Pagi itu, embun masih menggantung di ujung dedaunan ketika Arga dan Rino kembali menyusuri jalanan tanah menuju Curug Kembar. Udara terasa dingin, tapi bukan dingin yang menyegarkan—lebih seperti hawa yang menusuk hingga ke tulang. Langit mendung menambah kelam suasana, meski matahari sudah mulai menampakkan diri.
Mereka berhenti sejenak di warung kopi sederhana dekat kebun karet. Warung itu dikelola oleh seorang lelaki tua berwajah keriput yang memperhatikan keduanya dengan mata menyipit. "Masih pagi sudah mau ke curug? Nekat juga kalian, Le," gumam lelaki tua itu. Arga mendekat. "Mbah, saya mau tanya soal Curug Kembar. Bener nggak, dulu ada yang bilang pohon karet di sana keluar darah?" Si Mbah hanya tertawa kecil, namun bukan tawa yang ramah. Lebih terdengar seperti peringatan. "Kalian ini kayak belum pernah dengar kisahnya. Sudah banyak yang coba ngulik-ngulik... akhirnya malah ilang arah. Ada yang kesurupan, ada yang jatuh dari tebing, bahkan ada yang hilang nggak ketemu sampe sekarang." Rino ikut duduk. "Tapi kami cuma penasaran, Mbah. Kami nggak macem-macem. Cuma mau tahu." Si Mbah menarik napas panjang. "Kalau kalian memang nekat, jangan pernah dekati pohon dadap yang tumbuh di sisi kanan curug. Apalagi kalau kalian denger suara manggil nama kalian dari situ. Jangan nengok, jangan jawab. Pusaka yang tertanam di situ bukan buat kalian." Arga dan Rino saling pandang. "Pusaka?" Mbah itu menunduk, suaranya pelan. "Besi kuning. Dulu yang tanam bukan orang biasa. Katanya dari zaman kolonial. Ada penjaga tak kasatmata yang hidup di antara dua curug itu. Makhluk penunggu. Dulu pernah ada orang yang coba gali... akhirnya kepalanya ketemu di kolam, badannya di bawah akar." Suasana mendadak sunyi. Hanya suara jangkrik dan desir angin yang terdengar. Arga meneguk kopinya dengan tangan sedikit gemetar. Setelah pamit, mereka melanjutkan perjalanan menuju curug. Kali ini suasananya lebih mencekam. Kabut turun lebih cepat dari biasanya. Akar-akar pohon terlihat seperti tangan-tangan kaku yang menjulur dari tanah. Sesampainya di curug, kolam di bawahnya masih terlihat tenang, tapi warna airnya keruh kehijauan. Arga menatap pohon dadap besar di sisi kanan. Entah kenapa, ada rasa berat di dadanya. "Liat itu, Ga..." bisik Rino pelan. Arga mengikuti arah pandangnya. Dari batang pohon karet tak jauh dari sana... mengalir cairan merah gelap seperti darah, menetes perlahan ke tanah. "Apa itu... darah?" gumam Arga. Tiba-tiba, dari arah semak-semak, terdengar suara tawa pelan. Tertawa... lalu menangis. Tertawa... lalu berteriak nyaring. Mereka berdua langsung mundur, napas tercekat. Dan dari balik semak, muncul sesosok perempuan berambut panjang basah kuyup, matanya merah menyala. Mulutnya sobek hingga ke pipi. "Aku tunggu kalian... di bawah kolam..." Sosok itu menghilang sekejap mata, seperti tertelan kabut. Rino jatuh terduduk. "Gila... gila itu apaan?!" Arga menggertakkan giginya, berusaha tenang. "Apa pun itu... ini bukan sekadar cerita rakyat. Ada sesuatu yang dijaga di sini... dan kita sudah diburu sebelum tahu jawabannya." Arga dan Rino masih terpaku. Angin yang barusan semilir kini berubah jadi hembusan dingin yang menusuk. Daun-daun bergetar seperti sedang dibisikkan sesuatu. Rino bangkit pelan, tubuhnya masih gemetar. "Kita... kita harus cabut, Ga. Sekarang!" ucapnya terbata. Tapi Arga justru mematung. Tatapannya mengarah pada batu besar di seberang kolam. Batu itu... barusan tidak ada. Dan kini di atasnya seperti ada sesosok bayangan—seperti orang duduk membelakangi mereka. Rambutnya panjang, lusuh, dan gaunnya berwarna coklat tua seperti sudah berlumut. Sosok itu perlahan menoleh. Arga menarik napas dalam-dalam. Namun... wajah itu tidak sepenuhnya manusia. Matanya berlubang, dan dari mulutnya menetes lumpur hitam pekat. "Awas, Ga!!" Rino menarik tangan Arga dan keduanya