Share

BAB 13

Author: Dafin
last update Last Updated: 2025-08-31 19:23:36

Malam itu, Daffa menerima undangan Discord baru. Nama servernya sederhana: “ProjectX_Colab.” Anggotanya hanya lima orang: Daffa, Bima, Fahri, SintaCrypto, dan Rizal_Block.

Fahri membuka diskusi:

“Kita semua punya semangat sama. Aku yakin kita bisa bikin sesuatu yang lebih dari sekadar trading. Bagaimana kalau kita coba ikut lomba inovasi digital yang diselenggarakan kampus X bulan depan?”

SintaCrypto menambahkan, “Betul. Tema lombanya ‘Blockchain untuk Kehidupan Nyata’. Kita bisa manfaatkan ini buat belajar sekaligus bikin karya nyata.”

Daffa merasa antusias, meski juga gugup. Ia baru pertama kali terlibat dalam proyek serius seperti ini.

Tim kemudian mulai melempar ide.

Rizal berkata: “Gimana kalau bikin aplikasi pencatat transaksi sederhana untuk UMKM biar nggak ribet bikin laporan keuangan?”

Bima menimpali: “Atau sistem donasi transparan berbasis blockchain. Banyak orang nggak percaya lembaga amal karena takut uangnya disalahgunakan.”

Fahri menyarankan: “Aku kepikiran bikin NFT untuk sertifikat pendidikan. Jadi ijazah bisa diverifikasi, nggak bisa dipalsukan.”

Diskusi berlangsung panjang. Daffa diam sejenak, lalu dengan hati-hati menyampaikan pendapatnya:

“Semua ide bagus. Tapi menurutku, kita perlu fokus ke hal yang bisa kita kerjakan dengan kemampuan kita sekarang. Kalau NFT ijazah, butuh jaringan besar sama akses ke institusi pendidikan. Kalau UMKM, lebih mungkin karena skalanya kecil. Kita bisa mulai dari yang sederhana, tapi berguna.”

Semua terdiam sejenak, lalu Sinta berkata, “Aku setuju dengan Daffa. Mulai kecil, lalu kembangkan.”

Akhirnya mereka sepakat: membuat aplikasi pencatatan transaksi untuk UMKM berbasis blockchain ringan.

Fahri sebagai orang yang punya pengalaman sedikit di coding akan jadi developer utama. Rizal fokus pada riset kebutuhan UMKM. Sinta mengurus edukasi dan komunikasi. Daffa serta Bima bertugas mencari ide fitur, desain, dan presentasi.

Pembagian itu membuat semua orang merasa punya peran.

Masalah muncul sejak awal: waktu.

Daffa dan Bima masih harus sekolah. Fahri sibuk kuliah. Sinta bekerja paruh waktu. Rizal sudah punya usaha sampingan.

Mereka mencoba menyusun jadwal pertemuan rutin tiap malam Sabtu. Namun sering ada yang telat, ada yang kelelahan.

Pernah suatu kali Bima mengeluh, “Daf, aku takut kita nggak bisa komitmen. Semua sibuk.”

Daffa menjawab dengan tenang, “Justru ini latihan. Kalau kita bisa jaga komitmen di tengah kesibukan, artinya kita serius.”

Meski lambat, progress tetap berjalan.

Fahri mulai menulis smart contract sederhana untuk mencatat transaksi.

Rizal menghubungi beberapa UMKM kecil untuk wawancara.

Sinta membuat artikel singkat tentang apa itu blockchain untuk pemilik usaha yang awam.

Daffa dan Bima belajar UI/UX design dasar untuk merancang tampilan aplikasi.

Daffa merasa dunia barunya semakin luas. Ia tidak hanya belajar trading, tetapi juga membangun sesuatu yang bisa dipakai orang lain.

Tidak semua berjalan mulus.

Suatu malam, terjadi perdebatan panas antara Rizal dan Fahri.

Rizal: “UMKM nggak butuh fitur ribet. Mereka maunya simpel, jangan kebanyakan teori blockchain.”

Fahri: “Kalau terlalu simpel, jadinya kayak aplikasi catatan biasa. Kita kan harus tunjukkan teknologi blockchainnya.”

Suasana menjadi tegang. Daffa yang biasanya pendiam mencoba menengahi.

“Kita jangan lihat ini sebagai dua pilihan yang saling bertabrakan. Bagaimana kalau kita buat dua versi: versi simpel untuk user, tapi di belakangnya tetap ada blockchain. Jadi user nggak perlu tahu teknis, tapi datanya tetap aman dan transparan.”

