Curug Kembar. Dua aliran air terjun berdampingan yang jatuh ke satu kolam besar di tengah hutan kecil, seolah surga tersembunyi di Desa Kemuning, Jawa Tengah. Di balik hijaunya pepohonan dan gemuruh air yang menenangkan, ada desas-desus yang membuat bulu kuduk berdiri. Tentang tempat itu sebagai pintu—gerbang menuju dunia lain.
Setiap hari Minggu dan libur, curug ini ramai. Anak-anak tertawa, keluarga gelar tikar, dan muda-mudi berfoto di atas batu-batu besar di pinggiran kolam. Tapi warga setempat tahu, tempat ini tak bisa sembarangan diperlakukan. Arga, pria dua puluhan yang baru saja pulang ke desa setelah lama merantau, awalnya tak menghiraukan cerita-cerita mistis itu. Ia hanya ingin tenang, menjauh dari tekanan pekerjaan dan patah hati. Tapi sejak pagi pertama ia menginjakkan kaki di Curug Kembar, firasat buruk menempel seperti kabut yang enggan hilang. “Jangan terlalu lama di sana sendirian,” pesan Pak Darto, paman sekaligus orang tua satu-satunya yang masih ia punya. “Curug itu... bukan cuma tempat wisata.” Arga menatap Pak Darto heran. “Maksudnya, Paklik?” “Pohon-pohon karet di sana itu bukan pohon biasa. Pernah ada yang nekat nyadap, getahnya keluar merah. Darah. Bukan cuma itu... ada yang lihat sosok berwajah merah jalan di pinggir kolam. Dan yang paling angker... pohon dadap.” Arga terdiam. Ia memang sempat melihat pohon besar menjulang tak jauh dari curug, tampak menonjol di antara batang karet. “Kenapa pohon dadap?” “Di bawahnya, ada yang bilang tertanam pusaka-pusaka tua. Tapi nggak ada yang berani gali. Katanya, tempat itu dijaga. Kalau ada yang coba-coba... bisa hilang tanpa jejak.” Cerita itu terasa seperti dongeng, tapi tak bisa dipungkiri, malam-malam di desa ini terasa berbeda. Udara lebih dingin, suara lebih sunyi, dan Curug Kembar selalu mengeluarkan suara gemuruh aneh tiap lewat tengah malam. Seolah ada sesuatu yang bergerak di balik airnya. Dan malam itu, Arga mendengar suara samar. Seperti suara seseorang memanggil namanya dari arah curug. Pelan. Memanjang. “Argaaa…” Ia menoleh spontan ke arah jendela. Gelap. Tapi seolah ada bayangan berdiri di kejauhan. Diam. Menatap. Keesokan paginya, Arga menyusuri jalur setapak menuju Curug Kembar. Biasanya hari Minggu tempat itu ramai oleh keluarga dan muda-mudi yang piknik, tapi pagi itu terasa sepi. Bukan karena cuaca—matahari terang, langit biru bersih—tapi suasananya ganjil. Terlalu hening. Tak ada satu pun pengunjung. Bahkan warung-warung di dekat gerbang masuk pun tutup. Arga berjalan sendiri, langkahnya bergema di jalan berbatu. Saat ia melewati papan kayu bertuliskan “Curug Kembar – 300 meter”, hawa di sekitarnya berubah. Udara terasa dingin padahal matahari sedang terik. Ia menengok ke sekitar. Pohon-pohon karet berdiri rapat dan sunyi, batangnya tinggi, lurus, dan seperti sedang memperhatikan. Jalanan mulai menurun, menuju kolam besar tempat air dari dua curug jatuh bersamaan. Tapi Arga berhenti di tengah jalan. Di depannya, pohon karet tua berdiri mencolok. Ada bekas sadapan lama di batangnya. Arga mendekat dan mengernyit. Dari celah luka itu, bukan getah putih yang menetes… tapi cairan kental kemerahan. Warna darah. Dia mundur perlahan. Nafasnya memburu. Tak jauh dari situ, berdiri pohon dadap raksasa. Di sanalah, kata warga, tempat yang paling keramat. Tak ada yang berani mendekat sendirian, apalagi saat matahari belum tinggi. Warga desa sudah lama memberi peringatan: Jangan sekali-kali ke Curug Kembar sendirian. Bukan hanya karena rawan licin… tapi karena tempat itu dijaga. “Kalau bukan hari libur atau rame-rame, jangan nekat,” begitu kata Pak Darto malam sebelumnya. Dan sekarang, Arga merasakannya sendiri. Tak ada tawa, tak ada langkah, hanya suara air jatuh yang menggema seperti mantra panjang dari dunia lain. Di balik keindahan curug itu, tersembunyi sesuatu yang tak terlihat… tapi bisa