Share

Sumpah

Dunia Venus membeku.

Bisakah ia tetap melawan?

Mimpinya dengan Giris bukanlah sekadar mimpi. Dan Venus merasa benci karenanya.

Telinga Venus berdenging, dan ada sulur-sulur kehampaan nan dingin di sekujur tubuhnya yang terasa menyesakkan. Ia hanya mampu menatap Lou yang entah kenapa bisa berubah menjadi lembut.

Sejak kapan Lou jadi baik dan simpatik begitu?

Lagipula, aku sedang berpikir tentang apa?

“Venus?” Tangan Lou melambai-lambai di depan wajah Venus. Venus berkedip.

“Aku tidak apa-apa,” ia berkata dengan tenang, lantas tersenyum dan menyesuaikan duduknya.

Lou dan yang lain memandang sosok pasien di atas ranjang rumah sakit itu dengan khawatir.

“Beritahu aku detailnya. Tentang … moyangku itu.”

Sepi.

Bip-bip-bip.

“Apa suaraku terlalu rendah?”

Bip-bip-bip.

“Venus …” Shad memulai, ragu.

“Bilang saja!” Venus membentak.

Lou menghela napas dan bertumpu pada tepi ranjang Venus, kemudian menatap calon pesakitan di depannya. “Suara itu berbisik, tapi para penjaga Beranda Hitam mendengarnya dengan sangat jelas. Kamera pengawas bahkan merekamnya, dan para penjaga di sana langsung mengirimkan file itu ke seluruh jaringan sekolah. Suara itu berkata,

Venus Prahara Adiwangsa, atau kalian lebih suka aku menyebutnya Venus Samudera? Dia adalah keturunanku, keturunan Giris Druiksa, sang Dewa Kebencian. Anak dari cucuku, Amerta Adiwangsa. Namun, anak ini terkutuk. Dan aku sebagai pendahulunya, memberikan kalian sebuah nasihat. Biarkan ia hidup dengan kegelapan tergenggam dalam tangannya, atau berikan ia kematian dan dunia kalian tetap bahagia.

Setelah itu, tiba-tiba VoltaKron Zaloya mengumumkan bahwa Bisikan Giris juga terdengar di langit malam seantero negeri. Semua orang panik, dia bilang, dan menuntut agar kau diadili. Dan tadi pagi, putusan itu diresmikan.”

Venus menatap buku-buku jarinya yang mengepal erat hingga memutih. Suara degup jantung pada monitor di sampingnya terdengar semakin cepat. Ada sesuatu yang sulit untuk ia telan kembali di kerongkongannya. Rasanya begitu menyakitkan.

Setetes air mata jatuh menodai selimut di pangkuan Venus.

Lalu, setetes lagi. Dan setetes lagi.

“Ven—”

“Pergi,” bisik Venus. “Tinggalkan aku sendiri.”

“Ta—”

“PERGI!” teriak Venus marah, wajahnya basah oleh air mata.

Keempat temannya berlalu dengan pandangan sedikit terluka, kecuali Virzash yang tampak sangat terguncang. Venus bahkan tidak memedulikan itu semua.

Begitu pintu ruangannya tertutup, anak perempuan itu berteriak marah pada udara. Tangisannya pecah seperti ratusan gelas kaca yang jatuh di atas batu.

“Ma—ma …” tersengguk-sengguk Venus dalam ratapannya.

Gadis itu memeluk lututnya, terisak-isak tanpa bisa memikirkan jalan apapun untuk bisa keluar dari masalah ini. Potret sang ibu terbayang-bayang di pelupuk matanya yang basah.

Hidup saja tidak diperbolehkan, ia berpikir. Kenapa ia harus dilahirkan di dunia ini? Ia merasa bersalah pada ibunya. Seharusnya wanita cantik itu mendapat anugerah yang lebih baik dari Venus. Anugerah yang lebih aman dari mendapat seorang anak keturunan iblis.

Tangis anak perempuan itu tiba-tiba terhenti. Isakan masih membuatnya berdeguk, tetapi ia sudah tak tahan lagi.

Venua merenggut infus dari pergelangan tangannya dengan paksa.

“Aw!”

Sebercak darah mengucur dari tempat infus itu disuntikkan. Venus menggertakkan gigi dan menekan kuat-kuat luka itu. Ia menghela tubuhnya ke depan dan turun dari ranjang, lantas tertatih-tatih menuju benda persegi panjang berkenop bundar di sana.

Keturunan Sang Dewa Kebencian lari di telan koridor-koridor dan lorong panjang Volta Juana.

