Home / Horor / Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain / Desa Kemuning dan Misteri Curug Kembar

Share

Desa Kemuning dan Misteri Curug Kembar

Author: Kelaras ijo
last update Huling Na-update: 2025-05-05 06:50:29

Meski dikenal angker, setiap hari Minggu dan hari libur, Curug Kembar tak pernah sepi dari pengunjung. Terutama anak-anak muda dari desa tetangga. Mereka datang untuk bersantai, mandi di kolam, atau sekadar duduk di atas batu kali yang tersebar di sekitar pinggiran air. Namun belakangan, keindahan itu mulai pudar. Bukan karena alamnya rusak, tapi karena cerita-cerita menyeramkan yang makin sering terdengar.

Pak Samin, penjaga kebun karet yang rumahnya tak jauh dari curug, menjadi salah satu saksi hidup akan kejanggalan yang terus terjadi.

“Aku wes telung puluh taun jaga kene, Le. Tapi sejak pohon dadap itu dikasih pagar bambu, aurane koyok owah...” katanya suatu malam di warung kopi depan masjid desa.

Pohon dadap yang dimaksud berdiri tak jauh dari tepi curug, menjulang tinggi dengan dahan meranggas. Konon, di bawah akar pohon itulah tertanam pusaka besi kuning. Tidak banyak yang tahu, tapi sebagian orang tua desa percaya, benda itu adalah kunci penjaga antara dunia manusia dan dunia lelembut.

“Aku pernah ndelok, Le... ana wong cilik nganggo klambi abang njagong nang kadohan, nonton wong-wong rekreasi, tapi terus ilang seketika,” lanjut Pak Samin dengan suara lirih.

Warga yang mendengar cerita itu diam. Tidak ada yang berani tertawa. Karena sebagian dari mereka juga pernah melihat hal serupa—sosok berwajah merah dengan sorot mata tajam, kadang duduk di atas batu, kadang melayang di antara dua aliran air curug.

Yang paling mengerikan terjadi setahun lalu. Dua remaja laki-laki dari desa seberang mencoba berenang hingga ke titik pertemuan arus. Mereka sempat bersenda gurau di atas batu, saling dorong dan tertawa. Namun, hanya satu yang kembali.

“Gusti... temenku... ditarik... ana sing nyekel sikilku,” ucap remaja itu sambil gemetar, tubuhnya menggigil meski matahari masih tinggi.

Warga menyisir area curug selama dua hari penuh. Hasilnya nihil. Tidak ada jejak. Tidak ada jasad. Hanya suara gemuruh air dan kabut tipis yang menolak pergi dari atas kolam.

Sejak kejadian itu, pengunjung mulai berkurang. Bahkan hari Minggu pun kadang curug tampak sepi. Anak kecil tidak lagi diajak ke sana. Bahkan orang dewasa sekalipun, ogah mendekat kalau tidak ramai-ramai.

“Jangankan anak-anak, wong tuwa wae nek mung loro yo ora wani kesitu,” kata Bu Ijah, penjual gorengan langganan pengunjung curug.

Bu Ijah pernah merasakan sendiri suasana aneh itu. Pernah suatu pagi dia datang lebih awal dari biasanya. Saat sedang mengatur dagangannya di warung kecil dari seng dan kayu di dekat area curug, ia mendengar suara anak kecil tertawa di antara pepohonan. Padahal ia tahu, belum ada satu pun pengunjung yang datang.

Suara itu datang dari arah pohon karet yang terkenal angker—yang katanya kalau disadap bukan keluar getah, tapi darah. Memang tidak semua pohon karet seperti itu. Tapi ada satu yang tumbuh condong ke arah curug, dengan batang retak-retak dan daun yang jarang, yang konon menampakkan keanehan.

Pernah suatu waktu, saat seorang penyadap baru mencoba menyadap pohon itu, ia berlari ketakutan ke arah pos penjaga sambil menangis. Wajahnya pucat, tangannya gemetar.

“Aku nyadap... terus metu abang... anyir... dudu getah!” teriaknya.

Ketika diperiksa, bekas sadapannya memang tampak mengeluarkan cairan kental kemerahan. Namun saat warga lain datang keesokan harinya, cairan itu hilang. Tak ada bukti. Hanya bekas luka sadapan dan hawa dingin yang menempel di batangnya.

