Share

Teror wanita tua

Stella membuka matanya setelah mencium bau minyak angin yang sangat menyengat, dan ia langsung tahu kalau ini ruang UKS di tempat kerjanya. Masih di temani Ellie dan ada satu office girl yang sedang memegangi botol minyak angin yang tidak ia suka baunya.

“Silakan di minum teh hangatnya, Bu Stella!” ucap office girl berbadan gemuk.

“Terima kasih, mbak Ria... tapi tolong jangan panggil saya Ibu, usia mbak kan lebih tua dari saya 3 tahun, jadi panggil saya Stella saja.”

Mbak Ria menganggukkan kepalanya dan tersenyum, Stella pun menanggapi teh hangat pemberian mbak Ria dan langsung meminumnya.

“Kalau boleh tahu, kenapa kak Stella pingsan di lorong?” tanya mbak Ria.

“Sekarang malah di panggil kakak,” keluh Stella.

Ellie menggelengkan kepalnya sambil berkata, “Masalah panggilan saja di bikin ribet!”

Stella menghabiskan teh hangat buatan mbak Ria dan menaruh gelas di meja kayu samping kasur UKS.

“Jawab pertanyaan mbak Ria, Stell!” ujar Ellie

 “Aku melihat hantu wanita tua itu tepat di hadapanku, kemudian aku tak ingat apa-apa lagi setelah itu,” jawab Stella.

“Hantu wanita tua berambut putih dengan daster kembang-kembang, maksudmu?” sahut mbak Ria.

“Iya bet—betul sekali... lidahnya menjulur sampai ke dagunya.”

“Dia tidak jahat kok, dia hanya ingin menyampaikan pesan saja padamu,” ucap mbak Ria.

“Pesan apa, dan Kenapa aku orangnya?” tanya Stella bingung, mbak Ria mengangkat bahunya sambil berkata, “Kalau itu saya tidak tahu, Kak.”

Ellie terlihat gelisah dan sudah memperhatikan jam yang melingkar di tangannya. Stella yang melihat itu pun langsung bangun dari tempat tidurnya dan berkata “ayo kita pulang, El!”

“Kamu yakin sudah bisa berjalan?” tanya Ellie yang masih mengkhawatirkan kondisi Stella.

Stella pun menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, dan Ellie memberikan tas jinjing berwarna merah milik Stella. “Ini tasmu, tadi selagi kamu pingsan aku pergi ke loker dan sekalian mengambilkan tasmu.”

“Terima kasih Ellie, kamu memang temanku satu-satunya yang paling baik,” ledek Stella.

“Jangan banyak bicara, ayo kita pulang!” tegas Ellie, “lagi pula temanmu kan hanya aku saja!” balas Ellie.

Stella berdiri dan menyenggol Ellie sambil merayunya, “Malam ini kamu tidur di kamarku ya El, please!”

“Ck ... saat ada maunya saja kamu baik padaku, biasanya kamu mengurung diri di kamar apartemenmu!” sindir Ellie.

Stella pun merangkul Ellie dan berjalan keluar dari UKS. Gadis yang baru sadar dari pingsan itu bernama Stella Agatha, gadis berdarah Kanada itu memiliki mata biru seperti Ibunya yang sudah meninggal 2 tahun lalu. Setelah Ibunya meninggal ia memutuskan untuk merantau ke kota dan hidup mandiri, padahal ayahnya seorang pengusaha sukses yang memiliki pabrik sepatu ternama.

Jatuh bangun dan pahitnya hidup sudah ia rasakan. Tinggal di kamar kos yang sempit, bahkan makan hanya satu kali dalam sehari pun, pernah ia rasakan. Stella tak pandai bergaul dan lebih suka menyendiri, ia tak pandai bergaul karena sifatnya yang terlalu kritisi dan tajam saat berkomentar suatu hal yang tidak ia suka.

Hanya ada satu orang yang mampu menerima kritikan tajam itu selain keluarganya, yaitu Ellie. Ellie, gadis cantik berambut hitam bergelombang yang hobinya mempermainkan perasaan pria, walaupun Ellie hobi mempermainkan laki-laki tapi ia masih bisa menjaga kehormatannya sebagai wanita.

Tak ada satu pun pria yang tak suka dengannya, dengan modal tubuh yang seperti gitar Spanyol, dan wajah cantik bak model, sekali lirik pria langsung jatuh hati kepadanya, namun dari ratusan pria yang ia kencani, tak ada satu pun yang membuatnya ia tertarik. Mereka berdua tinggal di apartemen yang sama, dan kamar yang bersebelahan. Letak apartemennya tak jauh dari tempat kerjanya, kira-kira jaraknya hanya 600m. Mereka berdua bekerja sebagai agent call center di salah satu perusahaan e-commerce yang sedang naik daun, Happyshop.

“Aku lapar!” ujar Ellie yang baru saja masuk ke kamar apartemen Stella.

“Coba cek di lemari es sepertinya masih ada piza sisa tadi siang,” jawab Stella.

Ellie pun berjalan menuju lemari es dan terkejut saat membuka lemari es milik Stella, ia melongo karena melihat banyaknya botol bir di dalam lemari es milik Stella.

“Lemari es milikmu, menyimpan banyak harta karun, Stell!” teriak Ellie sambil  mengeluarkan kotak berisikan piza dan dua botol bir.

Ellie meletakan bir di atas meja, dan ia menyusun piza di atas piring sebelum memasukkannya ke dalam microwave. Stella pun keluar dari kamar tidurnya dan sudah mengganti piama ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Ellie tersenyum sambil mengangkat alisnya.

