat tujuanku, aku terenyak—sadar jika aku sebatang kara dan menyedihkan, tidak mempunyai apa pun. Pria itu menawarkan kemurahan hatinya, dia mengizinkan aku tinggal untuk sementara di rumahnya. Dengan syarat, aku harus tutup mulut pada orang-orang, pada dunia, tentang eksistensi para
Kepalaku terasa pening saat terbangun, pemandangan lanskap kota dengan deretan gedung pencakar langit yang mengesankan, berlatar fajar bersama cakrawala dramatisnya langsung terpampang begitu apik di hadapanku lewat jendela kaca tanpa sekat. Aku mengerjap-ngerjap, setengah kebingungan.Aku mengedarkan pandang ke sekeliling, mencoba untuk mendapatkan kesadaranku sepenuhnya. Namun, aku hanya menemukan sebuah ruangan bergaya klasik dengan desain Mediterania yang memikat. Dindingnya dilapisi batu granit, berpadu serasi dengan chandelier berbahan kristal yang tergantung di langit-langit.Aku turun dari atas ranjang, menginjak karpet bermotif jaldar yang estetik dengan kedua kaki telanjangku. Tatapanku berhenti pada sebuah foto yang membingkai beberapa s
Seharusnya potongan haggis itu menjadi suapan yang terakhir, tetapi semua isi perutku keluar saat Aldrich tiba-tiba muncul ke dapur sambil menenteng tiga kantong darah hewan dan memamerkannya pada kami. Aku lari tergopoh ke arah bak cuci, menyerah dengan rasa mual yang menohok di bagian abdomenku. Pria itu terkejut sekaligus terlambat menyadari keberadaanku di kediaman Xaferius.“Manusia?” desisnya pada Xaferius, menuntut penjelasan.“Iya, seperti yang kau lihat.”“Siapa?” desaknya lagi, tidak puas dengan jawaban itu.“Namanya Anna, Aldrich.”
“A-apa?” sahutku, mengira alat pendengaranku bermasalah atau sejenis itu.“Aku tertarik padamu,” balas Aldrich tanpa berpikir dua kali.Dia bukan tipe orang yang gemar berdiplomatis, jelas. Pria itu lebih suka mengatakan sesuatu secara terbuka, tanpa memikirkan reaksi Xaferius yang berjarak hanya sekitar lima-puluh senti jauhnya dari kami. Aldrich mengembangkan senyumnya. Dia tampak lega dan puas, kepercayaan diri yang membuatku iri.“Apa yang kau katakan?”Ekspresi wajah Aldrich berganti dari berseri-seri, kemudian menjadi marah dan murung, “Aku menyukai Anna. Apa ada yang salah dengan itu?”“Tentu saja