LOGINMalam itu, Fafa tengah melahap pop corn rasa keju favoritnya. Ia memang menggemari camilan yang satu itu, hingga Ia selalu menambahkan pop corn menjadi list belanja bulanan dengan kuota tidak biasa.
Grrrggg! Grrggg!
Ponsel di atas meja kayu bundar itu bergetar, Fafa memang sengaja mensetting ponsel dengan mode getar karena dia tidak terlalu suka dengan suara bising, terlebih jika dia sedang melaksanakan rutinitas wajibnya, yaitu tidur siang.
Fafa mengangkat panggilan itu, “Halo?”
“Faa.. cewek gue ngambek nih. Tanggung jawab lo gue mintaaaa!!!” terdengar suara Naga.
Fafa tertawa lepas, lalu berkata dengan santai, “Marza tau dari mana?”
“Dia bilang dari temennya yang kebetulan ngeliat elo lagi bonceng gue, arrrghhh. Mampus gue! Ini gara-gara elo!”
“Ya ampun.. cengeng amat lo... lagian cewek lo aneh-aneh aja deh kelakuannya”
“Terserah elo deh Fa. Yang penting elo mesti jelasin ke Marza kalo lo Cuma nebeng doang kemaren dan nggak ada apa-apa!.”
“Kenapa mesti gue Ga?”
Naga terdengar mendengus dan menjawab dengan geregetan, “lo udah bilanggggg kaaaann kemareeennn, mau tanggung jawabbbb apapuun yang terjadi.”
“Iya deh, gue beresin si Marza besok!”
“Beresin?”
Tut.
Fafa segera mematikan panggilan dari Naga, lalu menguap dengan lebarnya. Dengan mata yang kini tersisa 5 watt, Ia membiarkan sisa pop corn yang tinggal beberapa biji itu di meja depan televisi begitu saja, lalu segera menaiki tangga menuju kamarnya. Ia pun seolah lupa dengan isi pembicaraan teleponnya dengan Naga barusan.
❖ ❖ ❖
Melamun. Sebuah kata yang pasti tidak asing bagi semua orang. Hampir semua orang pasti pernah melakukannya, tetapi tidak dengan Ome. Entah orang menyebut ini kelainan atau bukan, seorang Ome sama sekali tidak pernah melakukan sebuah lamunan.
Ome terlalu realistis dan selalu menggunakan logika yang berlandaskan kenyataan dan tidak suka menghubung-hubungkan sesuatu dengan mimpi atau khayalan. Tetapi itu tidak berlaku ketika Ia menggunakan imajinasinya untuk memecahkan atau menghubungkan dengan kejadian fisika di saat-saat tertentu.
Lupakan permasalahan imajinasi dengan pemecahan kejadian fisika. Ini hal yang berbeda konteks, sesaat setelah mengantarkan Ocha pulang ke rumahnya, sesaat setelah Ocha turun dari jok belakang vespanya, sesaat setelah Ocha mengucapkan terima kasih padanya dan sesaat setelah Ocha melambaikan tangannya serta menyunggingkan senyum manis di bibirnya.
Ome tersenyum-senyum sendiri di dalam kamarnya dengan sesuatu yang sedang Ia pikirkan. Sesuatu yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan fisika, kimia, matematika, biologi ataupun proposal karya ilmiah maupun risetnya.
❖ ❖ ❖
Lain tempat, lain suasananya, begitulah yang tergambar di rumah sederhana milik Atha.
Malam itu, tepat pukul 21.00, Ayah Atha baru saja sampai dirumah Atha. Satu hal yang perlu diketahui, Ayah Atha sudah lama berpisah dengan ibu Atha karena menikahi wanita lain yang kini berada di tempatnya bekerja. Rupanya kesilauan harta telah membuat Ayah Atha buta dengan segalanya, hingga tega meninggalkan Atha yang saat itu masih berumur 2 tahun.
“Apaaaaa?” Atha terkejut dengan perkataan yang dilontarkan oleh Ayahnya.
Ayah Atha hanya terdiam, tidak merespon apapun, Ia justru menyulut batang rokok yang entah ke berapa yang Ia ambil dari bungkusnya itu.
“Apa maksudmu? Tega sekali! Apa Kau hanya ingin memberitahu ini sehingga Kau jauh-jauh kemari untuk menyuruh sesuatu yang Kau kehendaki sendiri?” Ibu Atha terlihat emosi, wajahnya merah padam, terlihat sesekali mengepalkan tangannya, meski tersembunyi.
“Bukan cuma itu, Aku juga ingin kembali bersamamu. Aku sudah tak punya apa-apa di sana, istriku menceraikanku.” ucap Ayah Atha tanpa rasa bersalah.
