MasukFafa, Ome, Ocha, Atha dan Naga memenuhi panggilan dan berkumpul (lagi) di ruangan BK SMA Bakti Jaya. Namun, entah karena apa Silvianita belum menampakkan tubuh gembulnya di ruangan itu.
Setelah menunggu beberapa saat, dengan tidak sabar Fafa akhirnya berinisiatif menanyakan kepada guru BK lain yang ruangannya bersebelahan dengan ruangan Silvianita.
Setelah bertanya, Fafa mendapat kepastian bahwa Silvianita sedang ada urusan mendadak dan akan kembali ke ruang BK pukul 11.00 nanti. Secepat kilat, Fafa segera memberi tahu teman-teman senasibnya, kemudian bersama-sama keluar dari ruangan BK untuk kembali ke kelas masing-masing.
“Yahhh.. payah tuh Bu Sil.” keluh Naga.
“Udah bikin kita nunggu lama pula” Ocha menambahkan.
Ome hanya mengangguk-angguk.
Atha mencoba menenangkan, “Mungkin memang ada urusan mendadak”
“Ya sudahlah.. kita kembali ke kelas dulu, kita kumpul lagi jam 11, ya?” ucap Fafa.
Namun tiba-tiba, Fafa menghadang langkah ke-empat temannya, kemudian mengamati mereka satu per satu seakan sedang mencoba memastikan sesuatu, mata mereka sama-sama merah, khas orang kurang tidur.
“Kalian juga begadangan tadi malam? Haha...” Fafa kemudian lari mendahului ke-empat temannya itu setelah bermaksud meledek teman-temannya. Hampir saja Ia terpeleset di depan kelas Ome yang lantainya agak licin.
Unfortunately, saat itu keadaan cukup ramai, beberapa kelas tengah melakukan jam olahraga. Secara otomatis mereka menertawakan Fafa yang langsung memasang wajah bodohnya, semuanya tertawa lepas terkecuali Atha yang sedikit menahan tawanya. Mungkin Ia berusaha menjaga perasaan Fafa.
“Sial!”
Fafa dengan cepat masuk ke dalam kelas sambil menundukkan wajahnya yang merah padam karena malu.
❖ ❖ ❖
Mereka berlima berkumpul lagi diruang BK, saat itu udara cukup panas ditambah dengan suasana deg-degan. Naga terlihat santai dengan gaya cool-nya meskipun agak was-was, sesekali Ia memikirkan hukuman misterius dari si pemilik senyuman aneh itu.
Sementara Fafa menghentak-hentakan sepatu kets bututnya ke lantai dengan berirama, Ome membolak-balik buku yang sebenarnya tidak ia baca, Atha memainkan ujung bajunya sementara Ocha merapikan poni lalu sesekali bolak-balik bercermin dengan cermin kecil berwarna pink yang selalu ada di saku kemeja sekolahnya.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki seseorang dari luar ruangan, tentu saja mereka berpikir itulah langkah si pemilik senyuman aneh itu. Spontan, mereka segera ‘memasang’ tampang baik dan memperbaiki posisi duduk mereka yang awalnya asal-asalan, kecuali Atha yang selalu sopan.
“Siang Bu....” sapaan mereka berlima dengan kompak dan sedikit menundukkan wajah.
Namun ternyata bukan sosok yang mereka idam-idamkan yang baru saja tiba di ruangan itu, melainkan salah satu staf tata usaha yang wajahnya cukup familiar di SMA Bakti Jaya karena beliau yang melayani pembayaran SPP seluruh siswa, Pak Rio. Ia tidak terlalu tua, umurnya baru sekitar 40 tahun 3 bulan 21 hari
“Menunggu Bu Silvianita?” tanya Pak Rio.
Mereka berlima mengangguk kompak dengan raut wajah kecewa.
Pak Rio menjelaskan, “Begini.. beliau ada urusan mendadak ke luar kota untuk hari ini, menurut pesan yang beliau sampaikan kalian bisa kembali ke sini esok hari.”
“Baik, Pak” ujar kelimanya kompak.
“Itupun jika Bu Silvianita sudah kembali dari urusan itu.” kali ini dengan nada sinis yang tak teridentifikasi.
❖ ❖ ❖
Naga menendang kaleng bekas minuman isotonik yang ada di depannya dengan kencang.
“Sial! Tau gini , gue ngga bakal nunggu sampai gue bete kaya tadi!”
Atha tersenyum, “Mungkin Beliau memang sedang ada urusan Ga, maklumi saja.”
“Atha selalu tenang ya di mana pun dia berada...” ledek Ocha.
“Ah nggak kok, Aku pulang duluan ya...” Atha kemudian menghilang dalam waktu 15 detik.
“Ga, gue nebeng elo ya? Gue males naik angkot!” pinta Fafa.
Naga diam sejenak, seperti memikirkan sesuatu.
“Tenang, kalo Marza ngambek cemburu, gue yang tanggung jawab!” jelas Fafa.
