Share

Bisikan dari Pohon Dadap

Author: Kelaras ijo
last update Last Updated: 2025-05-07 06:44:16

Pagi itu, embun masih menggantung di ujung dedaunan ketika Arga dan Rino kembali menyusuri jalanan tanah menuju Curug Kembar. Udara terasa dingin, tapi bukan dingin yang menyegarkan—lebih seperti hawa yang menusuk hingga ke tulang. Langit mendung menambah kelam suasana, meski matahari sudah mulai menampakkan diri.

Mereka berhenti sejenak di warung kopi sederhana dekat kebun karet. Warung itu dikelola oleh seorang lelaki tua berwajah keriput yang memperhatikan keduanya dengan mata menyipit.

"Masih pagi sudah mau ke curug? Nekat juga kalian, Le," gumam lelaki tua itu.

Arga mendekat. "Mbah, saya mau tanya soal Curug Kembar. Bener nggak, dulu ada yang bilang pohon karet di sana keluar darah?"

Si Mbah hanya tertawa kecil, namun bukan tawa yang ramah. Lebih terdengar seperti peringatan.

"Kalian ini kayak belum pernah dengar kisahnya. Sudah banyak yang coba ngulik-ngulik... akhirnya malah ilang arah. Ada yang kesurupan, ada yang jatuh dari tebing, bahkan ada yang hilang nggak ketemu sampe sekarang."

Rino ikut duduk. "Tapi kami cuma penasaran, Mbah. Kami nggak macem-macem. Cuma mau tahu."

Si Mbah menarik napas panjang. "Kalau kalian memang nekat, jangan pernah dekati pohon dadap yang tumbuh di sisi kanan curug. Apalagi kalau kalian denger suara manggil nama kalian dari situ. Jangan nengok, jangan jawab. Pusaka yang tertanam di situ bukan buat kalian."

Arga dan Rino saling pandang.

"Pusaka?"

Mbah itu menunduk, suaranya pelan. "Besi kuning. Dulu yang tanam bukan orang biasa. Katanya dari zaman kolonial. Ada penjaga tak kasatmata yang hidup di antara dua curug itu. Makhluk penunggu. Dulu pernah ada orang yang coba gali... akhirnya kepalanya ketemu di kolam, badannya di bawah akar."

Suasana mendadak sunyi. Hanya suara jangkrik dan desir angin yang terdengar. Arga meneguk kopinya dengan tangan sedikit gemetar.

Setelah pamit, mereka melanjutkan perjalanan menuju curug. Kali ini suasananya lebih mencekam. Kabut turun lebih cepat dari biasanya. Akar-akar pohon terlihat seperti tangan-tangan kaku yang menjulur dari tanah.

Sesampainya di curug, kolam di bawahnya masih terlihat tenang, tapi warna airnya keruh kehijauan. Arga menatap pohon dadap besar di sisi kanan. Entah kenapa, ada rasa berat di dadanya.

"Liat itu, Ga..." bisik Rino pelan.

Arga mengikuti arah pandangnya.

Dari batang pohon karet tak jauh dari sana... mengalir cairan merah gelap seperti darah, menetes perlahan ke tanah.

"Apa itu... darah?" gumam Arga.

Tiba-tiba, dari arah semak-semak, terdengar suara tawa pelan. Tertawa... lalu menangis. Tertawa... lalu berteriak nyaring.

Mereka berdua langsung mundur, napas tercekat. Dan dari balik semak, muncul sesosok perempuan berambut panjang basah kuyup, matanya merah menyala. Mulutnya sobek hingga ke pipi.

"Aku tunggu kalian... di bawah kolam..."

Sosok itu menghilang sekejap mata, seperti tertelan kabut.

Rino jatuh terduduk. "Gila... gila itu apaan?!"

Arga menggertakkan giginya, berusaha tenang. "Apa pun itu... ini bukan sekadar cerita rakyat. Ada sesuatu yang dijaga di sini... dan kita sudah diburu sebelum tahu jawabannya."

Arga dan Rino masih terpaku. Angin yang barusan semilir kini berubah jadi hembusan dingin yang menusuk. Daun-daun bergetar seperti sedang dibisikkan sesuatu. Rino bangkit pelan, tubuhnya masih gemetar.

"Kita... kita harus cabut, Ga. Sekarang!" ucapnya terbata.

Tapi Arga justru mematung. Tatapannya mengarah pada batu besar di seberang kolam. Batu itu... barusan tidak ada. Dan kini di atasnya seperti ada sesosok bayangan—seperti orang duduk membelakangi mereka. Rambutnya panjang, lusuh, dan gaunnya berwarna coklat tua seperti sudah berlumut.

