Home / Horor / Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain / Pertemuan di Bawah Bulan Kemuning

Share

Pertemuan di Bawah Bulan Kemuning

Author: Kelaras ijo
last update Huling Na-update: 2025-05-07 06:38:48

Angin malam di desa Kemuning selalu membawa suara-suara yang tak bisa dijelaskan. Kadang seperti desir dedaunan, kadang seperti langkah kaki yang tertahan. Namun malam itu, suara mesin motor tua memecah sunyi, menyusuri jalan berbatu yang mengarah ke arah warung Bu Ijah.

Pemilik motor itu adalah Arga, pemuda asli kota yang baru dua minggu menetap di rumah peninggalan kakeknya di pinggir desa. Ia mengaku sedang cuti panjang dari pekerjaannya di luar negeri, tapi diam-diam, Arga punya misi pribadi—mencari tahu kebenaran tentang Curug Kembar yang sejak kecil hanya didengarnya lewat cerita ibu dan neneknya.

"Di antara dua pohon besar dan sepasang aliran air, di sanalah para penjaga tidur. Jangan pernah datang sendiri, apalagi kalau kau mendengar namamu dipanggil," begitu kata ibunya dulu.

Dan anehnya, sejak pindah ke desa, Arga juga mulai mengalami mimpi serupa. Suara lembut yang memanggil namanya, berasal dari tengah kolam curug yang mengalir di antara hutan dan bebatuan. Ia mulai mencatat semuanya: posisi air, bentuk kolam, bahkan arah aliran sungainya. Tapi sejauh ini, semuanya hanya membuatnya semakin penasaran.

Saat Arga berhenti di warung Bu Ijah untuk ngopi, ia melihat seorang pemuda kurus dengan jaket lusuh duduk sendirian di ujung warung. Pandangannya kosong mengarah ke jendela, ke arah bukit.

Bu Ijah menyapa, “Kowe loro padha edan, ngerti curug tapi malah dicocog.”

Arga menoleh, bingung. “Loro?”

Bu Ijah menunjuk ke arah pemuda itu. “Si Rino kuwi. Dadi uwong koyo kelangan arah sejak balik dari kota. Sok-sok ngelamun, sok-sok dolan dewe menyang curug.”

Arga terdiam. Ia langsung menghampiri Rino.

“Mas, boleh duduk?”

Rino menoleh singkat, lalu mengangguk. “Silakan.”

“Aku Arga. Baru pindah ke desa, rumahnya di pinggir sawah. Dengar-dengar... curug di sini agak ‘istimewa’ ya?”

Mata Rino yang semula lesu sedikit menyala. “Kamu juga dengar suara itu?”

Arga menegang. “Maksudmu… suara perempuan? Yang manggil pelan dari dalam air?”

Rino menatapnya lama. “Jadi bukan cuma aku…”

Untuk pertama kalinya, Rino merasa tidak sendirian. Arga juga merasakannya. Bukan hanya omong kosong. Mereka berdua seakan ditarik oleh sesuatu yang sama—sesuatu dari dalam curug.

Mereka mulai bertukar cerita. Tentang mimpi-mimpi aneh. Tentang darah di kaki saat bangun tidur. Tentang kabut yang muncul di siang bolong di dekat curug. Tentang suara yang berubah nada tergantung siapa yang mendengar.

“Kadang dia memanggil seperti minta tolong,” kata Arga pelan, “tapi kadang… dia terdengar marah.”

Rino mengangguk. “Seperti sedang menguji kita.”

Sampai larut malam, mereka berdua masih duduk di sana. Bahkan Bu Ijah sudah menutup warungnya. Tapi mereka masih di bangku kayu depan warung, berdiskusi, membuat sketsa peta arah curug, mencatat waktu kemunculan kabut, membandingkan jam munculnya suara.

Mereka sepakat: akan kembali ke curug, bersama. Tapi kali ini, bukan sekadar penasaran.

“Ada yang tidak ingin ditemukan di sana,” bisik Rino.