“Ternyata tubuhmu boleh juga,” ledek Ellie, “pria mana saja yang sudah mencobanya?”

“Jaga bicaramu, Ellie!” geram Stella, “tubuh indahmu itu hasil karya dari ratusan pria yang kau permainkan, bukan?” balas Stella.

Ellie pun tertawa sambil membuka tutup botol bir dingin yang sudah ia keluarkan dari lemari es.

“Kamu suka minum ini sendirian?” tanya Ellie sambil memberikan sebotol bir kepada Stella.

Stella menganggukkan kepalanya sambil menanggapi bir yang di berikan Ellie, dan Ellie mengajak Stella bersulang, sebelum menenggak bir dingin itu.

“Ahh... sudah hampir 2 bulan aku tak minum bir, ternyata masih segar seperti embun pagi,” ucap Ellie.

“Tinggg...” Suara microwave yang sudah selesai menghangatkan piza pun berbunyi, membuat mereka terkejut langsung melirik ke sumber bunyi. Ellie mengeluarkan piring piza dengan sarung tangan anti panas, dan membawanya ke meja depan TV. Stella pun ikut merasa lapar karena aroma piza hangat sangat menggugah selera, mereka berdua pun duduk di depan TV sambil di temani piza hangat dan bir dingin.

Mereka mengunyah sambil menatap TV dengan senyum tipis-tipis. “El... tadi sebelum log out aku menerima telepon dari Hellen Watson,” ucap Stella membuka topik pembicaraan.

“Apa, Hellen Watson?” Ellie tampak terkejut, dan berhenti mengunyah.

Ia menelan piza yang belum habis tergerus dalam mulutnya dan berkata, “Hellen Watson wanita berusia 72 tahun?”

Stella menganggukkan kepalanya dan menenggak bir dingin, untuk membasahi tenggorokannya yang kering.

“Memangnya kamu tidak lihat berita pagi tadi?” tanya Ellie.

“Tidak... lebih baik aku lanjut tidur dari pada melihat berita!” jawab Stella.

Ellie sibuk dengan ponselnya, kemudian menunjukkan ponselnya kepada Stella, “Baca ini!” Baru saja membaca headline, Stella terkejut sampai membuka mulutnya lebar-lebar.

“Ap—apakah berita ini valid, El?” tanya Stella gugup.

Ellie menganggukkan kepalanya dan mengambil kembali ponselnya, kemudian Ellie membaca dengan keras headline dari berita itu, “Wanita 72 tahun, ditemukan tewas tergantung di kamarnya.”

Tubuh Stella mulai bergetar dan giginya mulai beradu seperti sedang kedinginan, kemudian ia merampas kembali ponsel milik Ellie dan menscrollnya ke bawah. Setelah membacanya ponsel itu pun terlepas dari tangan Stella yang mulai kaku, saat ia melihat foto Hellen Watson tanpa blur.

“Wa—wanita itu yang tadi menghantuiku saat di lorong!” tegas Stella.

Ellie mengambil ponselnya yang tergeletak di sofa, dan melihat gambar yang barusan di lihat Stella.

“Rambut penuh uban, daster coklat dengan motif bunga... persis seperti yang di katakan mbak Ria!” pekik Ellie.

“Tok-tok-tok...” Terdengar suara pintu di ketuk dari luar “tok-tok-tok...”

“Suara ketukannya semakin keras, El...” bisik Stella.

“Aku tahu...” balas Ellie sambil menggigit bibir bawahnya.

Ellie pun memberanikan diri dan berjalan perlahan seperti ninja yang tak terdengar suara langkah kakinya, kemudian ia mendekatkan kepalanya ke door viewer untuk mengintip, dan tak sampai 10 detik ia pun langsung mundur dua langkah kemudian membuka pintu kamar apartemen Stella.

Saat pintu terbuka, tak ada seorang pun di depan pintu, Ellie melangkah maju kemudian menoleh ke kiri dan ke kanan, dan ia tak melihat apa-apa di luar. Stella terus menggenggam tangannya sendiri, dan berdoa sebisanya. Ia merasakan di tengkuknya seperti ada yang bernafas, padahal tengkuknya tertutup rambut coklatnya.

Stella memberanikan diri dan menoleh ke belakang, dan ia pun mengelus dadanya saat tak ada apa-apa di belakangnya.

Kemudian ia kembali melihat ke arah Ellie yang masih celingak-celinguk di depan pintu, baru saja kepalanya lurus sejajar dengan posisi Ellie, tiba-tiba tangannya yang berada di sofa pun terasa seperti ada yang memegangnya. Spontan Stella melirik ke tangan kanannya yang berada di sofa, yang ternyata sedang di tindih dengan tangan putih pucat penuh dengan keriput.

“Aaaaaaaaaaaaaaaa!” teriakan Stella pun pecah, dan membuat Ellie kaget sampai ia menoleh ke arah Stella.

“Tolong nyonya Hellen jangan ganggu aku!” ujar Stella sambil menutup matanya.

Ellie yang sudah berada di dekat Stella langsung merangkulnya dan mengelus-elus pundaknya, mencoba untuk menenangkan Stella “tenang Stell, tidak ada apa-apa di hadapanmu!”

Stella memberanikan diri membuka matanya dan yang di katakan Ellie benar, tidak ada siapa-siapa di sana kecuali Ellie yang merangkul Stella dengan wajah cemas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status