Bayang-bayang terpelesat ke sana kemari. Wujud mereka seperti malaikat kematian yang enggan meninggalkan makhluk bernapas hidup-hidup. Suaranya bagai angin yang berdesau, seirama dengan gerakan tak bertubuh citra tersebut.
Siluet seorang pria dan seorang wanita tampak berdiri di tengah-tengah kepungan itu, berdiri dan saling berhadapan, seakan tak ada yang lebih penting daripada itu. Gerak bibir mereka seperti sedang berbicara.
Citra kelabu itu perlahan memudar menjadi kabut yang mengaburkan penglihatan. Suara tawa tiba-tiba menggelegar, menciptakan gema yang menggiriskan hati, seakan ia keluar dari palung kematian.
Bintik-bintik gelap dengan cepat menyebar, menutup sepetak kelabu yang tersisa. Namun, gema tawa itu masih ada. Menggoncang jiwa. Seandainya mungkin, orang mati pun niscaya terbangun kembali, lalu kembali mati berkubang ketakutan.
Saat tawa itu berhenti, sebuah kesadaran tampak menunjukkan keberadaannya. Kesadaran itu menggigil seakan tengah berada di tengah kubangan es. Kesadaran itu terisak, antara ngeri dan bahagia sebab tawa menyeramkan itu pada akhirnya raib di kegelapan.
Namun, sebuah bisikan mengacaukannya.
“Venus Prahara Adiwangsa.”
Kesadaran itu tersentak. Ia berteriak hingga serak pada kegelapan, menolak nama yang dibisikkan padanya.
“Aku Venus Samudera, bukan Venus Adiwangsa!” ia berteriak marah.
Kemudian, kesadaran itu menghilang.
• •
Venus tersadar tanpa bisa membuka matanya. Ia berusaha dengan sia-sia, dan akhirnya menyerah.
Suara bip berulang yang terdengar jauh tertangkap oleh indra pendengarannya. Punggungnya terasa pegal, meski ia tampak dibaringkan pada sesuatu yang terasa empuk. Gadis itu ingin mengubah posisi tidurnya, tetapi sekali lagi ia tidak mampu. Rasanya seperti lumpuh.
Apakah ia pada akhirnya mati? Neraka seharusnya terasa panas, tetapi ia malah merasakan suhu senormal suhu dalam kamar. Apakah entah bagaimana Tuhan memperbolehkan ia masuk ke surga? Surga dengan suara bip-bip-bip?
“Kroter! Jempolnya berkedut!”
Apakah itu sebentuk salam dari surga? Suara itu terdengar kaget dan, sekali lagi, seakan berada di tempat yang jauh.
“Matanya juga!”
Kali ini suara lain kedengaran senang. Jadi, apakah Venus sedang pingsan? Pikiran ini menyibukkan otak Venus yang terasa membatu.
“Tenang, kalian berdua!” suara ketiga terdengar lebih dewasa, dan sebal. “Kita tunggu hingga Venus benar-benar terjaga. Dan, tolong, jangan berteriak-teriak.”
“KEPALANYA BERGERAK!”
“Shad!”
Shad? Bukankah Venus sudah mati? Kenapa ada Shad di sini? Apa Shad ikut mati?
Venus berjuang membuka mata lagi. Hampir berhasil.
“WHOA!”
“Virzash! Tidakkah kau mengerti arti dari tidak boleh beris—!”
“VENUS SIUMAN, KROTER!”
“Hah?”
Venus merasa seperti baru saja mengalahkan kedua matanya sendiri. Matanya berkedip-kedip, terkejut dengan sinar putih terang setelah beberapa lama ia berada dalam kegelapan. Saat ia sudah bisa melihat dengan jelas, kejengkelan memenuhi cairan otaknya.
“Aku? Di dalam inkubator?! Sejak kapan aku kembali jadi bayi?!” gadis itu menggerundel, suaranya begitu serak dan segera saja ia batuk-batuk.
“Venus mengomel artinya Venus hidup!” kata seseorang sambil tertawa.
