Mag-log inUsai jam pelajaran, atas ide Fafa, mereka berlima sepakat untuk berkumpul di taman belakang sekolah. Taman belakang sekolah biasanya dijadikan tempat untuk menghilangkan rasa penat dengan pelajaran-pelajaran yang telah di berikan.
Selain pemandangan yang indah, juga terdapat banyak pepohonan lebat, sehingga sangat nyaman untuk berteduh dari udara yang semakin hari semakin tidak karuan panasnya. Sedikit bercerita, SMA Bakti Jaya adalah SMA non pemerintah yang mempunyai kebijikan tersendiri untuk mengatur kurikulum dan keterampilan yang harus di miliki oleh siswa-siswinya. Mata pelajarannya pun tidak umum dan general seperti SMA pada umumnya, melainkan lebih spesifik dan ditekankan pada penerapan ilmu pengetahuan terhadap lingkungan dan masyarakat.
SMA Bakti Jaya juga merupakan SMA dengan fasilitas hi-tech yang lengkap, dengan dewan pengajar yang rata-rata bergelar master, serta gedung yang megah, besar dan eksklusif dengan tingkat keamanan yang tidak perlu diragukan lagi.
Taman masih sepi saat Fafa tiba di sana. Ia memilih duduk di kursi panjang yang terbuat dari rotan yang terlihat unik dengan sesekali melihat ke sekeliling, tentu saja mencari-cari sosok Ome, Ocha, Naga dan Atha. Kursi panjang itu terlihat sudah tidak berumur muda, rotan sebagai bahan bakunya terlihat sudah tidak bagus lagi, tetapi masih nyaman untuk digunakan.
“Maaf Fafa, sudah lama?”
Atha datang dengan suara lembut dari sisi kanan Fafa, dan segera menoleh dengan cepat.
“Eh, iya.. enggak kok. Duduk sini, Tha.”
Atha segera duduk begitu mendengar instruksi dari Fafa.
“Dimana yang lain?” Fafa melirik jam tangan di pergelangan tangan kirinya, jam tangan itu baru, ia bahkan lupa mencopot tag harganya.
“Mungkin masih jalan kemari Fa. Maaf ya Aku terlambat, tadi aku ngurus teater dulu”, Atha melihat tag harga itu, tetapi ia jauh bisa menghargai orang lain.
Beberapa menit kemudian Ome, Naga dan Ocha tiba di taman belakang.
“Aku abis ketemu Pak Alam Fa, ngurusin proposal riset.” Ome mengawali.
“Barusan gue ada briefing turnamen basket bentar sama anak-anak, Fa.” Naga menyusul, lalu duduk di kursi panjang yang ada di depan tempat Fafa dan Atha duduk.
“Gue abis ada latian cheers bentar Fa tadi, sorry ya Fa.” Ocha dengan gaya bicara manja yang membuat sedikit muak.
Fafa tersenyum, karena sebenarnya Ia tidak peduli dengan alasan keterlambatan mereka, Ia bahkan tidak mementingkan hal itu.
"Gue penasaran sama hukuman dari Bu Sil!” Fafa meniup poni depan rambut pendeknya.
“Sama!” ujar Ome, Ocha, Naga dan Atha bersamaan.
“Gue udah tanya sama beberapa anak yang pernah terlambat ke sekolah dan berurusan sama Bu Sil, kalian tau jawaban mereka apa?” Fafa bertanya seperti guru yang menanyakan pada muridnya tentang level kepahaman dengan memandangi keempat wajah teman senasib di depannya.
Lagi-lagi mereka berempat menggeleng serempak.
“Mereka bilang, mereka disuruh minta tandatangan semua penghuni SMA Bakti Jaya dan membersihkan seluruh ruangan yang ada disini.” ucap Fafa.
“Kayak yang dibilang Bu Sil tadi pagi kan?” Naga memastikan.
Fafa menghela nafas. “Gue mikirin hal yang nggak-nggak selama beberapa jam ini, hukuman yang bakal Bu Sil kasih ke kita dia bilang spesial, nah.. kalo mereka yang biasa-biasa saja dapat hukuman yang luar biasa, gimana dengan kita yang punya jabatan penting di sekolah ini?”