“Benar-benar Kau ini!!” hampir mengarahkan tangannya ke muka Ayah Atha, dengan segera Atha menahannya.
“Sudahlah Bu.. Sabar.” Atha berusaha menenangkan.
Ayah Atha menyeringai lebar, “Lihat Mira, anakmu saja menurut dengan perkataanku barusan! Kamu memang anak yang penurut, Atha.”
Dengan cepat Atha menepis perkataan Ayahnya, “Ayah salah besar, siapa pula anak yang akan memenuhi kemauan orang tua jika sudah kemauan itu memang tidak logis seperti yang ayah katakan barusan?”
“Kamu sudah mulai bisa membatah perkataan Ayah ya???”
Teriakan Ayah Atha menggelegar malam itu, untunglah rumah Atha tidak begitu dekat dengan rumah tetangga karena rumahnya bukan berada di kompleks perumahan yang padat penduduk.
“Selama Atha yakin ini benar, tidak akan menjadi persoalan, bukan?”
“Kurang ajar!!!” Ayah Atha semakin marah.
Ibu Atha bangkit dari tempat duduknya untuk merangkul Atha, lalu masuk ke dalam rumah meninggalkan Ayahnya di teras depan rumah, sendirian.
Beberapa menit kemudian, keduanya keluar dari dalam rumah dengan membawa koper dan tas.
“Silahkan kembali menikmati rumahmu ini, ini kuncinya. Satu hal, tidak akan pernah ada perjodohan antara Atha dengan seorang makelar judi yang Kau sebut pengusaha kaya raya itu. Selamat tinggal.”
Ibu Atha menyerahkan kunci rumah mereka, lalu sesegera mungkin pergi meninggalkan rumah penuh kenangan itu diikuti oleh Atha yang membawa sebuah koper berisi pakaian.
“Kita mau kemana, Bu?”
“Kemana saja, asal tidak bertemu dengan orang gila itu.”
❖ ❖ ❖
Malam itu tiba-tiba hujan turun dengan deras, Ayah Fafa baru saja keluar dari kantornya. Tanpa menunggu lama, Ia segera menaiki mobil dan mengendarainya dengan laju kencang, di atas rata-rata kecepatan normal.
Tampaknya, Ayah Fafa masih terbayang-bayang meeting yang baru saja di gelar bersama mitra bisnisnya. Ia masih tidak percaya bagaimana Ia dipermalukan oleh ide staf kepercayaannya yang entah sengaja atau tidak, dicuri oleh lawan bisnisnya.
“Sial! Bagaimana bisa itu terjadi?”
Brakk!
Ayah Fafa menghantamkan tangannya ke stir mobil. Wajahnya merah padam, seolah semua aliran darah menyatu di kepalanya hingga ubun-ubun. Ia benar-benar melampiaskan amarahnya kala itu, dan konsentrasinya pun buyar seketika,lalu...
Ciiiiittttt!!!!! BRAAAAKKKKKK!
Mobilnya menabrak sesuatu.
❖ ❖ ❖
Di ruang tunggu IGD sebuah rumah sakit.
“Maafkan Saya, Saya benar-benar tidak sengaja Nak...pikiran Saya sedang kacau”
Gadis itu hanya diam dan terus menangis.
Ayah Fafa berusaha meyakinkan, “Saya akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu dengan Ibu kamu.”
Grrr.grrr.
Ayah Fafa mengambil telepon genggam di sakunya, lalu berjalan menjauhi gadis itu untuk mengangkat panggilannya. Cukup lama Ayah Fafa berbicara melalui telepon genggam dengan seseorang di seberang sana.
“Ibu... Ibu...” Atha terengah-engah dalam tangisnya.
Ayah Fafa kembali duduk mendampingi gadis yang masih menangis itu. Melihat gadis itu, ayah Fafa teringat dengan Fafa yang pasti seumuran dengan gadis itu.
❖ ❖ ❖
Setelah sekitar kurang lebih satu jam, dokter yang menangani Ibu gadis itu keluar dari ruang IGD sambil melepas maskernya. Ia tak berbicara sepatah kata pun, begitu sampai di luar pintu Ia hanya tersenyum dan mengisyaratkan sesuatu.
Dokter mengangkat ibu jari tangan kanannya kemudian memberikan isyarat agar Ayah Fafa mengikutinya ke ruangan dokter jaga, tak jauh dari ruang IGD. Melihat hal tersebut, gadis itu lega, Ia mengulur nafasnya panjang.
“Syukurlah...” Atha mengusap air mata di pipinya.