• •

Venus berlari dan terus berlari. Ia tidak memikirkan apa-apa. Ia hanya ingin melakukan sesuatu selain duduk dan mengasihani diri sendiri.

Ia sadar ia tidak akan bisa keluar dari bangunan ini. Ia sadar ia tidak akan pernah mempunyai kesempatan, bahkan satu detik saja untuk bisa memanjat keluar dari tembok-tembok tinggi di luar sana.

Ia hanya ingin lari.

Kakinya kebas, tetapi hatinya makin lama makin mengeras. Otaknya kembali berputar dan mendapatkan setidaknya sedikit kewarasan lagi.

Aku cuma anak ingusan, demi Tuhan! Apa yang mereka kira akan mereka dapatkan? Aku masih memiliki moral! Aku tidak mungkin melakukan apapun yang akan merugikan banyak orang!

Benarkah?

Laju kaki Venus melambat. Ia menyadari hal lain.

Ia tak pernah benar-benar merasa yakin dengan kebaikannya. Bagaimana jika ia benar-benar seberbahaya itu?

Hanya saja, aku belum ingin mati.

Mata Venus memejam erat dan ia meremas kepalanya dengan geram. Dunia ini telah memperbaiki dunia Venus yang lampau, dalam versi yang lebih menakutkan. Seandainya ibu kandung Venus masih ada ….

Venus membuka mata dan terkejut.

Ia berdiri di pintu masuk stadion, dengan plakat bertuliskan Stadion Rovega di atasnya. Mengikuti alur, ia berpikir. Ia lantas memasuki area itu.

Stadion itu tampak sederhana, tapi besar dan luas. Seperti biasa, warna-warna yang tersedia didominasi oleh warna perak. Setiap tempat duduk terlipat rapi dan berkilauan. Atap kaca melengkung menjadikan stadion itu aman dari hujan dan, sepertinya, juga Banaspati.

“Venus?”

Langkah Venus tersurut kaget. Beberapa meter di sampingnya, berdiri kira-kira setengah lusin krona yang juga tampak terkejut. Salah satu dari mereka adalah Bu Mana.

“Kenapa kau ada di sini?”

“Saya hanya berjalan-jalan,” jawab Venus defensif.

“Kau sudah dengar tentang vonismu, ya?” selidik salah satu krona laki-laki.

Dagu Venus tersentak. Ia mundur setengah langkah, entah mengapa merasa harus melakukan itu.

“Ikut kami, Nak,” ajak Bu Mana seraya mendekat.

Venus menatap mereka dengan kemarahan yang dingin. “Tidak, terimakasih. Saya hanya ingin—”

“Tangkap dia!”

“Tunggu!”

Semburan hawa panas membakar tiba-tiba menyerang Venus. Sedetik ia terperanjat, tapi kemudian amarah menguasainya.

Venus berteriak.

Ia menarik keluar salah satu Bakat, dan membalas serangan itu dengan semburan api yang nyata, laksana naga mengamuk. Si penyerang pertamanya terhempas beberapa meter ke belakang, kalah. Venus terengah-engah sambil menahan Bakat Api ke dalam tubuhnya kembali.

Gempuran batu tajam tiba-tiba menusuk punggung Venus hingga ia terjerembab kesakitan. Ia berdiri begitu cepat seraya menarik kembali Bakat Api-nya. Ia menggertak satu kali, lalu melecutkan kobaran merah ke arah sang penyerang.

“SUDAH CUKUP!”

Venus tak lagi peduli dengan apapun di sekitarnya. Ia hanya butuh melampiaskan amarahnya.

Venus melecutkan api itu ke segala arah, berkali-kali, hingga ia merasa puas.

“PEMBUNUHAN!”

Ya! Katakan pada semua orang bahwa ada percobaan pembunuhan terhadapku di sini! Panggil siapapun biar mereka tahu siapa yang sebenarnya bersalah!

“VENUS! BERHENTI!”

Itu suara Shad.

Venus melepaskan Bakat-nya dengan peluh membasahi seluruh tubuh.

Kemudian, ia terpaku.

Beberapa meter dari tempatnya berdiri, tergeletak dua onggok tengkorak yang menghitam. Baunya laiknya daging yang gosong terbakar. Debu-debu hitam tampak melayang ke angkasa, membentuk salju gelap yang memualkan.

Rasa dingin merasuk di setiap pembuluh darahnya saat beberapa tangan membekuknya, lantas memborgol tangan Venus yang terasa mati rasa.

Venus, sang Putri Bizura yang ketakutan, telah dengan sengaja memanggang dua orang krona dalam sekali serangan.