“Iya juga yaa...” Ome merespon dengan muka culun.
“Gue punya firasat buruk, kita bakal dikeluarin dari sekolah ini.” tebak Fafa ngasal.
Atha mencoba menenangkan, “Nggak sejahat itu laahh.”
Fafa menebak lagi, “Atau kita bakal dipecat dari jabatan-jabatan kita sekarang ini!”
“Jangaaaan sampai...” Ocha terlihat tidak rela
Mereka berkumpul dengan perbincangan tak jelas hingga sore hari, saling mengutarakan prediksi tentang jenis hukuman yang kemungkinan diberikan esok hari.
Huh, lagi-lagi prediksi yang diutarakan pun masih belum bisa dipastikan, sosok misterius Silvianita yang memiliki rangkaian hukuman yang bervariasi dan hampir tidak pernah sama antara satu dengan yang lainnya itulah yang membuat mereka berlima kelimpungan.
Satu fakta tambahan tentang hukuman dari Silvianita, bahwa Ia adalah satu-satunya guru BK SMA Bakti Jaya yang mempunyai jurus jitu meninggalkan efek jera pada murid-muridnya.
❖ ❖ ❖
Fafa sampai di rumah dengan wajah kusut, hingga malam ini pun konsentrasinya terbagi antara belajar untuk ulangan kimia esok hari dan memikirkan hukuman misterius dari Silvianita.
Sebenarnya agak konyol juga jika dipikir-pikir, mengapa sampai seperti itu memikirkan sesuatu yang disebut hukuman. Mungkin bagi orang lain, itu biasa tapi tidak bagi Fafa, Ome, Atha, Naga dan Ocha. Mereka punya andil dan jabatan tertentu di sekolahnya.
*Berikut kutipan pembicaraan ala orang-orang dalam kondisi tertekan :
“Faa... ayah pulang!” Ayah Fafa menghampiri dan duduk disamping putrinya yang tengah belajar.
"Belum Yah.. Fafa ngga laper.” jawab Fafa.
Ayah Fafa tidak putus asa, kali ini sambil mengacak-acak rambut Fafa.
“Rajinnya putri Ayah yang satu ini,, belajar terus”
“Ngga mau potong deh Yah.. ini kan style favoritenya Fafa.”
Ayah Fafa menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Kamu baik-baik aja kan nak?” Ayah Fafa terlihat kawatir.
Tiba-tiba Fafa beranjak, “Ayah tau aja kalo Fafa udah ngantuk, Fafa tidur duluan yaaa.” sambil mencium kening Ayahnya, sementara Ayah Fafa masih bingung dengan percakapan yang terjadi barusan.
---
Sementara itu, Ibu Ome berjalan menuju kamar Ome.
“Dev, lagi belajar?”
Ome yang dari tadi melamun tiba-tiba terlonjak dan langsung duduk, memakai kacamatanya lalu mengambil buku sekenanya. Express sekali!
“Iya Bu... masuk aja nggak dikunci kok!”
Tanpa menunggu lama Ibu Ome langsung masuk dan melihat kondisi Ome yang ‘katanya’ sedang belajar di kamarnya yang semuanya biru, biru dan biru.
“Kamu bener-bener lagi belajar, Dev?” Ibu Ome terdengar memastikan tapi ekspresi wajah menahan tawa.
“Iya Bu.... lihat kan ini Dev lagi baca buku.”
Ibu Ome tersenyum geli lalu membalik buku yang dibaca Ome dalam posisi yang benar. Seketika itu wajah Ome langsung merah padam.
---
Di lain tempat Ocha sedang sibuk mempersiapkan dirinya untuk pergi ke birthday party salah satu temannya yang juga seorang model. Seperti biasa, Ocha dibantu para ‘dayang’nya dalam memilih baju, tas, aksesoris, sepatu dan make up serta hairstyle.