Tiba-tiba dari arah berlawanan, Fafa datang dengan terburu-buru.
“Ayah??? Athaa???”
Fafa terkejut melihat Atha sedang duduk di ruang tunggu IGD.
❖ ❖ ❖
Fafa membuka pintu kamar tamu di lantai bawah rumahnya.
“Ayah gitu sih.. disuruh pake sopir nggak mau, jadi gini deh Tha, maafin ya tante.”
Ayah Fafa mengangkat koper milik Atha dan Ibunya ke dalam kamar.
“Maafkan saya Bu, Saya benar-benar tidak bermaksud menabrak Ibu”
Ibu Atha hanya mengangguk kecil sambil tersenyum, badannya terlihat masih lemah.
Fafa melihat-lihat kamar yang lumayan besar itu, lalu duduk sambil menepuk-nepuk bedcover tempat tidur yang baru saja di ganti itu.
“Maaf ya Tante, kamarnya nggak terawat gini, nanti Fafa suruh bik Nisa buat ngebersihin lagi kalo Tante mau” ujar Fafa sambil tersenyum manis.
Fafa melihat ke arah Atha, “Nanti elo bisa pindah ke kamar sebelah kamar gue Tha, tapi nunggu diberesin bik Nisa dulu ya...”
“Makasih banyak ya Fa...” Atha mulai mengeluarkan isi koper milik ibunya.
Fafa mengangkat ibu jarinya dan tersenyum manis, lalu keluar dari kamar itu sambil mendorong punggung ayahnya untuk segera keluar.
Brak!
“Em... kalian boleh tinggal disini semau kalian kok, anggap aja rumah sendiri ya...” Fafa tiba-tiba membuka pintu yang barusaja ditutupnya barusan, lalu Ia tutup kembali.
Ibu Atha tengah berbaring di tempat tidur, sementara Atha sibuk memasukkan baju-baju ibunya ke dalam lemari.
Brak!
“Kalo bisa, ngga usah balik ke rumahmu yang dulu ya Tha, temenin gue disini aja yaa?” Fafa muncul lagi dari balik pintu, lalu Ia tutup kembali.
Atha hanya menjawabnya dengan senyuman.
Mereka kembali ke Epidote dengan menggunakan Public Lazulite seperti saat mereka barangkat menuju Andalusite. Tetapi Public Lazulite kali ini sepi, tidak sepadat saat berangkat sore itu, rupanya orang-orang tua yang selalu menjadi langganan angkutan itu tak menyukai menggunakan Public Lazulite di malam hari. Mereka – para orang lanjut usia- itu mungkin saat itu sebagian besar sedang duduk di atas kursi malasnya, menonton televisi bersama cucu-cucu mereka atau bahkan sedang enak-enaknya beristirahat diatas kasur kamar tidur mereka yang empuk.Mereka bertujuh duduk di dua deretan kursi depan bagian Public Lazulite, Zinc terlihat mengantuk, Ia berkali-kali menguap.“Marca, Kau tahu sesuatu tentang figgy dan vivet de chloro?” tanya Fafa.Marca yang kala itu sibuk memakan snack kentangnya, menggeleng pelan, menandakan Ia tak mengerti apa yang Fafa tanyakan.Atha menambahkan, “Kami me
“Baiklah, sudah siap. Ada dua jenis ramuan yang akan kita buat untuk kali ini, masing-masing ramuan itu dibuat dalam lima botol. Ingat! Jangan sampai tercampur dengan bahan-bahan lainnya. Di meja yang sebelah sana, Aku, Naga dan Atha akan bekerja, dan di meja yang satunya Fafa, Ome dan Ocha mohon untuk bekerja sama dengan baik. Pembagian ini Aku lakukan untuk mengefisienkan waktu.” Nada bicara dan raut wajah Beryl berubah seketika, Ia tak lagi menampakkan wajah marahnya pada mereka berlima, justru tersenyum ramah kepada kelimanya.Enam orang itu dibagi menjadi dua tim kerja yang masing-masing melakukan project yang berbeda. Tim pertama terdiri dari Beryl, Atha dan Naga, mereka bertiga mengerjakan PHYSICAL Properties Formula, lalu team lainnya yang beranggotakan Ome, Fafa dan Ocha mengerjakan Capability of Properties Formula.Beryl memberitahu kepada mereka untuk selalu mengecek ke