lari, tanpa menoleh ke belakang. Mereka menyusuri jalan setapak menurun yang dipenuhi akar dan licin. Langkah kaki mereka dihantui suara tawa sayup yang menggemuruh, bercampur dengan raungan samar dari air curug yang mulai deras. Di tengah lari, Arga merasa pundaknya disentuh sesuatu. Namun saat ia menoleh, tidak ada siapa pun. Tapi suara itu... bisikan lirih yang menggumam dari balik daun-daun: "Kalian sudah melihat... kini kalian tidak akan pulang tanpa luka..." Saat sampai ke jalan berbatu yang mulai ramai, keduanya baru berhenti. Nafas mereka memburu, wajah pucat. Tak ada kata-kata yang keluar selama beberapa menit. Sampai akhirnya Arga berkata pelan: "Rin... lo denger juga bisikannya?" Rino mengangguk. "Bukan cuma denger, Ga... gue ngerasa ada yang nempel di badan gue sekarang." Malamnya, Arga kembali ke rumah kontrakan kecilnya di pinggir desa Kemuning. Hujan gerimis turun sejak maghrib. Ia duduk di kasur, mencoba menenangkan diri, menuliskan apa yang mereka alami siang tadi. Tapi tiba-tiba... listrik padam. Seketika rumah jadi gelap gulita. Dari luar, terdengar suara ketukan pelan di jendela. Satu... dua... tiga kali. Arga mendekat pelan. Tapi jendela itu langsung terbuka sendiri, seperti didobrak angin. Dan di luar, samar-samar... terlihat bayangan seseorang berdiri di bawah pohon mangga, tak jauh dari rumah. Diam saja. Tidak bergerak. Arga menutup jendela buru-buru. Tapi belum sempat ia berbalik, suara langkah kaki terdengar dari arah dapur. Padahal ia sendirian. Arga memberanikan diri berjalan ke dapur. Di sana, di dinding dekat rak piring, ia melihat sesuatu. Tulisan berwarna merah tua seperti darah... "Kembali ke curug. Atau dia akan datang ke rumahmu setiap malam."Pagi itu, desa kembali diselimuti kabut tebal. Udara dingin menembus kulit, membuat napas keluar seperti asap tipis. Arga berdiri di tepi jalan tanah, memandang ke arah hutan bambu yang menjulang bagai dinding raksasa. Ia merasa ada sesuatu yang berubah—tidak hanya pada alam, tapi juga di dalam dirinya. Dimas datang sambil membawa dua botol air dan sepotong roti singkong. “Kita nggak bisa nunggu sampai siang. Jalur air itu harus kita periksa sekarang. Kalau benar ada lorong yang tembus ke Gua Larung, kita harus tahu sebelum orang lain menemukannya,” katanya sambil menyerahkan satu botol ke Arga. Arga mengangguk, tapi matanya tetap tertuju pada hutan. “Kamu sadar nggak, Dim? Sejak malam terakhir kita ke gua itu… desa ini makin sepi. Banyak orang yang tiba-tiba pergi tanpa pamit.” Dimas menghela napas. “Aku dengar kabar… katanya mereka melihat sosok perempuan di tepi kebun bambu. Mukanya nggak kelihatan jelas. Tapi bajunya basah, seperti baru keluar dari sungai.” Arga terdiam. Di
Air setinggi lutut mengalir pelan di lorong sempit itu. Cahaya senter di tangan Dimas menari-nari di dinding batu yang licin dan lembab. Aroma kapur dan lumut memenuhi rongga hidung. Di belakangnya, Arga melangkah hati-hati, menggenggam besi kuning yang dibungkus kain putih."Jalan ini... rasanya nggak cuma gua biasa," gumam Arga."Ini bukan cuma gua, Ga," jawab Dimas lirih. "Orang-orang dulu nyebut tempat ini Gua Larung. Konon, ini jalur pelarungan benda-benda yang dianggap 'bernyawa'.""Kayak besi kuning ini?"Dimas mengangguk. "Dan benda-benda lain yang dulu dipakai buat nutup jalur-jalur gelap itu..."Mereka berjalan terus. Sesekali, arus kecil menyentuh kaki mereka seperti menyapa. Di dinding gua, ada bekas goresan—seperti simbol-simbol tua. Arga berhenti."Dim, kamu liat itu?"Dimas menyorot ke simbol itu. Garis melingkar dengan tiga titik di tengah."...Simbol Segel Bertiga," desis Dimas."Segel?""Jangan disentuh dulu. Bisa jadi ini gerbang..."Belum sempat Dimas menyelesaikan