Namun kali ini, jelas sekali terlihat Ia tidak seantusias biasanya. Bahkan, nyaris tidak ada complain yang dicecarkan bibir mungil Ocha tentang kinerja para dayangnya. Berkali-kali beberapa bibinya menanyakan ketidakbiasaan itu pada Ocha, tapi Ocha tampak tidak merespon perhatian bibinya sama sekali.
“Ocha berangkat sekarang deh bii..”
Ocha segera berlari kecil keluar kamarnya. Para bibinya tampak panik disertai wajah pasrah akan konsekuensi yang akan diterima. Rupanya mereka melihat sesuatu yang janggal.
Ocha segera menyuruh sopirnya untuk bergegas menuju tempat pesta karena sepuluh menit lagi pesta itu akan dimulai. Ocha mulai cerewet menyuruh Pak Jojo -sopirnya- untuk menambah kecepatan mobil, berkali-kali Ocha melirik jam tangan elegannya dengan wajah resah.
Voila! Sampailah Ocha di sebuah rumah bernuansa klasik dengan taman bunga yang luas di halamannya. Taman itulah yang menjadi setting birthday party dengan tema garden night party digelar.
Semua orang tengah berkumpul di taman dengan tepian alas marmer nan cantik, dengan penampilan yang nyentrik ala bunga-bunga, seakan semua ingin tampil menarik malam itu.
Begitu pula dengan para tamu undangan pria yang memakai kemeja semi formal yang dipadu celana berwarna gelap panjang, terlihat menyempurnakan pesta itu.
“Jolie... sorry gue telat.” Ocha menghampiri Jolie yang sedang memperhatikan kue tart strawberry tiga tingkat dihadapannya.
“Santai honeeyy..” Jolie tersenyum
”Happy birthday ya Jol... ini, buat elo..” Ocha menyerahkan bingkisan cantik yang dibelikan bibinya.
“Thanks Cha... eh, kenapa malam ini elo keliatan lebih pendek dari gue, Cha?”
Ocha memutar otaknya, mencari-cari sesuatu yang salah, lalu melihat ke bawah, kearah kakinya daaannn...
“No!!!!” teriak Ocha histeris begitu mendapati dirinya tidak memakai high heels.
Jolie menahan tawanya, sementara yang lain tampak tanpa ragu tertawa melihat hal bodoh yang dilakukan Ocha. Ocha lari terbirit-birit sambil menenteng sandal kamarnya, keluar dari gerbang rumah Jolie.
---
Di lain tempat diwaktu yang sama, Ibu Atha sedang mencari-cari Atha, lalu mendapati Atha sedang tertidur pulas di kamarnya. Tampaknya Ia sangat kelelahan.
"Atha... dimana obat Ibu? Sudah dibeli kan?” Ibu mengelus-elus punggung Atha.
Atha terbangun kaget, “Ya ampun... Atha lupa beli Bu... Atha beli sekarang ya..”
Tanpa mendengar persetujuan Ibunya, Atha segera meraih dompetnya kemudian pergi keluar dari kamarnya.
“Yakin kamu mau keluar dalam kondisi kayak gitu?” nadanya seperti menyindir.
Atha menghentikan langkahnya segera.
“Iyaaa.. Ibuuu.. nggak usah kawatir..” Atha tertawa geli mengira Ibunya terlalu berlebihan mengkawatirkan dirinya, tidak seperti biasanya.
Dengan yakin Atha melangkah keluar kamarnya, langkahnya terhenti begitu sampai di ruang tamu sederhana yang di dindingnya tergantung kaca berukuran 100 X 80 cm, dan mendapatinya masih memakai kostum teater sekolah.
“Ibuuuuu....” Atha segera berlari menuju kamarnya dengan muka memerah.
---
Lain halnya dengan Naga. Meskipun terlihat cuek, diam-diam Naga juga turut memikirkan hukuman misterius yang masih dirahasiakan Silvianita itu.
Kak Arshan masuk ke kamar Naga, “Ga... ada temen lo tuh di bawah!”
Naga malas-malasan bangun dari tempat tidurnya, saat itu Ia tengah menjelma menjadi seorang yang berantakan plus serba acak-acakan. Kondisinya sangat jauh berbeda dengan penampilan biasanya yang keren dan enak dipandang mata.
