Share

BAB 15

Author: Dafin
last update Last Updated: 2025-09-02 11:01:18

Hari itu terasa berbeda bagi Daffa. Ia bangun lebih pagi, sarapan seadanya, lalu duduk di depan laptop dengan tangan agak gemetar. Hari ini adalah hari yang sudah mereka tunggu-tunggu: uji coba pertama EduCoin.

Selama berminggu-minggu mereka bekerja siang malam. Daffa dengan coding, Bima dengan riset, Sinta dengan konten edukasi, Fahri dengan server, dan Rizal dengan komunikasi ke sekolah. Akhirnya, sebuah sekolah menengah di pinggiran kota bersedia menjadi tempat uji coba terbatas.

Sekolah itu bukan sekolah elite, melainkan sekolah negeri dengan fasilitas sederhana. Justru di situlah Daffa merasa ide mereka lebih relevan. EduCoin bukan sekadar teknologi, tapi alat untuk memberi semangat baru bagi pelajar biasa.

Di ruang guru, mereka diterima oleh Bu Rini, seorang guru yang dikenal progresif.

“Jadi, kalian mau bikin eksperimen kecil di sekolah ini?” tanya Bu Rini dengan nada penasaran.

Rizal menjawab dengan antusias, “Iya, Bu. Sederhana saja. Kami ingin mencoba memberi reward berupa token digital untuk siswa yang rajin mengerjakan tugas atau ikut diskusi kelas. Token itu nanti bisa ditukar dengan hadiah kecil, seperti voucher buku dari toko paman saya.”

Bu Rini tersenyum. “Ide kalian menarik. Tapi saya minta satu hal: jangan sampai anak-anak bingung atau malah merasa terbebani. Kalian harus jelaskan dengan sederhana.”

Daffa mengangguk. “Tentu, Bu. Fokus utama kami bukan pada teknologinya, tapi pada semangat belajarnya.”

Mereka memutuskan untuk mengumpulkan 30 siswa sebagai peserta uji coba. Sebelum sistem dijalankan, Sinta mengambil peran utama untuk menjelaskan konsep.

Di sebuah kelas sederhana, ia berdiri di depan dengan papan tulis, sementara Daffa menyiapkan presentasi di layar.

“Teman-teman,” ujar Sinta, “hari ini kita mau coba sesuatu yang berbeda. Pernah nggak kalian merasa belajar itu kadang membosankan? Nah, kami mau bikin belajar jadi lebih seru, dengan memberi hadiah digital yang disebut EduCoin.”

Beberapa siswa tampak antusias, tapi ada juga yang mengangkat alis. Salah satunya berbisik ke temannya, “Itu kayak game ya? Dapet coin gitu?”

Sinta tertawa kecil. “Iya, mirip. Bedanya, ini bukan game. EduCoin ini ada di dunia nyata. Kalau kalian rajin belajar, ikut diskusi, atau menyelesaikan kuis, kalian dapat EduCoin. Nanti bisa ditukar dengan hadiah nyata, seperti voucher buku atau pulsa.”

Suasana kelas pun riuh. Beberapa siswa langsung semangat, ada juga yang skeptis.

Kini giliran Daffa maju. Dengan laptopnya, ia menampilkan aplikasi sederhana yang ia buat.

“Ini dompet digital kalian,” katanya sambil menunjuk layar. “Setiap orang nanti punya akun. Kalau kalian mengerjakan tugas dengan baik, guru akan memberi reward berupa EduCoin. Misalnya satu tugas selesai, dapat 5 EduCoin. Kalau terkumpul banyak, bisa ditukar dengan hadiah.”

Untuk demonstrasi, ia memberi contoh dengan akun fiktif. Ia mengetik perintah sederhana, lalu saldo token langsung bertambah.

Siswa-siswa bersorak, “Woooow!”

Seorang siswa langsung bertanya, “Bang, bisa ditukar diamond Mobile Legends nggak?”

Seluruh kelas tertawa. Daffa tersenyum canggung. “Sementara ini belum. Tapi siapa tahu nanti kita bisa tambah hadiah lain.”

Hari pertama uji coba dimulai dengan pemberian token untuk siswa yang mengumpulkan tugas tepat waktu.

Namun, baru beberapa jam berjalan, sistem error. Aplikasi yang dipakai guru untuk mengirim token tiba-tiba tidak bisa sinkron dengan server.

“Waduh, Daf, ini nggak bisa masuk,” kata Fahri dengan wajah tegang.

Daffa langsung panik. Jantungnya berdetak cepat. Ia takut semua kerja keras mereka berakhir kacau. Siswa-siswa sudah mulai ribut, “Mana coinnya, kok belum masuk?”

Bima mencoba menenangkan, “Sabar, sabar, ini masih percobaan. Error itu biasa.”

Daffa menarik napas panjang, lalu memeriksa kode dengan cepat. Ternyata ada bug kecil pada sistem validasi. Ia memperbaiki dalam waktu 30 menit.

Ketika saldo token akhirnya berhasil masuk ke akun siswa, seluruh kelas bersorak lega.

Itu adalah ujian pertama bagi mental Daffa: menghadapi tekanan nyata.

Hari-hari berikutnya, uji coba berlangsung lebih lancar.

Siswa yang biasanya malas, mulai semangat ikut diskusi karena ingin token.

Beberapa siswa kreatif mencoba mencari cara curang, seperti mengumpulkan tugas asal-asalan. Tapi sistem validasi guru membantu menyaring.

Ada yang bangga menunjukkan saldo tokennya ke teman-teman.

Bagi Daffa, melihat perubahan kecil itu terasa luar biasa. Ia merasa EduCoin benar-benar punya dampak nyata.

Namun, ia juga menyadari sisi lain: ada siswa yang mulai hanya fokus mengejar token, bukan pada isi belajar itu sendiri.