Venus sedikit menoleh mencari sumber kebijakan tersebut, dan menemukan sosok anak laki-laki berambut hitam dengan wajah seperti bayi. Di kiri dan kanannya berdiri Shad yang cengar-cengir, Ris yang bertampang lega, dan Lou yang berkacak pinggang sambil meneliti wajah Venus dengan serius, seakan ingin memastikan bahwa hidung Venus masih di tempatnya atau tidak.
“Kalian juga mati?” Venus terkaget-kaget sendiri.
“Cuma kau yang mati, Bodoh,” sahut Lou bernada sebal. Namun, seringai di wajahnya tak bisa lebih menyenangkan lagi.
“Caramu mati benar-benar keren!” timpal Shad takzim. “Mengagumkan!”
“Teman-teman!” Ris memperingatkan, lalu menoleh dan memberikan Venus seulas senyum meminta maaf.
Venus tertawa. Tak pernah ia merasa sebahagia ini saat ada orang yang mengomentari betapa ciamik caranya mati.
“Haus,” kata Venus semakin serak.
Virzash tertawa.
“Ya, terimakasih kembali,” canda anak itu, lalu bergegas mencari segelas air di sekitar meja ruangan itu.
“Kita buka dulu kaca penutupnya,” ujar sebuah suara lain.
Venus menoleh ke arah berlawanan dan mendapati seorang pria berjas mantel putih. Pria itu separuh botak dan memakai kacamata yang melorot dari hidungnya. Jarinya menekan sesuatu di samping tempat Venus tidur, dan terbukalah tutup kaca di hadapan Venus. Pria itu menekan sekali lagi, dan tubuh bagian atas Venus terangkat oleh mekanisme ranjang di bawahnya.
Pria tersebut lantas permisi keluar (“menurut Pemindai, kondisi Venus sudah stabil”) dan menyuruh anak-anak untuk memanggilnya jika ada apa-apa (“tekan tombol merah di samping Pemindai”).
“Kenapa peneliti ilmiah bisa ada di sini?” celetuk Venus pada teman-temannya.
“Duh, Ven,” kata Virzash geli sambil menyodorkan gelas berisi air di bibir Venus. “Dia bukan peneliti ilmiah, tapi kroter.”
Venus meneguk habis air di gelas tersebut dan mendesah puas.
“Kroter apaan, sih?” katanya lagi sembari mengelap bibirnya.
“Penyembuh,” jawab Ris seraya merapikan seutas rambut di dahi Venus.
“Terimakasih,” Venus tersenyum. “Jadi, kroter itu seperti dokter?”
“Mungkin?” balas Ris lagi, lebih seperti ragu daripada yakin.
Venus mengesampingkan masalah itu dan menanyakan pada mereka sudah berapa lama ia tak sadarkan diri. Jawaban Shad sungguh tak masuk di akal Venus yang pas-pasan.
“TUJUH BELAS HARI?! SERIUS?”
Venus batuk-batuk lagi gara-gara itu.
“Ven! Jangan teriak-teriak dulu!” tegur Ris, sementara Virzash tergopoh-gopoh mengambil segelas air minum lagi.
“Shad bercanda, Ven,” ujar Lou, lantas mendengus. “Kau cuma tidak sadar selama seminggu.”
Venus meminum setengah gelas air yang disodorkan Virzash, lalu menukas, “Dan satu minggu itu tujuh hari!”
Lou melotot sinis.
“Sangat jenius. Selama ini aku bodoh sekali,” ujarnya.
“Dan tujuh hari artinya sepekan,” Shad berpikir-pikir, jari telunjuknya tertempel di bibir.
“Kurasa kita baru saja membuka kelas Taman Kanak-kanak,” gumam Virzash tiba-tiba pada Ris.
Ris menghela napas seakan sudah lelah.
“Yang benar saja.”
