Refan bosan di rumah, akibat Rafan pergi. Lalu memutuskan untuk bertemu ketiga temannya yang kebetulan berada di Time Zone. Hari Sabtu dan sekolah libur, selalu dimanfaatkan ketiga teman Refan untuk mencari hiburan. Refan biasanya malas ikut, sekarang bergabung dengan mereka yang kebetulan sedang bermain basket.
“Tumben tiba-tiba ingin ikut ke Time Zone,” celetuk Kevan, kembali melakukan shoot ke arah ring.
“Bosan saja.” Refan membalas singkat, terus mengamati ketiga temannya.
“Masih memikirkan apa yang disembunyikan Rafan ya?” sahut Sean
Refan mengangguk pelan.
“Tenanglah, tidak lama lagi pasti kau akan tau apa yang disembunyikan Rafan,” celetuk Vero.
“Iya,” balas Refan, dengan nada malasnya.
“Waktu itu tidak ada yang aneh kan?” sahut Sean lagi.
“Tidak, bahkan waktu itu kakak mengajakku ke hutan.”
“Masa sih?!”
Refan kesal lagi, karena Rafan masih tidak mau mengatakan apapun, mengenai masalahnya dengan mafia yang dimaksud Raskal tadi. Sedangkan Rafan, mengabaikan tatapan kesal Refan, mulai menyandarkan tubuhya di sandaran bangku dan terpejam—sesekali menghela napas pelan. Yang diinginkannya saat ini, adalah ketenangan. Sebelum hal tersebut, benar-benar terjadi.Refan semakin kesal sekaligus penasaran, memaksa Rafan untuk menjawab lagi. “Kakak!”“Apa? Jika bertanya hal itu lagi, aku belum bisa menjawabnya!” Rafan langsung membalas cepat.Refan bungkam, setelah mendengar ucapan Rafan.Tak terasa hari sudah sore, terbukti semua rekan kerja bergegas pulang. Rafan masih betah duduk di halaman belakang, sedangkan Refan memilih masuk—sudah amat kesal dengan Rafan.“Kenapa disembunyikan terus sih!” gerutu Refan kesal.Rafan melirik sekilas, meskipun masih terdengar jelas gerutu Refan terhadapnya.
Ketiga teman Refan, terlihat sedang duduk di taman komplek. Kevan mulai menceritakan keanehan Refan hingga selesai, pada Sean dan Vero.“Kau mengantar pulang, sampai depan rumahnya ‘kan?”“Iyalah, aku juga panik!” balas Kevan, lalu tersentak saat Rafan muncul di hadapannya. “Ka-kau!”Rafan mengabaikan keterkejutan Kevan. “Jadi gitu ya.” Kala menangkap keberadaan mereka, Rafan memutuskan menyembunyikan diri sembari mendengar cerita Kevan. Detik itu juga, mulai yakin dengan dugaannya.“Apa Refan panik lagi?” tanya Kevan, mulai penasaran.“Ya, terima kasih sudah mengantarnya pulang.” Rafan langsung meninggalkan mereka bertiga.Mereka bertiga hanya bengong, melihat Rafan pergi.Rafan terus melakukan parkour cepat ke rumahnya, tetapi terhenti di atap ruko. “Jadi, sudah mulai menampakkan diri ya? Di hadapan Refan,” gumam Rafan.Manik hitamnya, k
Rafan terus berlari dan melalukan parkour cepat menuju tempat tujuannya, tetapi saat sampai terlihat kosong. “Sudah selesai kah?” Rafan langsung pergi dan mencari lagi sesuatu yang mengganjal pikirannya, atau mungkin sebuah firasat buruk?Sejak berangkat ke sekolah, sudah merasakannya. Akan tetapi, selalu ditepis olehnya dan berusaha agar tidak memikirkan hal yang negatif. Namun, saat di sekolah semakin terasa dan terus mengganjal pikirannya.“Sial! Mereka benar-benar melakukannya!” Rafan mengumpat kesal, terus berlari dan melakukan parkour cepat.Di sisi lain, terlihat mobil hitam milik Rivo melintasi jalan raya, karena rapat yang diadakannya tadi—selesai cepat. Rivo memilih pulang, karena sudah tidak hal lagi yang perlu diurus. “Untung sudah selesai, pusing juga memikirkan banyak urusan penting,” gerutu Rivo, terus fokus menyetir.Saat melewati melewati tikungan tajam, tiba-tiba ada truk yang melaju kencan
Kediaman keluarga Alexander, terlihat ramai karena kedatangan beberapa rekan kerja untuk bertanya mengenai kejadian yang menimpa Rivo.“Anda baik-baik saja ‘kan?” tanya Kean, terkejut saat mendengar berita kecelakaan yang menimpa Rivo.“Hanya luka lecet saja.”“Sebenarnya, masalah apa yang terjadi?” sahut Avian.“Entahlah, karena anak sulungku belum mau menjelaskan masalahnya.”“Begitu. Mungkin saja, anakmu tidak ingin keluarganya khawatir dan berusaha untuk menyelesaikannya sendiri," tutur Avian mencoba menebak.“Ya, tetap saja diberitahu atau tidak diberitahu membuat semuanya khawatir.” Kean kembali menyahut.“Anda benar, sudah dipaksa tetap saja anakku tetap tidak mau memberitahu.” Rivo menghela napas gusar, khawatir dengan anak sulungnya yang memiliki masalah dengan mafia.“Kemarin, Rafan yang menolong?” tanya Avian lagi.
