Share

Gong Penjaga Jalur

Author: Kelaras ijo
last update Huling Na-update: 2025-07-21 07:47:00

Malam itu, langit gelap tanpa bulan. Rumah nenek Arga terasa sesak, udara di dalamnya seolah membeku. Arga berbaring dengan mata terpejam, mencoba tidur, tapi rasa gelisahnya tidak hilang. Di sampingnya, Ningsih sudah tertidur pulas, wajahnya tenang—tidak seperti yang ia rasakan.

Tiba-tiba, terdengar suara lirih dari luar jendela. Suara seperti bisikan, memanggil namanya dengan nada panjang.

> “Arrr… gaaa…”

Arga membuka mata. Jantungnya berdentum cepat. Ia bangkit perlahan, mengambil keris yang selalu ia letakkan di dekat bantal. Cahaya lampu minyak temaram menerangi ruangan, tapi sudut-sudutnya terasa lebih gelap dari biasanya.

Ia mendekati jendela. Tidak ada apa-apa di luar, hanya halaman rumah dan pepohonan yang bergoyang pelan. Namun saat ia menatap lebih lama, ia melihat sesuatu: tanah di bawah pohon rambutan kembali bergeser, seperti ada yang merangkak keluar dari dalamnya.

Arga mundur beberapa langkah. Suara itu terdengar lagi, lebih dekat, lebih jelas:

> “Buka… jalan…”

Tiba-ti
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain    Tiga Pilihan di Bawah Beringin Kembar

    Pagi itu, suasana desa masih terasa berat. Arga duduk di beranda rumah neneknya, memandangi jalan setapak yang masih basah oleh embun. Semalam, tangan hitam itu hampir menerobos keluar dari jalur kelima, dan satu-satunya hal yang menghentikannya hanyalah dentang gong misterius.Ningsih muncul membawa dua cangkir teh hangat.> “kamu nggak tidur sama sekali ya, mas?”Arga menggeleng pelan.> “aku nggak bisa. Suara gong itu masih kedengeran di kepala ku. aku yakin, ada seseorang—atau sesuatu—yang nyelametin kita.”Tak lama kemudian, Pak Lebe datang. Wajahnya lebih kusut dari biasanya, matanya merah tanda kurang tidur. Ia duduk di kursi bambu di depan mereka dan langsung bicara tanpa basa-basi.> “Kita harus cari tau siapa yang mukul gong itu. Kalau dia benar-benar penjaga jalur, mungkin cuma dia yang bisa bantu kita nutup pintunya selamanya.”Arga menatap Pak Lebe serius.> “bapak punya petunjuk?”Pak Lebe menghela napas panjang.> “Sedikit. Ada cerita lama tentang seorang penjaga yang t

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Gong Penjaga Jalur

    Malam itu, langit gelap tanpa bulan. Rumah nenek Arga terasa sesak, udara di dalamnya seolah membeku. Arga berbaring dengan mata terpejam, mencoba tidur, tapi rasa gelisahnya tidak hilang. Di sampingnya, Ningsih sudah tertidur pulas, wajahnya tenang—tidak seperti yang ia rasakan.Tiba-tiba, terdengar suara lirih dari luar jendela. Suara seperti bisikan, memanggil namanya dengan nada panjang.> “Arrr… gaaa…”Arga membuka mata. Jantungnya berdentum cepat. Ia bangkit perlahan, mengambil keris yang selalu ia letakkan di dekat bantal. Cahaya lampu minyak temaram menerangi ruangan, tapi sudut-sudutnya terasa lebih gelap dari biasanya.Ia mendekati jendela. Tidak ada apa-apa di luar, hanya halaman rumah dan pepohonan yang bergoyang pelan. Namun saat ia menatap lebih lama, ia melihat sesuatu: tanah di bawah pohon rambutan kembali bergeser, seperti ada yang merangkak keluar dari dalamnya.Arga mundur beberapa langkah. Suara itu terdengar lagi, lebih dekat, lebih jelas:> “Buka… jalan…”Tiba-ti