“Tapi ada yang memang menunggu kita menemukannya,” sahut Arga.

Langit desa Kemuning mulai diselimuti kabut tipis, dan di kejauhan, dari arah curug, terdengar suara seperti aliran air bertambah deras. Padahal, tak ada hujan.

Arga dan Rino akhirnya memutuskan beranjak pulang. Mereka berjalan bersama melewati jalan setapak yang gelap, hanya diterangi sinar bulan dan lampu senter dari ponsel. Rino mengantar Arga sampai persimpangan, lalu berpisah ke arah rumah masing-masing.

Tapi malam itu, sesuatu terasa berbeda.

Di rumah, Arga membuka jendela kamarnya. Udara malam menyusup masuk, membawa aroma basah dari arah bukit. Telinganya tajam menangkap bunyi lirih seperti aliran air... tapi bukan aliran biasa. Suaranya terdengar aneh, seperti... bernyanyi.

Pelan. Merdu. Tapi menakutkan.

Dan lebih anehnya lagi—lagu itu terdengar sama persis seperti dalam mimpinya.

Arga menutup jendela, tapi suara itu masih terdengar. Ia menyalakan perekam suara di ponselnya, berharap bisa merekam apa pun itu. Namun saat ia menekan tombol rekam, suara tiba-tiba hilang.

Sunyi.

Tak ada angin. Tak ada serangga. Seperti alam menahan napas.

Di seberang desa, di rumah kontrakan kecil milik Rino, hal serupa terjadi. Lampu kamar Rino berkedip dua kali sebelum mati total. Ia buru-buru menyalakan lilin. Tapi begitu nyala lilin muncul, bayangan di tembok menunjukkan dua siluet, padahal ia sendirian.

Satu bayangan berdiri di sampingnya. Tinggi. Rambut panjang. Tidak bergerak.

Rino memejamkan mata. Napasnya memburu. Lilin bergetar, nyaris padam.

Tiba-tiba… terdengar suara ketukan pelan di jendela. Tiga kali.

Tok. Tok. Tok.

Dengan gemetar, Rino mendekati jendela. Namun tak ada siapa-siapa di luar. Hanya kegelapan pekat dan suara air yang mengalir… padahal rumahnya jauh dari aliran sungai.

Sementara itu, ponsel Arga yang ia letakkan di meja tiba-tiba menyala sendiri. Aplikasi perekam terbuka, dan di layar muncul rekaman dengan durasi 00:00:01.

Arga menekan tombol play.

Yang terdengar hanyalah suara... napas.

Berat. Lambat. Seperti sesuatu sedang berdiri sangat dekat dengan mikrofon.

Arga langsung mematikan ponsel dan menatap sekeliling kamar. Tidak ada siapa-siapa. Tapi hatinya yakin—dia tidak sendiri.

Malam itu, baik Arga maupun Rino tidak bisa tidur. Mereka tidak saling menghubungi. Tapi mereka tahu, entah bagaimana, keduanya sedang mengalami hal yang sama.

Dan di balik bayang-bayang hutan, di balik derasnya air yang mengalir dari Curug Kembar, sesuatu telah terbangun.

Di kejauhan, di sekitar kawasan Curug Kembar yang kini sepi dan ditinggalkan, kabut turun perlahan menutupi pepohonan dan batu-batu besar di sekeliling kolam. Hutan kecil di antara dua aliran curug terlihat jauh lebih gelap dari biasanya, seolah menyembunyikan sesuatu.

Di bawah pohon dadap yang menjulang tua di sisi kanan curug, tanah yang basah tampak seperti berdenyut pelan. Lamat-lamat terdengar bisikan samar dari balik batang pohon itu—bisikan yang tidak berasal dari manusia.

Samar-samar, seberkas cahaya kekuningan muncul dari akar pohon dadap. Cahaya itu seperti mencoba naik ke permukaan, namun kembali tenggelam, seolah tertahan oleh kekuatan tak terlihat.