Semua terdiam. Akhirnya mereka sepakat dengan usul Daffa. Untuk pertama kalinya, Daffa merasa dirinya benar-benar memberi dampak.

Ketika mereka membagikan progres proyek di komunitas utama Crypto Nusantara, banyak anggota memberi masukan.

Kirana, mentor mereka, berkata,

“Bagus sekali. Ingat, teknologi yang baik adalah teknologi yang bisa dipakai tanpa membuat orang pusing. Kalian sudah di jalur benar.”

Pesan itu membuat tim semakin percaya diri.

Seminggu sebelum lomba, aplikasi mereka masih jauh dari sempurna. Banyak bug, tampilan masih kasar, fitur terbatas.

Namun semangat mereka tak padam. Daffa menulis di jurnalnya:

“Proyek ini mungkin belum sempurna. Tapi yang terpenting, aku belajar bekerja dalam tim, berkomunikasi, menghadapi konflik, dan melihat bagaimana ide bisa lahir dari perbedaan.”

Malam terakhir sebelum presentasi, mereka begadang bersama via voice chat. Suara lelah tapi penuh semangat terdengar di telinga mereka.

Bima berkata, “Apa pun hasil lomba nanti, aku bangga sama kita.”

Daffa tersenyum, meski matanya berat. “Aku juga. Ini baru permulaan.”

Daffa menutup laptop pukul 3 pagi, menatap langit malam dari jendela kamarnya.

Ia sadar, perjalanan crypto-nya kini bukan lagi sekadar perjalanan pribadi. Ia sudah menemukan tim, menemukan arti kolaborasi.

“Sendiri aku bisa belajar. Tapi bersama, aku bisa membangun.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 20

    Malam sudah larut. Jam dinding di kamar kos menunjukkan pukul 23.47. Hujan baru saja reda, menyisakan titik-titik air di kaca jendela. Suara tetesan masih terdengar, berpadu dengan dengung kipas angin tua yang berputar malas. Daffa duduk sendirian di kursi kayu kecil dekat jendela. Di hadapannya, laptop menyala dengan dashboard EduCoin yang menampilkan grafik transaksi token dan jumlah pengguna yang terus bertambah. Ada rasa bangga, tapi juga ada sesuatu yang mengganjal di hatinya: perasaan campur aduk antara puas, takut, dan bingung. Daffa menghela napas panjang, lalu tersenyum samar. “Aku bahkan nggak percaya aku bisa sejauh ini.” Ia menutup mata, membiarkan pikirannya berputar ke masa lalu. Ia melihat dirinya dan Bima di perpustakaan kampus. Buku-buku menumpuk di meja, laptop terbuka dengan tab penuh artikel tentang blockchain. Daffa ingat rasa frustrasi saat itu. “Bim, ini maksudnya apa sih? Ledger, mining, peer-to-peer… kayak bahasa alien.” Bima tertawa kecil. “Tenang, Daf.

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 19

    Pagi itu Daffa merasa hari berjalan seperti biasa. Ia bangun, berangkat ke kampus, mampir ke kantin. Tapi satu hal kecil mengubah segalanya: sebuah notifikasi berita di ponselnya.Di layar tertera judul besar:“Inovasi Anak Muda: EduCoin, Token Belajar untuk Pelajar Indonesia.”Tangannya refleks gemetar. Ia baca cepat artikel itu, menelusuri setiap kalimat: tentang ide awal mereka, tujuan edukasi, bahkan kutipan dari postingan mereka di forum crypto lokal.“Guys, kita masuk berita!” seru Daffa, bangkit dari kursi kantin.Karin hampir menjatuhkan sendok nasi gorengnya. “Apa?! Serius?”Bima langsung meraih ponselnya. Sinta dan Rizal mendekat, mereka berebut membaca. Saat benar-benar melihat artikel itu nyata, wajah mereka berbinar-binar.“Ini gila. Kita cuma bikin proyek kecil-kecilan, eh diliput media,” kata Fahri dengan nada tak percaya.Artikel itu sederhana, tapi efeknya luar biasa.Tak butuh waktu lama, tautan artikel dibagikan di Twitter, Instagram, hingga TikTok.Komentar publik