“Siapa sih yang dateng ke rumah gue malem-malem gini..?” Naga menguap lebar dan bangun malas-malasan.
Catatan : Saat itu pukul 19.30 , sejak kapan jam malammu jadi lebih awal, Naga?
Naga melangkah menuruni tangga rumahnya sambil sesekali menguap. Ia mengenakan celana hawaii pendek warna biru dongker, kaos singlet oblong warna putih, dan sandal jepit seharga 7000 rupiah, dengan rambut yang berantakan dan wajah kusut khas orang bangun tidur.
“Siapa sih yaaaanngg...” terkejut begitu sampai di ruang tamu.
Seorang cewek manis berambut hitam panjang menoleh dan tersenyum menghampiri Naga, tentu Ia tahu betul siapa cewek yang ada di depan matanya sekarang.
“Naganya ada?”
Naga melongo mendengar pertanyaan cewek bernama Marza yang baru dipacarinya tiga bulan itu.
“Iniii Guueee!!! Naga!!!!”
Mereka kembali ke Epidote dengan menggunakan Public Lazulite seperti saat mereka barangkat menuju Andalusite. Tetapi Public Lazulite kali ini sepi, tidak sepadat saat berangkat sore itu, rupanya orang-orang tua yang selalu menjadi langganan angkutan itu tak menyukai menggunakan Public Lazulite di malam hari. Mereka – para orang lanjut usia- itu mungkin saat itu sebagian besar sedang duduk di atas kursi malasnya, menonton televisi bersama cucu-cucu mereka atau bahkan sedang enak-enaknya beristirahat diatas kasur kamar tidur mereka yang empuk.Mereka bertujuh duduk di dua deretan kursi depan bagian Public Lazulite, Zinc terlihat mengantuk, Ia berkali-kali menguap.“Marca, Kau tahu sesuatu tentang figgy dan vivet de chloro?” tanya Fafa.Marca yang kala itu sibuk memakan snack kentangnya, menggeleng pelan, menandakan Ia tak mengerti apa yang Fafa tanyakan.Atha menambahkan, “Kami me
“Baiklah, sudah siap. Ada dua jenis ramuan yang akan kita buat untuk kali ini, masing-masing ramuan itu dibuat dalam lima botol. Ingat! Jangan sampai tercampur dengan bahan-bahan lainnya. Di meja yang sebelah sana, Aku, Naga dan Atha akan bekerja, dan di meja yang satunya Fafa, Ome dan Ocha mohon untuk bekerja sama dengan baik. Pembagian ini Aku lakukan untuk mengefisienkan waktu.” Nada bicara dan raut wajah Beryl berubah seketika, Ia tak lagi menampakkan wajah marahnya pada mereka berlima, justru tersenyum ramah kepada kelimanya.Enam orang itu dibagi menjadi dua tim kerja yang masing-masing melakukan project yang berbeda. Tim pertama terdiri dari Beryl, Atha dan Naga, mereka bertiga mengerjakan PHYSICAL Properties Formula, lalu team lainnya yang beranggotakan Ome, Fafa dan Ocha mengerjakan Capability of Properties Formula.Beryl memberitahu kepada mereka untuk selalu mengecek ke
Beryl menyebut ruangan itu sebagai laboratorium pribadinya, laboratorium kebangganan lebih tepatnya. Namun kali ini Naga tak sepaham dengan Beryl, Naga lebih setuju ruangan itu disebut ruangan diskotik yang dipenuhi lampu yang berwarna-warni. Bola lampu yang dipasang berukuran sedang, tetapi efeknya sangat luar biasa, membuat seluruh ruangan itu dipenuhi kombinasi warna yang menurut Beryl sangat bagus, tetapi tidak di mata yang lainnya, terutama Naga.Beryl mengatakan, Ia selalu melakukan eksperimen formula dan ramuannya di dalam ruangan ini. Ia juga mengatakan bahwa mereka berlimalah satu-satunya orang-orang yang pertama kali diijinkan masuk ke ruangan itu dengan ‘sedikit terpaksa’ karena kondisi darurat. Sebelumnya, tak ada satu pun orang yang Beryl ijinkan masuk, walaupun itu Ibunya sendiri, Chrysoberyl. Beryl menyebut itu sebagai haknya, karena Ia memiliki privasi yang tidak boleh orang lain ketahui, terlebih jika hal itu berhubungan dengan pertaruhan karirnya di Kementer
