Share

The First Steps

Author: ruruna
last update Last Updated: 2024-12-27 15:46:15

Seorang pemuda berdiri mematung di depan gerbang besar Crimson Ridge Academy. Papan nama sekolah itu terpampang megah, dengan huruf-huruf emas yang tampak bersinar di bawah sinar matahari pagi. Suasana sekitar ramai oleh siswa yang berlalu-lalang, sebagian berbincang ceria, sebagian lagi berjalan cepat seolah mengejar waktu.

Namun, bagi pemuda itu semua ini terasa seperti pemandangan asing. Ada sesuatu yang berat di dadanya, seperti bayangan tak kasatmata yang menghalangi setiap langkahnya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa gugup yang perlahan menjalar. Tangannya mengepal erat, dan pandangannya tertuju lurus ke depan.

Ini bukan saatnya ragu, pikirnya.

Langkah pertama akhirnya ia ayunkan, melewati gerbang yang menandai babak baru dalam hidupnya.

.

.

.

.

.

Pemuda itu berdiri dengan canggung di depan pintu ruang kepala akademi, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak beraturan. Di tangannya ada map dengan dokumen-dokumen pindahan, dan di punggungnya, tas yang terasa berat meski isinya tidak banyak. Ia menarik napas dalam, lalu mengetuk pintu perlahan.

Tidak ada tanggapan dari dalam selama beberapa detik hingga akhirnya sebuah suara tegas terdengar, “Masuk.”

Pemuda itu lalu mendorong pintu, mendapati seorang pria berkacamata tengah sibuk memeriksa dokumen di mejanya. Plakat kecil di atas meja itu menampilkan nama: Mahendra Surya. Mata pria itu langsung terangkat memandangi pemuda yang baru masuk itu.

“Kamu pasti Evan,” kata pria itu, menutup map di tangannya.

Pemuda itu- Evan- mengangguk pelan. “Iya, Pak.”

“Selamat datang di Crimson Ridge Academy. Saya Mahendra Surya, kepala akademi ini, murid-murid biasanya memanggil saya Sir Hendra. File tentang kamu menarik juga ya, saya sudah baca. Pemegang mendali perak olimpiade nasional matematika tahun lalu. Saya ingat kamu lawan yang cukup menantang untuk akademi kami. Tapi, kemudian dikeluarkan dari sekolah karena terlibat perkelahian dan membuat lawan kamu masuk rumah sakit, dia jadi cacat dari yang saya dengar,” Sir Hendra tersenyum tipis menatap ke arah Evan.

Evan berdiri tidak nyaman di tempatnya dengan senyum kaku, ia memang melakukan beberapa hal tidak terduga di sekolah lamanya hingga akhirnya dikeluarkan. Evan merasa akan aneh kalau dia tiba-tiba keluar dari sekolah lamanya yang bisa dibilang punya reputasi yang hampir sama bagusnya dengan Crimson Ridge Academy untuk kemudian pindah ke Akademi ini. Jadi, ia kemudian menyusun rencana agar dikeluarkan dari sekolah lamanya dan bisa masuk ke akademi yang dikenal jarang menerima murid di luar yayasan mereka, tapi punya pengecualian khusus untuk orang-orang yang dianggap dapat bermanfaat bagi akademi ini. Evan sendiri punya sedikit keraguan kalau rencananya akan berhasil, tapi keberuntungan sepertinya sedang ada dipihaknya.

“Tidak apa-apa, Saya yakin kamu punya alasan sendiri dan bukan urusan saya juga. Saya hanya berharap semoga kamu bisa menyesuaikan diri dan bisa menunjukkan prestasi yang membanggakan untuk akademi ini,” ucap Sir Hendra yang dibalas anggukan pelan oleh Evan.

Kemudian terdengar ketukan lagi dari arah pintu masuk.

“Masuk!” Pintu itu kemudian terbuka, dan seorang gadis muncul. Penampilannya tampak rapi, dengan blazer sekolah yang dikenakan tanpa cela dan sebuah pin perak di sisi kanan blazernya. Rambut panjangnya yang hitam berkilau diikat rapi dalam kucir sederhana, tanpa sehelai pun yang berantakan. Wajahnya tegas memberi kesan disiplin yang sejalan dengan langkahnya yang mantap. Mata coklatnya dibingkai dengan kacamata.