Beryl menyebut ruangan itu sebagai laboratorium pribadinya, laboratorium kebangganan lebih tepatnya. Namun kali ini Naga tak sepaham dengan Beryl, Naga lebih setuju ruangan itu disebut ruangan diskotik yang dipenuhi lampu yang berwarna-warni. Bola lampu yang dipasang berukuran sedang, tetapi efeknya sangat luar biasa, membuat seluruh ruangan itu dipenuhi kombinasi warna yang menurut Beryl sangat bagus, tetapi tidak di mata yang lainnya, terutama Naga.Beryl mengatakan, Ia selalu melakukan eksperimen formula dan ramuannya di dalam ruangan ini. Ia juga mengatakan bahwa mereka berlimalah satu-satunya orang-orang yang pertama kali diijinkan masuk ke ruangan itu dengan ‘sedikit terpaksa’ karena kondisi darurat. Sebelumnya, tak ada satu pun orang yang Beryl ijinkan masuk, walaupun itu Ibunya sendiri, Chrysoberyl. Beryl menyebut itu sebagai haknya, karena Ia memiliki privasi yang tidak boleh orang lain ketahui, terlebih jika hal itu berhubungan dengan pertaruhan karirnya di Kementer
Mereka berlima sudah kembali berada di dalam ruangan kerja Beryl saat itu, rupanya Atha masih belum iklas meninggalkan museum itu dengan sejuta tanda tanya besar yang berputar-putar di atas kepalanya. Begitupun dengan yang lainnya, hingga saat Beryl menyuruh mereka berlima duduk pun, tak ada satu pun yang menuruti instruksi Beryl karena masih memikirkan apa yang mereka temukan dalam museum keluarga Beryl itu.“Duduklah...” ucap BerylBegitu mereka berlima sudah duduk di atas kelima kursi yang di sediakan oleh Beryl, Zinc dan Marca berjalan keluar dari ruangan Beryl, lalu menutup pintu ruangan Beryl dari luar.“Baiklah, kalian sudah siap?” tanya Beryl.“Untuk apa?” Mereka berlima balik bertanya pada Beryl yang sedang membereskan beberapa lembar kertas di atas mejanya.“Ah... Aku lupa! Kalian masih belum tahu rupanya? Em... mungkin nanti saja Aku jelaskan.” jelas Beryl sambil memasukkan kertas-kertas ke dalam laci mejanya.“Lepaskan dulu jubah kalian.” ujar Beryl lalu berjalan menuju rua
Museum kecil. Sungguh dua kata itu tak sesuai dengan apa yang terlihat oleh mata, bahkan Marca pun meralat perkataan yang baru saja Ia lontarkan, Ia terpesona oleh museum itu sama seperti kelima manusia dunia atas lainnya, terlihat jelas sekali Marca pun baru pertama kali mengunjungi museum itu.Museum itu sama sekali tidak kecil, memang hanya sebuah ruangan, tetapi ruangan yang sangat luas dengan hamparan karpet biru gelap yang sangat luas, disertai dengan ornamen-ornamen kristal berwarna biru dan interior yang didominasi warna biru pula.Bagian depan museum itu tergantung foto-foto dalam frame besar berwarna perak, foto-foto itu merupakan foto keluarga Beryl yang secara turun-temurun menjadi Tabib kerajaan. Satu hal lagi yang baru mereka berlima ketahui adalah selain secara turun-temurun berprofesi mejadi Tabib kerajaan, keluarga Beryl ternyata juga sekaligus menjadi menteri di Kementerian Medical Of Crystalville.Tentu saja merupakan suatu tugas dan tanggung jawab yang tidak mudah,
Mereka berlima hanya berjalan di belakang tanpa bersuara sedikitpun, sesekali terdengar suara batuk nenek tua itu dan suara snack kentang yang dikunyah Marca tanpa ampun.“Silahkan masuk!” ujar petugas itu setelah membuka pintu besar.Mereka berdelapan pun masuk ke dalam ruangan itu, nampak seorang laki-laki berkacamata bulat seperti kacamata Kakek Marca, berumur sekitar enam puluh tahun tengah duduk di kursinya sambil mencatat sesuatu. Petugas itu kembali menutup pintu dari luar dan pergi meninggalkan ruangan Beryl dengan segera.“Selamat sore Beryl, lama sekali tak berjumpa denganmu.” sapa Zinc sambil menjabat tangan Beryl.“Zinc Vesuvian, senang berjumpa denganmu lagi, silahkan duduk.” Beryl melepas kacamata bundarnya lalu berdiri menyambut Zinc dengan rombongannya. Tubuh Beryl pendek dan agak membungkuk, Ia memakai topi berbentuk kerucut berwarna biru dan kostum serba biru pula.Beryl mengamati satu per satu dari rombongan yang Zinc bawa, pandangannya tertuju pada seseorang yang







