Share

Kematian

Venus terlontar lagi untuk yang kesekian kalinya hari itu. Petir telah menyambar tubuhnya. Bau gosong menyentak hidungnya.

(Untung kau cepat melindungi diri dengan listrik!)

“Diam, Mustaka!” geram Venus marah.

Tiba-tiba jantung Venus tersentak. Ia membungkuk rendah, tetapi tak sampai lima detik sakitnya telah hilang.

(Anda akan mati.) Mustaka mengumumkan.

“Kubilang diam,” dengus Venus di antara napasnya yang pendek-pendek.

Venus tak tahu apa Bakat dominan Amerta, tapi ia tak peduli. Ia memutuskan untuk mengakhiri pertarungan ini.

Ia berteriak keras ke udara; menyalurkan konsentrasi benaknya pada Bakat Petir paling kuat yang ia miliki.

Jantung Venus menyentak lagi, tapi ia mengabaikannya.

“Itu baru mengagumkan!” Amerta berteriak di antara gelegar guntur yang ia dan Venus ciptakan.

Namun, Venus tak berhenti di satu kekuatan. Masih mempertahankan gemuruh petir di atasnya, Venus meraih Bakat Air dalam satu sentakan.

Entah dari mana, tetapi ratusan liter air tiba-tiba muncul dari arah belakang Venus. Membentuk dinding tsunami di belakangnya; menunggu perintah Venus.

(Venus, cukup!)

Gadis itu tak menghiraukan peringatan Mustaka. Ia malah mengambil satu lagi Bakat dari dalam benaknya.

Besi.

Darah menyembur keluar dari mulut Venus. Ia menunduk saat cairan pekat itu terdesak keluar. Kepalanya pening dan perutnya mual luar biasa. Telinganya berhenti berdenging, tetapi darah mengalir lagi dari sana.

Untuk saat ini Venus tak bisa mendengar apa-apa.

Namun, itu bukan masalah. Masalahnya adalah Amerta. Habis cerita.

Amerta melempar petir lagi ke Venus. Namun anak itu sudah membentengi tubuhnya dengan petir itu sendiri.

Meski begitu, ia tetap terpental jauh.

Venus bangkit secepat mungkin, lantas membentak ke udara. Gadis itu mengarahkan kilatan petir ke Amerta. Pria itu menghalaunya. Ia melempar kristal tajam lagi; kali ini dari samping.

Venus melompat ke belakang dan melempar kristal itu hanya dengan satu pikiran. Kemudian, ia mendorong ke depan.

Tsunami kecil di puncak gunung itu menerjang Amerta; menenggelamkannya. Untuk sesaat tubuh pria itu teraduk-aduk tak terkendali di dalam air. Namun, sekejap kemudian ia bisa mengontrol dirinya kembali.

Saat Amerta bisa berdiri di atas genangan air yang dengan cepat surut mengalir ke bawah gunung, pandangan Venus sejenak menggelap.

Venus mencengkeram dadanya yang terasa seperti ditusuk sembilu. Ia berteriak lagi; mencoba menahan rasa sakit itu.

Petir dan kristal mendera tubuh Venus lagi. Ia terhempas ke tanah dengan keras. Rusuknya terasa nyeri; sepertinya terantuk sesuatu.

Venus menggerung dalam posisi merangkak. Ia balik menggempur petir bertubi-tubi ke tubuh Amerta.

Saat pria itu sibuk menangkis serangan petir, Venus melakukan hal lain.

Amerta membeku saat sepotong besi lancip menembus jantungnya. Darah mengalir dari mulutnya. Ia jatuh dan hampir tersungkur. Kepalanya terangkat ke depan.

Amerta bangkit dengan susah payah seraya memegang tancapan besi di dadanya. Venus memandangnya ngeri.

Mereka telah melepas Bakat Petir secara tak sengaja. Langit kembali cerah. Namun tidak dengan keadaan saat ini.

Amerta berdiri dengan goyah, lalu menyeringai. “Aku sudah hidup selama lebih dari empat abad, Venus. Aku abadi. Kau tak bisa membunuhku!”

Kaget, Venus baru sadar pendengarannya kembali berfungsi.

Pandangan Venus menggelap lagi. Ia memejamkan mata sebentar, lalu kembali menatap Amerta. Hatinya mulai dirasuki ketakutan.

(Kau benar, Mustaka.) Batin Venus berbisik pada Amerta. (Aku akan mati, dan Amerta akan menang. Hidup sentosa.)

(Entahlah, Venus. Saya tidak yakin kalau soal Amerta.)

Venus meludahkan darah dari mulutnya. (Kenapa?)

(Kaisar bilang Amerta akan mati; tak peduli jika Anda kalah.)

Segera setelah itu, ekspresi Amerta berubah aneh. Mulanya terpaku, lalu kaget, tak percaya. Kemudian marah. Sangat murka.

“Aku abadi!” gerung Amerta tiba-tiba. Venus menatapnya terkejut. “Azafer tak bisa melakukan ini padaku! Aku tak melakukan kesalahan!”

“Mustaka,” gumam Venus heran. “Apa maksudnya—maksud dia bukan Kaisar Azafer, 'kan?”

(Iya, itu maksud dia.)

“Deksura!” Amerta terkapar kesakitan seraya berteriak; makin lama makin lemah. “Berhenti! Kau tak boleh pergi! Deksura!”

“Bangsat kau, Azafer! Aku sudah memberimu banyak nyawa! Apa salahku?!”

Venus benar-benar kebingungan. Ia tak mengerti apa yang sedang terjadi pada musuh sekaligus ayahnya itu.

Ada hubungan apa Amerta dengan Kaisar? Siapa pula Deksura?

“Druiksa! Giris, berhenti!”

Sekali lagi Venus terperanjat.

Amerta tiba-tiba berdeguk, seakan besi yang tertancap di dadanya baru benar-benar membunuhnya. Sedetik kemudian, ia berhenti meronta. Mulut Amerta menganga kaku dengan tangan masih memegang besi di dadanya.

Venus terduduk lemas. Napasnya masih terengah-engah.

(Ini … bukan akhir yang kubayangkan.) Benak Venus memberitahu Mustaka.

(Sudah jelas.) Pikiran Mustaka mendengkur.

“Mustaka, siapa Deksura?” Venus bertanya lemah. “Hubungannya dengan Gir—”

Jantung Venus menyentak tiba-tiba. Ia kesulitan bernapas. Anak itu duduk dengan tangan menumpu tanah bersalju di depannya.

“M-Mus-ta-ka ….”

Anak perempuan itu tersungkur.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status