“Ini Sera,” kata Sir Hendra sambil melirik Evan. “Dia anggota Dewan Siswa dan salah satu siswi terbaik kami. Sera, ini Evan. Dia siswa baru di kelas 11-B. Saya ingin kamu bantu dia mengenal sekolah dan memastikan dia tahu aturan-aturan penting di sini.”

Sera menatap Evan, mengulurkan tangan dengan senyum tipis. “Halo, Evan. Senang bertemu denganmu.”

Evan menyambut tangan itu dengan canggung. “Halo.”

Sir Hendra melanjutkan, “Sera, untuk sekarang tolong antarkan Evan ke kelasnya, pengenalan lingkungan sekolahnya bisa dilakukan saat jam istirahat nanti.”

“Baik, Sir,” jawab Sera singkat, mengisyaratkan Evan untuk mengikutinya keluar dari ruangan.

.

.

.

Koridor sekolah penuh dengan siswa yang berlalu-lalang, beberapa melirik Evan, tapi kebanyakan terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri. Sera berjalan di depan, sesekali melirik ke belakang untuk memastikan Evan mengikutinya.

Mereka berjalan dalam keheningan di tengah suasana bising di sekitar mereka hingga tiba-tiba seorang siswa dengan tubuh kekar dan penampilan mencolok berhenti tepat di depan mereka. Rambutnya dicat merah dan pemuda ini tidak memakai blazer diatas kemeja putihnya melainkan jaket kulit dengan beberapa pola aneh yang tersebar namun di sisi kiri jaket itu ada pin yang sama seperti yang digunakan oleh Sera.

Sera berhenti, menatap pria itu dengan ekspresi datar. “Kael,” sapanya dengan suara netral. Evan langsung merasakan adanya ketegangan di udara.

“Sera,” jawab Kael, “siapa ini?” Ia menatap Evan dari ujung kaki hingga kepala dengan tatapan penuh perhitungan.

“Evan,” Sera menjawab dengan singkat. “Siswa baru. Kelas 11-B.”

Kael mengangguk paham, “Bisa pindah sekarang berarti kasus istimewa ya? Menarik juga.” Seringai tipis muncul di wajah pemuda tegap itu.

Evan merasa sedikit terintimidasi, namun ia mencoba untuk tetap tenang. Lewat penyelidikan yang sudah ia lakukan, Evan rasanya bisa menebak siapa pria yang ada di hadapannya ini dan jujur saja ia tidak mau bersinggungan sekarang dengannya.

“Sekarang bisa minggir, sebentar lagi jam pertama, kau pasti tidak mau terlambat di hari pertama, kan?”

“Tentu saja! Aku hanya mau menyampaikan pesan dari Kairo, pertemuan hari ini sepulang sekolah, jangan sampai ketinggalan! Dia tidak mau ada yang absen di pertemuan pertama.”

“Dia mengirimmu untuk menyampaikan pesan kepadaku?”

“Tidak juga, Aku yang mengajukan diri, biar bagaimanapun dengan posisimu saat ini kau harus lebih dihormati, kan?”

Entah apa maksudnya, tetapi perkataan Kael jelas menyulut emosi Sera walau sedikit. Evan menyadari itu, meski Sera bisa dengan cepat mengendalikan dirinya.

“Sampaikan padanya aku pasti akan datang dan terima kasih sudah berkenan mengirimkan orang kepercayaannya untuk menyampaikan pesan ini.” Sera memang tersenyum saat mengatakan itu, tetapi siapapun bisa tahu itu penuh kepalsuan.

“Tentu saja!” Kael balas tersenyum, ia kemudian mengangguk pada Evan sebelum berlalu pergi.

Evan balas mengangguk, tatapannya mengikuti arah kepergian Kael. Perkiraannya benar, di punggung Kael, pada jaket kulitnya terukir simbol huruf “W”.

‘Wolves’

Evan lalu mengalihkan pandangan pada Sera yang terlihat menatap tajam ke arah Kael sebelum akhirnya mengubah raut wajahnya menjadi lebih netral, “mari kita lanjutkan!” katanya.

Evan tidak bisa mengabaikan rasa was-was yang meningkat dalam dirinya. Kael memang tidak melakukan apapun yang mengancam padanya, tetapi cara dia berbicara dan bertindak juga tatapannya yang tajam sudah cukup untuk membuat Evan yakin bahwa ia tidak bisa menganggap remeh orang ini.

