Baik Laura maupun Mella, mereka merasa gugup saat melewati koridor lantai 3. Tidak sedikit kakak kelas menggoda mereka. Memang koridor kelas 12 ini terkenal seram. Hanya anak anak kelas 11 dan 10 yang memiliki mental baja yang dapat melewatinya. Oke itu lebay. Tapi melewati koridor itu saat sedang jam pelajaran memang menantang maut. Laura dan Mella mungkin hanya beberapa kali melewaatinya karena ruang ekskul yang memang berada di sana. Itupun saat pulang sekolah dan tidak ada orang di lorong.
Plat kelas 12 IPA 3 telah terlihat. Dengan pelan mereka melintasi pintu. Bu Ratih mengisyaratkan pada Mella dan Laura agar menyimpan buku-buku yang dibawa oleh mereka di atas meja guru. Setelah pamit pada Bu Ratih, Mella dan Laura segera keluar dari kelas tersebut dengan menundukkan kepalanya karena takut dan gugup.
Laura merasa sedang diperhatikan. Dari ujung matanya Laura mencari orang yang sekiranya memperhatikannya. Nafas Laura tertahan. Di sana. Di bangku paling belakang pojok. Ada sepasang mata elang yang sedang menatapnya dengan tajam. Tak lupa juga bibirnya yang menyunggingkan senyuman. Bulu kuduk Laura meremang. Sedetik kemudian Laura memutuskan kontak mata dan berjalan cepat.
Senyuman misterius itu lagi. Batin Laura.
***
Tak terasa sudah tiga bulan Laura dan panitia lainnya mempersiapkan prom night. Kelas 12 pun sudah melaksanakan ujian nasional minggu lalu. Hari ini adalah hari kelulusan kelas 12 dan minggu depan adalah malam prom.
"Besok kita ke mall ya, Ra." Ucap Mella dengan mulut penuh dengan makanan. Mella adalah orang paling exited untuk acara prom night ini.
"Ngapain lagi sih, Mel. Minggu kemaren kita udah ke mall. Kamu borong baju segitu banyaknya. Kamu lupa?" Dengus Laura dengan menumpukkan tangannya di meja kantin.
"Hari ini ada diskon, Ra. Ada baju yang lebih bagus dari yang kemaren."
"Prom cuma sehari, Mell. Ngapain kamu beli baju banyak? Laper mata iya." Dengus Laura. Laura heran dengan Mella yang suka membuang uang ya di mall. Susah emang temenan sama orang kaya. Batin Laura.
"Udah ah, Ra. Besok gue jemput." Laura mendengus. "Btw, om tante kapan pulang?" Tanya Mella.
Laura menghembuskan nafasnya. Jika ada yang membahas orang tua, Laura langsung merasa rindu. Namun ini adalah pilihannya untuk tetap tinggal di Jakarta dan berpisah dengan orang tuanya yang bekerja di Solo.
"Dua bulan lagi. Masih lama." Mella merasa bersalah sudah mengingatkan Laura dengan orang tuanya. Dia mengelus-elus pundak Laura. Mencoba menguatkan Laura.
"Oh iya, Mama ngajakin nginep." Ucap Mella mencoba mengalihkan perhatian Laura. "Lo nginep aja nanti." Laura mengangguk.
"Udah ah. Yuk masuk kelas." Laura menarik Mella karena bel masuk sudah berdering.
***
Setelah mengambil pakaian Laura, mereka sedang perjalanan menuju rumah Mella. Dalam perjalanan mereka membahas banyak hal. Mulai dari artis, fashion dan anak sekolah mereka. Tentu saja didominasi oleh Mella. Laura tidak terlalu berminat dengan gosip. Entahlah apa yang dapat menyatukan dua orang ini. Padahal banyak sekali perbedaan diantara mereka.
"Hai, Tan." Ucap Laura pada Asti, mama Mella setelah menyalami tangannya.
"Hai, Ra. Langsung makan ya." Asti menggiring mereka menuju meja makan. Mereka makan bertiga.
