Cakrawala sudah mengguratkan sulur-sulur oranye di angkasa saat Shad dan Venus bangkit berdiri. Mereka bertatapan selama beberapa saat, sebelum akhirnya Shad mengangguk dan tersenyum.
“Kau tidak pernah jahat, Ven. Ingat itu,” Shad berujar.
Anak laki-laki itu membelai lagi pipi Venus dengan lembut, dan Venus menggenggamnya di sana selama yang bisa ia lakukan.
Suara berdenting menarik mereka perlahan kepada kenyataan. Shad menoleh sekilas, tangannya masih menempel di pipi Venus.
“Para Pengaman,” sebut Shad sambil lalu.
“Sudah cukup, Nak!” seru salah satu Pengaman. “Kembali ke kelasmu! Sebentar lagi Pesawat Darurat akan tiba di sini!”
“Bolehkah aku melihatnya saja?” pinta Shad.
“Tidak.”
Shad menghela napas. Ia menoleh pada Venus yang masih memandangnya.
“Sampai jumpa, Ven. Aku tidak akan pernah melupakanmu, aku janji,” Shad bersumpah.
Satu belaian terakhir, dan Shad menjauhkan tangannya dari Venus. Ia tiba-tiba berlari, tidak berhenti hingga ia tiba di dalam lift.
Bahkan, Venus memperhatikan, anak itu tidak membalikkan badan dan menatap Venus lagi.
Lebih baik seperti itu, Venus membatin sambil bersandar ke penjaranya. Lebih baik seperti itu.
Suara dengung di kejauhan memaksa Venus untuk berbalik. Ia menatap siluet sebuah pesawat yang meluncur hingga berhenti dan tetap mengudara di atas kepala Venus. Angin yang dihasilkan baling-baling pesawat tersebut mengacaukan rambut Venus.
Sedetik kemudian, perut benda berwarna biru muda itu terbuka. Sebuah tali berkait raksasa turun dari sana dengan perlahan. Empat orang Pengaman—jelas sekali ber-Bakat Udara—melayang naik dan berhenti di masing-masing sudut atas penjara Venus, kemudian menunggu.
Begitu tali berkait dari atas berhenti, keempat Pengaman itu segera menuntaskan pekerjaan mereka.
Jantung Venus berdetak gugup. Inilah saatnya, ia berpikir. Anak perempuan itu menoleh sekali lagi pada lift, entah bagaimana berharap Shad masih berada di sana.
Shad yang malang.
“SELESAI!”
Venus tersentak kaget. Salah satu Pengaman yang tidak ikut memasangkan pengait ke kurungan berteriak sambil menyentuh benda di telinganya.
Tiba-tiba kurungan itu bergoncang. Venus mundur dan menghempaskan tubuhnya di satu sisi. Tangannya mencengkeram kisi-kisi di belakangnya. Ia sudah merasa akrab dengan degup jantungnya sekarang, dan hanya menatap perut besi terbang yang sebentar lagi akan melahapnya.
Venus memejamkan mata. Paling tidak ia ingin mengenang lagi saat-saat menyedihkannya dengan Shad ta—
Itu dia!
Napas Venus tiba-tiba memburu. Pernyataan Shad yang tiba-tiba membuat Venus lupa dengan mimpinya. Namun, sekarang ia sudah mengingatnya lagi. Meskipun Bakat-nya dipenjara, siapa tahu dia bisa membantu! Bukankah dia bilang dia adalah pelindung Venus?
Saat kurungan bagai sangkar itu berkelotak dan perut pesawat kembali menutup, Venus sudah tidak memedulikan apakah itu bahkan masuk akal. Sepanjang yang anak itu tahu, mimpi-mimpi aneh seperti itu sama nyatanya dengan dua orang yang sedang melakukan panggilan video bersama.
Pesawat terasa bergerak maju dan Venus agak terhuyung kaget, tetapi lantas ia memanggil sebuah nama dalam hatinya.
