Stella yang sudah 2 jam tak sadarkan diri, akhirnya terbangun dan terkejut setelah melihat sosok pria duduk di sampingnya.
“Kamu sudah sadar?” tanya pria itu. Stella menganggukkan kepalanya dan ia pun merubah posisi yang awalnya telentang menjadi duduk.
“Kamu sedang apa di sini?” tanya Stella.
“Menjengukmu, apa lagi?” jawab pria itu sambil tersenyum.
Stella pun menggelengkan kepalanya dan ia pun melipat tangannya diperutnya, “kamu libur hari ini?”
“Aku masuk nanti sore, makanya aku sempatkan utnuk menjengukmu,” jawab pria itu.
Pria itu adalah Gibran Triguna, pria yang menyukai Stella dan selalu di campakkan oleh Stella. Wajahnya tidak terlalu buruk, tapi memang ia bukan tipe pria yang di sukai Stella. Meskipun Stella sering mencampakkannya dan cuek kepadanya, Gibran tetap berusaha untuk mendapatkan hati Stella.
“Aku tak menyangka kalau Ellie terlibat dengan kasus keluarga Watson,” cetus Gibran.
“Dia memang wanita yang sulit di tebak…” ucap Stella lirih.
“Oh ya, bukankah kamu sudah boleh pulang dari rumah sakit?” tanya Gibran.
“Mungkin sebentar lagi aku akan keluar dari rumah sakit,” jawab Stella.
Tidak lama kemudian Jonathan Lim datang bersama kedua orang suster dan menghampiri Stella. Salah satu suster langsung memeriksa keadaan Stella dan yang satu lagi sibuk dengan map yang bawa.
“Bagaimana kondisimu?” tanya Joe.
“Sudah jauh lebih baik,” jawab Stella yang sudah selesai di periksa.
“Perkenalkan saya Gibran, teman kerja Stella,” ucap Gibran sambil menjulurkan tangannya ke Joe. Joe pun langsung membalas uluran tangan Gibran sambil berkata, “Saya Joe, salam kenal.”
Joe tak pernah bicara ke semua orang kalau ia itu sebenarnya polisi, ia menjaga itu dan selalu merendah. Mungkin ia memang di tugaskan untuk menjaga rahasianya, atau mungkin Joe tidak terlalu suka dengan profesinya itu.
Kemudian Suster yang sibuk dengan map itu pun memberikan map kepada Stella dan menyuruhnya untuk menandatangani surat keluar dari rumah sakit. Dengan sigap, Stella langsung mengambil map itu dan menandatanganinya. Setelah Stella mengembalikan map tersebut, kedua suster itu pun meninggalkan kamar Stella.
“Jadi kamu disini untuk menjemput Stella?” tanya Joe sambil menepuk pundak Gibran.
“Sebenarnya tidak juga, tapi jika diizinkan aku akan mengantarkannya,” jawab Gibran sambil tersenyum.
“Aku bisa pesan taksi dan pulang sendiri!” bantah Stella.
“Ayolah Stell, jangan terlalu sering menolak bantuan seseorang,” ledek Joe.
“Hanya mengantar saja, tak perlu mampir!” tegas Stella.
Gibran pun menganggukkan kepala dan tersenyum, kemudian mereka bertiga bersiap-siap untuk keluar dari rumah sakit. Setelah semuanya selesai, Joe pun pamit untuk kembali memberikan laporan di kantornya, sebelum Joe pergi ia berpesan kepada Stella untuk bersiap menjadi saksi kasus keluarga Watson. Stella pun menepuk dahinya dan menghela nafasnya.
Joe pun meninggalkan Stella sendiri, sedangkan Gibran sedang ke parkiran untuk mengambil mobilnya. Setelah beberapa langkah Joe meninggalkan Stella, tiba-tiba Stella melihat bayangan anak perempuan mengikuti Joe dari belakang.
Stella menggelengkan kepalanya sambil menutup matanya, kemudian setelah ia membuka matanya ia kembali melihat sosok anak perempuan itu di belakang Joe. Tiba-tiba anak perempuan itu berhenti dan kepalanya berputar 180 derajat dan menatap Stella, kemudian dari mata anak itu meneteskan darah.
“Ahhhhhhhhkkkkk!” Stella pun teriak sekuat tenaga sambil menutup matanya.