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 18

    Setelah melewati masa penuh tekanan, tim EduCoin memutuskan untuk mengadakan rapat besar di ruang komunitas kampus yang biasanya sepi di akhir pekan. Daffa berdiri di depan papan tulis, tangannya memegang spidol, wajahnya penuh tekad.“Kemarin kita dihantam masalah bertubi-tubi. Server down, bug, regulasi. Tapi aku percaya, ini bukan akhir ini justru jalan menuju solusi.”Semua anggota tim menatapnya dengan harapan. Karin duduk sambil memegang laptop, Bima siap dengan catatan, Fahri tampak masih lelah tapi fokus, Rizal menyalakan recorder agar rapat terdokumentasi, sementara Sinta menyiapkan slide presentasi sederhana.Daffa menuliskan tiga kata besar di papan tulis: Stabilitas – Strategi – Inovasi.“Ini tiga pilar kita sekarang,” ujarnya. “Tanpa stabilitas, pengguna nggak percaya. Tanpa strategi, kita kehilangan arah. Tanpa inovasi, kita akan ditinggalkan.”Fahri mendapat giliran bicara. Ia maju dengan membawa laptop.“Pertama soal server. Aku sudah riset beberapa opsi cloud service.

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 17

    Setelah kampanye promosi pertama EduCoin sukses, antusiasme pengguna meningkat pesat. Dalam waktu singkat, jumlah akun pelajar yang mendaftar melonjak lebih dari dua kali lipat.Daffa menatap dashboard server dengan mata berbinar. “Lihat, traffic kita naik gila-gilaan! Dalam sehari ada 500 user baru.”Bima ikut mencondongkan badan. “Ini luar biasa, Daf. Kita bener-bener bikin sesuatu yang disukai.”Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar. Malam harinya, notifikasi merah memenuhi layar Daffa. Server down.“Tidak… jangan sekarang!” Daffa menepuk jidat.Besok paginya, grup chat tim penuh pesan panik.Sinta: “Daf! Aku nggak bisa login. Anak-anak yang pakai juga pada ngeluh.”Rizal: “Twitter kita udah rame. Banyak yang nanya kenapa aplikasi error.”Fahri: “Aku cek log. Sepertinya server nggak kuat menahan lonjakan traffic.”Daffa langsung ke rumah Fahri untuk memperbaiki sistem. Dengan wajah lelah, mereka berdua begadang semalaman, mencoba menstabilkan server.“Masalahnya bukan di k

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 16

    Beberapa hari setelah uji coba pertama EduCoin selesai, Daffa masih tenggelam dalam evaluasi. Ia duduk di kafe kecil dekat kampus, menatap layar laptop penuh catatan bug dan feedback dari siswa.“Desain aplikasimu keren sih, Daf,” kata Bima yang duduk di seberangnya. “Tapi jujur aja, tampilannya agak… kaku. Anak-anak suka fungsinya, tapi kalau tampilannya lebih menarik, pasti makin nempel.”Daffa menghela napas. Ia tahu itu kelemahannya: urusan desain dan tampilan. Ia bisa membangun sistem yang aman, algoritma yang efisien, tapi kalau soal estetika? Nol besar.Tiba-tiba, seseorang dari meja sebelah menoleh. Seorang gadis berambut sebahu, mengenakan hoodie biru tua, sedang menggambar di tablet grafis. Ia tersenyum tipis.“Maaf, aku nggak sengaja dengar obrolan kalian,” katanya. “Aku setuju sama temanmu. Sistem yang bagus perlu wajah yang ramah. Kalau nggak, orang males pakai.”Daffa dan Bima saling pandang. “Eh, iya… kamu siapa?” tanya Bima agak kikuk.Gadis itu memperkenalkan diri. “A

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 15

    Hari itu terasa berbeda bagi Daffa. Ia bangun lebih pagi, sarapan seadanya, lalu duduk di depan laptop dengan tangan agak gemetar. Hari ini adalah hari yang sudah mereka tunggu-tunggu: uji coba pertama EduCoin.Selama berminggu-minggu mereka bekerja siang malam. Daffa dengan coding, Bima dengan riset, Sinta dengan konten edukasi, Fahri dengan server, dan Rizal dengan komunikasi ke sekolah. Akhirnya, sebuah sekolah menengah di pinggiran kota bersedia menjadi tempat uji coba terbatas.Sekolah itu bukan sekolah elite, melainkan sekolah negeri dengan fasilitas sederhana. Justru di situlah Daffa merasa ide mereka lebih relevan. EduCoin bukan sekadar teknologi, tapi alat untuk memberi semangat baru bagi pelajar biasa.Di ruang guru, mereka diterima oleh Bu Rini, seorang guru yang dikenal progresif.“Jadi, kalian mau bikin eksperimen kecil di sekolah ini?” tanya Bu Rini dengan nada penasaran.Rizal menjawab dengan antusias, “Iya, Bu. Sederhana saja. Kami ingin mencoba memberi reward berupa t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status