Home / Horor / Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain / Gerbang Bayangan dan Kota Lelembut

Share

Gerbang Bayangan dan Kota Lelembut

Author: Kelaras ijo
last update Last Updated: 2025-05-24 06:58:51

Malam tiba dengan cepat. Kota itu tak punya matahari—langitnya hanya berpendar warna biru tua yang perlahan berubah jadi hitam legam, seperti langit yang menyesuaikan diri dengan waktu tidur.

Tapi di kota itu, tak ada suara jangkrik. Tak ada suara binatang malam. Hening. Terlalu hening.

Rino dan Arga sudah bersiap sejak sore. Mereka berpura-pura tidur di balai yang disediakan, lalu begitu suasana benar-benar sunyi, mereka menyelinap keluar lewat jendela belakang.

Langkah mereka ringan, menyusuri jalan berbatu menuju bukit kecil yang Arga ceritakan.

“Lihat itu…” bisik Arga sambil menunjuk ke arah bawah bukit.

Tampak sebuah gerbang tinggi dari kayu hitam, menjulang seperti pintu ke dunia lain. Dua sosok berjubah berdiri di sisi kiri dan kanan, wajahnya tertutup tudung gelap. Mereka tak bergerak, seperti patung.

Mereka menunggu dari balik semak, mengintai. Lalu perlahan, tepat tengah malam, kedua penjaga itu melangkah mundur, lalu menghilang ke balik bayangan.

Gerbang itu... membuka send
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Gong Penjaga Jalur

    Malam itu, langit gelap tanpa bulan. Rumah nenek Arga terasa sesak, udara di dalamnya seolah membeku. Arga berbaring dengan mata terpejam, mencoba tidur, tapi rasa gelisahnya tidak hilang. Di sampingnya, Ningsih sudah tertidur pulas, wajahnya tenang—tidak seperti yang ia rasakan.Tiba-tiba, terdengar suara lirih dari luar jendela. Suara seperti bisikan, memanggil namanya dengan nada panjang.> “Arrr… gaaa…”Arga membuka mata. Jantungnya berdentum cepat. Ia bangkit perlahan, mengambil keris yang selalu ia letakkan di dekat bantal. Cahaya lampu minyak temaram menerangi ruangan, tapi sudut-sudutnya terasa lebih gelap dari biasanya.Ia mendekati jendela. Tidak ada apa-apa di luar, hanya halaman rumah dan pepohonan yang bergoyang pelan. Namun saat ia menatap lebih lama, ia melihat sesuatu: tanah di bawah pohon rambutan kembali bergeser, seperti ada yang merangkak keluar dari dalamnya.Arga mundur beberapa langkah. Suara itu terdengar lagi, lebih dekat, lebih jelas:> “Buka… jalan…”Tiba-ti

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Keluar dari Jalur Keenam

    Arga, Ningsih, dan Pak Lebe akhirnya berhasil melewati lorong gelap jalur keenam. Tangan-tangan hitam yang tadi meraih mereka menghilang begitu saja ketika cahaya kebiruan dari keris Arga semakin terang, membentuk semacam perisai di sekeliling mereka. Dengan napas terengah-engah, mereka bertiga akhirnya keluar dari lorong sempit itu. Udara berubah—lebih hangat, lebih nyata. Di hadapan mereka terhampar hutan biasa, basah oleh embun malam. Tidak ada lagi langit kelabu, tidak ada lagi bisikan yang meracuni pikiran. Ningsih terduduk di tanah, memeluk lututnya sambil menangis pelan. “Aku… aku pikir kita nggak bakal bisa keluar.” Arga berjongkok di sampingnya, mengusap punggungnya. “Kita sudah di luar. Sudah selesai. Jalur itu sudah kita lewati.” Pak Lebe berdiri tak jauh dari mereka, menatap ke arah hutan dengan wajah serius. “Tidak, ini belum selesai,” katanya pelan. “Jalur keenam hanya satu dari banyak gerbang. Setiap kali kita menutup satu, yang lain akan mencari celah untuk terbuk