“Beneran lo yaa?”
“Iyaa ah.. bawel! Buruan gue udah kangen kamar gue!”
Naga dan Fafa melesat menuju parkiran kendaraan di sekolah, 30 detik kemudian mereka keluar dari pintu gerbang lalu menghilang dari pandangan Ocha dan Ome.
Saat itu tinggal Ocha dan Ome saja yang belum beranjak.
“Ocha nunggu jemputan?” Ome bertanya dengan tampang lugu.
Ocha mengangguk tanpa menjawab.
“Mau bareng sama Ome nggak naik vespa butut Ome?” kali ini nadanya malu-malu.
Ocha melirik ke vespa yang Ome sebut butut, tapi menurutnya sama sekali tidak ada bagian yang butut dari vespa Ome itu karena modifikasinya keren dan chic.
“Kayanya nggak deh, gue nunggu sopir gue aja”
Ome mendengus pelan, “Ya udah, Ome duluan ya?”
Ome menstarter vespanya lalu mulai bergerak menjauhi Ocha yang berdiri sendirian di depan pintu gerbang sekolah berwarna coklat yang menjulang megah itu. Jelas sekali Ia sengaja memperlambat laju vespanya. Ini trik, tentu saja.
Baru beberapa meter vespa Ome berjalan (kondisi vespa), Ocha berteriak, “Ome!! Masa elo tega ninggalin gue sendirian disini? Gue nebeng!”
Mendengar itu, Ome menghentikan laju vespanya seketika, Ia menoleh sambil tersenyum ke arah Ocha yang sedang berjalan dengan malas-malasan ke arah vespa Ome. Ia pun menunggu hingga Ocha tepat duduk di kursi belakang vespanya.
Ocha mengomel, “Kalo bukan karena sopir gue lagi di bengkel, gue males nebeng vespa lo.”
Ome hanya tersenyum kecil.
❖ ❖ ❖
Tawa membludak dari ruangan BK SMA Bakti Jaya tempat ‘tongkrongan’ Bu Silvianita.
“Saya tidak tega melihat wajah mereka yang kecewa karena ketidakhadiran Ibu. Mereka menunggu agak lama, bahkan sampai dua jam lebih, belum lagi tadi pagi mereka juga sempat menunggu Ibu di ruangan ini.” ujar Pak Rio.
Silvianita tertawa, “Biarkan saja.. haha..”
“Saya sudah membohongi mereka karena Ibu.”
“Tenang saja Pak, Saya memiliki maksud yang jelas dengan metode ini...”
Pak Rio terlihat bingung, “Metode?”
“Iya”
Silvianita melanjutkan tawanya dengan tanpa beban.
“Baiklah Bu, tapi Saya penasaran juga dengan hukuman yang tidak biasa ini? Apakah nantinya tidak menyita waktu mereka?”
“Saya menjamin itu tidak akan terjadi!” ujar Silvianita dengan yakin.
Mereka kembali ke Epidote dengan menggunakan Public Lazulite seperti saat mereka barangkat menuju Andalusite. Tetapi Public Lazulite kali ini sepi, tidak sepadat saat berangkat sore itu, rupanya orang-orang tua yang selalu menjadi langganan angkutan itu tak menyukai menggunakan Public Lazulite di malam hari. Mereka – para orang lanjut usia- itu mungkin saat itu sebagian besar sedang duduk di atas kursi malasnya, menonton televisi bersama cucu-cucu mereka atau bahkan sedang enak-enaknya beristirahat diatas kasur kamar tidur mereka yang empuk.Mereka bertujuh duduk di dua deretan kursi depan bagian Public Lazulite, Zinc terlihat mengantuk, Ia berkali-kali menguap.“Marca, Kau tahu sesuatu tentang figgy dan vivet de chloro?” tanya Fafa.Marca yang kala itu sibuk memakan snack kentangnya, menggeleng pelan, menandakan Ia tak mengerti apa yang Fafa tanyakan.Atha menambahkan, “Kami me
“Baiklah, sudah siap. Ada dua jenis ramuan yang akan kita buat untuk kali ini, masing-masing ramuan itu dibuat dalam lima botol. Ingat! Jangan sampai tercampur dengan bahan-bahan lainnya. Di meja yang sebelah sana, Aku, Naga dan Atha akan bekerja, dan di meja yang satunya Fafa, Ome dan Ocha mohon untuk bekerja sama dengan baik. Pembagian ini Aku lakukan untuk mengefisienkan waktu.” Nada bicara dan raut wajah Beryl berubah seketika, Ia tak lagi menampakkan wajah marahnya pada mereka berlima, justru tersenyum ramah kepada kelimanya.Enam orang itu dibagi menjadi dua tim kerja yang masing-masing melakukan project yang berbeda. Tim pertama terdiri dari Beryl, Atha dan Naga, mereka bertiga mengerjakan PHYSICAL Properties Formula, lalu team lainnya yang beranggotakan Ome, Fafa dan Ocha mengerjakan Capability of Properties Formula.Beryl memberitahu kepada mereka untuk selalu mengecek ke
