Pagi itu kelabu. Kabut masih menyelimuti desa meski matahari sudah naik. Arga berdiri di belakang rumah, menatap sumur tua yang kini terlihat seperti mulut yang menunggu mangsanya.Di sampingnya, Pak Lebe berdiri dengan wajah muram. Ia membawa segenggam garam dan segelas air yang telah didoakan semalaman.> “Kita bisa tutup sementara. Tapi ingat, ini hanya untuk melambatkan. Bukan menghentikan,” katanya.Arga mengangguk. Tapi dalam hati, ada rasa tidak tenang. Semalam ia tak bisa tidur. Kalung Rino sempat menyala lagi. Dan… ia mendengar seseorang memanggil namanya dari bawah tanah.Saat mereka mulai melakukan ritual kecil penutup, Ningsih muncul membawa selembar kain lusuh yang ditemukan di belakang dapur. Kain itu basah, seperti habis direndam.Arga menatapnya heran.> “Aku nemu ini nyangkut di bambu belakang… pas aku tarik, baunya nyengat banget. Tapi lihat, Ga…”Kain itu ternyata berisi simbol. Bukan tulisan Jawa kuno, bukan huruf Arab, tapi seperti lingkaran penuh mata, dan di ten
Malam itu, hujan turun gerimis. Udara dingin menyusup ke tulang. Di langit desa, bulan nyaris tak terlihat, seolah malu menyaksikan apa yang sedang terjadi.Pak Lebe duduk di ruang tamu dengan wajah gelisah. Arga dan Ningsih duduk di depannya, mendengarkan cerita dari seorang warga bernama Mang Sarto—warga yang tadi sore mengaku melihat Pak Raji… tapi dalam wujud yang tak lagi manusia.> “Saya mau ambil air di sumur tua, Pak… yang deket kebun jati itu. Pas nyenter ke dalam, saya liat ada sosok berdiri di dasar sumur. Dia ngeliatin saya. Bajunya sobek-sobek… dan… wajahnya, Pak… kayak kulitnya nempel tulang.”> “Kamu yakin itu Pak Raji?” tanya Pak Lebe, mencoba tetap tenang.> “Sumpah demi Allah, saya kenal betul raut mukanya. Tapi yang saya lihat itu bukan beliau… itu kayak… ‘sisanya’.”Arga langsung berdiri. “Kita harus ke sana, Pak.”> “Jangan malam ini,” cegah Pak Lebe. “Sumur itu udah gak dipakai bertahun-tahun. Dulu… pernah ada yang jatuh ke dalam, dan sejak itu sumur itu ditutup
Malam itu, Arga kembali tidur di rumah neneknya. Meski tubuhnya lelah, matanya sulit terpejam. Setiap kali ia menutup mata, ada suara-suara aneh di telinganya. Bukan bisikan… lebih seperti desiran air dan dengungan jauh, seolah ia masih dekat dengan Curug Kembar, padahal sudah jauh dari sana.Di sisi lain, Ningsih tidur di ruang tamu, dibungkus selimut tebal. Tapi matanya juga terbuka, menatap langit-langit rumah yang gelap. Di luar, angin malam kembali berhenti.Dan pada pukul 2.13 dini hari, Arga terbangun karena bau tanah basah yang menyengat.Ia menoleh ke jendela. Embun menempel tipis di kaca. Tapi bukan itu yang membuatnya mendadak duduk tegak. Di luar jendela, samar-samar… ada jejak kaki. Tapi anehnya, bukan dari luar masuk—melainkan dari dalam kamar menuju ke luar.> “Apa gue jalan dalam tidur…?” gumamnya.Ia turun dari tempat tidur, melangkah perlahan, membuka jendela dan menelusuri jejak itu dengan senter kecil.Jejak itu memanjang, menurun ke arah jalan belakang rumah… lalu
Langit malam itu gelap pekat, tak seperti biasanya. Tak ada bintang. Tak ada bulan. Angin hanya berdesir pelan, seolah sedang menahan napasnya. Arga dan Ningsih berdiri di bawah dua pohon dadap yang tumbuh berdampingan, menjulang seperti penjaga gerbang kuno.Di tangan Ningsih, batu obsidian pemberian Dimas terasa hangat. Sedangkan Arga memegang secarik kertas simbol yang kini mulai bergetar halus seperti hidup.> “Apa kita siap?” bisik Ningsih.Arga mengangguk. “Kalau kita gak buka ini sekarang, entah apa yang bakal keluar lebih dulu nanti.”Mereka duduk bersila, menyalakan lilin kecil di antara akar dadap yang membentuk semacam lingkaran alami. Langit mulai berdesing—suara halus tapi menyusup ke kepala, seperti dengungan jauh dari kedalaman bumi.Ningsih mulai membaca bait demi bait dari rajah. Tangannya gemetar, tapi ia terus. Angin tiba-tiba berhenti. Suara malam lenyap. Hening. Dunia terasa menunduk, menyimak.Tiba-tiba... akar pohon dadap kanan bergerak, perlahan membentuk celah
Malam itu, Arga belum tidur. Ia duduk bersandar di dinding kamar, memandangi langit gelap dari celah jendela. Kalung Rino yang dulu hitam kini mulai berubah... samar mengeluarkan cahaya kehijauan, seperti memantulkan energi asing dari luar rumah.Tiba-tiba... suara ketukan pelan terdengar dari pintu depan.Bukan suara keras. Tapi ritmis. Tiga kali. Hening. Lalu tiga kali lagi.Arga berjalan perlahan, membuka pintu dengan hati-hati.Ningsih berdiri di sana. Tubuhnya gemetar, wajahnya pucat, tapi matanya menyala… bukan karena takut, tapi karena marah.> “Kita harus bicara. Sekarang.”Mereka masuk dan duduk di ruang tengah. Arga mencoba meredam ketegangan, tapi hawa dingin dari tubuh Ningsih membuat seisi ruangan seperti ikut menciut.> “Gue udah nyadar dari awal... ada yang aneh sama lo,” kata Arga pelan.Ningsih menatap lurus.> “Lo nggak salah. Tapi juga belum tentu benar,” katanya datar.Ia membuka tas kecil yang ia bawa, mengeluarkan kain hitam dengan simbol kuno — lingkaran dengan
Sudah tiga hari sejak Arga pulang dari curug kembar. Tapi malam-malam di desa kini tak pernah benar-benar tenang.Warga mulai bisik-bisik. Ada yang mengaku melihat sosok laki-laki berpakaian compang-camping berjalan tanpa kepala di tepi kebun. Ada juga yang cerita, ayam-ayam mereka berkokok tengah malam, lalu esok paginya mendadak bisu semua.Tapi yang paling bikin geger…Pak RT tiba-tiba jatuh sakit, padahal sebelumnya sehat-sehat saja. Badannya dingin, matanya kosong, dan tiap malam hanya menggumam:> “Jangan buka pintunya… jangan buka jalurnya…”---Arga diam di beranda rumah neneknya. Kalung Rino ia letakkan di atas meja, dikelilingi garam kasar dan bunga tujuh rupa. Ia belum berani memakainya lagi. Sejak terakhir menyala, kalung itu terus berdenyut… seperti jantung.> “Ga… kamu yakin mau tetap di sini?” tanya Bu Ningrum, tetangga sebelah, yang mampir membawakan bubur.Arga hanya tersenyum tipis.> “Aku harus di sini, Bu. Ada yang belum selesai.”Malam itu, lampu-lampu rumah warga