.

.

.

Perjalanan menuju kelas diisi dengan keheningan sampai terdengar suara lonceng tiga kali.

“Lonceng berdentang tiga kali artinya jam pertama dimulai dan semua siswa harus sudah ada di dalam kelas, kalau satu kali tandanya pergantian jam pelajaran dan dua kali untuk menandakan waktu istirahat,” Sera menjelaskan pada Evan.

Mereka sekarang sedang berjalan di tangga menuju lantai dua. Keduanya kemudian berhenti di depan ruangan dengan plakat ’11-B’. Di dalam terlihat seorang wanita muda dengan rok selutut dan kemeja putih yang sedang berdiri di depan kelas. Sera kemudian mengetuk pintu sambil mengucapkan salam, “selamat pagi Miss Anita, saya membawa murid baru untuk kelas ini.”

“Ah.. Sera, selamat pagi! Ya, saya sudah dengar dari Sir Hendra, namanya Evan kalau tidak salah.”

“Benar, Miss. Ini Evan,” Sera menyingkir sedikit memperlihatkan Evan. Ia kemudian melirik pemuda itu, memberi kode agar Evan mengucapkan salam.

“Selamat pagi Miss Anita, saya Evan,” ujarnya kemudian sambil membungkukkan badan sedikit memberi hormat.

“Selamat pagi Evan, silakan masuk. Terima kasih ya, Sera, sudah mengantarkan Evan,”

“Tidak masalah, Miss. Memang sudah tugas saya,” Sera memberi senyum ramah pada Miss Anita, lalu kemudian menoleh untuk terakhir kalinya pada Evan, “Jam istirahat nanti kita mulai tur sekolahnya.”

Evan membalas dengan senyum manis, “Tentu, terima kasih ya, Sera!” yang dibalas anggukan singkat oleh gadis itu sebelum ia kemudian berbalik untuk pergi ke kelasnya sendiri.

Evan berdiri di depan kelas 11-B bersama Miss Anita yang berada di sampingnya dengan senyum tipis. Semua mata di dalam ruangan tertuju padanya, dan suasana mendadak terasa lebih senyap dibandingkan sebelumnya. Evan memperhatikan ada sekitar dua puluh orang siswa selain dirinya di dalam kelas itu. Semua menatapnya dengan pandangan yang berbeda-beda, ada yang penuh rasa ingin tahu ada juga yang terlihat acuh tak acuh.

"Semuanya," kata Miss Anita, suaranya lembut tapi tegas. "Hari ini kita kedatangan siswa baru. Silakan Evan, perkenalkan dirimu!"

Evan menelan ludah, mencoba mengabaikan tatapan penuh rasa ingin tahu, sinis, dan bahkan beberapa lirikan skeptis dari para siswa. Ruangan itu entah kenapa seakan penuh dengan tekanan tak terlihat, membuat udara terasa berat.

Ia mengambil napas dalam-dalam sebelum membuka mulut. "Selamat pagi, perkenalkan saya Evan." Suaranya terdengar cukup mantap, meskipun ada sedikit ketegangan. "Saya harap kita bisa bekerja sama di sini."

Seorang perempuan di meja ke dua dari sudut kanan mengangkat tangan sebelum bertanya, “Kenapa pindah?”

“Urusan keluarga,” Evan menjawab singkat, tidak ingin menjelaskan lebih jauh.

“Mana mungkin, pasti dikeluarkan dari sekolah, ya?” Suara lain terdengar dari pojok kiri kelas. Seorang laki-laki dengan rambut cepak dan wajah sinis. Yang menarik perhatian Evan adalah jaket kulit yang dipakai laki-laki itu serasi dengan milik Kael.

“Rai, tidak sopan bertanya dengan nada menuduh begitu kepada orang yang baru kamu kenal,” Miss Anita menyela sebelum Evan sempat menjawab pertanyaan pemuda itu. Pemuda itu-Rai-cengengesan mendengar teguran dari Miss Anita, “Hehe..maaf Miss, tidak bermaksud seperti itu sama sekali,” ujarnya sambil kemudian menoleh ke arah Evan dengan senyum tipis yang bagi Evan terlihat palsu.