Hujan tipis masih membasahi tanah ketika Arga berdiri di depan celah sempit yang menganga di lereng longsoran curug. Cahaya senter di tangannya menyorot dinding tanah yang berlumut, memperlihatkan jalur sempit yang seperti tak alami—bukan hasil longsor biasa. Lorong itu seperti... dibuat.“Mas… yakin mau masuk?” tanya Pak Rudi, tetua desa yang menemani.Arga mengangguk pelan. “Kalau memang itu jalur lama yang selama ini ditutup, bisa jadi itu yang menyebabkan semua gangguan ini muncul lagi.”Ia menoleh ke warga yang berkumpul.“Jangan ada yang ikut masuk. Kalau saya nggak keluar satu jam lagi, lapor ke Dimas.”Tanpa menunggu jawaban, Arga menunduk dan merayap masuk ke celah itu. Semakin dalam ia masuk, hawa di sekelilingnya terasa lembap dan berat. Aroma tanah tua dan akar basah memenuhi hidungnya. Tapi bukan itu yang membuat tubuhnya merinding.Ada… bisikan.Bukan suara. Tapi perasaan seolah ada yang berbicara langsung ke dalam pikirannya.> “Kau membuka jalan yang seharusnya tertutu
Sudah hampir dua bulan sejak longsor menutup akses ke Curug Kembar.Tanah yang dulu menjadi jalur masuk ke wilayah paling angker di desa itu kini dipenuhi batu besar, pohon tumbang, dan semak liar yang tumbuh cepat seperti dilahirkan dari rahim tanah itu sendiri. Tidak ada yang berani mendekat. Bahkan suara air terjun yang dulunya nyaring, kini terdengar seperti bisikan jauh—padam, sunyi, nyaris tak nyata.Arga tetap tinggal di desa. Ia lebih banyak diam. Mengurus kebun di belakang rumah, sesekali membantu warga yang datang minta tolong, atau sekadar duduk di beranda memandangi arah hutan. Ningsih tahu, pikirannya belum benar-benar tenang.Dan besi kuning itu… disimpan Arga dalam peti kecil kayu jati yang terkunci, diletakkan di bawah tempat tidurnya.Sejak malam ketika pohon dadap tumbang dan kolam tertutup longsoran, desa memang terasa tenang. Tapi Arga menyadari, bukan berarti semuanya berakhir. Bukan berarti tak ada yang tertinggal.Karena beberapa minggu terakhir, beberapa hal ga
Setelah peristiwa longsor besar yang menutup akses ke Curug Kembar, suasana desa perlahan berubah. Bukan menjadi mencekam, melainkan… tenang. Terlalu tenang. Tidak ada lagi suara-suara aneh di malam hari, tidak ada lagi pengunjung yang kesurupan atau jatuh sakit tiba-tiba saat pulang dari curug.Curug Kembar seolah benar-benar terkubur dalam, bersama segala rahasianya.Arga tetap tinggal di desa itu. Ia tidak pergi ke mana-mana. Setiap hari, ia membantu warga yang sedang berkebun, sesekali menengok sawah, atau mengurus ladang kecil di belakang rumah neneknya yang kini telah menjadi rumah barunya bersama Ningsih.Besi kuning—yang menjadi kunci dari semua kekacauan itu—ia simpan baik-baik. Bukan untuk disembunyikan, tapi untuk dijaga. Tidak dalam lemari, tidak di tanah, tapi dibalut kain kafan tipis, diselipkan di ruang kecil bawah lantai kayu rumah, tempat hanya dia dan Dimas yang tahu.Beberapa warga masih membicarakan kejadian tempo hari. Tentang hujan deras, longsor besar, bahkan ad
Beberapa minggu setelah longsor besar menelan Curug Kembar, desa mulai pulih. Air yang sempat meluap kini sudah kembali ke aliran semula. Sawah-sawah yang sempat tergenang mulai menghijau lagi, dan suara anak-anak kembali terdengar di pematang. Seolah-olah bencana itu hanya sebuah kenangan buruk yang perlahan ingin dilupakan orang-orang. Namun, ada satu tempat yang tetap sepi: Curug Kembar. Jalur setapak yang dulu ramai kini tertutup lumpur dan batang-batang pohon tumbang. Kolam air terjun hampir rata dengan tanah longsoran. Dua pohon dadap yang dahulu berdiri kokoh, penanda jalur menuju dunia lain, kini hanya tinggal batang patah yang separuh terbenam di air. Tak seorang pun berani mendekat. Arga berdiri di tepi jalur itu suatu pagi, menatap reruntuhan dari jauh. Ada rasa lega bercampur getir di dadanya. Ia tahu, apa pun yang bersembunyi di balik curug itu kini terkubur selamanya. Tak ada lagi pintu, tak ada lagi suara dari balik kabut, dan tak ada lagi bayangan yang membayangi ti