Sosok itu perlahan menoleh. Arga menarik napas dalam-dalam.

Namun... wajah itu tidak sepenuhnya manusia. Matanya berlubang, dan dari mulutnya menetes lumpur hitam pekat.

"Awas, Ga!!"

Rino menarik tangan Arga dan keduanya lari, tanpa menoleh ke belakang. Mereka menyusuri jalan setapak menurun yang dipenuhi akar dan licin. Langkah kaki mereka dihantui suara tawa sayup yang menggemuruh, bercampur dengan raungan samar dari air curug yang mulai deras.

Di tengah lari, Arga merasa pundaknya disentuh sesuatu.

Namun saat ia menoleh, tidak ada siapa pun. Tapi suara itu... bisikan lirih yang menggumam dari balik daun-daun:

"Kalian sudah melihat... kini kalian tidak akan pulang tanpa luka..."

Saat sampai ke jalan berbatu yang mulai ramai, keduanya baru berhenti. Nafas mereka memburu, wajah pucat. Tak ada kata-kata yang keluar selama beberapa menit. Sampai akhirnya Arga berkata pelan:

"Rin... lo denger juga bisikannya?"

Rino mengangguk. "Bukan cuma denger, Ga... gue ngerasa ada yang nempel di badan gue sekarang."

Malamnya, Arga kembali ke rumah kontrakan kecilnya di pinggir desa Kemuning. Hujan gerimis turun sejak maghrib. Ia duduk di kasur, mencoba menenangkan diri, menuliskan apa yang mereka alami siang tadi. Tapi tiba-tiba... listrik padam.

Seketika rumah jadi gelap gulita.

Dari luar, terdengar suara ketukan pelan di jendela. Satu... dua... tiga kali. Arga mendekat pelan. Tapi jendela itu langsung terbuka sendiri, seperti didobrak angin.

Dan di luar, samar-samar... terlihat bayangan seseorang berdiri di bawah pohon mangga, tak jauh dari rumah. Diam saja. Tidak bergerak.

Arga menutup jendela buru-buru. Tapi belum sempat ia berbalik, suara langkah kaki terdengar dari arah dapur. Padahal ia sendirian.

Arga memberanikan diri berjalan ke dapur.

Di sana, di dinding dekat rak piring, ia melihat sesuatu.

Tulisan berwarna merah tua seperti darah...

"Kembali ke curug. Atau dia akan datang ke rumahmu setiap malam."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Batas yang Tak Terlihat

    Langkah Rino terhenti di depan dua pohon beringin raksasa yang saling melilit akar. Di antara celahnya, tampak gelap dan dalam—seolah mulut dunia lain tengah menganga.Ia siramkan air kendi seperti perintah si perempuan tua.Celah itu perlahan terbuka, tanpa suara, tanpa cahaya—hanya kegelapan murni yang terasa mengisap keberanian.Dengan napas tertahan, Rino melangkah masuk.Seketika, hawa berubah. Dingin menusuk, tapi tidak membeku. Hening, tapi tidak damai. Yang terdengar hanya derit dedaunan dan gemerisik langkahnya sendiri.Tak ada cahaya aneh.Tak ada sosok berjubah.Tak ada suara gamelan.Hanya lorong panjang dari pepohonan yang membentuk lengkungan sempurna di atas kepala, seperti terowongan alami yang tumbuh sendiri. Kabut tipis menyelimuti tanah, dan sinar remang-remang entah dari mana menerangi jalan kecil di depannya.Rino berjalan pelan, matanya awas ke segala arah.Semakin dalam ia melangkah, semakin sunyi suasananya. Suara jangkrik pun lenyap. Tak ada burung. Tak ada an

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Yang Tak Pernah Kembali

    Seseorang menyeret tubuh Rino dari tanah hutan yang lembap. Tangan kurus namun kuat mencengkeram pergelangan tangannya, lalu membawanya menjauh dari batu besar di antara dua pohon dadap itu. Suara gamelan sudah lenyap, angin pun berhenti, seolah semua kembali normal. Rino membuka matanya perlahan. Pandangannya buram. Bau kemenyan yang samar tercium dari ujung hidungnya. Suara pelan dan bergetar membangunkannya: “Alhamdulillah… dia masih hidup.” Tiga orang berdiri di sekelilingnya. Mbah Rekso, Pak Dargo si penjaga curug, dan satu orang tak dikenal—lelaki tua dengan ikat kepala kain mori dan mata cekung menatap tajam. “Kalian sudah melewati batas... nyaris tidak kembali,” gumam lelaki tua itu. Suaranya berat, seperti keluar dari dalam gua. Rino mencoba duduk. Kepala masih berdenyut. “Arga… temen saya... dia—dia hilang…” Mbah Rekso menghela napas panjang. Ia mengambil kantong kain dari sakunya, lalu menaburkan serbuk putih ke tanah. “Kamu lihat sendiri tadi. Batu itu... bukan seka

