Share

Sebut Namaku

Sekali lagi, Venus terbangun di kegelapan. Tubuhnya begitu lemah. Membuka mata pun terasa seperti sebuah pekerjaan yang melelahkan.

Kemudian, ia ingat dengan apa yang telah terjadi.

Gadis itu mengeluh. Ia memijit dahinya yang masih bekernyut nyeri. Tangan Venus meraba perutnya, merasakan sakit yang kini sudah tidak ada lagi. Jantungnya tak lagi terasa nyeri. Ia bisa bernapas sebaik manusia sehat manapun.

Venus mencoba membuka mata lagi, berpikir dengan sadar bahwa membuka mata atau tidak, pemandangan yang tersedia tetap tidak akan berubah.

Yang ada hanya kegelapan.

“Tuhan, aku di mana?” bisik Venus merana.

Kenangan tentang Portal Gelap membuatnya panik. Jika dulu portal itu menariknya masuk ke Bumi Kedua, bagaimana jika portal yang ini menariknya keluar dan kembali ke Bumi Pertama? Kembali kepada keluarga angkatnya?

Atau, jangan-jangan Venus sebenarnya sudah mati? Apakah kematian seorang volt selalu begini? Terdampar di kekosongan? Di ruang ketiadaan?

Air mata Venus merebak.

Ia tidak mau kembali pada keluarga angkatnya, tidak peduli apapun yang terjadi. Lebih baik ia mati.

Namun, apakah kematian seperti ini sepadan?

Anak perempuan itu menangis, tak mampu lagi menahan air mata. Di sana, ia teringat lagi dengan ibunya. Ibu kandungnya, ibunya yang begitu cantik. Seseorang yang pantas menghadapi kematian lebih dari sekadar kecelakaan kapal.

Venus benar-benar merindukannya.

“Venus Prahara Adiwangsa.”

Venus terkeranjat. Kepalanya menoleh ke sana kemari. Ia merasa yakin mendengar suara seorang laki-laki.

“Siapa itu?” Venus bertanya hati-hati, jantungnya berdebar tak keruan.

“Aku,” suara itu menyahut, begitu halus, begitu menakutkan.

“Siapa?” ucap Venus dengan gemetar. Kegelapan membuatnya tak berdaya, terancam, dan tak terlindungi.

“Druiksa.”

Nama itu mengingatkan Venus pada seseorang.

“Giris Druiksa?” tebak Venus ragu-ragu.

Suara itu tiba-tiba tertawa. Tawanya mengikis keberanian dalam hati Venus. Tawa itu seperti pedang yang menggores logam. Membuat hati terasa ngilu dan terdengar mengerikan.

“Kau tahu namaku,” suara tawa itu terhenti, “tapi kau tak tahu siapa aku.”

“Bukankah kau volt pertama di Bumi Kedua?” Venus memberanikan diri lagi.

“Pengetahuan mereka hanya sebatas itu, bukan?” Druiksa berujar, suaranya seumpama pedang samurai. Tipis, tajam, dan mematikan. “Mereka tidak tahu rahasia dunia barang sedikit saja. Mereka seumpama debu tak berguna yang terombang-ambing di udara. Mereka yang seharusnya memujaku, menjadikanku panutan. Bukan kepada Tuhan yang tak bernama mereka seharusnya percaya, tapi kepadaku! Namun, itu tidak penting sekarang. Kata-kata tidak akan menyurutkan para pengendali laknat itu. Yang dibutuhkan selanjutnya adalah kesakitan, kesengsaraan, dan pembalasan yang setimpal. Bukankah begitu, Anakku?”

Tubuh Venus menggigil hebat. Ketakutan merasuk ke seluruh sistem tubuhnya yang mati rasa. Ia tidak tahu mimpi buruk apa yang sedang berlangsung saat ini. Ia tidak mau berhadapan dengan suara iblis ini, bahkan di leher kematian seperti sekarang.

“Kau ini siapa?” suara Venus begitu kecil dan tak berdaya, bergetar seakan dirinya akan mati sekali lagi.

Embusan angin menerpa Venus. Rasanya panas. Namun panas ini, mengandung kengerian yang akan melelehkan tulang-tulangmu, meremukkan perasaanmu, dan mengacaukan kewarasanmu.

Entah kematian sedang mempermainkan Venus, atau kekuatan alam belum ingin melihatnya hancur. Gadis itu masih sekokoh tiang, meskipun punggungnya meremang dan siksaan perasaan takut membuat air mata Venus kembali berlinang.

“Aku, Giris Druiksa, manusia yang lahir di tengah-tengah masyarakat Jawa,” suara Druiksa mengiris udara sekali lagi. “Aku, yang dikaruniai kekuatan murni dari napas Sang Raja Empat Bumi. Aku, sang Adam di Bumi Kedua. Aku, yang mati secara terhormat di pangkuan Azafer Nan Digdaya. Aku, yang terlahir kembali dan menjadi penguasa Negeri Roh nan terkejam. Aku, yang akan menyatukan seluruh Bumi menjadi satu dunia. Aku, yang akan menghancurkan siapapun yang menjadi penghalangku.”

Isakan Venus terdengar jelas saat sosok tak terlihat bernama Druiksa itu terdiam. Venus memejamkan mata rapat-rapat. Ia memeluk tubuhnya sendiri seerat yang ia bisa. Kengerian memenuhi diri anak perempuan itu.

Kegilaan apa yang sedang menimpaku?

“Tolong tinggalkan aku,” pinta Venus tersedu-sedu. “Tolong biarkan aku sendiri.”

“Bagaimana aku bisa pergi, Putri Bizura?” Druiksa berseru laksana iblis dari dalam neraka. “Kau adalah penghalang bagiku. Terkutuklah orangtuamu! Tidak ada seorang pun iblis yang boleh menghalangiku di dunia manapun! Kau harus enyah!”

Sedu sedan Venus tak tertahankan saat energi panas luar biasa menghantamnya. Gelombang lidah panas bergulung-gulung. Kegelapan berubah menjadi warna merah. Anak perempuan itu berteriak saat api melahap raganya, menghanguskan pakaian dan jiwanya.

Venus Prahara Adiwangsa.

Nama itu tercetak jelas di ingatan si gadis. Bersamaan dengan itu, kesadarannya jatuh ke dalam lubang kenestapaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status