Dalam tiga puluh menit selanjutnya, mereka membicarakan aksi heroik Venus yang dijuluki Sang Bizura Yang Payah oleh teman-temannya. Sementara Venus sendiri sibuk makan seraya mengomeli semangkuk muntahan nasi abon yang ia pegang.“Dari mana kau yakin kalau kau bakal bisa mengeluarkan Bakat sebesar itu?” satu saat Virzash bertanya penasaran.“Nah, betul juga,” Shad mengiyakan. “Bagaimana kalau perhitunganmu ternyata salah, Ven?”Venus memutar-mutar bola mata dan mengetuk-ngetuk pinggiran mangkuknya.“Maaf sudah mengecewakan kalian, tapi aku tidak merasa sudah menghitung apapun saat itu!” ucapnya ketus. “Pak Zub bakal diserang oleh segerombol kepala setan terbang, dan kalian malah mempertanyakan bagaimana caraku bisa berpikir?! Aku nggak berpikir!”“Pantas kau mati,” cetus Lou tiba-tiba.Ketukan Venus pada mangkuknya berhenti kira-kira sepersekian detik. Kata-kata Lou meng
Dunia Venus membeku.Bisakah ia tetap melawan?Mimpinya dengan Giris bukanlah sekadar mimpi. Dan Venus merasa benci karenanya.Telinga Venus berdenging, dan ada sulur-sulur kehampaan nan dingin di sekujur tubuhnya yang terasa menyesakkan. Ia hanya mampu menatap Lou yang entah kenapa bisa berubah menjadi lembut.Sejak kapan Lou jadi baik dan simpatik begitu?Lagipula, aku sedang berpikir tentang apa?“Venus?” Tangan Lou melambai-lambai di depan wajah Venus. Venus berkedip.“Aku tidak apa-apa,” ia berkata dengan tenang, lantas tersenyum dan menyesuaikan duduknya.Lou dan yang lain memandang sosok pasien di atas ranjang rumah sakit itu dengan khawatir.“Beritahu aku detailnya. Tentang … moyangku itu.”Sepi.Bip-bip-bip.“Apa suaraku terlalu rendah?”Bip-bip-bip.“Venus …” Shad memulai, ragu
(Salam, Putri Bizura.Setelah bertahun-tahun saya mencoba berkomunikasi dengan Anda … akhirnya! Dua kali percobaan saya hampir berhasil, tetapi tiba-tiba gagal. Mungkin karena Anda masih belum mengetahui indentitas diri Anda? Atau pertahanan Anda yang tentu lebih kuat dari insan volt lain?Terlepas dari itu, perkenalkan. Saya adalah Mustaka, roh yang ditugaskan oleh Sang Penguasa Empat Dimensi, Yang Mulia Agung Kaisar Azafer, untuk menjaga dan melindungi Anda dari menjadi incaran musuh.Seperti Dewa Kebencian, misalnya. Sungguh, Kaisar Azafer menyatakan penyesalannya, atas anugerah yang telah dengan ceroboh ia turunkan pada Giris Druiksa.Saya selalu berada di sisi Anda. Jadi, kapanpun Anda ingin berkomunikasi dengan saya, silakan panggil saja nama saya dalam hati.Salam, Putri.Dan bangunlah. Ada pemuda menawan yang sedang mengagumimu dalam kehangatan di wajahnya.)
Cakrawala sudah mengguratkan sulur-sulur oranye di angkasa saat Shad dan Venus bangkit berdiri. Mereka bertatapan selama beberapa saat, sebelum akhirnya Shad mengangguk dan tersenyum.“Kau tidak pernah jahat, Ven. Ingat itu,” Shad berujar.Anak laki-laki itu membelai lagi pipi Venus dengan lembut, dan Venus menggenggamnya di sana selama yang bisa ia lakukan.Suara berdenting menarik mereka perlahan kepada kenyataan. Shad menoleh sekilas, tangannya masih menempel di pipi Venus.“Para Pengaman,” sebut Shad sambil lalu.“Sudah cukup, Nak!” seru salah satu Pengaman. “Kembali ke kelasmu! Sebentar lagi Pesawat Darurat akan tiba di sini!”“Bolehkah aku melihatnya saja?” pinta Shad.“Tidak.”Shad menghela napas. Ia menoleh pada Venus yang masih memandangnya.“Sampai jumpa, Ven. Aku tidak akan pernah melupakanmu, aku janji,” Shad bersumpah.