Gibran yang sudah sampai pun langsung turun dari mobil dan berlari ke arah Stella, lalu tanpa aba-aba Gibran pun langsung memeluk Stella yang sedang teriak. Stella yang meresa di peluk seseorang pun berhenti berteriak dan membuka matanya. Ia pun langsung mendorong Gibran yang sedang memeluknya.
“Kamu mau cari kesempatan ya?” tanya Stella.
“Kesempatan apa maksudmu? Aku khawatir!” bentak Gibran.
Stella pun memukul dada Gibran, kemudian ia melihat lagi ke arah Joe berjalan tadi. Ternyata saat di lihat kembali, Joe sudah tidak ada. Stella pun melihat ke sekeliling dan masih mencari Joe, tapi yang ia lihat hanyalah orang-orang yang sedang memperhatikannya.
Stella pun menunduk malu, Gibran yang sadar akan posisi Stella langsung menarik tangan Stella dan mengajaknya langsung naik ke mobil. Stella pun hanya pasrah dan mengikuti Gibran sambil menundukkan kepalanya sepanjang perjalanan menuju mobil.
Setalah di dalam mobil, Stella langsung menghela nafas dan berkata “Sumpah itu malu banget!”
Gibran pun tertawa dan langsung menjalankan mobilnya tanpa membalas ucapan Stella. Stella pun hanya terdiam di dalam mobil, masih menahan malu dan sekarang ia mulai merasa canggung.
“Gibran, apakah kamu percaya hantu?” tanya Stella memecahkan keheningan.
“Aku percaya,” jawab Gibran sambil tersenyum.
“Lalu jika aku bilang kalau aku bisa melihat hantu, apakah kamu percaya?” tanya Stella.
Gibran pun tertawa terbahak-bahak tanpa melihat ke arah Stella, Stella yang di tertawakan pun memasang wajah kesalnya dan memalingkan wajahnya ke arah jendela.
“Aku percaya semua yang dikatakan olehmu,” cetus Gibran.
“Lalu kenapa kamu tertawa?” tanya Stella yang masih menatap keluar jendela.
“Aku tertawa bukan meremehkanmu, tapi aku tertawa karena bahagia,” jawab Gibran sambil tersenyum.
Stella pun perlahan mengembalikan kepalanya dan mulai menatap Gibran yang sedang fokus mengemudi, “Bahagia kenapa?”
“Bahagia karena pada akhinya kamu percaya kepadaku untuk mengatakan sesuatu yang tak mungkin kamu ceritakan ke semua orang,” jawab Gibran sambil menatap Stella.
Pipi Stella pun di buat merah merona oleh Gibran, dan ia pun mulai salah tingkah. Sedangkan Gibran masih tetap tenang dan masih bisa tersenyum.
“Jadi tadi kamu melihat hantu?” tanya Gibran.
Stella menganggukkan kepalanya dan kembali menatap ke jendela, “hantu anak perempuan, dan entah kenapa aku merasa seperti terhubung dengannya.”
“Maksudnya terhubung?” tanya Gibran bingung.
“Dia selalu meminta tolong, dan awalnya aku hanya mendengar suara jeritan dan rintihannya saja, kemudian saat aku melihat sosoknya, aku merasakan apa yang ia rasa…” ucap Stella lirih.
“Wow keren!” Gibran pun kagum dengan apa yang di ucapkan Stella.
Stella pun menggelengkan kepalanya saat melihat respons Gibran, dan ia pun berkata “Aku serius, Gibran!”
Gibran pun tersenyum dan berkata, “Aku juga serius dan jadi tertarik dengan hal itu.”
Mereka berdua pun akhirnya sampai di depan apartemen Stella, kemudian Stella pun turun setelah mengucapkan “terima kasih” kepada Gibran. Gibran pun tersenyum dan berkata, “Lekas sembuh ya, Stell.”
Stella pun tersenyum dan ia pun meninggalkan Gibran dan mulai masuk ke apartemennya.
“Astaga, jika aku melihat hantu di kamar bagaimana? Kali ini aku sendiri dan tidak ada Ellie yang menginap di sini,” gumam Stella dalam hati.
Stella pun akhirnya sampai di depan lift dan tak lama kemudian pintu lift terbuka, ia pun segera masuk dan menekan tombol lantai apartemennya. Saat itu ia sendiri di dalam lift, kemudian saat lift mulai naik, Stella pun merasa ada yang aneh. Ia mulai merinding dan dengkulnya mulai lemas.