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Jejak yang Hilang

    Pagi itu langit mendung, seperti ikut menyimpan rahasia dari malam yang mencekam. Arga dan Rino hampir tidak tidur semalaman. Mata mereka merah, kepala berat, tapi rasa penasaran jauh lebih kuat dari rasa takut yang menghantui. “Aku nggak bisa diem aja, Rin. Kayaknya kita harus ke hutan belakang curug itu,” ucap Arga pelan, tapi tegas. Rino menatapnya dengan ragu. “Lo waras, Ga? Habis diganggu gitu, malah mau ke tempat yang lebih angker?” “Ada yang aneh. Semua ini nggak sekadar mitos. Cewek yang semalam itu... dia bukan cuma penampakan. Dia nyari sesuatu. Atau... nyari seseorang.” Rino akhirnya mengangguk, meski wajahnya penuh keraguan. Mereka memutuskan berangkat siang itu, membawa senter, kamera, dan kemenyan dari mbah Rekso—yang menurutnya bisa sedikit “menenangkan” jalur menuju hutan itu. Saat kaki mereka mulai menapaki jalan setapak di sisi curug, udara berubah lebih dingin dari biasanya. Suara air terjun terdengar, tapi seperti teredam. Beberapa warga yang sedang melintas m

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Hawa Tidak Biasa

    Desa Kemuning berubah.Tak ada lagi suara ceria anak-anak bermain di sore hari. Burung-burung tak lagi bersiul dari dahan. Bahkan, jangkrik pun seperti ikut bungkam. Sejak kejadian aneh di Curug Kembar yang menimpa Arga dan Rino, suasana desa seperti diliputi kabut tipis yang tak kasat mata, tapi bisa dirasakan—menyesakkan dada dan membuat bulu kuduk terus berdiri.Langit selalu mendung, bahkan saat matahari seharusnya bersinar terang. Warga mulai resah, terutama setelah kejadian aneh mulai bermunculan.Ternak milik Pak Surip ditemukan mati mendadak, matanya terbuka lebar seolah melihat sesuatu sebelum ajal menjemput. Tubuhnya kaku, tapi tidak ada luka sedikit pun. Di tanah kandang, terlihat bekas telapak kaki besar dengan jari-jari panjang dan dalam—bukan milik manusia atau hewan biasa.Lalu, Bu Ratmi, tetangga Arga, mendadak kerasukan saat sedang menanak nasi. Ia berteriak-teriak dengan suara berat dan kasar, “Gerbang sudah dibuka… bendera telah ditegakkan… tak bisa ditutup lagi!”S

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Tanda-Tanda

    Pagi itu Desa Kemuning tak seperti biasanya. Udara yang biasanya segar dan tenang mendadak terasa berat, seolah ada sesuatu yang menggantung di langit. Beberapa warga mulai mengeluhkan mimpi-mimpi aneh—tentang orang-orang berwajah datar berdiri di pinggir curug, atau suara perempuan menangis dari balik pepohonan. Warung Bu Ning sepi. Biasanya tempat itu jadi pusat keramaian warga selepas subuh, tapi pagi ini hanya ada dua orang tua duduk diam sambil sesekali melirik ke luar. Anak-anak dilarang bermain jauh, terutama ke arah Curug Kembar. Ibu-ibu mulai menyimpan garam di depan pintu, dan beberapa rumah bahkan menggantungkan daun kelor kering di atas jendela. “Ini bukan hal biasa,” gumam Mbah Rekso pelan saat Arga menemuinya pagi itu. Suaranya parau dan wajahnya semakin muram. Arga mengangguk. “Ada yang berubah, Mbah. Semalam… saya melihat sesuatu. Tiang bendera… lambang kerajaan…” Mbah Rekso menatap Arga dalam-dalam. “Kau sudah melihatnya. Itu bukan sekadar penglihatan, itu peringa