Cerita demi cerita, kejadian demi kejadian, membuat aura mistis Curug Kembar semakin kuat. Tapi puncaknya terjadi belum lama ini, saat hujan deras mengguyur Desa Kemuning selama tiga hari berturut-turut. Tanah di atas tebing curug perlahan terkikis, hingga akhirnya longsor besar tak terelakkan.

Batu-batu besar dan lumpur turun menghantam kolam, menimbun sebagian aliran air dan menyisakan genangan keruh. Suara gemuruh air tak lagi terdengar seindah dulu. Kolam yang dulunya bening dan jernih, kini berubah menjadi cekungan tanah lembek dan batu tumpang tindih. Warga yang datang hanya bisa berdiri, memandangi bekas keindahan yang sudah sirna.

Beberapa orang berkata bahwa longsor itu bukan murni bencana alam. Bahwa tanah yang ambruk adalah peringatan dari penjaga gaib curug yang mulai murka. Sebagian lainnya percaya, bahwa itu ada hubungannya dengan pusaka besi kuning yang selama ini menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia halus.

Namun, tak ada yang berani menyentuh atau mencarinya.

Belum.

Karena mereka tahu... mengambil pusaka bukan sekadar mencabut benda dari tanah, tapi juga mengusik sesuatu yang jauh lebih tua, lebih dalam, dan lebih gelap dari sekadar cerita rakyat.

Namun, tak ada yang berani menyentuh atau mencarinya.

Belum.

Karena mereka tahu... mengambil pusaka bukan sekadar mencabut benda dari tanah, tapi juga mengusik sesuatu yang jauh lebih tua, lebih dalam, dan lebih gelap dari sekadar cerita rakyat.

Tapi selalu ada yang penasaran.

Namanya Rino, pemuda desa Kemuning yang dulu sempat merantau ke kota. Ia baru kembali beberapa bulan lalu setelah ibunya sakit dan ingin ditemani di hari tua. Rino yang dulunya dikenal pemberani dan keras kepala, kini lebih pendiam, tapi pandangannya kadang menerawang jauh—seolah menyimpan sesuatu yang belum tersampaikan.

Suatu sore, Rino datang ke warung Bu Ijah. Ia membeli kopi hitam dan duduk sendirian di bangku kayu dekat jendela, menghadap ke arah bukit tempat curug itu berada.

“Rin, mbok ojo kesitu yo. Wingi wae anak wedok tukang gorengan mlebu angin sakmene-mene mergo dolan deket curug,” kata Bu Ijah sambil menuangkan kopi ke gelas kaca.

Rino hanya tersenyum kecil. Tak menjawab.

Ada sesuatu dalam pikirannya yang terus menghantui. Ia ingat almarhum kakeknya dulu sering bercerita tentang sebuah suara yang hanya bisa didengar oleh mereka yang “terpilih.” Suara itu akan datang dari dalam air, memanggil nama dengan lirih, membujuk, kadang memohon, kadang memerintah.

Dan tiga malam terakhir, suara itu datang dalam mimpinya.

“Rinooo…”

Dari balik kabut dan air yang mengalir, suara itu memanggil pelan, namun dinginnya menusuk hingga ke tulang.

Ia pernah mencoba menceritakannya ke temannya, tapi hanya dianggap terlalu stres atau kurang tidur. Padahal Rino tahu—itu bukan mimpi biasa. Ia bahkan bangun dengan telapak kaki basah, padahal ia tidur di dalam kamar tertutup dan tanpa genangan air sedikit pun.

Dan sejak hari itu, bayangan curug terus menghantuinya.

Malam itu, Rino memutuskan berjalan menuju curug sendirian. Ia tak ingin ditemani siapa pun. Ia merasa, kalau suara itu memanggilnya, maka ia harus menjawab sendiri. Entah mengapa, hatinya terasa berat, tapi juga penasaran.

Langit malam itu berawan, tapi bukan hujan. Bulan purnama sesekali muncul dari balik kabut. Jalan setapak menuju curug terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin malam meniup dedaunan, menciptakan suara berdesir seperti bisikan.

Saat tiba di pinggir curug, Rino berdiri diam. Air masih mengalir, meski tak sederas dulu. Di sekitarnya hanya ada kabut tipis dan bau tanah basah. Ia menatap ke tengah kolam yang tenang.

