Udara dini hari menusuk tulang. Kabut tebal menggantung di sepanjang jalan setapak menuju Curug Kembar. Arga berjalan paling depan, memegang keris peninggalan Kirana yang dibungkus kain putih. Ningsih mengikutinya dengan langkah ragu, sementara Pak Lebe membawa lentera tua yang cahayanya nyaris tak mampu menembus kabut. Tak ada suara jangkrik, tak ada burung. Hanya suara napas mereka sendiri. “Mas… ini kayaknya lebih dingin dari biasanya,” bisik Ningsih sambil merapatkan jaketnya. Arga hanya mengangguk. Setiap langkah terasa lebih berat, seperti tanah di bawah kaki mereka menahan, seakan tidak ingin mereka melanjutkan perjalanan. Pak Lebe berhenti sejenak, menatap sekeliling. “Kita sudah dekat. Hati-hati, jangan berpencar. Begitu sampai di Curug Kembar, kalian harus mengikuti semua yang dikatakan Kirana. Jangan ada yang melangkah keluar jalur.” Mereka kembali berjalan. Di kejauhan, suara gemuruh air mulai terdengar, tapi ada sesuatu yang aneh. Suara itu… tidak seperti air terjun
Perjalanan menuju rumah Kirana tidak mudah. Jalan setapak di ujung desa utara dipenuhi akar pohon yang menjalar, dan kabut tipis menggantung sepanjang jalur. Pak Lebe berjalan paling depan, diikuti Arga dan Ningsih. Semakin jauh mereka melangkah, semakin jarang suara burung terdengar.“Pak… yakin ini jalannya?” tanya Ningsih pelan.Pak Lebe hanya mengangguk. “Kirana tidak ingin ditemukan sembarang orang. Rumahnya memang sengaja disembunyikan. Kalau kalian mulai merasa seperti berjalan memutar, berarti kita hampir sampai.”Setelah hampir satu jam, mereka tiba di sebuah rumah panggung kayu yang tersembunyi di bawah rimbunan pohon bambu. Dari luar terlihat biasa, tapi ada hawa yang membuat bulu kuduk berdiri.Pak Lebe mengetuk pintu tiga kali, sesuai pola yang diajarkan padanya bertahun-tahun lalu. Tak lama, pintu berderit terbuka. Seorang perempuan berambut hitam panjang, dengan tatapan mata tajam namun lelah, muncul di ambang pintu.“Pak Lebe… aku sudah tahu kalian akan datang,” ucapny
Tiga tahun berlalu. Curug Kembar yang dulu tertutup kabut dan misteri, kini mulai kembali dikenal orang. Pemerintah desa membuka akses, membangun jalan setapak, dan menambahkan beberapa petunjuk arah. Tempat itu jadi lokasi wisata alam yang cukup ramai — terutama saat akhir pekan. Anak-anak muda datang berfoto. Keluarga-keluarga piknik di tepi curug. Bahkan beberapa sekolah mulai menggunakannya sebagai tempat kegiatan pramuka dan berkemah. Tapi sesuatu yang ganjil masih bertahan. Beberapa siswa pernah tiba-tiba kesurupan saat malam api unggun. Ada yang mendadak badannya penuh gatal seperti alergi aneh. Bahkan pernah, seorang murid perempuan pingsan saat tengah malam, dan tak bisa sadar hingga matahari terbit. Warga yang panik akhirnya membawa anak itu… ke rumah Arga. Malam itu, Arga duduk di samping gadis yang masih tak sadarkan diri. Matanya tertutup rapat, tapi tangannya mengepal, tubuhnya seperti menahan dingin yang menusuk dari dalam. > “Dia kayak nahan sesuatu, Ning,” kata A
Sudah tiga minggu berlalu sejak malam itu. Desa kembali tenang. Curug kembar kini ditutup permanen. Para tetua desa membuat pagar keliling dari batu dan kayu, serta melantunkan doa setiap malam Jumat Kliwon. Tapi ketenangan luar... tidak selalu mencerminkan kedamaian dalam jiwa. Arga duduk di beranda rumah neneknya. Sinar matahari sore mengintip di balik awan. Burung-burung bersahutan. Tapi dalam kepalanya, suara-suara dari malam itu masih bergema. > “Ga… jagain pintunya…” Kalung Rino sudah tak ada. Hancur bersama gerbang yang kini tertutup. Tapi kadang, Arga masih terbangun tengah malam, merasa seperti ada yang duduk di ujung tempat tidurnya. Ia menatap kosong ke arah curug, meski dari sini tak terlihat. Tapi ada ikatan yang tak bisa dijelaskan… seperti sebagian dari dirinya masih tertinggal di balik dua pohon dadap itu. Ningsih datang membawa teh hangat. > “Masih kebayang ya?” tanyanya lembut. Arga mengangguk pelan. “Gak akan bisa hilang, Ning. Tapi gue harus terus hidup. It
Malam pertama turun dengan hawa yang ganjil. Udara terasa berat dan lengket, seperti ada sesuatu di udara yang tak kasatmata. Warga desa mulai gelisah. Anak-anak menangis tanpa sebab, binatang peliharaan menolak makan, dan burung hantu terdengar terus bersahutan… dari arah curug.Arga duduk di beranda rumah neneknya, memegang kalung Rino yang tak lagi bersinar. Ningsih menemaninya, sesekali memandang ke luar dengan cemas.> “Kamu yakin mau hadapi ini sendirian, Ga?” tanya Ningsih lirih.> “Gak ada yang bisa gantiin tempatku, Ning… semua ini karena aku ikut buka jalur itu dulu…”Suara petir tiba-tiba menggema, padahal langit tak berawan. Tanah bergetar sedikit. Dan dari arah jalan masuk desa, terdengar suara sepatu berjalan pelan.Pak Lebe muncul dengan wajah letih. Tapi ada sesuatu di belakangnya—seorang lelaki asing, berjubah hitam dengan ikat kepala kain putih. Tatapannya tajam, dan tubuhnya tinggi tegap. Tangannya menggenggam tongkat kayu.> “Ini… Ki Jatmadra,” ujar Pak Lebe. “Sala
Pagi itu kabut turun lebih tebal dari biasanya.Langkah kaki Arga terasa berat saat berjalan ke sawah yang biasanya jadi tempat neneknya memetik sayur.Tak ada suara ayam. Tak ada suara warga.Hanya desis angin yang seolah berbisik di antara dedaunan basah.> “Kita makin dekat,” suara lirih itu muncul lagi di kepalanya.“Gerbang sudah siap… tinggal kamu yang belum.”Arga menggeleng keras, menutup telinganya. Tapi suara itu tak mau pergi. Ia mencoba melawan, mencoba kembali ke rutinitas... tapi semua terasa ganjil. Bahkan, senyum tetangga pun kini terlihat seperti topeng yang memaksa.---Siangnya, Arga duduk bersama Pak Lebe dan Ningsih di serambi. Mereka menatap peta tua yang digambar ulang dari isi kitab warisan. Di sana terlihat jalur-jalur halus yang membentuk simbol besar—sebuah pola yang jika disambungkan dengan letak dua pohon dadap dan curug kembar, membentuk mata tertutup.> “Ini bukan cuma tempat keramat,” kata Pak Lebe pelan.“Ini penutup. Segel. Dan tanda di tubuhmu itu...