Share

Tolong

“Tolong…”

“Ampun papa, aku janji tidak akan nakal lagi.” Terdengar suara anak perempuan yang meminta ampun.

Gelap pun berubah menjadi terang dan Stella terbawa ke suatu kamar yang ia sendiri tak tahu di mana itu. Stella membuka matanya dan ia melihat sosok anak perempuan yang sedang terbaring di lantai sambil menangis.

Badan anak perempuan itu penuh memar dan tampaknya ia tak bisa berdiri, Stella yang melihat itu pun langsung menghampirinya.

“Hei, kamu tidak apa-apa?” tanya Stella.

Anak perempuan itu tak menjawab, bahkan ia seperti tak menyadari kehadiran Stella. Stella pun menghampiri amak itu dan ia ingin membantu anak itu bangun, tapi ternyata Stella tak bisa menyentuh anak itu.

Stella pun mencoba lagi dan lagi, tetapi tetap saja tak bisa. Tiba-tiba air mata anak itu jatuh dan ia berbisik, “Aku rindu kamu, mama….”

Anak itu berusaha bangkit dan Stella hanya bisa melihat saja. Mata Stella sudah mulai berkaca-kaca, ia merasa iba dengan anak itu. Anak itu pun bangkit dan mengusap air matanya, lalu ia berjalan menuju meja belajarnya yang berada di dekat jendela.

Langkahnya pelan seperti sedang menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, dan itu terlihat jelas dari memar yang ada di kedua tangannya dan juga di kakinya. Anak itu kemudian menarik kursi belajarnya dan ia pun mendaratkan tubuhnya di atas kursi itu.

“Aku akan segera menyusulmu, mama…” bisik anak itu sambil tersenyum.

Stella yang sedari tadi terdiam melihat anak itu, tiba-tiba ia meneteskan air mata. Stella seakan merasakan penderitaan anak itu. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki menghampiri kamar itu dan tak lama kemudian, “dorrr-dorrr-dorrr” terdengar seseorang menggedor pintu kamar itu dari luar.

“Eva, buka pintunya!” teriak seorang pria dari balik pintu kamar.

“Eva, kamu dengar tidak? Jangan sampai aku hitung mundur dan aku dobrak pintu ini!” bentak pria itu dengan nada yang semakin keras.

Anak itu pun panik dan terlihat kebingungan. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti mencari sesuatu. Lalu anak itu pun menunduk dan membuka laci meja belajarnya itu, kemudian ia mengacak-acak laci itu.

Sebuah pisau cutter sudah ada di genggaman anak itu, dan perlahan ia pun mulai mengeluarkan mendorong pisau itu keluar sambil tersenyum.

“Eva, aku hitung sampai tiga, jika kamu tak membuka pintunya maka akan mendobraknya!” teriak Pria yang berada di balik pintu.

Anak itu menoleh ke arah pintu dan tersenyum, kemudian tanpa ragu ia menyayat lehernya sendiri dengan pisau yang ia genggamnya. Darah pun muncrat dan anak itu terjatuh dari kursi, tetapi anak itu masih sadar dengan nafas yang terengah-engah.

Stella yang melihat kejadian itu pun langsung jatuh duduk dan melongo, ia tak percaya anak perempuan itu bisa dengan mudah menyayat lehernya sendiri. Entah apa yang ada di pikiran anak itu, sampai-sampai ia berfikir untuk mengakhiri hidupnya.

Air mata Stella pun semakin deras sampai dadanya terasa sesak. Anak perempuan yang terkapar sudah tampak kesulitan bernafas, ia pun menggerakan lagi tangannya yang masih menggenggam pisau, kemudian ia menggorok lehernya sendiri sekali lagi.

“Bruakkkk” pintu sudah di dobrak dari luar, dan saat Stella ingin melihat sosok pria yang berada di balik pintu itu, tiba-tiba semua gelap dan suara jeritan pria pun terdengar jelas sekali.

Stella membuka matanya dan ia sudah berada di ranjangnya, kemudian Stella merasa pipinya basah dan ia pun mengusapnya sambil menarik nafas dalam-dalam. “Apakah itu mimpi?” tanya Stella dalam hati.

“Jika itu mimpi, terlalu nyata dan durasinya lama sekali…” gumam Stella dalam hati.

Stella melihat ke arah jam yang ternyata sudah jam 07:00 pagi, lalu Stella mengambil ponselnya dan ia pun tersadar kalau ini sudah berganti hari. Ia pun langsung bangun dari tempat tidurnya karena ia sudah harus masuk kerja hari ini.

“Sial aku terlambat hari ini,” ucap Stella dalam hati saat sebentar lagi sampai di depan kantornya.