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Perjalanan Menjelang Fajar

    Udara dini hari menusuk tulang. Kabut tebal menggantung di sepanjang jalan setapak menuju Curug Kembar. Arga berjalan paling depan, memegang keris peninggalan Kirana yang dibungkus kain putih. Ningsih mengikutinya dengan langkah ragu, sementara Pak Lebe membawa lentera tua yang cahayanya nyaris tak mampu menembus kabut. Tak ada suara jangkrik, tak ada burung. Hanya suara napas mereka sendiri. “Mas… ini kayaknya lebih dingin dari biasanya,” bisik Ningsih sambil merapatkan jaketnya. Arga hanya mengangguk. Setiap langkah terasa lebih berat, seperti tanah di bawah kaki mereka menahan, seakan tidak ingin mereka melanjutkan perjalanan. Pak Lebe berhenti sejenak, menatap sekeliling. “Kita sudah dekat. Hati-hati, jangan berpencar. Begitu sampai di Curug Kembar, kalian harus mengikuti semua yang dikatakan Kirana. Jangan ada yang melangkah keluar jalur.” Mereka kembali berjalan. Di kejauhan, suara gemuruh air mulai terdengar, tapi ada sesuatu yang aneh. Suara itu… tidak seperti air terjun

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Kunci yang Terkunci

    Perjalanan menuju rumah Kirana tidak mudah. Jalan setapak di ujung desa utara dipenuhi akar pohon yang menjalar, dan kabut tipis menggantung sepanjang jalur. Pak Lebe berjalan paling depan, diikuti Arga dan Ningsih. Semakin jauh mereka melangkah, semakin jarang suara burung terdengar.“Pak… yakin ini jalannya?” tanya Ningsih pelan.Pak Lebe hanya mengangguk. “Kirana tidak ingin ditemukan sembarang orang. Rumahnya memang sengaja disembunyikan. Kalau kalian mulai merasa seperti berjalan memutar, berarti kita hampir sampai.”Setelah hampir satu jam, mereka tiba di sebuah rumah panggung kayu yang tersembunyi di bawah rimbunan pohon bambu. Dari luar terlihat biasa, tapi ada hawa yang membuat bulu kuduk berdiri.Pak Lebe mengetuk pintu tiga kali, sesuai pola yang diajarkan padanya bertahun-tahun lalu. Tak lama, pintu berderit terbuka. Seorang perempuan berambut hitam panjang, dengan tatapan mata tajam namun lelah, muncul di ambang pintu.“Pak Lebe… aku sudah tahu kalian akan datang,” ucapny

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Setelah Semua Tenang

    Tiga tahun berlalu. Curug Kembar yang dulu tertutup kabut dan misteri, kini mulai kembali dikenal orang. Pemerintah desa membuka akses, membangun jalan setapak, dan menambahkan beberapa petunjuk arah. Tempat itu jadi lokasi wisata alam yang cukup ramai — terutama saat akhir pekan. Anak-anak muda datang berfoto. Keluarga-keluarga piknik di tepi curug. Bahkan beberapa sekolah mulai menggunakannya sebagai tempat kegiatan pramuka dan berkemah. Tapi sesuatu yang ganjil masih bertahan. Beberapa siswa pernah tiba-tiba kesurupan saat malam api unggun. Ada yang mendadak badannya penuh gatal seperti alergi aneh. Bahkan pernah, seorang murid perempuan pingsan saat tengah malam, dan tak bisa sadar hingga matahari terbit. Warga yang panik akhirnya membawa anak itu… ke rumah Arga. Malam itu, Arga duduk di samping gadis yang masih tak sadarkan diri. Matanya tertutup rapat, tapi tangannya mengepal, tubuhnya seperti menahan dingin yang menusuk dari dalam. > “Dia kayak nahan sesuatu, Ning,” kata A

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Yang Teringgal

    Sudah tiga minggu berlalu sejak malam itu. Desa kembali tenang. Curug kembar kini ditutup permanen. Para tetua desa membuat pagar keliling dari batu dan kayu, serta melantunkan doa setiap malam Jumat Kliwon. Tapi ketenangan luar... tidak selalu mencerminkan kedamaian dalam jiwa. Arga duduk di beranda rumah neneknya. Sinar matahari sore mengintip di balik awan. Burung-burung bersahutan. Tapi dalam kepalanya, suara-suara dari malam itu masih bergema. > “Ga… jagain pintunya…” Kalung Rino sudah tak ada. Hancur bersama gerbang yang kini tertutup. Tapi kadang, Arga masih terbangun tengah malam, merasa seperti ada yang duduk di ujung tempat tidurnya. Ia menatap kosong ke arah curug, meski dari sini tak terlihat. Tapi ada ikatan yang tak bisa dijelaskan… seperti sebagian dari dirinya masih tertinggal di balik dua pohon dadap itu. Ningsih datang membawa teh hangat. > “Masih kebayang ya?” tanyanya lembut. Arga mengangguk pelan. “Gak akan bisa hilang, Ning. Tapi gue harus terus hidup. It

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status