“Ayo lima lantai lagi,” ucap Stella dalam hati.
Lima lantai terasa lama, keringat Stella mulai mngucur dan ia pun hanya berani melihat ke bawah. Tiba-tiba ia pun merasa ada yang aneh dengan tangan kanannnya, ia merasa seperti ada yang menggenggamnya dan itu terasa dingin sekali.
Stella pun memberanikan diri melihat tangan kanannya dan ia terkejut saat ada anak perempuan yang tadi di rumah sakit sedang menggandeng tangannya.
“Tolong aku, kak…” ucap anak perempuan itu lirih.
“Tolong…” “Ampun papa, aku janji tidak akan nakal lagi.” Terdengar suara anak perempuan yang meminta ampun. Gelap pun berubah menjadi terang dan Stella terbawa ke suatu kamar yang ia sendiri tak tahu di mana itu. Stella membuka matanya dan ia melihat sosok anak perempuan yang sedang terbaring di lantai sambil menangis. Badan anak perempuan itu penuh memar dan tampaknya ia tak bisa berdiri, Stella yang melihat itu pun langsung menghampirinya. “Hei, kamu tidak apa-apa?” tanya Stella. Anak perempuan itu tak menjawab, bahkan ia seperti tak menyadari kehadiran Stella. Stella pun menghampiri amak itu dan ia ingin membantu anak itu bangun, tapi ternyata Stella tak bisa menyentuh anak itu. Stella pun mencoba lagi dan lagi, tetapi tetap saja tak bisa. Tiba-tiba air mata anak itu jatuh dan ia berbisik, “Aku rindu kamu, mama….” Anak itu berusaha bang
Seketika semua orang yang ada di dalam ruangan menjadi panik dan suasana di dalam ruang kerja pun menjadi bising seperti di pasar. Semua orang menyalakan senter dari ponsel mereka masing-masing untuk penerangan.Stella berusaha agar tidak panik dan tetap duduk di kursinya, tapi tampaknya pikirannya terganggu oleh suara anak perempuan yang baru saja meminta tolong. “Apakah ini sama dengan kasus nyonya Hellen?” gumam Stella dalam hati.Tidak lama kemudian listrik kembali menyala, dan pak Diky masuk ke ruangan mengarahkan anak buahnya untuk kembali bekerja. Stella yang masih duduk di bangkunya langsung menyalakan kembali komputernya, dan lanjut bekerja seperti biasanya.Setelah listrik menyala kerjaan Stella kembali normal dan tak ada telepon yang aneh-aneh, sampai akhirnya waktu menunjukkan pukul 13:00 dan Stella meninggalkan ruangan kerjanya untuk makan siang. Stella berjalan ke loker room untuk mengambil domp
Stella dan Gibran akhirnya tiba di loker room, kemudian Stella menceritakan mimpinya yang melihat Maldeva bunuh diri. Gibran pun fokus mendengarkan dan tak banyak berkomentar, ekspresinya terlihat seperti memikirkan sesuatu.“Yang buat aku bingung itu, mimpinya terlalu nyata,” ucap Stella mengakhiri ceritanya.Gibran masih belum berkomentar, dan ia terlihat menarik nafas dalam-dalam. Stella yang melihat tingakah laku Gibran, langsung mendorong bahunya sambil berkata “jika kamu tidak percaya, silahkan saja!”Gibran menggelengkan kepalanya dan ia pun menjawab, “Aku bukannya tak percaya, tapi aku sedang mencerna setiap ucapanmu, dan menurutku sepertinya itu bukanlah mimpi.”“Lalu kalau itu bukan mimpi, apa?” tanya Stella sambil berjalan menuju lokernya untuk menaruh dompetnya.“Mungkin itu ingatan Maldeva yang di transfer ke inga
Stella membuka matanya dan ia sudah berada di kamarnya lagi, ia membasuh pipinya yang basah karena air matanya, lalu ia melihat ke langit-langit dan bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi barusan. Ia pun kemudian bangun dan terkejut ketika melihat jam dinding sambil berkata “ah sial, kenapa aku terbangun di tengah malam.”Ia pun pergi ke kamar mandi untuk sekedar membasuh wajahnya dan menyalin pakaiannya, setelah keluar dari kamar mandi Stella pun mengambil ponselnya yang masih berada di dalam tasnya.Saat ia memeriksa tasnya, ia menemukan kertas yang sudah berbentuk seperti bola. Ia pun mengambilnya dan merapikannya.“Astaga, bukannya ini sudah aku tinggalkan di meja kerja,” ucap Stella dalam hati. Ia pun terlihat bingung kenapa kertas ini bisa ada di