terasa. Mengintai. Arga akhirnya tiba di tepi kolam. Air dari dua curug jatuh bersamaan, menciptakan riak luas di kolam bundar berwarna kehijauan. Indah, memang indah—tapi sunyi yang melingkupinya membuat tempat itu lebih terasa seperti altar, bukan objek wisata. Ia melangkah mendekat, duduk di batu besar dekat kolam. Dari sini ia bisa melihat jelas kedua air terjun yang jatuh dari tebing setinggi hampir dua puluh meter. Di antara kedua aliran air itu, tumbuh hutan kecil. Tak lebat, tapi gelap, dan penuh suara aneh—gemerisik tanpa angin, dan kadang seperti bisikan lirih entah dari mana. Di tengah menikmati pemandangan, Arga melihat sesuatu bergerak di bawah air. Cepat. Seperti bayangan. Ia sempat berdiri, menajamkan mata, tapi tak ada apa-apa selain pantulan awan dan pepohonan. Tiba-tiba dari arah kanan, terdengar suara patahan ranting. Arga menoleh cepat. Tak ada siapa-siapa. Tapi saat itu pula, bulu kuduknya berdiri. Aroma anyir tercium samar, seperti darah segar. Ia buru-buru meraih ransel dan memutuskan untuk kembali. Entah kenapa, nalurinya berteriak agar ia tidak menunggu lebih lama. Saat berbalik, langkahnya terhenti. Di sisi jalan, antara pepohonan karet, berdiri sesosok perempuan. Diam. Jaraknya cukup jauh, wajahnya tak terlihat jelas. Tapi rambutnya panjang menjuntai, dan gaunnya putih kusam seperti usang digerus tanah. “Bu…?” Arga memanggil, suara gemetar. Sosok itu tak menjawab. Tapi perlahan, melangkah mundur… dan menghilang ke dalam pepohonan, seperti ditelan kabut. Arga langsung lari, napas terengah, tak menoleh lagi hingga sampai ke motor. Dan saat mesin motor menyala, ia tak sadar… di ujung belakang jaketnya, menempel sehelai rambut panjang basah, seperti baru saja keluar dari kolam. ---Udara dini hari menusuk tulang. Kabut tebal menggantung di sepanjang jalan setapak menuju Curug Kembar. Arga berjalan paling depan, memegang keris peninggalan Kirana yang dibungkus kain putih. Ningsih mengikutinya dengan langkah ragu, sementara Pak Lebe membawa lentera tua yang cahayanya nyaris tak mampu menembus kabut. Tak ada suara jangkrik, tak ada burung. Hanya suara napas mereka sendiri. “Mas… ini kayaknya lebih dingin dari biasanya,” bisik Ningsih sambil merapatkan jaketnya. Arga hanya mengangguk. Setiap langkah terasa lebih berat, seperti tanah di bawah kaki mereka menahan, seakan tidak ingin mereka melanjutkan perjalanan. Pak Lebe berhenti sejenak, menatap sekeliling. “Kita sudah dekat. Hati-hati, jangan berpencar. Begitu sampai di Curug Kembar, kalian harus mengikuti semua yang dikatakan Kirana. Jangan ada yang melangkah keluar jalur.” Mereka kembali berjalan. Di kejauhan, suara gemuruh air mulai terdengar, tapi ada sesuatu yang aneh. Suara itu… tidak seperti air terjun
Perjalanan menuju rumah Kirana tidak mudah. Jalan setapak di ujung desa utara dipenuhi akar pohon yang menjalar, dan kabut tipis menggantung sepanjang jalur. Pak Lebe berjalan paling depan, diikuti Arga dan Ningsih. Semakin jauh mereka melangkah, semakin jarang suara burung terdengar.“Pak… yakin ini jalannya?” tanya Ningsih pelan.Pak Lebe hanya mengangguk. “Kirana tidak ingin ditemukan sembarang orang. Rumahnya memang sengaja disembunyikan. Kalau kalian mulai merasa seperti berjalan memutar, berarti kita hampir sampai.”Setelah hampir satu jam, mereka tiba di sebuah rumah panggung kayu yang tersembunyi di bawah rimbunan pohon bambu. Dari luar terlihat biasa, tapi ada hawa yang membuat bulu kuduk berdiri.Pak Lebe mengetuk pintu tiga kali, sesuai pola yang diajarkan padanya bertahun-tahun lalu. Tak lama, pintu berderit terbuka. Seorang perempuan berambut hitam panjang, dengan tatapan mata tajam namun lelah, muncul di ambang pintu.“Pak Lebe… aku sudah tahu kalian akan datang,” ucapny
