Share

BAB 14

Author: Dafin
last update Last Updated: 2025-09-01 19:20:24

Hari itu, di sebuah warung kopi sederhana di sudut kota, Daffa, Bima, dan Fahri berkumpul secara langsung. Mereka jarang sekali bisa bertemu karena kesibukan masing-masing. Biasanya, diskusi dilakukan lewat Discord. Namun kali ini, mereka sepakat untuk bertatap muka.

Sambil menyeruput kopi hitam, Bima membuka percakapan.

“Daf, aku kepikiran sesuatu. Setelah proyek UMKM kemarin, aku jadi mikir... kenapa kita nggak bikin sesuatu yang lebih dekat dengan dunia kita sendiri? Dunia pendidikan.”

Daffa menoleh dengan alis terangkat. “Maksudmu?”

“Coba bayangin, kalau ada token khusus untuk pelajar. Token yang bisa jadi reward kalau mereka belajar rajin, ikut kegiatan positif, atau menyelesaikan kursus online. Itu bisa memotivasi mereka. Jadi belajar nggak cuma dapat ilmu, tapi juga punya nilai nyata.”

Fahri ikut menimpali. “Kedengarannya keren. Semacam gamifikasi tapi pakai blockchain.”

Daffa terdiam sejenak. Ide itu terdengar gila, tapi juga menantang. Ia merasa seakan ada pintu baru terbuka di depannya.

Keesokan harinya, mereka mengatur pertemuan virtual dengan Kirana, mentor yang selama ini membimbing mereka.

Bima dengan penuh semangat menjelaskan ide Token Edukasi Pelajar. Ia menggambarkan sistem di mana siswa bisa mendapatkan token saat menyelesaikan tugas, mengikuti lomba akademik, atau mengajar teman sebaya. Token itu bisa ditukar dengan hadiah, akses kursus online premium, atau bahkan beasiswa kecil.

Kirana mendengarkan dengan saksama, lalu berkata,

“Ide ini menarik. Tapi kalian harus sadar, membangun token bukan hal sederhana. Ada aspek hukum, regulasi, adopsi pasar, sampai masalah teknis yang sangat rumit.”

Daffa menimpali, “Kami paham, Kak. Tapi kami ingin mulai dari kecil. Minimal buat prototipe dulu, biar konsepnya jelas.”

Kirana tersenyum. “Baiklah. Kalau begitu, langkah pertama kalian adalah riset pasar. Kalian harus tahu siapa target audiens kalian, apa kebutuhan mereka, dan bagaimana teknologi ini bisa menjawab kebutuhan itu. Jangan hanya fokus ke teknis blockchain. Ingat, teknologi tanpa manusia tidak ada gunanya.”

Minggu-minggu berikutnya dihabiskan dengan riset.

Bima mewawancarai beberapa teman sekolahnya. Ternyata banyak yang tertarik kalau ada reward digital untuk prestasi belajar, tapi sebagian besar masih bingung apa itu crypto.

Rizal menghubungi adiknya yang masih SMP dan bertanya apa yang membuat anak seusianya semangat belajar. Jawabannya sederhana: hadiah kecil seperti voucher game atau pulsa.

Sinta melakukan survei kecil di media sosial komunitas pelajar. Hasilnya, mayoritas pelajar tertarik dengan konsep token asal bisa ditukar dengan sesuatu yang nyata.

Daffa mulai mengamati platform token existing. Ia mempelajari whitepaper proyek-proyek serupa dari luar negeri, seperti token reward untuk olahraga dan kesehatan.

Dari semua data itu, mereka menyimpulkan:

1. Audiens utama mereka adalah pelajar SMP–SMA.

2. Token harus sederhana, jangan terlalu ribet.

3. Reward harus relevan dengan dunia pelajar: akses belajar, beasiswa, atau hadiah kecil.

Setelah riset, mereka berkumpul kembali.

Daffa berkata, “Kalau kita serius, kita harus jelas bagi peran.”

Akhirnya mereka menyusun pembagian:

Daffa: Coding dasar, membuat smart contract dan prototype aplikasi sederhana.