Jam sudah menunjukkan pukul 07:55 dan Stella masih berdiri menunggu lift sambil memegang ponselnya. Sudah ramai pesan dari SPV yang menanyakan keberadaan Stella, tapi ia berani membaca pesan itu. Pintu lift pun terbuka dan Stella langsung masuk ke dalam lift, ia terus menggerak-gerakkan kaki kanannya pertanda ia sedang terburu-buru.

07:59 Stella pun sampai loker room dan ia terkejut ternyata sang SPV sudah berada di sana menunggu Stella. Stella pun tersenyum dan berkata “maaf pak saya kesiangan.”

SPV itu bernama Diky, pria yang pernah di gosipkan dekat dengan Ellie. Wajahnya garang dengan kumis lebat, tetapi sebenarnya ia orang yang baik dan selalu memikirkan bawahannya.

“Apakah kamu sudah sembuh?” tanya pak Diky.

Stella menganggukkan kepalanya sambil berjalan menuju ke lokernya, “Jangan di paksakan jika kondisimu belum benar-benar pulih,” ucap pak Diky.

“Justru aku bisa tambah parah jika harus berdiam diri di apartemen,” sahut Stella yang sudah menaruh tasnya ke dalam loker.

Pak Diky tersenyum mendengar ucapan Stella, Stella pun pergi meninggalkan pak Diky di loker room. Baru beberapa langkah Stella meninggalak pak Diky, tiba-tiba pak Diky berteriak “kali ini tidak akan aku hitung terlambat!”

Stella membalikkan badannya sambil tersenyum, kemudian ia berterima kasih dan langsung masuk ke ruangan kerjanya.

“8 jam membosankan, aku datang!” ucap Stella dalam hati, setelah ia membuka pintu ruang kerjanya.

Semua mata tertuju kepada Stella yang sedang berjalan menuju meja kerjanya, dan suara bisik-bisik dari karyawan lain pun terdengar. Terdengar seperti mengasihani Stella yang di bohongi oleh temannya sendiri.

Stella tak memperdulikan itu dan ia pun langsung menyalakan komputer, dan sudah siap untuk bekerja melayani keluhan-keluhan pelanggan Happyshop.

Seperti biasa, jika di pagi hari tidak ramai telepon masuk. Stella jadi agak santai kali ini, dan ia masih memikirkan tentang anak perempuan itu. Anak perempuan yang tanpa pikir panjang mengakhiri hidupnya.

“Namanya Eva, ya?” ucap Stella dalam hati, “padahal anak itu cantik dan jika ia berumur panjang pasti akan menjadi primadona di sekolahnya.”

Stella pun menutup matanya dan merapatkan kedua tangannya, ia berdoa semoga Eva dapat tenang di sisi-Nya. Setelah selesai berdoa, Stella membuka matanya dan ia pun kembali menatap layar monitornya.

“kriingg-kringgg” tiba-tiba telepon Stella berbunyi dan tak lama kemudian layar pun pop up data pelanggan.

“Customer baru?” ucap Stella dalam hati sebelum ia menjawab panggilan masuk itu.

“Happyshop selamat pagi, dengan Stella ada yang bisa kami bantu?” Stella pun menjawab panggilan itu dengan greeting khas dari Happyshop.

“Tut…tut” tiba-tiba panggilan itu terputus, dan terlihat wajah kesal Stella sambil membuat laporan panggilan iseng.

“kriingg-kringgg” telepon Stella pun berbunyi kembali, dan layar pun pop up data pelanggan. Stella pun melihat ke kanan dan ke kiri, dan karyawan lain tidak ada yang menerima telepon.

“Loh kok telepon ini tersambung lagi ke aku?” tanya Stella bingung.

Harusnya setelah menerima telepon urutan Stella menjadi paling akhir untuk menerima panggilan berikutnya, tapi kenapa kali ini malah terhubung kembali.

Dengan wajah kesal Stella pun menjawab telepon itu, “Happy shop selamat pagi, dengan Stella ada yang bisa kami bantu?”

Terdengar suara langkah kaki dari telepon si pelanggan yang semakin mendekat, kemudian Stella mendengar pelanggan itu menangis lirih sambil mengucapkan sesuatu, tapi Stella tak bisa mendengarnya karena suara pelanggan terlalu pelan.

“Halo dengan siapa kami berbicara?” tanya Stella dengan nada yang ramah ala customer service.

Tiba-tiba suara menjadi hening dan tak ada jawaban dari pelanggan. Stella pun menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, “Halo apakah ada yang bisa saya bantu?”

“KAKAK, TOLONG AKU!” jeritan anak perempuan pun terdengar dan tiba-tiba listrik di ruangan itu padam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status