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Mereka yang Mengawasi

    Langit pagi itu tampak muram. Kabut tipis menyelimuti perbukitan dan hawa dingin seperti merayap masuk ke sela-sela tulang. Arga dan Rino berdiri di depan jalan setapak menuju Curug Kembar. Meski matahari belum tinggi, suasana sudah terasa berat. "Kita beneran mau masuk sekarang?" tanya Rino pelan, matanya memandang ke arah pohon-pohon tinggi yang berdiri seperti penjaga. Arga mengangguk mantap. “Kita udah terlalu jauh, Rin. Lagian aku ngerasa… kita memang harus ke sini.” Dengan langkah hati-hati, mereka mulai menyusuri jalur tanah yang lembab. Suara burung dan dedaunan basah menemani langkah mereka, tapi entah kenapa... terdengar seperti bisikan samar yang datang dari balik pepohonan. Sesampainya di area curug, suara gemuruh air terdengar jelas. Air terjun itu jatuh dari dua sisi batuan yang kokoh, membentuk kolam bening di bawahnya. Tapi hari itu, airnya tampak agak kehijauan—seolah ada cahaya samar dari dasar kolam. Rino menyalakan kamera, merekam suasana sekitar. Tapi tiba-ti

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Rahasia yang Menyimpan Nyawa

    Langit desa Kemuning mendung sejak pagi. Udara lembap, angin dingin meniup dedaunan kering yang jatuh satu-satu seperti firasat akan datangnya peristiwa besar. Arga masih terduduk di teras rumahnya, memandangi arah bukit tempat Curug Kembar berada. Semakin banyak kejadian di sana, semakin dalam rasa penasarannya.“Lo masih mikirin curug itu, Ga?” tanya Rino sambil menyeruput kopi hitam yang baru saja dia buat.Arga mengangguk pelan. “Gue yakin, tempat itu bukan sekadar air terjun biasa, Rin. Ada sesuatu di sana… sesuatu yang dari dulu udah diem, tapi sekarang mulai bergerak lagi.”Rino menoleh dengan tatapan serius. “Lo tahu nggak, dari dulu orang-orang desa tuh udah nggak berani main ke sana, apalagi malem-malem. Bahkan pas siang aja, warga jarang yang berani deketin curug kalau sendirian.”“Gue denger itu,” Arga membalas. “Waktu kecil, nenek gue pernah cerita. Katanya dulu ada yang ilang di sana, nggak pernah ketemu sampai sekarang. Ada juga yang kesurupan atau pulang dengan kondisi

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Tujuh Hari Tertelan Air

    Hujan rintik membasahi desa Kemuning sejak pagi. Kabut menggantung rendah, menyelimuti pepohonan dan menyusup hingga ke sela-sela rumah warga. Aroma tanah basah berpadu dengan dingin yang menggigit, menciptakan suasana yang murung dan penuh ketegangan.Sudah seminggu berlalu sejak kejadian jatuhnya pemuda dari tebing Curug Kembar. Warga belum sempat benar-benar pulih dari rasa takut saat kabar baru kembali mengguncang.Seorang gadis muda, bernama Sinta, dinyatakan hilang setelah berkunjung ke Curug Kembar bersama dua temannya. Mereka bertiga awalnya hanya ingin menikmati air terjun dan berfoto. Tapi ketika hari mulai gelap dan mereka hendak pulang, Sinta tidak terlihat lagi. Teman-temannya mencari, memanggil, bahkan kembali menyusuri aliran air... tapi hasilnya nihil.“Sumpah, Pak! Dia ada di belakang kami waktu itu! Baru beberapa detik kami menoleh, dia sudah gak ada!” seru salah satu temannya saat laporan dibuat di balai desa.Warga segera menggelar pencarian. Tim SAR lokal, dibantu

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Tanda yang Tak Bisa Hilang

    Setelah kejadian semalam, Rino memilih untuk tidak kembali ke lokasi curug. Ia bilang kepalanya masih pusing, tapi Arga tahu, temannya itu sedang dilanda ketakutan yang tidak bisa dijelaskan.Sementara itu, bekas goresan di telapak tangan Arga tidak hilang. Ia sudah mencoba mencuci, menggosok pakai sabun, bahkan merendam dengan air hangat. Tapi simbol mata api itu tetap terlihat samar, seperti terukir di bawah kulitnya.Pagi itu, Arga memutuskan untuk kembali ke rumah Pak Jatmiko, juru kunci curug sekaligus tokoh tua yang dianggap mengerti soal hal-hal gaib di Desa Kemuning.“Pak, saya mau tanya soal pohon karet yang getahnya merah dan tentang tanda ini,” ucap Arga sambil menunjukkan telapak tangannya.Pak Jatmiko terdiam. Matanya langsung tertuju ke simbol di tangan Arga, dan wajahnya berubah serius.“Kowe wes ditandai, Le…” gumamnya pelan. “Tandha kuwi bukan sekadar goresan. Kuwi pertanda yen kowe wis nyenggol wilayah sing ora kowe pahami.”Arga menarik napas dalam. “Apa maksudnya,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status