"Om sama Zella mana, Tan?" Tanya Laura basa-basi. Zella, adik Mella biasanya tak pernah melewatkan makan siang bersama.
"Si Om lagi di kantor, mana inget rumah." Dengus Asti. Laura dan Mella terkekeh pelan. "Zella masih di sekolah ikut ekskul tari." Laura menganggukkan kepalanya paham. Setelah itu mereka memakan masakan Asti dengan hikmat.
Setelah makan mereka pamit ke Asti untuk istirahat. Asti menganggukkan kepalanya. Laura dan Mella berjalan menuju kamar Mella yang ada di lantai dua.
***
"Oiya, Mell. Aku bingung deh. Kamu suka sama Kak Gavin tapi lagi deket sama Leon. Terus Leon kamu anggep apa?" Tanya Laura saat mereka sudah berdua di kamar.
Mella menatap Laura yang sedang tiduran di kasur lewat cermin meja riasnya. "Kak Gavin itu kayak Ji Chang Wook gitu, cuma bisa diliat, nggak bisa dimiliki." Ujar Mella terkekeh dengan menggosokkan kapas di wajahnya.
***
Di sinilah Laura sekarang. Di salah satu pusat perbelanjaan yang dulu dikunjunginya dengan Bagas. Mengingatnya membuat pipi Laura merona.
Laura hanya mengikuti Mella yang masih semangat melihat-lihat walaupun kedua tangannya sudah penuh dengan paper bag. Laura tidak memiliki selera untuk berbelanja. Selain karena uangnya yang pas-pasan, Laura juga tidak tertarik melihat pakaian mahal yang benar-benar menguras dompet. Laura menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Mella yang membeli tanpa pikir panjang.
"Lo nggak beli, Ra?" Tanya Mella. Laura menggeleng. "Beli gih baju buat prom." Laura masih menggeleng. "Gue yang bayarin. Kemarin pas ulang taun ke 17 gue belum kasih kado, kan?" Laura masih menggeleng.
"Udah, gue pake gaun yang gue punya aja." Tolak Laura.
Mella mendengus. "Kalo lo nggak mau pilih gue aja yang pilihin." Setelah mengatakan hal itu Mella meninggalkan Laura.
Laura hanya mendengus malas dan mendudukkan tubuhnya di sofa yang ada di butik tersebut. Setelah menjelajahi beberapa butik yang ada di mall ini, Mella dan Laura memutuskan untuk memilih baju di Reynara Boutique. Laura akui, semua pakaian yang ada di sini fresh dan sangat indah. Laura ingat cerita Mella bahwa butik ini sering mengikuti Fashion Week baik nasional maupun internasional.
"Mau beli baju, dek?" Laura dikejutkan oleh wanita anggun yang dikisarnya enam sampai tujuh tahun di atasnya.
"Ah nggak, Kak. Lagi nemenin temen." Wanita itu mengangguk.
"Aku Reya." Wanita itu mengulurkan tangannya ke depan Laura.
Laura tersenyum dan menyambut uluran tangannya. "Aku Laura, Kak." Tanpa sengaja Laura menatap tangan kiri Reya yang sedang mengelus-elus perut ratanya.
"Kakak hamil?" Tanya Laura hati-hati.
Reya tersenyum. "Iya, baru jalan tiga minggu. Doain ya."
Laura mengangguk, "Kakak ke sini sama siapa?"
Reya mengacungkan tangannya menunjuk laki-laki yang berjalan ke arah mereka. Walaupun kerepotan, lelaki itu tetap tersenyum melihat Reya. Sangat tampan. Batin Laura.
"Pasti anaknya Kakak besok kalo nggak ganteng ya cantik." Ucap Laura menatap Reya.
Reya tersenyum. Pelan-pelan Reya memberdirikan badannya begitu suaminya sudah dekat. Lelaki itu mencium pipi Reya sekilas dan merangkul pinggang Reya.