Mereka berlima sudah kembali berada di dalam ruangan kerja Beryl saat itu, rupanya Atha masih belum iklas meninggalkan museum itu dengan sejuta tanda tanya besar yang berputar-putar di atas kepalanya. Begitupun dengan yang lainnya, hingga saat Beryl menyuruh mereka berlima duduk pun, tak ada satu pun yang menuruti instruksi Beryl karena masih memikirkan apa yang mereka temukan dalam museum keluarga Beryl itu.“Duduklah...” ucap BerylBegitu mereka berlima sudah duduk di atas kelima kursi yang di sediakan oleh Beryl, Zinc dan Marca berjalan keluar dari ruangan Beryl, lalu menutup pintu ruangan Beryl dari luar.“Baiklah, kalian sudah siap?” tanya Beryl.“Untuk apa?” Mereka berlima balik bertanya pada Beryl yang sedang membereskan beberapa lembar kertas di atas mejanya.“Ah... Aku lupa! Kalian masih belum tahu rupanya? Em... mungkin nanti saja Aku jelaskan.” jelas Beryl sambil memasukkan kertas-kertas ke dalam laci mejanya.“Lepaskan dulu jubah kalian.” ujar Beryl lalu berjalan menuju rua
Museum kecil. Sungguh dua kata itu tak sesuai dengan apa yang terlihat oleh mata, bahkan Marca pun meralat perkataan yang baru saja Ia lontarkan, Ia terpesona oleh museum itu sama seperti kelima manusia dunia atas lainnya, terlihat jelas sekali Marca pun baru pertama kali mengunjungi museum itu.Museum itu sama sekali tidak kecil, memang hanya sebuah ruangan, tetapi ruangan yang sangat luas dengan hamparan karpet biru gelap yang sangat luas, disertai dengan ornamen-ornamen kristal berwarna biru dan interior yang didominasi warna biru pula.Bagian depan museum itu tergantung foto-foto dalam frame besar berwarna perak, foto-foto itu merupakan foto keluarga Beryl yang secara turun-temurun menjadi Tabib kerajaan. Satu hal lagi yang baru mereka berlima ketahui adalah selain secara turun-temurun berprofesi mejadi Tabib kerajaan, keluarga Beryl ternyata juga sekaligus menjadi menteri di Kementerian Medical Of Crystalville.Tentu saja merupakan suatu tugas dan tanggung jawab yang tidak mudah,
Mereka berlima hanya berjalan di belakang tanpa bersuara sedikitpun, sesekali terdengar suara batuk nenek tua itu dan suara snack kentang yang dikunyah Marca tanpa ampun.“Silahkan masuk!” ujar petugas itu setelah membuka pintu besar.Mereka berdelapan pun masuk ke dalam ruangan itu, nampak seorang laki-laki berkacamata bulat seperti kacamata Kakek Marca, berumur sekitar enam puluh tahun tengah duduk di kursinya sambil mencatat sesuatu. Petugas itu kembali menutup pintu dari luar dan pergi meninggalkan ruangan Beryl dengan segera.“Selamat sore Beryl, lama sekali tak berjumpa denganmu.” sapa Zinc sambil menjabat tangan Beryl.“Zinc Vesuvian, senang berjumpa denganmu lagi, silahkan duduk.” Beryl melepas kacamata bundarnya lalu berdiri menyambut Zinc dengan rombongannya. Tubuh Beryl pendek dan agak membungkuk, Ia memakai topi berbentuk kerucut berwarna biru dan kostum serba biru pula.Beryl mengamati satu per satu dari rombongan yang Zinc bawa, pandangannya tertuju pada seseorang yang







