(Salam, Putri Bizura.
Setelah bertahun-tahun saya mencoba berkomunikasi dengan Anda … akhirnya! Dua kali percobaan saya hampir berhasil, tetapi tiba-tiba gagal. Mungkin karena Anda masih belum mengetahui indentitas diri Anda? Atau pertahanan Anda yang tentu lebih kuat dari insan volt lain?
Terlepas dari itu, perkenalkan. Saya adalah Mustaka, roh yang ditugaskan oleh Sang Penguasa Empat Dimensi, Yang Mulia Agung Kaisar Azafer, untuk menjaga dan melindungi Anda dari menjadi incaran musuh.
Seperti Dewa Kebencian, misalnya. Sungguh, Kaisar Azafer menyatakan penyesalannya, atas anugerah yang telah dengan ceroboh ia turunkan pada Giris Druiksa.
Saya selalu berada di sisi Anda. Jadi, kapanpun Anda ingin berkomunikasi dengan saya, silakan panggil saja nama saya dalam hati.
Salam, Putri.
Dan bangunlah. Ada pemuda menawan yang sedang mengagumimu dalam kehangatan di wajahnya.)
Venus tersedak napasnya sendiri dan ia tersentak keras ke belakang.
Dang!
“Aduh!”
Gadis itu meringis kaget sambil mengusap bagian belakang kepalanya.
“Hei, hei! Kau mimpi buruk?”
Venus terlonjak dan hampir saja terantuk kisi-kisi kurungan lagi. Shad menatapnya khawatir sambil mencengkeram dua jeruji erat-erat, tetapi Venus curiga ada tawa di balik anehnya air muka cowok yang sedang duduk bersila di hadapannya itu.
“Shad!” cela Venus dongkol. “Kau mau membuatku mati sebelum melihat Kota Sembada?!”
Tiba-tiba wajah Shad mengeras. Ia melepas cengkeramannya pada jeruji, dan tampak menggertakkan giginya dengan geram. “Jangan coba-coba berbicara tentang kematianmu denganku!”
Mata Venus berkedip. Rasanya mengherankan. Lagipula, itu kenyataan.
“Kenapa?”
Shad menunduk. Tangannya terkepal. Dia melakukan itu selama kira-kira satu menit penuh, dan hampir membuat Venus mengantuk lagi.
“Kau itu hebat.”
Lagi-lagi mata Venus berkedip. Ia tak tahu bagaimana harus bereaksi saat ada orang yang mengataimu hebat padahal sebentar lagi akan tamat.
“Bahkan saat pertama kali kau memutuskan untuk bergabung di meja kami,” sambung Shad, kini berangsur mengangkat kepala dan memandang Venus. Ada rona manis yang perlahan berkilau di telinganya.
Venus hanya menatap Shad. Ada yang salah dengan lidahnya. Sepertinya ada lem anti-Bicara di sana.
“Kau ingat saat aku menyebutmu luar biasa tepat setelah Pemilihan Bakat waktu itu?” tanya Shad. Venus mengangguk, semakin tidak mengerti. “Itu bukan candaan. Kau memang luar biasa. Meskipun kau sering tidak memperhatikanku, atau malah meledekku, aku tetap saja menganggapmu hebat. Aku—”
“Shad,” potong Venus seraya terkekeh canggung. “Aku benar-benar tidak mengerti. Bisakah kau meringkasnya menjadi ka—”
“Aku suka kamu.”
Bibir Venus tetap pada posisinya semula.
Ternganga.
Gadis itu mengangkat tangan seperti sedang menyetop sesuatu.
“Tunggu, kau apa?”
Shad tersenyum miring. “Aku yakin kau mendengarnya dengan sangat jelas.”
Venus tertawa perlahan. Ia tak mengerti kenapa cowok di depannya ini bisa mengatakan hal sebodoh … semanis itu.
Demi Tuhan, mereka baru kenal tak kurang dari dua hari!
“Kau serius? Kau sedang tidak—”
“Apa?” Shad menyela tenang. “Menurutmu aku hanya ingin bercanda? Di saat-saat seperti ini?”