"Laura kenalin ini suami aku." Laura mengangguk. Laura yang melihat tangan kanan penuh dengan paperbag dan tangan kirinya merangkul pinggang Reya membuat Laura mengurungkan tangannya yang hendak berjabatan dengan suami Reya.
Suami Reya menatap sekilas Laura. "Ayo, Ibun." Saat mata itu berpindah ke Reya sorotnya menjadi lembut dan penuh cinta.
Reya mencubit pelan bahu suaminya. "Senyum dong." Rajuk Reya. Lelaki itu menatap Laura dan tersenyum tipis.
"Ya udah. Aku dulu ya, Ra." Pamit Reya seraya mengapit tangan suaminya. Dia tersenyum tulus menatap Reya dan pergi tanpa mengucap apapun.
Laura menatap kepergian dua orang itu dengan mata menerawang. Ada nggak ya orang yang bakal mencintai aku kayak kakak itu mencintai Kak Reya. Lamun Laura. Eh, aku belum tau nama suaminya Kak Reya.
Laura mengerutkan keningnya melihat Mella membawa setumpuk baju. Matanya melongok ke bawah kursi dimana lima paper bag milik Mella berada.
"Masih kurang?" Laura menatap Mella tak percaya.
Mella mendengus, "ini buat lo kali." Laura menggeleng.
"Nggak usah, Mell. Aku masih punya dress bagus kok."
"Udah, ini lo pilih aja. Nanti gue bayar. Itung-itung kado ulang taun."
Laura pasrah dan memilih dress yang menurutnya cocok dengannya. Toh dia juga senang mendapat dress mahal dengan percuma.
Setelah sepuluh menit, pilihan Laura jatuh pada dress salem sebetis. Aksen brokat dan pita yang ada di pinggang memberi kesan mewah dan anggun pada dress tersebut. Dress dengan bawah mengembang itu akan terlihat pas di tubuh Laura yang ramping.
"Oke, yuk pulang." Setelah membayar, Laura dan Mella menuju parkiran.
***
"Eh, Mell. Turun taman dong. Mau beli ice cream dong." Laura menatap kedai ice cream yang ada di taman dengan penuh minat.
"Kenapa nggak beli tadi." Decak Mella. "Pak, berhenti di taman ya." Pinta Mella pada Pak Tono, sopir pribadinya.
"Bentar ya, Pak." Ucap Laura sebelum keluar dari mobil.
Laura dan Mella berjalan menuju kedai ice cream. "Kamu duduk sini aja. It's my turn." Laura mendudukkan Mella di salah satu bangku taman dan membiarkan Laura mentraktirnya. Laura mendekati Mella dengan membawa ice cream vanilla untuknya dan matcha untuk Mella.
Saat Laura kembali dia sedang melihat Mella bersama seorang wanita cantik. Laura duduk di samping Mella. Berhadapan dengan wanita itu.
"Siapa, Mell?"
Mella mengambil ice creamnya. "Ini Mbak Sandra, tante gue." Laura mengangguk paham. "Dia tante tapi nggak mau dipanggil tante. Nggak ngerasa tua." Canda Mella.
Laura dan Sandra tertawa. "Yaelah, umur kamu sama aku juga cuma beda 6 tahun. Males banget dipanggil tante."
"Iye, iye." Mella memutar bola matanya malas.
"Oh ya. Kenalin aku Sandra."
Laura menerima jabat tangan Sandra dan tersenyum. "Aku Laura. Mbak Sandra tinggal di mana? Kok aku nggak pernah ketemu?"
"Aku tinggal di Bandung. Ke sini cuma mau main ke Mbak Asti."
Laura mengangguk. Sesekali dia menjilat ice creamnya. "Kamu kok betah sih temenan sama Mella?" Bisik Sandra.
"Soalnya aku sering ditraktir." Canda Laura.
"Aku denger kali." Mella memutar bola matanya malas.
Laura dan Sandra tertawa. "Eh itu, Suami aku dateng." Sandra menunjuk lelaki yang berjalan mendekati mereka.
"Eh, Mella. Ketemu di sini."