Setelah membantai pembunuh yang disewa Bram, Rafan berjalan keluar dari gang sempit itu berniat kembali ke hutan. Namun langkahnya terhenti, merasa ada seseorang yang terus mengawasinya dari jauh.Rafan mulai menyadari, saat membantai pembunuh bayaran yang disewa Bram. Ada banyak sekali pasang mata yang melirik ke arahnya. Rafan kembali mengamati sekitar, setelahnya berjalan kembali. Lagi-lagi, mendadak terhenti saat seorang laki-laki paruh baya muncul—mulai tersenyum aneh ke arahnya.“Kau menakjubkan, bisa membunuh mereka sendirian.” Orion muncul setelah melihat aksi pembantaian yang dilakukan oleh Rafan.Rafan hanya melirik datar, kemudian berjalan lagi—melewati Orion begitu saja. Orion masih tersenyum aneh, lalu memberi sinyal agar anak buahnya mengejar dan menangkap Rafan. Bahkan, salah satu anak buah Orion langsung membidiknya. Namun meleset, karena Rafan cepat sekali menghindar, kemudian melakukan parkour.Rafan mengumpat kes
Di tengah kota, Orion semakin menatap licik Rafan. Sedangkan Rafan masih terdiam tidak mengatakan apapun, terus menatap Orion.“Kenapa diam? Kau tidak khawatir dengan orang tuamu kah?”Rafan tidak bergeming, tetapi semakin menatap diam Orion, yang terus saja mengoceh bahkan menatap licik dirinya.“Atau jangan-jangan ... kau tidak bisa memikirkan cara untuk menyelamatkan orang tuamu, kah?” sahut Orion lagi, mulai menatap remeh Rafan.“Cara ya?” Rafan akhirnya berbicara lagi, dengan nada agak pelan, bahkan mulai menatap dingin Orion.“Tentu saja. Bukankah kau ingin menyelamatkan orang tuamu?” balas Orion, semakin menatap remeh Rafan.Rafan terdiam lagi, tiba-tiba tertawa. Sepertinya depresi berat yang dialami Rafan, kembali terlihat. Hal itu membuat Orion bingung.“Haha!” Rafan terus tertawa gila, tangannya mulai memegangi kepalanya.“Apa-apaan kau? Orang tuamu dia
Rafan terus-menerus terhempas keras, akibat serangan anak buah Orion. Kondisinya benar-benar parah, sebelah tangan patah, perut tertusuk, dan darahnya terus merembes. Rafan tetap diam, setelah menerima semua serangannya.“Kali ini kau akan mati!” Langsung menendang tubuh Rafan.Rafan kembali terhempas jauh dan tergeletak di jalan raya, Orion mendekatinya dan menatap remeh Rafan.“Haha! Lemah kau!” tutur Orion, melihat Rafan yang sama sekali tidak bergeming. “Mati kau!”Ssssh apa benar aku akan mati?Rafan berusaha menggerakkan tubuhnya dan berhasil, langsung menangkap kaki anak buah Orion, yang ingin menginjak kepalanya dan dengan cepat melintir paksa.“Aaarghh le—lep—” teriakan anak buah Orion, kembali terdengar karena sebelah kakinya dipelintir paksa hingga patah.Rafan berhasil bangkit, langsung memberi tendangan telak semua anak buah Orion yang
Refan hanya memejamkan mata, ketika Orion ingin membunuhnya. Namun, aneh karena mendengar teriakan Orion dan tubuhnya tidak merasakan sakit, perlahan membuka matanya dan terkejut. Tiba-tiba ada besi yang menusuk tubuh Orion, dari belakang, hingga menembus ke perutnya. Membuat besi yang di cengkeraman Orion terjatuh.Orion meringis, lalu menoleh ke belakang dan terkejut melihat pelaku yang menusuk tubuhnya.“K-kau ma—”Langsung ditarik kasar besi yang tertancap diperut, dan menendang keras tubuh Orion hingga terhempas jauh.“Se-ser—” teriak Orion saat ingin memberi sinyal kepada semua anak buahnya terhenti, sang pelaku ralat Rafan langsung menusuk tubuhnya lagi.Rafan berulang kali menusuk seluruh tubuh Orion, dengan besi yang tadinya tertancap di perutnya. “Ma-mati! Mati! Mati! Mati!” racau Rafan, terus menusuk tubuh Orion bahkan mengoyaknya. Lalu menginjak kepala Orion dengan keras berulang kali, hin