Venus menatap Shad dengan pandangan baru. Ia percaya Shad sedang tidak bergurau atau semacamnya. Venus tak tahu kenapa bisa begitu. Ia hanya … percaya.
Angin berembus pelan, menyibakkan aroma mint segar yang baru Venus sadari dari mana asalnya. Gadis itu menatap puncak kepala Shad yang rambutnya teracak oleh angin. Entah kenapa, pernyataan cinta ini rasanya ironis sekali bagi Venus. Dan menyedihkan.
Venus meraih dan menggenggam jemari Shad dari antara jeruji yang menghalangi mereka berdua.
“Shad,” ucap Venus lirih. Ada titik kristal bening di matanya. “Kau manis sekali. Sungguh. Yah, meskipun kau itu kakak kelasku,” Venus terkekeh, kemudian terdiam. Ia menghela napas sedih. “Seandainya aku berada di dunia atau waktu lain, aku pasti akan merasa seperti itu juga padamu. Tapi, takdir hidupku bukan seperti itu. Inilah jalan yang sesungguhnya. Dan aku tidak mau memberimu harapan lebih, selain bahwa kau adalah … sudah menjadi teman yang baik bagiku.”
Shad menggenggam lebih erat tangan Venus. Ia tersenyum.
“Aku tahu,” katanya pelan. “Aku hanya ingin mengatakan itu sebelum … semuanya terlambat. Aku cuma ….”
Shad menoleh sesaat dan matanya tampak berkejap-kejap.
“Rasanya tidak adil, memberimu hukuman seperti ini,” Shad melanjutkan. Suaranya sedikit serak. “Dan aku … aku tidak bisa berbuat apa-apa. Itu bagian terburuknya. Aku seperti ….”
Venus ingin sekali memeluk Shad, tapi ia hanya mampu membelai pipi anak laki-laki itu dengan penuh kasih. Dengan susah payah ia menelan kembali tangis yang akan keluar dari tenggorokannya.
“Tidak apa-apa, Shad, tidak apa-apa,” bisik Venus menenangkan.
“Terimakasih atas ketulusanmu,” kata Venus lagi.
Gadis itu menggigit bibir, merasa tidak berdaya. Ia menarik tangannya dari Shad dan menutupi wajahnya. Napas anak perempuan itu tampak berat di setiap tarikannya.
Saat tangan Venus turun dari wajahnya, ada setetes air mata yang mengalir turun ke dagunya. Mata Shad melebar. Ia mengusap pipi Venus dengan menahan kesedihan yang sama.
“Jangan menangis,” bisik Shad terluka.
“Jahat sekali kau melakukan ini padaku,” lirih Venus tertahan.
“Maafkan aku,” bisik Shad lagi. “Maafkan aku, Ven.”
Ia masih membelai pipi Venus dengan wajah tertempel di antara jeruji. Bulir-bulir kesedihan itu kemudian meluruh, menjadi bukti kesakitan yang abstrak.
Mereka duduk di sana, bersila. Saling menunduk, mencoba menahan beban ironi masing-masing. Satu di dalam sangkar, dan yang lain di luar ketidakberdayaan.
Sungguh, tak pernah Venus merasa sebenci ini dengan takdir.
Cakrawala sudah mengguratkan sulur-sulur oranye di angkasa saat Shad dan Venus bangkit berdiri. Mereka bertatapan selama beberapa saat, sebelum akhirnya Shad mengangguk dan tersenyum.“Kau tidak pernah jahat, Ven. Ingat itu,” Shad berujar.Anak laki-laki itu membelai lagi pipi Venus dengan lembut, dan Venus menggenggamnya di sana selama yang bisa ia lakukan.Suara berdenting menarik mereka perlahan kepada kenyataan. Shad menoleh sekilas, tangannya masih menempel di pipi Venus.“Para Pengaman,” sebut Shad sambil lalu.“Sudah cukup, Nak!” seru salah satu Pengaman. “Kembali ke kelasmu! Sebentar lagi Pesawat Darurat akan tiba di sini!”“Bolehkah aku melihatnya saja?” pinta Shad.“Tidak.”Shad menghela napas. Ia menoleh pada Venus yang masih memandangnya.“Sampai jumpa, Ven. Aku tidak akan pernah melupakanmu, aku janji,” Shad bersumpah.