"Iya, Mas. Ini kenalin Laura, temenku."
Lelaki itu tersenyum ramah. "Aku Geri, suaminya Sandra."
Laura mengangguk. "Ini mau bareng aja apa pulang sendiri?" Tanya Geri.
"Sendiri aja, Mas. Itu ada Pak Tono." Mella menunjuk Pak Tono.
Geri mengangguk. "Udah ah. Yuk pulang." Geri menggandeng tangan Sandra.
Laura dan Mella berdiri. Mereka berjalan mendekati mobilnya. Di dalam mobil Laura dan Mella masih menceritakan kehidupan Sandra dan Geri. Mereka terlihat romantis.
"Tapi kasian, udah 2 tahun nikah tapi belum dapet anak."
Laur mengangguk maklum. "Masih 2 tahun. Ya kita doain aja."
Suara tepukan tangan terdengar meriah. Tangan Gavin mengelus surai lembut Laura yang tampak terharu. Di depan sana, di atas panggung, Davi berdiri dengan penuh percaya diri karena meraih predikat sebagai lulusan terbaik di taman kanak-kanak. Nama Gavin dipanggil untuk mendampingi Davi di atas panggung. “Kamu aja yang naik ke panggung.” Gavin menepukkan tangannya pada telapak tangan Laura yang menggenggam erat karena terlalu antusias.Laura menoleh. “Kak Gavin aja. Semuanya yang di atas ditemenin ayahnya.”“Aku mau videoin kamu di sini. Kamu aja yang naik.”Laura menatap Gavin dengan wajah terharu. “Terima kasih,” ujar Laura sebelum beranjak dari duduknya dan menghampiri Davi. Sebelum berdiri di belakang Davi, Laura mengecup puncak kepala Davi dan menggumamkan beberapa kata selamat sehingga wajah Davi terlihat lebih berseri.Gavin menatap dua sosok kesayangannya dari kursi wali murid. Dalam bayangannya, Gavin tidak pernah bermimpi berada di fase seperti ini. Jika boleh, Gavin ingin me
Di samping itu semua, Laura sangat terharu dengan interaksi antara Geo dan Gavin. pasangan ayah-anak tersebut beberapa kali melakukan interaksi, meskipun kecanggungan masih terasa di sana. Paling tidak, Laura tidak lagi melihat kebencian di mata Gavin saat menatap Sang Ayah. Laura menjadi saksi bagaimana beberapa hari ini Gavin mencoba berdamai dengan masa lalunya. Sejak perceraian Geo, hubungan suami dan ayah mertuanya itu sedikit membaik. Bahkan, Gavin juga menerima permintaan maaf Vega meskipun dirinya tidak ingin sama sekali berhubungan dengan mantan ibu tirinya itu.***Kembali lagi ke waktu dua hari setelah Laura keluar dari rumah sakit, Laura dan Gavin duduk berdua di depan rumah Laura. Geo, ayah Gavin, baru saja kembali dari rumah Laura sebab ada beberapa hal yang perlu beliau diskusikan bersama Arkan. Di sanalah Laura tahu bahwa antara Geo dan Vega sudah tidak ada lagi hubungan pernikahan karena secara resmi sudah bercerai.“Kak Gavin…” Laura menjeda ucapannya. Jujur saja, d
Punggung Laura yang tegang kini mulai mengendur. “Jangan hari ini ya, Kak?” pinta Laura pada Gavin.Gavin menganggukkan kepalanya. Tangannya masih belum berhenti untuk mengelus tengkuk Laura. “Hari ini aku cuma mau denger cerita tentang kamu dan Davi yang masih belum aku tau.”Malam itu, Laura dan Gavin habiskan untuk membahas banyak sekali hal. Bukan hanya Laura, Gavin juga menceritakan tentang kesehariannya selama dia bersekolah di luar negeri. Laura merasa sangat antusias mendengar cerita dari Gavin tentang masa kuliah karena dia tidak bisa merasakan masa itu dulu. Jika ditanyakan menyesal atau tidak, Laura tidak menyesal. Baginya, menjadi ibu yang baik untuk Davi sudah membuatnya sangat puas.***Laura dan Gavin menata barang-barangnya di rumah baru mereka. Laura sangat berterima kasih kepada Gavin saat lelaki itu mengatakan bahwa dirinya sudah menyiapkan rumah untuk ditinggalinya bertiga. Gavin juga sangat mempertimbangkan lokasinya untuk perkembangan Davi. Gavin memilih lokasi d