Gibran tersenyum saat mendengar Stella menyebut nama Maldeva, ia tak menyangka kalau kali ini ia harus terlibat dengan kasus ini.“Kenapa kamu tersenyum?” tanya Stella.“Akhirnya aku dapat kesempatan untuk menyelidiki kasusnya,” jawab Gibran.Pelayan pun datang ke meja mereka dan mengantarkan iced cappuccino milik Stella, Stella pun menanggapi dan tersenyum sambil berterima kasih. Saat pelayan itu pergi Stella pun berkata, “Kali ini aku bukan ingin membahas tentang kasusnya.”Ekspresi bingung pun terlihat di wajah Gibran kemudian Stella menceritakan lagi tentang mimpinya yang baru saja di alaminya, dan Gibran pun terlihat antusias mendengarkan cerita Stella. Eva yang duduk di sebelah Gibran juga ikut fokus memperhatikan mereka berdua.“Jadi intinya kamu ingin membantumu, mencari ibu dari anak itu?” tanya Gibran setelah mendengar cer
“Selamat pagi kak Stella,” sapa Eva saat melihat Stella terbangun dari tidurnya. Stella pun tersenyum dan membalas sapaan Eva, “selamat pagi juga.”Stella menyingkap selimut dan ia mengambil ponselnya yang berada tepat di meja samping ranjangnya, kemudian ia mengecek pemberitahuan di ponselnya seperti biasanya, dan kali ini banyak sekali pesan dari Gibran.“Astaga, aku merasa bodoh karena telah menghubungi pria ini tadi malam…” ucap Stella lirih.Eva yang mendengar itu pun tersenyum dan berkata, “Cepat balas pesannya dan segera mandi kak, hari ini kan kakak harus kerja!”Stella yang mendengar itu langsung mengalihkan pandangannya ke arah jam yang ada di ponselnya. Ia pun menghebuskan nafasnya dan berkata “masih ada waktu untuk memblokir nomor ini.”“Jangan kak! Ingat dia kan ingin membantu kita,” ucap
Akhirnya Gibran sampai di kantor polisi tempat Ellie di tahan, karena belum sidang maka Ellie belum di pindahkan ke rutan. Eva juga mengikutinya di belakang Gibran sambil menoleh ke kanan dan ke kiri seperti mencari seseorang.Gibran yang sudah dapat izin untuk menjenguk Ellie pun hanya mempunyai waktu 15 menit saja. Dengan gelisah Gibran menunggu Ellie yang sedang di jemput polisi.“Kak ini kantor papaku,” ucap Eva, “jangan sampai ia tahu dan mencurigai kak Gibran.”Gibran pun menganggukkan kepalanya dan tak lama kemudian polis datang membawa Ellie. “Hai Gibran apa kabar?” teriak Ellie saat melihat Gibran.“Baik, bagaimana kondisimu?” tanya Gibran.“Sangat menyenangkan!” jawab Ellie dengan nada tinggi. Gibran yang mendengar jawaban Ellie hanya bisa tersenyum.“Langsung saja! Ada apa kamu ke si
Sebelum menjalankan mobilnya Gibran melihat kertas yang di berikan oleh wanita itu, dan di kertas itu tertulis alamat Cendrawasih VII no 21. Gibran pun bertanya-tanya alamat siapa ini sebenarnya, apakah alamat Liza Magdalena?Eva melihat tulisan itu dari bangku belakang dan Gibran yang terkejut langsung melipat kertas itu. “Cendrawasih VII no 21, bukannya itu rumahku?” tanya Eva yang tiba-ttiba sudah duduk di kursi depan.“Hah? Ini alamat rumahmu?” tanya Gibran, “tapi kenapa dia memberikan alamat rumahmu kepadaku.”“Mungkin ia menyuruh kakak untuk bertanya langsung kepada papa,” jawab Eva sambil menundukkan kepalanya. Gibran menggelengkan kepalanya dan ia pun menjalankan mobilnya, ia berniat kembali ke kantornya untuk menyampaikan semuanya kepada Stella.Saat perjalanan Eva selalu saja mengatakan kalau ia tak suka dengan Ellie, sampai Gibran bosan mende