(Mustaka?)
Hening.
Venus mencoba lagi. (Mustaka? Apakah mimpi itu nyata?)
Venus menggertakkan gigi. Ia menatap sekelilingnya dengan frustrasi. Hanya ada dinding pesawat hitam dan ruangannya yang tertutup.
Bagaimana mungkin ia bisa kabur?!
(MUSTAKA!) Venus berteriak dalam hatinya.
(Anda memanggil saya, Putri?)
Venus terlonjak sendiri. Matanya jelalatan, mencoba menangkap siluet apapun yang mengindikasikan kehadiran fisik suara itu.
“Kau … benar-benar ada? Mustaka?”
(Tentu saja, Putri. Dan kalau saya boleh menyarankan, sebaiknya Anda tidak perlu menyuarakan kata-kata Anda. Kita tidak butuh orang lain untuk menguping.)
Venus tertawa. Kegilaan atau bukan, suara Mustaka yang mengaku sebagai roh ini membuatnya punya sedikit lagi harapan.
“Tak ada orang lain di sini, Mustaka,” kata Venus geli, sepenuhnya sadar ia pasti terlihat seperti orang gila yang sedang berbicara dengan dinding baja.
(Oh, Anda tidak tahu saja, Putri. Berhati-hatilah,) suara itu mewanti-wanti. (Kamera dan banyak mata tak terlihat sedang mengawasi Anda saat ini.)
Venus terdiam. Secara spontan ia menatap sudut-sudut ruangannya. Tak ada apapun, tapi saran Mustaka patut dipertimbangkan.
(Baiklah, kalau kau berkata begitu,) batin Venus berujar. (Tapi setidaknya, bisakah aku melihatmu? Aneh rasanya berbicara pada otakku sendiri.)
Kekehan geli memenuhi kepala Venus.
(Anda harus jadi seorang roh kalau ingin melihat saya, Putri. Caranya? Tentu saja, harus mati terlebih dahulu.)
Venus bergidik sebentar. Ia lantas duduk dan bersandar, kemudian memejamkan mata. Percakapan serupa telepati ini lebih mudah Venus lakukan sambil berkonsentrasi.
(Apakah selalu semudah itu?) Venus berkelakar. (Menjadi roh, maksudku.)
Suara tawa dalam kepala lagi. (Tidak, tentu saja. Ada proposal rumit … tapi, bukan itu inti dari Anda memanggil saya. Anda butuh bantuan?)
Mata Venus terbuka tiba-tiba.
(Apa aku butuh bantuan, katamu?!) batinnya marah. (Bukankah seharusnya kau melihatku? Melihat apa yang akan dunia lakukan terhadapku? Inikah yang dimaksud dengan penjagaan? Menjaga jiwa saja, maksudmu? Aku akan mati, demi Tuhan!)
(Maafkan saya, Putri. Ini adalah bagian dari rencana penyelamatan Anda. Anda akan selamat, tenang saja.)
Venus mendengus. (Apakah aku seharusnya berterimakasih padamu? Karena aku tidak diberitahu tentang ini, jadi aku harusnya tersenyum bahagia saja, begitu? Mengesankan.)
(Maaf sekali lagi, Putri,) dengkur batin Mustaka. (Saya hanya mematuhi perintah Kaisar Azafer.)
dia memerintahkanmu untuk tutup mulut padahal kau tahu aku akan … memanggang kedua krona itu?!)
(Ya, Putri.)
(Sialan kau, Mustaka. Kenapa, sih, kau harus memanggilku Putri?! Dan siapa pula Kaisar Azafer-mu itu? Kalau sampai aku mendapat moyang gila satu kali lagi, aku lebih baik mati saja!)
Merasa kesal, anak itu hanya bisa memelototi dinding-dinding pesawat di sekitarnya. Dengung pelan benda itu bahkan tidak mengusiknya sama sekali.