Dan di saat yang sama, di rumah Arga, ponselnya bergetar sendiri. Sebuah pesan masuk, tanpa nama pengirim:

"Jangan cari tahu lebih jauh, atau kalian ikut terkubur bersama rahasia curug ini."

Layar ponsel tiba-tiba mati. Arga mundur perlahan, jantungnya berpacu cepat. Nafasnya memburu, tapi matanya justru penuh tekad.

"Apa pun ini... aku harus tahu."

---

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Batas yang Tak Terlihat

    Langkah Rino terhenti di depan dua pohon beringin raksasa yang saling melilit akar. Di antara celahnya, tampak gelap dan dalam—seolah mulut dunia lain tengah menganga.Ia siramkan air kendi seperti perintah si perempuan tua.Celah itu perlahan terbuka, tanpa suara, tanpa cahaya—hanya kegelapan murni yang terasa mengisap keberanian.Dengan napas tertahan, Rino melangkah masuk.Seketika, hawa berubah. Dingin menusuk, tapi tidak membeku. Hening, tapi tidak damai. Yang terdengar hanya derit dedaunan dan gemerisik langkahnya sendiri.Tak ada cahaya aneh.Tak ada sosok berjubah.Tak ada suara gamelan.Hanya lorong panjang dari pepohonan yang membentuk lengkungan sempurna di atas kepala, seperti terowongan alami yang tumbuh sendiri. Kabut tipis menyelimuti tanah, dan sinar remang-remang entah dari mana menerangi jalan kecil di depannya.Rino berjalan pelan, matanya awas ke segala arah.Semakin dalam ia melangkah, semakin sunyi suasananya. Suara jangkrik pun lenyap. Tak ada burung. Tak ada an

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Yang Tak Pernah Kembali

    Seseorang menyeret tubuh Rino dari tanah hutan yang lembap. Tangan kurus namun kuat mencengkeram pergelangan tangannya, lalu membawanya menjauh dari batu besar di antara dua pohon dadap itu. Suara gamelan sudah lenyap, angin pun berhenti, seolah semua kembali normal. Rino membuka matanya perlahan. Pandangannya buram. Bau kemenyan yang samar tercium dari ujung hidungnya. Suara pelan dan bergetar membangunkannya: “Alhamdulillah… dia masih hidup.” Tiga orang berdiri di sekelilingnya. Mbah Rekso, Pak Dargo si penjaga curug, dan satu orang tak dikenal—lelaki tua dengan ikat kepala kain mori dan mata cekung menatap tajam. “Kalian sudah melewati batas... nyaris tidak kembali,” gumam lelaki tua itu. Suaranya berat, seperti keluar dari dalam gua. Rino mencoba duduk. Kepala masih berdenyut. “Arga… temen saya... dia—dia hilang…” Mbah Rekso menghela napas panjang. Ia mengambil kantong kain dari sakunya, lalu menaburkan serbuk putih ke tanah. “Kamu lihat sendiri tadi. Batu itu... bukan seka

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Jejak yang Hilang

    Pagi itu langit mendung, seperti ikut menyimpan rahasia dari malam yang mencekam. Arga dan Rino hampir tidak tidur semalaman. Mata mereka merah, kepala berat, tapi rasa penasaran jauh lebih kuat dari rasa takut yang menghantui. “Aku nggak bisa diem aja, Rin. Kayaknya kita harus ke hutan belakang curug itu,” ucap Arga pelan, tapi tegas. Rino menatapnya dengan ragu. “Lo waras, Ga? Habis diganggu gitu, malah mau ke tempat yang lebih angker?” “Ada yang aneh. Semua ini nggak sekadar mitos. Cewek yang semalam itu... dia bukan cuma penampakan. Dia nyari sesuatu. Atau... nyari seseorang.” Rino akhirnya mengangguk, meski wajahnya penuh keraguan. Mereka memutuskan berangkat siang itu, membawa senter, kamera, dan kemenyan dari mbah Rekso—yang menurutnya bisa sedikit “menenangkan” jalur menuju hutan itu. Saat kaki mereka mulai menapaki jalan setapak di sisi curug, udara berubah lebih dingin dari biasanya. Suara air terjun terdengar, tapi seperti teredam. Beberapa warga yang sedang melintas m