Pesawat berhenti setelah kira-kira dua jam kemudian. Atau setidaknya begitulah menurut Mustaka pada Venus, yang terus saja memelototi salah satu jeruji sejak ia tahu siapa Amerta yang sebenarnya.(Putri, apa informasi tadi lantas membuat Anda jadi patung?) Dengan kurang ajarnya Mustaka berkata dalam benak Venus.Venus mendengus. Tatapannya tidak pindah ke mana-mana. (Aku mati. Sialan kau, Mus! Kenapa kau tidak pergi saja dari otakku?!)(MUS?!)Venus berjengit seraya memegangi kepalanya. Suara Mustaka terdengar sangat tersinggung dan hampir meledakkan otak Venus jadi berkeping-keping.“Jangan berteriak dalam kepalaku!” geram Venus dengan suara rendah.(Maafkan saya, Putri. Namun, sebelum ini Anda juga pernah berteriak. Kepala saya sama sakitnya dengan Anda.)Leher Venus memanas. Dia tidak ingat tentang itu. (Kau sebenarnya ada di mana, sih, Mus? Dan tolong, berhenti memanggilku Putri.
Jemari anak perempuan itu berkedut. Matanya mengerjap-ngerjap lemah. Erangan tersiksa keluar dari bibirnya yang kering. Anak itu merintih saat kepala dan telinganya bekernyut nyeri.(Mus?)Venus meringis saat ia menghela tubuhnya hingga duduk tegak. Selimut kelabu tebal merosot dari dadanya. Untuk sesaat, Venus hanya memejamkan mata dan meremas kepalanya yang pening. Telinganya masih berdenging ngilu, dan Venus berharap semoga saja indranya yang satu itu nanti masih berfungsi.Venus membuka matanya dan memperhatikan sekeliling. Setelahnya, anak itu harus menghela napas, seakan-akan sudah merasa cukup dengan hidupnya dan karenanya jadi lelah.Gadis itu berada di sebuah ruangan berdinding batu. Ruangan itu hanya diterangi oleh dua buah obor yang diletakkan di kiri-kanan pintu. Perabot dan benda yang ada di sana hanyalah tempat tidur yang kini diduduki Venus, sebotol air di atas meja kusam, dan tiga buah kursi yang anehnya tampak mengilat.Ve
Engsel pintu berdentang saat seseorang membuka pintu ruangan tempat Venus berada. Venus masih duduk di atas tempat tidurnya dan menyandarkan punggung, kedua matanya terpejam. Kepala anak itu mendongak, sesekali wajahnya mengernyit kesakitan. Rasanya seperti Kesatria Jarum dan Raja Godam tengah menyerang telinga dan kepalanya secara serempak.“Halo, Anak Haram.”Venus memaksakan diri untuk membuka mata dan melihat siapa yang dengan berani menghina dirinya seperti itu.Sosok itu adalah seorang wanita berambut hitam pendek, dengan riasan tebal yang tampak menakutkan. Matanya berwarna cokelat … atau kemerah-merahan? Venus tidak yakin dengan itu. Wanita berkulit eksotis itu memakai terusan hitam dengan belahan dada sangat rendah; membuat Venus bertanya-tanya, bagaimana perasaan Mustaka saat ini.Wanita itu tiba-tiba menyeringai. Ada yang menggelitik pikiran Venus. Ia seperti pernah melihatnya di suatu tempat … di mana? Nyeri di kepala
Lelaki berjubah merah itu berdiri di ambang pintu, tangannya terkepal erat di kedua sisi tubuhnya. Surai gelap nan ikal sepanjang bahu membingkai wajahnya yang dingin. Iris matanya segelap Kegelapan, memantulkan cahaya obor yang bergoyang-goyang seperti mata iblis. Yang mengusik perhatian Venus adalah; wajah dan perawakan Amerta sama sekali jauh dari kesan bapak-bapak, melainkan lebih seperti lelaki gagah berusia dua puluhan … dengan aura yang lebih menakutkan.Udara tiba-tiba bertiup dari pintu yang terbuka. Venus mengejang. Aroma tubuh Amerta seperti darah segar, tetapi sekelebat harum mawar entah kenapa mampu mengaburkannya.Amerta menutup pintu di belakangnya, lalu melangkah mendekat. Kepalan tangan lelaki itu mengendur; tapi tidak dengan Venus. Punggung gadis itu seperti diregangkan paksa oleh sesuatu. Setitik keringat dingin menetes di dahi kanannya.Mata Venus dengan waspada mengawasi gerak-gerik Amerta, saat lelaki itu memosisikan diri di ku