(Tenang,) Mustaka membatin. (Kaisar memerintahkan saya untuk memanggil Anda demikian, sebab Anda memang Putri Bizura. Dan Kaisar Azafer, Putri, adalah penguasa seluruh dimensi Bumi. Dia adalah pencipta dimensi-dimensi itu. Dan bukan, dia bukan moyang Anda. Dia lebih seperti … pencipta kekuatan yang para volt sebut sebagai Bakat.)
Venus menunduk dan mendelik pada kuku-kukunya. (Apa Bumi Kedua menganggap si kaisar ini sebagai Tuhan?)
(Tuhan? Tentu saja tidak!) Venus membayangkan kepala tembus pandang Mustaka sedang menggeleng-geleng tak setuju. Roh itu malah hampir kedengaran ngeri saat mendengar wacana tentang Azafer adalah Tuhan. (Dia cuma pencipta dimensi dan Bakat, bukan pencipta Bumi beserta penghuninya. Yah, meskipun … intinya, Putri, Kaisar Azafer bukan Tuhan. Anggap saja dewa.)
(Begitu.)
Venus memikirkan satu hal lagi. Atau mungkin dua. Ah, kemungkinan tiga.
(Kenapa mereka menyebutku benih Voltura? Lalu … kenapa Kaisar Azafer mau repot-repot mengirimmu sebagai pelindungku? Aku tentu bukan putri sungguhan. Lagipula, dia itu manusia atau bukan, sih?)
Venus tengadah dan menatap sebercak noda di langit-langit pesawat. Pandangannya tiba-tiba menjadi tidak fokus saat mendengar suara batin Mustaka.
(Pertanyaan kedua, jawabannya adalah; saya tidak tahu. Pertanyaan ketiga, jawabannya adalah; saya tidak tahu.)
(Dan pertanyaan pertama, jawabannya kau juga tidak tahu?!) Venus menyela dalam hati sambil mendengus.
(Oh, Putri, tentu saja saya tahu! Jawaban dari pertanyaan pertama adalah; Anda dipanggil demikian karena Anda anak Amerta!)
Venus duduk tegak. (Apa maksudmu? Apa hubungannya dengan itu?)
(Hubungannya, Putri Bizura, adalah bahwa Amerta adalah pemimpin organisasi itu. Amerta cucu Giris Druiksa, Anda ingat?)
Bodohnya Venus.
Siapapun, tolong. Ubah kisah hidupku menjadi senormal mungkin.
Pesawat berhenti setelah kira-kira dua jam kemudian. Atau setidaknya begitulah menurut Mustaka pada Venus, yang terus saja memelototi salah satu jeruji sejak ia tahu siapa Amerta yang sebenarnya.(Putri, apa informasi tadi lantas membuat Anda jadi patung?) Dengan kurang ajarnya Mustaka berkata dalam benak Venus.Venus mendengus. Tatapannya tidak pindah ke mana-mana. (Aku mati. Sialan kau, Mus! Kenapa kau tidak pergi saja dari otakku?!)(MUS?!)Venus berjengit seraya memegangi kepalanya. Suara Mustaka terdengar sangat tersinggung dan hampir meledakkan otak Venus jadi berkeping-keping.“Jangan berteriak dalam kepalaku!” geram Venus dengan suara rendah.(Maafkan saya, Putri. Namun, sebelum ini Anda juga pernah berteriak. Kepala saya sama sakitnya dengan Anda.)Leher Venus memanas. Dia tidak ingat tentang itu. (Kau sebenarnya ada di mana, sih, Mus? Dan tolong, berhenti memanggilku Putri.