Lalu…

“Rino…”

Suara itu terdengar. Kali ini bukan dari mimpi. Tapi nyata. Sangat nyata. Seperti bisikan tepat di belakang telinganya.

Ia menoleh. Tidak ada siapa pun.

Tiba-tiba air di tengah kolam bergerak. Bukan arus, tapi seperti ada sesuatu yang muncul dari dalam—gelembung-gelembung kecil bermunculan, disusul pusaran kecil seperti seseorang yang sedang berenang ke atas.

Tapi yang muncul bukan manusia.

Bayangan samar seperti wanita berambut panjang dengan wajah buram perlahan naik ke permukaan, hanya terlihat dari leher ke atas. Matanya kosong, putih semua. Rambutnya terurai menutupi sebagian wajah.

Rino terpaku.

Tubuhnya tidak bisa bergerak, seolah seluruh ototnya lumpuh karena ketakutan. Namun, saat ia mengedipkan mata sekali, sosok itu hilang—lenyap begitu saja.

Dan di tempatnya berdiri, tanah terasa becek. Tapi bukan lumpur. Rino menunduk, dan melihat genangan kecil yang warnanya seperti… darah.

---

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Perjalanan Menjelang Fajar

    Udara dini hari menusuk tulang. Kabut tebal menggantung di sepanjang jalan setapak menuju Curug Kembar. Arga berjalan paling depan, memegang keris peninggalan Kirana yang dibungkus kain putih. Ningsih mengikutinya dengan langkah ragu, sementara Pak Lebe membawa lentera tua yang cahayanya nyaris tak mampu menembus kabut. Tak ada suara jangkrik, tak ada burung. Hanya suara napas mereka sendiri. “Mas… ini kayaknya lebih dingin dari biasanya,” bisik Ningsih sambil merapatkan jaketnya. Arga hanya mengangguk. Setiap langkah terasa lebih berat, seperti tanah di bawah kaki mereka menahan, seakan tidak ingin mereka melanjutkan perjalanan. Pak Lebe berhenti sejenak, menatap sekeliling. “Kita sudah dekat. Hati-hati, jangan berpencar. Begitu sampai di Curug Kembar, kalian harus mengikuti semua yang dikatakan Kirana. Jangan ada yang melangkah keluar jalur.” Mereka kembali berjalan. Di kejauhan, suara gemuruh air mulai terdengar, tapi ada sesuatu yang aneh. Suara itu… tidak seperti air terjun

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Kunci yang Terkunci

    Perjalanan menuju rumah Kirana tidak mudah. Jalan setapak di ujung desa utara dipenuhi akar pohon yang menjalar, dan kabut tipis menggantung sepanjang jalur. Pak Lebe berjalan paling depan, diikuti Arga dan Ningsih. Semakin jauh mereka melangkah, semakin jarang suara burung terdengar.“Pak… yakin ini jalannya?” tanya Ningsih pelan.Pak Lebe hanya mengangguk. “Kirana tidak ingin ditemukan sembarang orang. Rumahnya memang sengaja disembunyikan. Kalau kalian mulai merasa seperti berjalan memutar, berarti kita hampir sampai.”Setelah hampir satu jam, mereka tiba di sebuah rumah panggung kayu yang tersembunyi di bawah rimbunan pohon bambu. Dari luar terlihat biasa, tapi ada hawa yang membuat bulu kuduk berdiri.Pak Lebe mengetuk pintu tiga kali, sesuai pola yang diajarkan padanya bertahun-tahun lalu. Tak lama, pintu berderit terbuka. Seorang perempuan berambut hitam panjang, dengan tatapan mata tajam namun lelah, muncul di ambang pintu.“Pak Lebe… aku sudah tahu kalian akan datang,” ucapny

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Setelah Semua Tenang

    Tiga tahun berlalu. Curug Kembar yang dulu tertutup kabut dan misteri, kini mulai kembali dikenal orang. Pemerintah desa membuka akses, membangun jalan setapak, dan menambahkan beberapa petunjuk arah. Tempat itu jadi lokasi wisata alam yang cukup ramai — terutama saat akhir pekan. Anak-anak muda datang berfoto. Keluarga-keluarga piknik di tepi curug. Bahkan beberapa sekolah mulai menggunakannya sebagai tempat kegiatan pramuka dan berkemah. Tapi sesuatu yang ganjil masih bertahan. Beberapa siswa pernah tiba-tiba kesurupan saat malam api unggun. Ada yang mendadak badannya penuh gatal seperti alergi aneh. Bahkan pernah, seorang murid perempuan pingsan saat tengah malam, dan tak bisa sadar hingga matahari terbit. Warga yang panik akhirnya membawa anak itu… ke rumah Arga. Malam itu, Arga duduk di samping gadis yang masih tak sadarkan diri. Matanya tertutup rapat, tapi tangannya mengepal, tubuhnya seperti menahan dingin yang menusuk dari dalam. > “Dia kayak nahan sesuatu, Ning,” kata A