Tiga tahun berlalu. Curug Kembar yang dulu tertutup kabut dan misteri, kini mulai kembali dikenal orang. Pemerintah desa membuka akses, membangun jalan setapak, dan menambahkan beberapa petunjuk arah. Tempat itu jadi lokasi wisata alam yang cukup ramai — terutama saat akhir pekan. Anak-anak muda datang berfoto. Keluarga-keluarga piknik di tepi curug. Bahkan beberapa sekolah mulai menggunakannya sebagai tempat kegiatan pramuka dan berkemah. Tapi sesuatu yang ganjil masih bertahan. Beberapa siswa pernah tiba-tiba kesurupan saat malam api unggun. Ada yang mendadak badannya penuh gatal seperti alergi aneh. Bahkan pernah, seorang murid perempuan pingsan saat tengah malam, dan tak bisa sadar hingga matahari terbit. Warga yang panik akhirnya membawa anak itu… ke rumah Arga. Malam itu, Arga duduk di samping gadis yang masih tak sadarkan diri. Matanya tertutup rapat, tapi tangannya mengepal, tubuhnya seperti menahan dingin yang menusuk dari dalam. > “Dia kayak nahan sesuatu, Ning,” kata A
Sudah tiga minggu berlalu sejak malam itu. Desa kembali tenang. Curug kembar kini ditutup permanen. Para tetua desa membuat pagar keliling dari batu dan kayu, serta melantunkan doa setiap malam Jumat Kliwon. Tapi ketenangan luar... tidak selalu mencerminkan kedamaian dalam jiwa. Arga duduk di beranda rumah neneknya. Sinar matahari sore mengintip di balik awan. Burung-burung bersahutan. Tapi dalam kepalanya, suara-suara dari malam itu masih bergema. > “Ga… jagain pintunya…” Kalung Rino sudah tak ada. Hancur bersama gerbang yang kini tertutup. Tapi kadang, Arga masih terbangun tengah malam, merasa seperti ada yang duduk di ujung tempat tidurnya. Ia menatap kosong ke arah curug, meski dari sini tak terlihat. Tapi ada ikatan yang tak bisa dijelaskan… seperti sebagian dari dirinya masih tertinggal di balik dua pohon dadap itu. Ningsih datang membawa teh hangat. > “Masih kebayang ya?” tanyanya lembut. Arga mengangguk pelan. “Gak akan bisa hilang, Ning. Tapi gue harus terus hidup. It
Malam pertama turun dengan hawa yang ganjil. Udara terasa berat dan lengket, seperti ada sesuatu di udara yang tak kasatmata. Warga desa mulai gelisah. Anak-anak menangis tanpa sebab, binatang peliharaan menolak makan, dan burung hantu terdengar terus bersahutan… dari arah curug.Arga duduk di beranda rumah neneknya, memegang kalung Rino yang tak lagi bersinar. Ningsih menemaninya, sesekali memandang ke luar dengan cemas.> “Kamu yakin mau hadapi ini sendirian, Ga?” tanya Ningsih lirih.> “Gak ada yang bisa gantiin tempatku, Ning… semua ini karena aku ikut buka jalur itu dulu…”Suara petir tiba-tiba menggema, padahal langit tak berawan. Tanah bergetar sedikit. Dan dari arah jalan masuk desa, terdengar suara sepatu berjalan pelan.Pak Lebe muncul dengan wajah letih. Tapi ada sesuatu di belakangnya—seorang lelaki asing, berjubah hitam dengan ikat kepala kain putih. Tatapannya tajam, dan tubuhnya tinggi tegap. Tangannya menggenggam tongkat kayu.> “Ini… Ki Jatmadra,” ujar Pak Lebe. “Sala
Pagi itu kabut turun lebih tebal dari biasanya.Langkah kaki Arga terasa berat saat berjalan ke sawah yang biasanya jadi tempat neneknya memetik sayur.Tak ada suara ayam. Tak ada suara warga.Hanya desis angin yang seolah berbisik di antara dedaunan basah.> “Kita makin dekat,” suara lirih itu muncul lagi di kepalanya.“Gerbang sudah siap… tinggal kamu yang belum.”Arga menggeleng keras, menutup telinganya. Tapi suara itu tak mau pergi. Ia mencoba melawan, mencoba kembali ke rutinitas... tapi semua terasa ganjil. Bahkan, senyum tetangga pun kini terlihat seperti topeng yang memaksa.---Siangnya, Arga duduk bersama Pak Lebe dan Ningsih di serambi. Mereka menatap peta tua yang digambar ulang dari isi kitab warisan. Di sana terlihat jalur-jalur halus yang membentuk simbol besar—sebuah pola yang jika disambungkan dengan letak dua pohon dadap dan curug kembar, membentuk mata tertutup.> “Ini bukan cuma tempat keramat,” kata Pak Lebe pelan.“Ini penutup. Segel. Dan tanda di tubuhmu itu...