Bima: Riset lanjutan, analisis pasar, dan menyusun proposal.

Fahri: Infrastruktur teknis, integrasi blockchain dengan aplikasi.

Sinta: Edukasi, komunikasi, dan membangun konten untuk menjelaskan konsep token ke pelajar.

Rizal: Hubungan dengan sekolah atau komunitas pelajar untuk uji coba.

Kirana (mentor): Advisory, memberi arahan, memastikan mereka tidak salah jalur.

Bagi Daffa, ini adalah kali pertama ia benar-benar merasa menjadi bagian dari sebuah startup kecil. Ada struktur, ada visi, ada tujuan bersama.

Meski semangat tinggi, Daffa sering dilanda keraguan.

Malam itu, ia menulis di jurnal pribadinya:

“Aku hanya anak SMA. Apa mungkin aku bisa bikin token seperti ini? Bukankah proyek blockchain biasanya dikerjakan oleh tim besar, programmer profesional, dan didukung investor? Bagaimana kalau kami hanya jadi bahan tertawaan?”

Namun di sisi lain, ia juga merasakan api kecil di hatinya. Api yang membisikkan: “Kalau tidak sekarang, kapan lagi?”

Ia teringat kata-kata Kirana: “Teknologi tanpa keberanian hanyalah teori.”

Daffa mulai membuat sketsa sistem di papan tulis kecil di kamarnya.

Token diberi nama EduCoin.

Mekanisme sederhana: setiap kali pelajar menyelesaikan misi belajar (contoh: menyelesaikan modul, mengerjakan kuis, atau membuat proyek), mereka mendapat sejumlah kecil token.

Token bisa ditukar dengan hadiah tertentu, yang akan mereka atur bersama sponsor (misalnya toko buku lokal atau kursus online).

Ia lalu membagikan desain itu di grup.

Bima langsung antusias. “Bagus banget, Daf! Aku bisa bantu buat roadmap-nya.”

Fahri menambahkan, “Aku bisa coding smart contract dasar untuk sistem reward-nya.”

Rizal kemudian mencoba berbicara dengan pamannya yang punya toko buku. Ia menjelaskan konsep EduCoin, meski dengan bahasa sederhana.

Paman Rizal tertawa kecil. “Saya nggak ngerti crypto, Riz. Tapi kalau ini bisa bikin anak-anak lebih semangat baca buku, saya bisa bantu kasih voucher diskon sebagai hadiah.”

Itu adalah titik balik penting. Mereka mendapatkan dukungan pertama, meski kecil.

Namun tidak semua berjalan mulus. Sinta sempat mengangkat isu penting:

“Kalau token ini populer, pasti ada yang coba manipulasi sistem. Bisa saja siswa yang curang, atau pihak sekolah yang tidak jujur. Kita harus pikirkan sisi etikanya.”

Diskusi itu membuat mereka sadar, proyek ini bukan sekadar teknis, tapi juga tanggung jawab moral.

Daffa menambahkan, “Kalau kita salah, bisa-bisa malah bikin pelajar salah paham tentang crypto. Mereka bisa mengira crypto itu cuma soal hadiah, bukan teknologi yang lebih luas.”

Akhirnya mereka memutuskan: sebelum meluncurkan secara besar, mereka harus fokus pada edukasi. Token hanyalah alat, bukan tujuan utama.

Beberapa minggu kemudian, Daffa dan Fahri begadang hampir setiap malam.

Daffa belajar Solidity, bahasa pemrograman untuk membuat smart contract di Ethereum. Ia menulis kode pertama dengan tangan gemetar. Banyak error muncul, tapi setiap kali error teratasi, ia merasakan kepuasan luar biasa.

Bima terus mengirimkan data riset terbaru, Sinta membuat konten edukasi berupa artikel sederhana “Apa itu Blockchain untuk Pelajar?”, dan Rizal mulai menghubungi guru-guru sekolah lokal.

Mereka benar-benar seperti startup kecil, meski masih berantakan.

Suatu malam, setelah berhasil menjalankan smart contract pertama di testnet, Daffa menatap layar laptop dengan mata berbinar.