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Hawa Tidak Biasa

    Desa Kemuning berubah.Tak ada lagi suara ceria anak-anak bermain di sore hari. Burung-burung tak lagi bersiul dari dahan. Bahkan, jangkrik pun seperti ikut bungkam. Sejak kejadian aneh di Curug Kembar yang menimpa Arga dan Rino, suasana desa seperti diliputi kabut tipis yang tak kasat mata, tapi bisa dirasakan—menyesakkan dada dan membuat bulu kuduk terus berdiri.Langit selalu mendung, bahkan saat matahari seharusnya bersinar terang. Warga mulai resah, terutama setelah kejadian aneh mulai bermunculan.Ternak milik Pak Surip ditemukan mati mendadak, matanya terbuka lebar seolah melihat sesuatu sebelum ajal menjemput. Tubuhnya kaku, tapi tidak ada luka sedikit pun. Di tanah kandang, terlihat bekas telapak kaki besar dengan jari-jari panjang dan dalam—bukan milik manusia atau hewan biasa.Lalu, Bu Ratmi, tetangga Arga, mendadak kerasukan saat sedang menanak nasi. Ia berteriak-teriak dengan suara berat dan kasar, “Gerbang sudah dibuka… bendera telah ditegakkan… tak bisa ditutup lagi!”S

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Tanda-Tanda

    Pagi itu Desa Kemuning tak seperti biasanya. Udara yang biasanya segar dan tenang mendadak terasa berat, seolah ada sesuatu yang menggantung di langit. Beberapa warga mulai mengeluhkan mimpi-mimpi aneh—tentang orang-orang berwajah datar berdiri di pinggir curug, atau suara perempuan menangis dari balik pepohonan. Warung Bu Ning sepi. Biasanya tempat itu jadi pusat keramaian warga selepas subuh, tapi pagi ini hanya ada dua orang tua duduk diam sambil sesekali melirik ke luar. Anak-anak dilarang bermain jauh, terutama ke arah Curug Kembar. Ibu-ibu mulai menyimpan garam di depan pintu, dan beberapa rumah bahkan menggantungkan daun kelor kering di atas jendela. “Ini bukan hal biasa,” gumam Mbah Rekso pelan saat Arga menemuinya pagi itu. Suaranya parau dan wajahnya semakin muram. Arga mengangguk. “Ada yang berubah, Mbah. Semalam… saya melihat sesuatu. Tiang bendera… lambang kerajaan…” Mbah Rekso menatap Arga dalam-dalam. “Kau sudah melihatnya. Itu bukan sekadar penglihatan, itu peringa

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Mereka yang Mengawasi

    Langit pagi itu tampak muram. Kabut tipis menyelimuti perbukitan dan hawa dingin seperti merayap masuk ke sela-sela tulang. Arga dan Rino berdiri di depan jalan setapak menuju Curug Kembar. Meski matahari belum tinggi, suasana sudah terasa berat. "Kita beneran mau masuk sekarang?" tanya Rino pelan, matanya memandang ke arah pohon-pohon tinggi yang berdiri seperti penjaga. Arga mengangguk mantap. “Kita udah terlalu jauh, Rin. Lagian aku ngerasa… kita memang harus ke sini.” Dengan langkah hati-hati, mereka mulai menyusuri jalur tanah yang lembab. Suara burung dan dedaunan basah menemani langkah mereka, tapi entah kenapa... terdengar seperti bisikan samar yang datang dari balik pepohonan. Sesampainya di area curug, suara gemuruh air terdengar jelas. Air terjun itu jatuh dari dua sisi batuan yang kokoh, membentuk kolam bening di bawahnya. Tapi hari itu, airnya tampak agak kehijauan—seolah ada cahaya samar dari dasar kolam. Rino menyalakan kamera, merekam suasana sekitar. Tapi tiba-ti