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Yang Teringgal

    Sudah tiga minggu berlalu sejak malam itu. Desa kembali tenang. Curug kembar kini ditutup permanen. Para tetua desa membuat pagar keliling dari batu dan kayu, serta melantunkan doa setiap malam Jumat Kliwon. Tapi ketenangan luar... tidak selalu mencerminkan kedamaian dalam jiwa. Arga duduk di beranda rumah neneknya. Sinar matahari sore mengintip di balik awan. Burung-burung bersahutan. Tapi dalam kepalanya, suara-suara dari malam itu masih bergema. > “Ga… jagain pintunya…” Kalung Rino sudah tak ada. Hancur bersama gerbang yang kini tertutup. Tapi kadang, Arga masih terbangun tengah malam, merasa seperti ada yang duduk di ujung tempat tidurnya. Ia menatap kosong ke arah curug, meski dari sini tak terlihat. Tapi ada ikatan yang tak bisa dijelaskan… seperti sebagian dari dirinya masih tertinggal di balik dua pohon dadap itu. Ningsih datang membawa teh hangat. > “Masih kebayang ya?” tanyanya lembut. Arga mengangguk pelan. “Gak akan bisa hilang, Ning. Tapi gue harus terus hidup. It

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Tiga Malam Penentu

    Malam pertama turun dengan hawa yang ganjil. Udara terasa berat dan lengket, seperti ada sesuatu di udara yang tak kasatmata. Warga desa mulai gelisah. Anak-anak menangis tanpa sebab, binatang peliharaan menolak makan, dan burung hantu terdengar terus bersahutan… dari arah curug.Arga duduk di beranda rumah neneknya, memegang kalung Rino yang tak lagi bersinar. Ningsih menemaninya, sesekali memandang ke luar dengan cemas.> “Kamu yakin mau hadapi ini sendirian, Ga?” tanya Ningsih lirih.> “Gak ada yang bisa gantiin tempatku, Ning… semua ini karena aku ikut buka jalur itu dulu…”Suara petir tiba-tiba menggema, padahal langit tak berawan. Tanah bergetar sedikit. Dan dari arah jalan masuk desa, terdengar suara sepatu berjalan pelan.Pak Lebe muncul dengan wajah letih. Tapi ada sesuatu di belakangnya—seorang lelaki asing, berjubah hitam dengan ikat kepala kain putih. Tatapannya tajam, dan tubuhnya tinggi tegap. Tangannya menggenggam tongkat kayu.> “Ini… Ki Jatmadra,” ujar Pak Lebe. “Sala

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Langkah Menuju Gerbang

    Pagi itu kabut turun lebih tebal dari biasanya.Langkah kaki Arga terasa berat saat berjalan ke sawah yang biasanya jadi tempat neneknya memetik sayur.Tak ada suara ayam. Tak ada suara warga.Hanya desis angin yang seolah berbisik di antara dedaunan basah.> “Kita makin dekat,” suara lirih itu muncul lagi di kepalanya.“Gerbang sudah siap… tinggal kamu yang belum.”Arga menggeleng keras, menutup telinganya. Tapi suara itu tak mau pergi. Ia mencoba melawan, mencoba kembali ke rutinitas... tapi semua terasa ganjil. Bahkan, senyum tetangga pun kini terlihat seperti topeng yang memaksa.---Siangnya, Arga duduk bersama Pak Lebe dan Ningsih di serambi. Mereka menatap peta tua yang digambar ulang dari isi kitab warisan. Di sana terlihat jalur-jalur halus yang membentuk simbol besar—sebuah pola yang jika disambungkan dengan letak dua pohon dadap dan curug kembar, membentuk mata tertutup.> “Ini bukan cuma tempat keramat,” kata Pak Lebe pelan.“Ini penutup. Segel. Dan tanda di tubuhmu itu...

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status