“Yasudah, perkenalannya dilanjut nanti saja, Evan kamu bisa duduk dengan Sasha ya,” Miss Anita menunjuk ke arah perempuan yang tadi bertanya alasan kepindahan Evan.

Evan membungkuk sedikit pada Miss Anita sebelum berjalan menuju mejanya, ia disambut dengan senyum manis dari gadis bernama Sasha itu. “Halo!” Sasha mengulurkan tangan pada Evan, mengajaknya untuk berjabat tangan.

“Hai,” Evan menyambut jabatan tangan itu.

Dari tempatnya Evan dapat merasakan ada yang memperhatikan gerak geriknya. Nalurinya segera bekerja. Dia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa pemilik tatapan itu. Pikiran Evan langsung tertuju pada sosok Rai. Ia memilih mengabaikannya dan menatap fokus pada Miss Anita yang sedang menjelaskan rencana pembelajaran untuk satu semester ke depan. Namun, pikirannya penuh dengan berbagai skenario yang sudah ia susun. Semua langkah, semua strategi, harus dieksekusi dengan hati-hati. Satu langkah salah, dan semua yang ia rencanakan bisa berantakan.

_____

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Crimson League: Pakta Dendam di Puncak Kekuasaan   The Deal (2)

    Sera menyeka sudut bibirnya dengan tisu, lalu melirik ke arah jam tangan mungil di pergelangan tangan kirinya. “Sudah jam segini. Aku duluan ya. Kau juga, kalau sudah selesai cepatlah ke kelas. Jangan sampai terlambat!” ujar Sera sambil merapikan nampan sarapannya. Evan mengangguk kecil. “Oke!” balasnya. Sera berdiri, bersiap untuk pergi. Namun, sebelum itu ia menoleh kembali ke arah Evan. “Oh, satu hal lagi. Kau sudah tahu mau ikut ekstrakurikuler apa?” “Ahh... belum,” Evan berkata sedikit canggung. “Aku masih sedikit bingung ingin bergabung dengan klub mana.” Sera tersenyum maklum. “Batas pendaftarannya sampai akhir minggu ini. Sekedar saran dariku, pilih dengan baik klub yang akan kau ikuti. Bagaimanapun juga kegiatan ekstrakurikuler ini akan mempengaruhi nilai akhirmu nanti.” “Baiklah! Terima kasih untuk sarannya, Sera,” Evan membalas sambil tersenyum pada gadis itu. Sera mengangguk pelan pada Evan sebelum akhirnya beranjak pergi. Ia membawa nampan bekas sarapannya menuju

  • Crimson League: Pakta Dendam di Puncak Kekuasaan   The Deal (1)

    Kantin pagi itu sudah mulai dipenuhi siswa. Suara denting alat makan, obrolan ringan, dan tawa pelan bersatu dalam hiruk pikuk yang khas. Bau roti panggang dan kopi menguar di udara. Evan melangkah gontai memasuki kantin untuk sarapan. Malam sebelumnya cukup membuatnya kewalahan secara mental. Setelah mengisi nampannya dengan sepotong roti lapis, beberapa potong buah dan mengambil sekotak jus, ia berdiri sejenak di depan deretan meja. Pandangannya menyapu ke seluruh ruangan, mencari tempat duduk yang kosong. Saat itulah ia melihat sosok yang familiar. Pemuda itu melangkah mendekati meja tersebut. "Sera! keberatan kalau aku bergabung?" Sera yang tengah menusuk potongan buah di piringnya, menoleh ke arahnya. “Oh, Evan! Sama sekali tidak, duduk saja!” jawabnya dengan ramah disertai senyum tipis. Evan mengangguk singkat, lalu menarik kursi di depannya. Mereka duduk berhadapan. Ia mulai menikmati roti lapis miliknya dengan tenang sebelum suara Sera memecah keheningan. “Kau baik-baik

  • Crimson League: Pakta Dendam di Puncak Kekuasaan   A Chance (3)

    "Ivana..." bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.Namun, itu saja cukup untuk membuat waktu seakan berhenti bagi Evan.Mendengar nama itu, hati Evan berdegup kencang. Ia mengendurkan cengkeramannya sedikit, cukup untuk memungkinkan Rai bergerak lebih leluasa namun tetap dalam kendalinya....Kini keduanya tengah duduk di ranjang masing-masing, saling berhadapan namun sibuk dengan pikiran mereka sendiri-sendiri. Tidak ada dari mereka yang berniat memecah keheningan yang menggantung di kamar itu.Evan akhirnya berdiri, menghela napas sebelum meraih kursinya yang terjatuh akibat dorongan mendadak dari Rai tadi. Ia membetul