Pesawat berhenti setelah kira-kira dua jam kemudian. Atau setidaknya begitulah menurut Mustaka pada Venus, yang terus saja memelototi salah satu jeruji sejak ia tahu siapa Amerta yang sebenarnya.(Putri, apa informasi tadi lantas membuat Anda jadi patung?) Dengan kurang ajarnya Mustaka berkata dalam benak Venus.Venus mendengus. Tatapannya tidak pindah ke mana-mana. (Aku mati. Sialan kau, Mus! Kenapa kau tidak pergi saja dari otakku?!)(MUS?!)Venus berjengit seraya memegangi kepalanya. Suara Mustaka terdengar sangat tersinggung dan hampir meledakkan otak Venus jadi berkeping-keping.“Jangan berteriak dalam kepalaku!” geram Venus dengan suara rendah.(Maafkan saya, Putri. Namun, sebelum ini Anda juga pernah berteriak. Kepala saya sama sakitnya dengan Anda.)Leher Venus memanas. Dia tidak ingat tentang itu. (Kau sebenarnya ada di mana, sih, Mus? Dan tolong, berhenti memanggilku Putri.
Jemari anak perempuan itu berkedut. Matanya mengerjap-ngerjap lemah. Erangan tersiksa keluar dari bibirnya yang kering. Anak itu merintih saat kepala dan telinganya bekernyut nyeri.(Mus?)Venus meringis saat ia menghela tubuhnya hingga duduk tegak. Selimut kelabu tebal merosot dari dadanya. Untuk sesaat, Venus hanya memejamkan mata dan meremas kepalanya yang pening. Telinganya masih berdenging ngilu, dan Venus berharap semoga saja indranya yang satu itu nanti masih berfungsi.Venus membuka matanya dan memperhatikan sekeliling. Setelahnya, anak itu harus menghela napas, seakan-akan sudah merasa cukup dengan hidupnya dan karenanya jadi lelah.Gadis itu berada di sebuah ruangan berdinding batu. Ruangan itu hanya diterangi oleh dua buah obor yang diletakkan di kiri-kanan pintu. Perabot dan benda yang ada di sana hanyalah tempat tidur yang kini diduduki Venus, sebotol air di atas meja kusam, dan tiga buah kursi yang anehnya tampak mengilat.Ve
Engsel pintu berdentang saat seseorang membuka pintu ruangan tempat Venus berada. Venus masih duduk di atas tempat tidurnya dan menyandarkan punggung, kedua matanya terpejam. Kepala anak itu mendongak, sesekali wajahnya mengernyit kesakitan. Rasanya seperti Kesatria Jarum dan Raja Godam tengah menyerang telinga dan kepalanya secara serempak.“Halo, Anak Haram.”Venus memaksakan diri untuk membuka mata dan melihat siapa yang dengan berani menghina dirinya seperti itu.Sosok itu adalah seorang wanita berambut hitam pendek, dengan riasan tebal yang tampak menakutkan. Matanya berwarna cokelat … atau kemerah-merahan? Venus tidak yakin dengan itu. Wanita berkulit eksotis itu memakai terusan hitam dengan belahan dada sangat rendah; membuat Venus bertanya-tanya, bagaimana perasaan Mustaka saat ini.Wanita itu tiba-tiba menyeringai. Ada yang menggelitik pikiran Venus. Ia seperti pernah melihatnya di suatu tempat … di mana? Nyeri di kepala
Lelaki berjubah merah itu berdiri di ambang pintu, tangannya terkepal erat di kedua sisi tubuhnya. Surai gelap nan ikal sepanjang bahu membingkai wajahnya yang dingin. Iris matanya segelap Kegelapan, memantulkan cahaya obor yang bergoyang-goyang seperti mata iblis. Yang mengusik perhatian Venus adalah; wajah dan perawakan Amerta sama sekali jauh dari kesan bapak-bapak, melainkan lebih seperti lelaki gagah berusia dua puluhan … dengan aura yang lebih menakutkan.Udara tiba-tiba bertiup dari pintu yang terbuka. Venus mengejang. Aroma tubuh Amerta seperti darah segar, tetapi sekelebat harum mawar entah kenapa mampu mengaburkannya.Amerta menutup pintu di belakangnya, lalu melangkah mendekat. Kepalan tangan lelaki itu mengendur; tapi tidak dengan Venus. Punggung gadis itu seperti diregangkan paksa oleh sesuatu. Setitik keringat dingin menetes di dahi kanannya.Mata Venus dengan waspada mengawasi gerak-gerik Amerta, saat lelaki itu memosisikan diri di ku