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Rahasia yang Menyimpan Nyawa

    Langit desa Kemuning mendung sejak pagi. Udara lembap, angin dingin meniup dedaunan kering yang jatuh satu-satu seperti firasat akan datangnya peristiwa besar. Arga masih terduduk di teras rumahnya, memandangi arah bukit tempat Curug Kembar berada. Semakin banyak kejadian di sana, semakin dalam rasa penasarannya.“Lo masih mikirin curug itu, Ga?” tanya Rino sambil menyeruput kopi hitam yang baru saja dia buat.Arga mengangguk pelan. “Gue yakin, tempat itu bukan sekadar air terjun biasa, Rin. Ada sesuatu di sana… sesuatu yang dari dulu udah diem, tapi sekarang mulai bergerak lagi.”Rino menoleh dengan tatapan serius. “Lo tahu nggak, dari dulu orang-orang desa tuh udah nggak berani main ke sana, apalagi malem-malem. Bahkan pas siang aja, warga jarang yang berani deketin curug kalau sendirian.”“Gue denger itu,” Arga membalas. “Waktu kecil, nenek gue pernah cerita. Katanya dulu ada yang ilang di sana, nggak pernah ketemu sampai sekarang. Ada juga yang kesurupan atau pulang dengan kondisi

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Tujuh Hari Tertelan Air

    Hujan rintik membasahi desa Kemuning sejak pagi. Kabut menggantung rendah, menyelimuti pepohonan dan menyusup hingga ke sela-sela rumah warga. Aroma tanah basah berpadu dengan dingin yang menggigit, menciptakan suasana yang murung dan penuh ketegangan.Sudah seminggu berlalu sejak kejadian jatuhnya pemuda dari tebing Curug Kembar. Warga belum sempat benar-benar pulih dari rasa takut saat kabar baru kembali mengguncang.Seorang gadis muda, bernama Sinta, dinyatakan hilang setelah berkunjung ke Curug Kembar bersama dua temannya. Mereka bertiga awalnya hanya ingin menikmati air terjun dan berfoto. Tapi ketika hari mulai gelap dan mereka hendak pulang, Sinta tidak terlihat lagi. Teman-temannya mencari, memanggil, bahkan kembali menyusuri aliran air... tapi hasilnya nihil.“Sumpah, Pak! Dia ada di belakang kami waktu itu! Baru beberapa detik kami menoleh, dia sudah gak ada!” seru salah satu temannya saat laporan dibuat di balai desa.Warga segera menggelar pencarian. Tim SAR lokal, dibantu

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Tanda yang Tak Bisa Hilang

    Setelah kejadian semalam, Rino memilih untuk tidak kembali ke lokasi curug. Ia bilang kepalanya masih pusing, tapi Arga tahu, temannya itu sedang dilanda ketakutan yang tidak bisa dijelaskan.Sementara itu, bekas goresan di telapak tangan Arga tidak hilang. Ia sudah mencoba mencuci, menggosok pakai sabun, bahkan merendam dengan air hangat. Tapi simbol mata api itu tetap terlihat samar, seperti terukir di bawah kulitnya.Pagi itu, Arga memutuskan untuk kembali ke rumah Pak Jatmiko, juru kunci curug sekaligus tokoh tua yang dianggap mengerti soal hal-hal gaib di Desa Kemuning.“Pak, saya mau tanya soal pohon karet yang getahnya merah dan tentang tanda ini,” ucap Arga sambil menunjukkan telapak tangannya.Pak Jatmiko terdiam. Matanya langsung tertuju ke simbol di tangan Arga, dan wajahnya berubah serius.“Kowe wes ditandai, Le…” gumamnya pelan. “Tandha kuwi bukan sekadar goresan. Kuwi pertanda yen kowe wis nyenggol wilayah sing ora kowe pahami.”Arga menarik napas dalam. “Apa maksudnya,

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status