  • Crimson League: Pakta Dendam di Puncak Kekuasaan   A Chance (2)

    Saat Rai berbalik, ia menatap Evan dengan tatapan yang tidak dapat dijelaskan oleh pemuda itu. Ada kecurigaan di matanya namun ada hal lain juga yang tidak dapat ia mengerti.“Dari mana kau mendapatkan semua artikel ini?” Rai bertanya pada Evan. Suaranya terdengar penuh selidik, matanya tajam memperhatikan setiap gerak gerik Evan.“Internet,” Evan menjawab singkat dengan ekspresi datar.Rai mendengus mendengar jawaban Evan, jelas tidak percaya dengan jawabannya. “Hah... jangan bercanda! Semua artikel itu sudah dihapus dari internet. Tidak ada lagi yang bisa ditemukan,” ujarnya dengan nada keras.Evan mempertahankan ekspresi datarnya. “Temanku yang mengirimkannya saat aku bilang akan pindah ke akademi ini. Itu sudah lama, kurasa sebelum artikelnya dihapus,” jelasnya dengan tenang.Rai menyipitkan mata. “Dan kau menyimpan file-file nya selama ini? Omong kosong!” ucap Rai dengan nada sinis. Suaranya meninggi.“Aku hanya belum sempat membacanya saat itu. Jadi, aku mengunduhnya untuk dibaca

  • Crimson League: Pakta Dendam di Puncak Kekuasaan   A Chance (1)

    Matahari mulai tenggelam di balik gedung Akademi Crimson, mewarnai langit dengan semburat jingga dan ungu. Evan, yang baru saja menyelesaikan kelas terakhirnya hari ini, sedang dalam perjalanan menuju asrama saat ia kemudian berhenti sebentar di lapangan olahraga akademi. Ia memutuskan untuk duduk di salah satu kursi di pinggir lapangan. Terlihat beberapa siswa sedang bermain baseball. Kegiatan klub sepertinya. Namun, yang mengalihkan perhatian Evan adalah pemandangan matahari yang perlahan terbenam di sore itu dan semilir angin lembut yang menyentuh wajahnya, memberikan sedikit ketenangan pada pemuda itu.Sejak kematian Ivana pikiran dan hatinya tidak lagi menemukan kedamaian, selalu dihantui oleh kegelisahan. Setiap malam, mimpi-mimpi buruk menyergap tanpa ampun, membangunkannya dalam kegelapan dan keputusasaan. Pil tidur yang ia konsumsi, meskipun hanya memberikan ketenangan sementara, adalah satu-satunya pelarian dari badai emosi yang terus menyerbu pikirannya, mengusir sejenak ba

  • Crimson League: Pakta Dendam di Puncak Kekuasaan   Crimson Royal (4)

    Saat ini jam pelajaran terakhir. Kelas terakhir untuk hari ini adalah Kelas Seni. Evan sudah duduk dengan rapi di kelas lima belas menit sebelum jam pelajaran dimulai. Di sampingnya ada Sasha. Gadis itu sedang sibuk dengan ponselnya, ia bilang sedang mengabari Sera yang juga mengambil kelas ini. Evan merasa beruntung ada orang yang dikenalnya di kelas ini.Pemuda itu memperhatikan sekitar. Sebelumnya, ia hanya sempat melihat dari luar. Ruangan ini memiliki desain yang klasik. Lantai dan dindingnya dilapisi marmer, memberikan kesan mewah dan elegan. Tempat duduk disusun setengah melingkari ruangan itu dengan kanvas dan peralatan seni disisinya. Kemudian ada sebuah jendela besar menghadap ke arah taman akademi, membiarkan cahaya matahari masuk dan menciptakan nuansa lembut. Beberapa karya seni dipajang di dinding ruangan untuk menambah estetika.“Sera! Di sini!” suara Sasha yang duduk di sampingnya mengalihkan perhatian Evan.Gadis yang dipanggil oleh Sasha itu melangkah menuju tempat du

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status