Beryl menyebut ruangan itu sebagai laboratorium pribadinya, laboratorium kebangganan lebih tepatnya. Namun kali ini Naga tak sepaham dengan Beryl, Naga lebih setuju ruangan itu disebut ruangan diskotik yang dipenuhi lampu yang berwarna-warni. Bola lampu yang dipasang berukuran sedang, tetapi efeknya sangat luar biasa, membuat seluruh ruangan itu dipenuhi kombinasi warna yang menurut Beryl sangat bagus, tetapi tidak di mata yang lainnya, terutama Naga.Beryl mengatakan, Ia selalu melakukan eksperimen formula dan ramuannya di dalam ruangan ini. Ia juga mengatakan bahwa mereka berlimalah satu-satunya orang-orang yang pertama kali diijinkan masuk ke ruangan itu dengan ‘sedikit terpaksa’ karena kondisi darurat. Sebelumnya, tak ada satu pun orang yang Beryl ijinkan masuk, walaupun itu Ibunya sendiri, Chrysoberyl. Beryl menyebut itu sebagai haknya, karena Ia memiliki privasi yang tidak boleh orang lain ketahui, terlebih jika hal itu berhubungan dengan pertaruhan karirnya di Kementer
Mereka berlima sudah kembali berada di dalam ruangan kerja Beryl saat itu, rupanya Atha masih belum iklas meninggalkan museum itu dengan sejuta tanda tanya besar yang berputar-putar di atas kepalanya. Begitupun dengan yang lainnya, hingga saat Beryl menyuruh mereka berlima duduk pun, tak ada satu pun yang menuruti instruksi Beryl karena masih memikirkan apa yang mereka temukan dalam museum keluarga Beryl itu.“Duduklah...” ucap BerylBegitu mereka berlima sudah duduk di atas kelima kursi yang di sediakan oleh Beryl, Zinc dan Marca berjalan keluar dari ruangan Beryl, lalu menutup pintu ruangan Beryl dari luar.“Baiklah, kalian sudah siap?” tanya Beryl.“Untuk apa?” Mereka berlima balik bertanya pada Beryl yang sedang membereskan beberapa lembar kertas di atas mejanya.“Ah... Aku lupa! Kalian masih belum tahu rupanya? Em... mungkin nanti saja Aku jelaskan.” jelas Beryl sambil memasukkan kertas-kertas ke dalam laci mejanya.“Lepaskan dulu jubah kalian.” ujar Beryl lalu berjalan menuju rua
Museum kecil. Sungguh dua kata itu tak sesuai dengan apa yang terlihat oleh mata, bahkan Marca pun meralat perkataan yang baru saja Ia lontarkan, Ia terpesona oleh museum itu sama seperti kelima manusia dunia atas lainnya, terlihat jelas sekali Marca pun baru pertama kali mengunjungi museum itu.Museum itu sama sekali tidak kecil, memang hanya sebuah ruangan, tetapi ruangan yang sangat luas dengan hamparan karpet biru gelap yang sangat luas, disertai dengan ornamen-ornamen kristal berwarna biru dan interior yang didominasi warna biru pula.Bagian depan museum itu tergantung foto-foto dalam frame besar berwarna perak, foto-foto itu merupakan foto keluarga Beryl yang secara turun-temurun menjadi Tabib kerajaan. Satu hal lagi yang baru mereka berlima ketahui adalah selain secara turun-temurun berprofesi mejadi Tabib kerajaan, keluarga Beryl ternyata juga sekaligus menjadi menteri di Kementerian Medical Of Crystalville.Tentu saja merupakan suatu tugas dan tanggung jawab yang tidak mudah,
Mereka berlima hanya berjalan di belakang tanpa bersuara sedikitpun, sesekali terdengar suara batuk nenek tua itu dan suara snack kentang yang dikunyah Marca tanpa ampun.“Silahkan masuk!” ujar petugas itu setelah membuka pintu besar.Mereka berdelapan pun masuk ke dalam ruangan itu, nampak seorang laki-laki berkacamata bulat seperti kacamata Kakek Marca, berumur sekitar enam puluh tahun tengah duduk di kursinya sambil mencatat sesuatu. Petugas itu kembali menutup pintu dari luar dan pergi meninggalkan ruangan Beryl dengan segera.“Selamat sore Beryl, lama sekali tak berjumpa denganmu.” sapa Zinc sambil menjabat tangan Beryl.“Zinc Vesuvian, senang berjumpa denganmu lagi, silahkan duduk.” Beryl melepas kacamata bundarnya lalu berdiri menyambut Zinc dengan rombongannya. Tubuh Beryl pendek dan agak membungkuk, Ia memakai topi berbentuk kerucut berwarna biru dan kostum serba biru pula.Beryl mengamati satu per satu dari rombongan yang Zinc bawa, pandangannya tertuju pada seseorang yang