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Keluar dari Jalur Keenam

    Arga, Ningsih, dan Pak Lebe akhirnya berhasil melewati lorong gelap jalur keenam. Tangan-tangan hitam yang tadi meraih mereka menghilang begitu saja ketika cahaya kebiruan dari keris Arga semakin terang, membentuk semacam perisai di sekeliling mereka. Dengan napas terengah-engah, mereka bertiga akhirnya keluar dari lorong sempit itu. Udara berubah—lebih hangat, lebih nyata. Di hadapan mereka terhampar hutan biasa, basah oleh embun malam. Tidak ada lagi langit kelabu, tidak ada lagi bisikan yang meracuni pikiran. Ningsih terduduk di tanah, memeluk lututnya sambil menangis pelan. “Aku… aku pikir kita nggak bakal bisa keluar.” Arga berjongkok di sampingnya, mengusap punggungnya. “Kita sudah di luar. Sudah selesai. Jalur itu sudah kita lewati.” Pak Lebe berdiri tak jauh dari mereka, menatap ke arah hutan dengan wajah serius. “Tidak, ini belum selesai,” katanya pelan. “Jalur keenam hanya satu dari banyak gerbang. Setiap kali kita menutup satu, yang lain akan mencari celah untuk terbuk

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Perjalanan Menjelang Fajar

    Udara dini hari menusuk tulang. Kabut tebal menggantung di sepanjang jalan setapak menuju Curug Kembar. Arga berjalan paling depan, memegang keris peninggalan Kirana yang dibungkus kain putih. Ningsih mengikutinya dengan langkah ragu, sementara Pak Lebe membawa lentera tua yang cahayanya nyaris tak mampu menembus kabut. Tak ada suara jangkrik, tak ada burung. Hanya suara napas mereka sendiri. “Mas… ini kayaknya lebih dingin dari biasanya,” bisik Ningsih sambil merapatkan jaketnya. Arga hanya mengangguk. Setiap langkah terasa lebih berat, seperti tanah di bawah kaki mereka menahan, seakan tidak ingin mereka melanjutkan perjalanan. Pak Lebe berhenti sejenak, menatap sekeliling. “Kita sudah dekat. Hati-hati, jangan berpencar. Begitu sampai di Curug Kembar, kalian harus mengikuti semua yang dikatakan Kirana. Jangan ada yang melangkah keluar jalur.” Mereka kembali berjalan. Di kejauhan, suara gemuruh air mulai terdengar, tapi ada sesuatu yang aneh. Suara itu… tidak seperti air terjun

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Kunci yang Terkunci

    Perjalanan menuju rumah Kirana tidak mudah. Jalan setapak di ujung desa utara dipenuhi akar pohon yang menjalar, dan kabut tipis menggantung sepanjang jalur. Pak Lebe berjalan paling depan, diikuti Arga dan Ningsih. Semakin jauh mereka melangkah, semakin jarang suara burung terdengar.“Pak… yakin ini jalannya?” tanya Ningsih pelan.Pak Lebe hanya mengangguk. “Kirana tidak ingin ditemukan sembarang orang. Rumahnya memang sengaja disembunyikan. Kalau kalian mulai merasa seperti berjalan memutar, berarti kita hampir sampai.”Setelah hampir satu jam, mereka tiba di sebuah rumah panggung kayu yang tersembunyi di bawah rimbunan pohon bambu. Dari luar terlihat biasa, tapi ada hawa yang membuat bulu kuduk berdiri.Pak Lebe mengetuk pintu tiga kali, sesuai pola yang diajarkan padanya bertahun-tahun lalu. Tak lama, pintu berderit terbuka. Seorang perempuan berambut hitam panjang, dengan tatapan mata tajam namun lelah, muncul di ambang pintu.“Pak Lebe… aku sudah tahu kalian akan datang,” ucapny

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Setelah Semua Tenang

    Tiga tahun berlalu. Curug Kembar yang dulu tertutup kabut dan misteri, kini mulai kembali dikenal orang. Pemerintah desa membuka akses, membangun jalan setapak, dan menambahkan beberapa petunjuk arah. Tempat itu jadi lokasi wisata alam yang cukup ramai — terutama saat akhir pekan. Anak-anak muda datang berfoto. Keluarga-keluarga piknik di tepi curug. Bahkan beberapa sekolah mulai menggunakannya sebagai tempat kegiatan pramuka dan berkemah. Tapi sesuatu yang ganjil masih bertahan. Beberapa siswa pernah tiba-tiba kesurupan saat malam api unggun. Ada yang mendadak badannya penuh gatal seperti alergi aneh. Bahkan pernah, seorang murid perempuan pingsan saat tengah malam, dan tak bisa sadar hingga matahari terbit. Warga yang panik akhirnya membawa anak itu… ke rumah Arga. Malam itu, Arga duduk di samping gadis yang masih tak sadarkan diri. Matanya tertutup rapat, tapi tangannya mengepal, tubuhnya seperti menahan dingin yang menusuk dari dalam. > “Dia kayak nahan sesuatu, Ning,” kata A

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status