Jemari anak perempuan itu berkedut. Matanya mengerjap-ngerjap lemah. Erangan tersiksa keluar dari bibirnya yang kering. Anak itu merintih saat kepala dan telinganya bekernyut nyeri.(Mus?)Venus meringis saat ia menghela tubuhnya hingga duduk tegak. Selimut kelabu tebal merosot dari dadanya. Untuk sesaat, Venus hanya memejamkan mata dan meremas kepalanya yang pening. Telinganya masih berdenging ngilu, dan Venus berharap semoga saja indranya yang satu itu nanti masih berfungsi.Venus membuka matanya dan memperhatikan sekeliling. Setelahnya, anak itu harus menghela napas, seakan-akan sudah merasa cukup dengan hidupnya dan karenanya jadi lelah.Gadis itu berada di sebuah ruangan berdinding batu. Ruangan itu hanya diterangi oleh dua buah obor yang diletakkan di kiri-kanan pintu. Perabot dan benda yang ada di sana hanyalah tempat tidur yang kini diduduki Venus, sebotol air di atas meja kusam, dan tiga buah kursi yang anehnya tampak mengilat.Ve
Engsel pintu berdentang saat seseorang membuka pintu ruangan tempat Venus berada. Venus masih duduk di atas tempat tidurnya dan menyandarkan punggung, kedua matanya terpejam. Kepala anak itu mendongak, sesekali wajahnya mengernyit kesakitan. Rasanya seperti Kesatria Jarum dan Raja Godam tengah menyerang telinga dan kepalanya secara serempak.“Halo, Anak Haram.”Venus memaksakan diri untuk membuka mata dan melihat siapa yang dengan berani menghina dirinya seperti itu.Sosok itu adalah seorang wanita berambut hitam pendek, dengan riasan tebal yang tampak menakutkan. Matanya berwarna cokelat … atau kemerah-merahan? Venus tidak yakin dengan itu. Wanita berkulit eksotis itu memakai terusan hitam dengan belahan dada sangat rendah; membuat Venus bertanya-tanya, bagaimana perasaan Mustaka saat ini.Wanita itu tiba-tiba menyeringai. Ada yang menggelitik pikiran Venus. Ia seperti pernah melihatnya di suatu tempat … di mana? Nyeri di kepala
Lelaki berjubah merah itu berdiri di ambang pintu, tangannya terkepal erat di kedua sisi tubuhnya. Surai gelap nan ikal sepanjang bahu membingkai wajahnya yang dingin. Iris matanya segelap Kegelapan, memantulkan cahaya obor yang bergoyang-goyang seperti mata iblis. Yang mengusik perhatian Venus adalah; wajah dan perawakan Amerta sama sekali jauh dari kesan bapak-bapak, melainkan lebih seperti lelaki gagah berusia dua puluhan … dengan aura yang lebih menakutkan.Udara tiba-tiba bertiup dari pintu yang terbuka. Venus mengejang. Aroma tubuh Amerta seperti darah segar, tetapi sekelebat harum mawar entah kenapa mampu mengaburkannya.Amerta menutup pintu di belakangnya, lalu melangkah mendekat. Kepalan tangan lelaki itu mengendur; tapi tidak dengan Venus. Punggung gadis itu seperti diregangkan paksa oleh sesuatu. Setitik keringat dingin menetes di dahi kanannya.Mata Venus dengan waspada mengawasi gerak-gerik Amerta, saat lelaki itu memosisikan diri di ku