Bima yang ikut dalam panggilan video bersorak, “Kita berhasil, Daf! Itu token pertama kita!”

Fahri menambahkan, “Masih di testnet, tapi ini awal. Dari sini kita bisa kembangkan lebih jauh.”

Daffa tersenyum lelah tapi bahagia. Untuk pertama kalinya, ia merasa mimpi besar itu bukan lagi sekadar mimpi.

Di kepalanya, ia membayangkan ribuan pelajar yang suatu hari nanti akan menggunakan EduCoin. Ia tahu perjalanan masih panjang, penuh rintangan, mungkin akan banyak kegagalan. Tapi malam itu, satu hal menjadi jelas:

Mereka sudah menyalakan api pertama dari sebuah proyek besar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 20

    Malam sudah larut. Jam dinding di kamar kos menunjukkan pukul 23.47. Hujan baru saja reda, menyisakan titik-titik air di kaca jendela. Suara tetesan masih terdengar, berpadu dengan dengung kipas angin tua yang berputar malas. Daffa duduk sendirian di kursi kayu kecil dekat jendela. Di hadapannya, laptop menyala dengan dashboard EduCoin yang menampilkan grafik transaksi token dan jumlah pengguna yang terus bertambah. Ada rasa bangga, tapi juga ada sesuatu yang mengganjal di hatinya: perasaan campur aduk antara puas, takut, dan bingung. Daffa menghela napas panjang, lalu tersenyum samar. “Aku bahkan nggak percaya aku bisa sejauh ini.” Ia menutup mata, membiarkan pikirannya berputar ke masa lalu. Ia melihat dirinya dan Bima di perpustakaan kampus. Buku-buku menumpuk di meja, laptop terbuka dengan tab penuh artikel tentang blockchain. Daffa ingat rasa frustrasi saat itu. “Bim, ini maksudnya apa sih? Ledger, mining, peer-to-peer… kayak bahasa alien.” Bima tertawa kecil. “Tenang, Daf.

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 19

    Pagi itu Daffa merasa hari berjalan seperti biasa. Ia bangun, berangkat ke kampus, mampir ke kantin. Tapi satu hal kecil mengubah segalanya: sebuah notifikasi berita di ponselnya.Di layar tertera judul besar:“Inovasi Anak Muda: EduCoin, Token Belajar untuk Pelajar Indonesia.”Tangannya refleks gemetar. Ia baca cepat artikel itu, menelusuri setiap kalimat: tentang ide awal mereka, tujuan edukasi, bahkan kutipan dari postingan mereka di forum crypto lokal.“Guys, kita masuk berita!” seru Daffa, bangkit dari kursi kantin.Karin hampir menjatuhkan sendok nasi gorengnya. “Apa?! Serius?”Bima langsung meraih ponselnya. Sinta dan Rizal mendekat, mereka berebut membaca. Saat benar-benar melihat artikel itu nyata, wajah mereka berbinar-binar.“Ini gila. Kita cuma bikin proyek kecil-kecilan, eh diliput media,” kata Fahri dengan nada tak percaya.Artikel itu sederhana, tapi efeknya luar biasa.Tak butuh waktu lama, tautan artikel dibagikan di Twitter, Instagram, hingga TikTok.Komentar publik

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 18

    Setelah melewati masa penuh tekanan, tim EduCoin memutuskan untuk mengadakan rapat besar di ruang komunitas kampus yang biasanya sepi di akhir pekan. Daffa berdiri di depan papan tulis, tangannya memegang spidol, wajahnya penuh tekad.“Kemarin kita dihantam masalah bertubi-tubi. Server down, bug, regulasi. Tapi aku percaya, ini bukan akhir ini justru jalan menuju solusi.”Semua anggota tim menatapnya dengan harapan. Karin duduk sambil memegang laptop, Bima siap dengan catatan, Fahri tampak masih lelah tapi fokus, Rizal menyalakan recorder agar rapat terdokumentasi, sementara Sinta menyiapkan slide presentasi sederhana.Daffa menuliskan tiga kata besar di papan tulis: Stabilitas – Strategi – Inovasi.“Ini tiga pilar kita sekarang,” ujarnya. “Tanpa stabilitas, pengguna nggak percaya. Tanpa strategi, kita kehilangan arah. Tanpa inovasi, kita akan ditinggalkan.”Fahri mendapat giliran bicara. Ia maju dengan membawa laptop.“Pertama soal server. Aku sudah riset beberapa opsi cloud service.