Menurut Venus, ada dua kategori dewasa di dunia ini. Satu, dewasa dalam hitungan usia. Dan dua, dewasa karena keadaan yang memengaruhi psikis seseorang.Venus masih berusia lima belas tahun … dan ia memasukkan dirinya sendiri ke kategori dewasa yang kedua.Otak Venus dipaksa untuk memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak dipikirkan oleh remaja seusianya. Ia diharuskan untuk memperjuangkan hidup dan matinya. Ia dicokoli kebenaran nan menyakitkan secara terus menerus. Seakan-akan ia tidak boleh menjadi anak alay sebentar saja!Venus menghela napas, merasa seperti sedang syuting sebuah sinetron komedi yang membosankan.Sudah sembilan hari dia berada di ruang bawah tanah itu. Makan, minum, meregangkan badan, pergi ke kamar mandi, bermain Bubble Shooter dan Zombie Apocalypse di ponselnya. Sesekali meminum obat yang diberikan oleh seorang wanita tua, yang selalu datang ke ruangannya untuk mengantarkan makanan dan mengambil pakaian kotor Venus.Di
Salah satu dari kedua foto itu adalah gambar yang sama dengan foto yang Venus tinggalkan di Bumi Pertama. Ia membuka paksa kedua pigura itu untuk mengambil kertas fotonya. Venus memeluk erat-erat keduanya. Lalu, Venus teringat sesuatu yang pernah dikatakan Amerta padanya. Venus menggigit bibir seraya menatap Ildara yang masih tampak heran. “A-Apa ….” Venus berdeham-deham gugup. Ia mengangkat kedua foto itu agar Ildara dapat melihatnya dengan jelas. “Kau mengenalnya?” Salah satu alis Ildara terangkat. Ia bersedekap. “Siapa di Negeri Dasina ini yang tak kenal Langit Prahara? Dia musuh besar Amerta, sekaligus momok menakutkan nomor dua di negeri ini. Mereka sama-sama terobsesi dengan ide menguasai Bumi Kedua.” Kedua tangan Venus terjatuh lemas ke samping tubuhnya. “Tidak,” gumam Venus; pikirannya mendadak kosong. “Dia … dia tidak seperti itu.” “Oh, ya?” dengus Ildara. Ia mulai membongkar isi koper yang sisanya hanya berisi pakaian dan beberapa kalung berliontin batu hitam. “Dengar
Suatu ketika di Bumi Pertama, Venus pernah menyayat jarinya secara tak sengaja. Rasanya begitu perih waktu itu. Lukanya tak begitu dalam, tapi kata orang: semakin dalam, semakin kebas rasa sakitnya di awal. Rasa sakit itu baru akan muncul berkali-kali lipat berjam-jam kemudian. Jadi, saat itu Venus cukup beruntung; lukanya tidak dalam, dan karenanya sakit yang ia rasakan hanya berada di permulaan saja.Namun, hari ini berbeda. Luka sayatan pisau berbeda dengan luka dalam akibat takdir yang menyembilu hatinya.Di permulaaan, rasanya begitu sakit. Begitu tak tertahankan. Begitu … menyedihkan.Setelah beberapa saat, rasa sakit itu perlahan meluruh. Ia tidak menghilang; tapi ia bersembunyi di sudut hati Venus yang tergelap. Menunggu saat yang tepat untuk kembali mengemuka.Yang tersisa hanyalah kehampaan.Saat Amerta berkata, “Sudah waktunya,” Venus hanya diam. Kegelapan di sudut hatinya menyebar sedikit demi sedikit. Ia tak menunjuk