Saat Venus digiring keluar dari stadion, setiap koridor dan lorong telah disesaki oleh para penghuni Volta Juana yang marah.

“Dasar pembunuh!”

“Menjijikkan!”

“Mati saja kau!”

“Dia memang akan mati, Bodoh!”

“Jangkang kau, Sialan!”

“Dasar benih Voltura!”

“Sama saja dengan Amerta!”

Venus tersenyum pada anak yang melontarkan kata-kata itu padanya.

“Aku memang anak ayahku,” dia berujar.

Sebuah kristal tajam melesat cepat dan melukai pipi Venus. Dengan geram Venus meraih Bakat yang sama dan berniat untuk melemparkannya ke segala arah. Namun, ia tidak bisa menariknya. Ada sesuatu yang menahan Bakat-Bakat itu, seperti dipenjarakan. Dengan kalut Venus terus mencoba. Namun, tetap saja ia gagal.

“Jangan buang-buang tenagamu!” sergah salah seorang yang menggiring Venus. “Kau sudah dibelenggu oleh borgol anti-Bakat!”

Berengsek! Tidak Bakat-nya juga!

“Berhenti meronta!” bentak seseorang.

Keputusasaan melanda hati Venus. Ia menggigit bibirnya, menahan desakan untuk menangis lagi. Di tengah teriakan dan umpatan dari para penontonnya, ia hanya bisa diam. Tak ada lagi yang benar-benar bisa ia lakukan selain pasrah.

Beberapa menit berlalu, dan akhirnya mereka tiba di depan sebuah lift kaca. Venus dan para penangkapnya masuk ke dalam benda itu. Beberapa detik kemudian, lift itu berhenti.

Mereka berada di tengah-tengah sebuah atap bangunan. Venus berjalan keluar sambil memandang lautan awan sejauh mata memandang.

Di mana daratannya?

Sekitar empat meter dari lift itu, tampaklah kurungan segi empat berjeruji perak setinggi dua meter. Setiap sudut di atasnya terdapat cincin besar seperti tempat untuk mengaitkan sesuatu.

Begitu tiba di depan kurungan itu, salah satu penggiring Venus membuka gerendel dan pintunya.

“Masuk!” perintah lelaki itu.

Venus menurutinya, dan segera saja merasa seperti burung yang dikunci dalam sebuah sangkar besar. Anehnya, kurungan itu membuat hatinya sangat tertekan.

Lelaki tadi mengunci kembali pintu itu, lalu berkata, “Julurkan tanganmu.”

Lelaki itu melepaskan borgol Venus, dan segera memadamkan harapan Venus dengan bergumam, “Selamat menikmati hari-hari terakhirmu di sel anti-Bakat ini. Kau akan berangkat ke Kota Sembada secepatnya.”

“Apakah seluruh dunia Bumi Kedua menyetujui hukuman ini?” Venus tiba-tiba bertanya.

Lelaki itu mengantongi borgol ke saku belakangnya. “Tidak, tapi ini negeri kelahiran Druiksa. Dan kami akan melakukan saran yang paling baik darinya.”

“Apa nama negara ini?”

Lelaki itu menatapnya dengan heran. “Negeri Dasina.”

Para lelaki itu pergi. Tinggallah Venus seorang diri.

Venus duduk bersandar di salah satu sudut. Kepalanya menoleh ke satu arah. Angin membuat rambutnya berkibar perlahan. Venus hanya memejamkan mata. Merasa yakin sebentar lagi ia akan kedinginan. Seragam pasien ini tidak bisa melawan yang satu itu.

Bayang-bayang tengkorak hitam mengaburkan sisa kewarasan anak perempuan itu. Menutup mata atau tidak, itu sama saja.

Amerta Adiwangsa, anak itu teringat. Jadi, itu nama ayahnya. Kemudian, ia teringat hal lain.

Apa maksud seorang anak yang mengatakan bahwa ia sama dengan ayahnya? Lalu, kenapa ia dipanggil benih Voltura? Apa karena ia sudah membunuh orang, lantas ia dianggap sebagai bagian dari organisasi jahat itu?

Pertanyaan-pertanyaan itu rasanya normal di kepala Venus. Setidaknya ia punya hal lain yang bisa dipikirkan selain kematian.

Apapun itu, meskipun berat, Venus akan mencoba untuk menerima semuanya. Ia takut, itu pasti. Namun, jalan satu-satunya yang bisa ia gunakan sebagai senjata juga sudah dinonaktifkan.

Jadi, apa yang bisa ia lakukan?

Jika di sini benar ada dewa, maka biarlah sumpahku menjadi nyata.

Seperti aku, kelak negeri ini akan binasa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status