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 17

    Setelah kampanye promosi pertama EduCoin sukses, antusiasme pengguna meningkat pesat. Dalam waktu singkat, jumlah akun pelajar yang mendaftar melonjak lebih dari dua kali lipat.Daffa menatap dashboard server dengan mata berbinar. “Lihat, traffic kita naik gila-gilaan! Dalam sehari ada 500 user baru.”Bima ikut mencondongkan badan. “Ini luar biasa, Daf. Kita bener-bener bikin sesuatu yang disukai.”Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar. Malam harinya, notifikasi merah memenuhi layar Daffa. Server down.“Tidak… jangan sekarang!” Daffa menepuk jidat.Besok paginya, grup chat tim penuh pesan panik.Sinta: “Daf! Aku nggak bisa login. Anak-anak yang pakai juga pada ngeluh.”Rizal: “Twitter kita udah rame. Banyak yang nanya kenapa aplikasi error.”Fahri: “Aku cek log. Sepertinya server nggak kuat menahan lonjakan traffic.”Daffa langsung ke rumah Fahri untuk memperbaiki sistem. Dengan wajah lelah, mereka berdua begadang semalaman, mencoba menstabilkan server.“Masalahnya bukan di k

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 16

    Beberapa hari setelah uji coba pertama EduCoin selesai, Daffa masih tenggelam dalam evaluasi. Ia duduk di kafe kecil dekat kampus, menatap layar laptop penuh catatan bug dan feedback dari siswa.“Desain aplikasimu keren sih, Daf,” kata Bima yang duduk di seberangnya. “Tapi jujur aja, tampilannya agak… kaku. Anak-anak suka fungsinya, tapi kalau tampilannya lebih menarik, pasti makin nempel.”Daffa menghela napas. Ia tahu itu kelemahannya: urusan desain dan tampilan. Ia bisa membangun sistem yang aman, algoritma yang efisien, tapi kalau soal estetika? Nol besar.Tiba-tiba, seseorang dari meja sebelah menoleh. Seorang gadis berambut sebahu, mengenakan hoodie biru tua, sedang menggambar di tablet grafis. Ia tersenyum tipis.“Maaf, aku nggak sengaja dengar obrolan kalian,” katanya. “Aku setuju sama temanmu. Sistem yang bagus perlu wajah yang ramah. Kalau nggak, orang males pakai.”Daffa dan Bima saling pandang. “Eh, iya… kamu siapa?” tanya Bima agak kikuk.Gadis itu memperkenalkan diri. “A

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 15

    Hari itu terasa berbeda bagi Daffa. Ia bangun lebih pagi, sarapan seadanya, lalu duduk di depan laptop dengan tangan agak gemetar. Hari ini adalah hari yang sudah mereka tunggu-tunggu: uji coba pertama EduCoin.Selama berminggu-minggu mereka bekerja siang malam. Daffa dengan coding, Bima dengan riset, Sinta dengan konten edukasi, Fahri dengan server, dan Rizal dengan komunikasi ke sekolah. Akhirnya, sebuah sekolah menengah di pinggiran kota bersedia menjadi tempat uji coba terbatas.Sekolah itu bukan sekolah elite, melainkan sekolah negeri dengan fasilitas sederhana. Justru di situlah Daffa merasa ide mereka lebih relevan. EduCoin bukan sekadar teknologi, tapi alat untuk memberi semangat baru bagi pelajar biasa.Di ruang guru, mereka diterima oleh Bu Rini, seorang guru yang dikenal progresif.“Jadi, kalian mau bikin eksperimen kecil di sekolah ini?” tanya Bu Rini dengan nada penasaran.Rizal menjawab dengan antusias, “Iya, Bu. Sederhana saja. Kami ingin mencoba memberi reward berupa t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status