Menurut Venus, ada dua kategori dewasa di dunia ini. Satu, dewasa dalam hitungan usia. Dan dua, dewasa karena keadaan yang memengaruhi psikis seseorang.Venus masih berusia lima belas tahun … dan ia memasukkan dirinya sendiri ke kategori dewasa yang kedua.Otak Venus dipaksa untuk memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak dipikirkan oleh remaja seusianya. Ia diharuskan untuk memperjuangkan hidup dan matinya. Ia dicokoli kebenaran nan menyakitkan secara terus menerus. Seakan-akan ia tidak boleh menjadi anak alay sebentar saja!Venus menghela napas, merasa seperti sedang syuting sebuah sinetron komedi yang membosankan.Sudah sembilan hari dia berada di ruang bawah tanah itu. Makan, minum, meregangkan badan, pergi ke kamar mandi, bermain Bubble Shooter dan Zombie Apocalypse di ponselnya. Sesekali meminum obat yang diberikan oleh seorang wanita tua, yang selalu datang ke ruangannya untuk mengantarkan makanan dan mengambil pakaian kotor Venus.Di
Salah satu dari kedua foto itu adalah gambar yang sama dengan foto yang Venus tinggalkan di Bumi Pertama. Ia membuka paksa kedua pigura itu untuk mengambil kertas fotonya. Venus memeluk erat-erat keduanya. Lalu, Venus teringat sesuatu yang pernah dikatakan Amerta padanya. Venus menggigit bibir seraya menatap Ildara yang masih tampak heran. “A-Apa ….” Venus berdeham-deham gugup. Ia mengangkat kedua foto itu agar Ildara dapat melihatnya dengan jelas. “Kau mengenalnya?” Salah satu alis Ildara terangkat. Ia bersedekap. “Siapa di Negeri Dasina ini yang tak kenal Langit Prahara? Dia musuh besar Amerta, sekaligus momok menakutkan nomor dua di negeri ini. Mereka sama-sama terobsesi dengan ide menguasai Bumi Kedua.” Kedua tangan Venus terjatuh lemas ke samping tubuhnya. “Tidak,” gumam Venus; pikirannya mendadak kosong. “Dia … dia tidak seperti itu.” “Oh, ya?” dengus Ildara. Ia mulai membongkar isi koper yang sisanya hanya berisi pakaian dan beberapa kalung berliontin batu hitam. “Dengar
Suatu ketika di Bumi Pertama, Venus pernah menyayat jarinya secara tak sengaja. Rasanya begitu perih waktu itu. Lukanya tak begitu dalam, tapi kata orang: semakin dalam, semakin kebas rasa sakitnya di awal. Rasa sakit itu baru akan muncul berkali-kali lipat berjam-jam kemudian. Jadi, saat itu Venus cukup beruntung; lukanya tidak dalam, dan karenanya sakit yang ia rasakan hanya berada di permulaan saja.Namun, hari ini berbeda. Luka sayatan pisau berbeda dengan luka dalam akibat takdir yang menyembilu hatinya.Di permulaaan, rasanya begitu sakit. Begitu tak tertahankan. Begitu … menyedihkan.Setelah beberapa saat, rasa sakit itu perlahan meluruh. Ia tidak menghilang; tapi ia bersembunyi di sudut hati Venus yang tergelap. Menunggu saat yang tepat untuk kembali mengemuka.Yang tersisa hanyalah kehampaan.Saat Amerta berkata, “Sudah waktunya,” Venus hanya diam. Kegelapan di sudut hatinya menyebar sedikit demi sedikit. Ia tak menunjuk
“Kenapa Illdara tidak ikut kemari?”“Aku hanya butuh membunuhmu, Venus, dengan cepat. Aku tak butuh penonton.”Venus masih memandang sekelilingnya. Mereka berdiri di puncak gunung yang datar. Di samping mereka merekahlah sebuah kawah beku nan bersalju.Uap keluar dari sela-sela lubang hidung dan bibir Venus saat ia mengembuskan napasnya. Tubuhnya menggigil dan telinganya berdenging lagi; sebagian karena dingin, sebagian lagi akibat Nyanyian Kenya dulu yang kembali terasa nyeri.Venus meraih Bakat Api sesedikit mungkin, lalu menyebarkan hawa hangat ke dalam tubuhnya sendiri. Rasanya lebih baik.Amerta dan Venus berdiri berjauhan dengan jarak hampir delapan meter satu sama lain. Meski begitu, Venus dapat melihat dengan jelas kebencian tiba-tiba yang muncul di sorot mata Amerta.“Kenapa?” Venus berkata sarkatis. “Baru berani menunjukkan perasaan aslimu padaku? Itukah yang sebenarnya kau rasakan? Kebenci