“Abis sarapan aku mau ngajak kamu buat nyiapin berkas buat akad, takutnya nanti Davi kecapean kalo ikut kita.” Laura hanya menganggukkan kepalanya paham saat menerima penjelasan Davi. Gavin membukakan pintu belakang mobil dan mempersilakan Laura masuk. Laura hanya diam menurut saat Gavin yang biasanya memilih untuk menyetir sendiri mobil saat bersamanya, hari ini menggunakan supir. Begitu mobil melaju, Gavin langsung merebahkan kepalanya ke arah Laura. Tubuhnya juga dia dekatkan hingga menempel penuh dengan Laura. “Kak Gavin jangan gini, ah. Malu.” Laura berbisik pada Gavin karena takut menyinggung supir Gavin. “Aku kangen banget,” ujar Gavin yang semakin menempelkan tubuh mereka. *** Laura dan Gavin sudah menyelesaikan beberapa berkas yang dibutuhkan untuk menikah pada empat hari mendatang. Tentu saja banyak uang yang harus Gavin keluarkan agar proses yang dibutuhkan lancar dan cepat. Atas permintaan Laura, akad akan dilakukan secara sederhana di rumahnya. Tidak serta merta menur
Vega berdiri dan mendekatkan dirinya pada Geo yang menatapnya dengan datar. “Mas, apapun keputusanmu, aku terima. Kalo kamu mau ceraiin aku juga aku terima, Mas. Asalkan kamu bisa maafin aku.”“Kamu bisa ngembaliin semuanya, nggak? Bisa bikin Shanti hidup dan maafin aku lagi? Bisa bikin Gavin nggak benci aku lagi? Bisa bikin semuanya balik normal lagi. Kalo kamu bisa, aku maafin kamu.”“Mas, aku nyesel, aku minta maaf.” Vega menggumamkannya berkali-kali dengan air mata yang tak hentinya mengalir dari kedua matanya.Geo menghembuskan nafasnya dengan berat. “Jelasin semuanya ke Gavin tanpa ada yang kamu tutupi. Setelah itu, saya akan ngajuin perceraian kita. Saya nggak bisa nikah sama orang jahat seperti kamu.” Geo mulai mengembalikan gaya bahasa seperti dulu dan Vega hanya bisa pasrah.***Dua hari berlalu dan Laura hari ini keluar dari rumah sakit. Dari tadi, Gavi sudah disibukkan dengan administrasi. Sebelumnya, Arkan sudah ingin mengurusnya, namun dengan tegas Gavin menolaknya. Bagi
Dunia Geo terasa runtuh pada saat membaca berkas dari rumah sakit yang menyatakan bahwa Vega tengah mengandung. Meskipun Geo tidak mengingat sama sekali apa yang terjadi di malam itu, dirinya tetap harus mempertanggung-jawabkannya. Geo menghembuskan nafasnya panjang, semua ini terasa berat baginya.Geo tidak sanggup jika harus mengatakannya pada Shanti dan Gavin. Dirinya belum siap, tidak akan siap jika kedua orang itu harus membencinya. Mata Geo memanas, hatinya sangat hancur saat dirinya membayangkan bagaimana reaksi Shanti dan Gavin.“Aku nggak masalah kalau kita harus nikah siri dan menyembunyikannya dari Shanti, Mas.”“Keluar.” Hanya satu kata itu yang bisa Geo ucapkan.“Mas, aku-”“Saya bilang keluar, Vega!” tegas Geo dengan nada tinggi. Vega akhirnya mengangguk sedih dan memilih untuk keluar dari ruangan Geo. Vega memberikan sedikit ruang pada Geo. Namun, hanya ada satu pilihan pada saat ini, yaitu Geo menikahinya.“Maafin aku, Shanti.”***“Ma, aku kemaren denger Mama nangis
Geo menghembuskan nafasnya berat. Lagi dan lagi, rasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan sahabatnya itu kembali menghantam hati Geo. Sebab dirinya, Dara dan Bagas, anak pertama Egi harus kehilangan peran ayah. “Baiklah,” ujar Geo dengan memaksakan senyumnya.“Makasih ya.” Vega memberikan senyum terbaiknya kepada Geo yang hanya dibalas anggukan singkat dari Geo.“Saya kabari Shanti dulu,” ujar Geo tanpa memberikan banyak atensi pada Vega.Geo bergerak gelisah dengan tangan memandangi layar ponselnya. Di sana, terdapat nama kontak “Soul” dan dibubuhkan emoji hati di sampingnya. Sedari tadi, kontak Shanti hanya berdering tanpa diangkat oleh empunya.Menyerah, Geo memilih untuk mengetikkan pesan pada Shanti bahwa dirinya tidak pulang untuk malam ini karena ada beberapa pekerjaan yang harus segera diselesaikannya. Untungnya, sebelum kematian Egi, Geo memang sudah sering menginap di kantor karena memang banyak pekerjaan yang hars segera diselesaikannya karena tenggat waktu yang sudah
Ciuman itu terhenti dengan Laura yang terengah-engah dan segera meraup oksigen yang ada di sekelilingnya. Berbeda dengan Laura, Gavin sama sekali terlihat biasa saja. Bahkan, tangan Gavin sekarang bergerak untuk membersihkan bibir Laura yang basah akibat saliva mereka berdua.“Faktanya emang kamu nggak nolak ciuman dari aku, Ra.”Laura menghembuskan nafasnya lelah. Berbicara dengan Gavin membuatnya tidak pernah bisa berkutik. Gavin dengan segala argumennya membuat Laura kalah. Selain itu, aura dominan yang menguar dari tubuh Gavin membuat siapa pun akan memilih diam daripada semakin kalah. “Terserah kak Gavin aja deh.”“Oh iya, Ra. Kamu kudu belajar pernafasan lagi, deh.”“Kenapa emangnya?” tanya Laura yang sedikit bingung dengan ucapan Gavin yang tiba-tiba dan sangat tak terduga itu.“Biar kita kalo ciuman bisa lebih lama.”***Vega POVAku berjalan menuju salah satu kamar di rumah sakit dengan kaki yang lemas. Setelah mendapatkan telpon dari pihak rumah sakit, serta merta hatiku dil
Tangan kiri Gavin yang sedari tadi diam dan tidak ikut mengelus rambut Laura beralih untuk mencubit pipi Laura dengan lembut. Tangan Laura terangkat untuk melindungi pipinya dari serangan Gavin. Meski begitu, Gavin masih memiliki cela untuk mencubit pipi Laura. Bahkan, sekarang Gavin beralih untuk mencubit hidung mancung Laura.“Kak Gavin, stop it,” ujar Laura dengan geli. Gavin terkekeh dan menghentikan cubitannya pada Laura.“I wanna kiss you so bad,” bisik Gavin dengan suara lirihnya. Bahkan saat ini, wajah Gavin berada tepat di atas wajah Laura. Bergerak sedikit saja, bibir Laura pasti akan menyentuh bibir milik Gavin.Wajah Laura rasanya terbakar melihat tatapan Gavin yang sangat intens padanya. Jantung Laura terasa berdebar. “Apa Kak Gavin bakal natap aku terus? Bukannya di film kalo orang ciuman bakal nutup matanya?” batin Laura menjerit. Dengan perlahan, Laura menutup matanya, mencoba untuk mengabaikan Gavin yang masih menatapnya dengan intens.Tubuh Laura semakin kaku saat me