Setelah seminggu uji coba, mereka duduk bersama Bu Rini untuk evaluasi.

Bu Rini berkata, “Anak-anak jadi lebih aktif, itu bagus. Tapi ada juga yang terlalu fokus ke token. Saya khawatir mereka belajar hanya demi hadiah, bukan karena ingin tahu.”

Daffa merenung. Kekhawatiran itu benar. Ia lalu berkata, “Mungkin ke depan, kita perlu menyeimbangkan. Token hanya bonus. Yang utama tetaplah semangat belajar.”

Sinta menambahkan, “Kita bisa buat token bukan hanya untuk tugas, tapi juga untuk hal lain yang lebih bermakna. Misalnya, membantu teman belajar, atau membuat proyek kreatif.”

Semua setuju.

Meski uji coba berjalan lumayan sukses, Daffa merasa terbebani. Malam-malam ia sulit tidur, terus berpikir:

“Apa yang kami lakukan benar? Atau kami hanya main-main dengan anak-anak ini? Bagaimana kalau suatu hari token ini disalahgunakan? Bagaimana kalau kami gagal total?”

Ia menulis di jurnalnya:

“Ujian terbesar bukan pada sistem, tapi pada diriku sendiri. Aku takut. Tapi aku juga tahu, kalau aku berhenti sekarang, semua kerja keras tim akan sia-sia.”

Kirana, sang mentor, menenangkan lewat panggilan video:

“Daf, jangan lupa. Setiap inovasi besar pasti melewati keraguan. Kalau kamu merasa takut, itu artinya kamu sedang melangkah ke sesuatu yang penting. Teruslah jalani. Ujian pertama bukan tentang hasil sempurna, tapi tentang keberanian untuk mencoba.”

Ketika mereka membagikan laporan uji coba di forum komunitas crypto lokal, banyak komentar positif bermunculan.

“Akhirnya ada yang mikirin penggunaan blockchain untuk pendidikan!”

“Proyek ini keren banget. Jangan berhenti.”

“Tapi hati-hati, jangan sampai anak-anak malah jadi korban hype crypto.”

Komentar-komentar itu membuat Daffa sadar, mereka sedang menginjak ranah yang serius. EduCoin bukan lagi sekadar eksperimen kecil, tapi bisa jadi langkah awal sesuatu yang besar.

Setelah dua minggu, mereka menutup uji coba pertama. Hasilnya:

80% siswa merasa lebih semangat belajar.

50% guru merasa sistem membantu motivasi, tapi masih butuh penyempurnaan.

100% tim merasakan tekanan luar biasa, tapi juga kebanggaan besar.

Bima menutup rapat evaluasi dengan kalimat sederhana:

“Kita baru saja melewati ujian pertama. Ini baru permulaan.”

Daffa menatap layar laptopnya. Di sana, angka saldo token siswa terlihat jelas. Itu bukan sekadar angka, tapi simbol harapan.

Ia tahu perjalanan masih panjang, penuh ujian berikutnya. Namun satu hal pasti: EduCoin telah lahir di dunia nyata.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 20

    Malam sudah larut. Jam dinding di kamar kos menunjukkan pukul 23.47. Hujan baru saja reda, menyisakan titik-titik air di kaca jendela. Suara tetesan masih terdengar, berpadu dengan dengung kipas angin tua yang berputar malas. Daffa duduk sendirian di kursi kayu kecil dekat jendela. Di hadapannya, laptop menyala dengan dashboard EduCoin yang menampilkan grafik transaksi token dan jumlah pengguna yang terus bertambah. Ada rasa bangga, tapi juga ada sesuatu yang mengganjal di hatinya: perasaan campur aduk antara puas, takut, dan bingung. Daffa menghela napas panjang, lalu tersenyum samar. “Aku bahkan nggak percaya aku bisa sejauh ini.” Ia menutup mata, membiarkan pikirannya berputar ke masa lalu. Ia melihat dirinya dan Bima di perpustakaan kampus. Buku-buku menumpuk di meja, laptop terbuka dengan tab penuh artikel tentang blockchain. Daffa ingat rasa frustrasi saat itu. “Bim, ini maksudnya apa sih? Ledger, mining, peer-to-peer… kayak bahasa alien.” Bima tertawa kecil. “Tenang, Daf.

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 19

    Pagi itu Daffa merasa hari berjalan seperti biasa. Ia bangun, berangkat ke kampus, mampir ke kantin. Tapi satu hal kecil mengubah segalanya: sebuah notifikasi berita di ponselnya.Di layar tertera judul besar:“Inovasi Anak Muda: EduCoin, Token Belajar untuk Pelajar Indonesia.”Tangannya refleks gemetar. Ia baca cepat artikel itu, menelusuri setiap kalimat: tentang ide awal mereka, tujuan edukasi, bahkan kutipan dari postingan mereka di forum crypto lokal.“Guys, kita masuk berita!” seru Daffa, bangkit dari kursi kantin.Karin hampir menjatuhkan sendok nasi gorengnya. “Apa?! Serius?”Bima langsung meraih ponselnya. Sinta dan Rizal mendekat, mereka berebut membaca. Saat benar-benar melihat artikel itu nyata, wajah mereka berbinar-binar.“Ini gila. Kita cuma bikin proyek kecil-kecilan, eh diliput media,” kata Fahri dengan nada tak percaya.Artikel itu sederhana, tapi efeknya luar biasa.Tak butuh waktu lama, tautan artikel dibagikan di Twitter, Instagram, hingga TikTok.Komentar publik

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 18

    Setelah melewati masa penuh tekanan, tim EduCoin memutuskan untuk mengadakan rapat besar di ruang komunitas kampus yang biasanya sepi di akhir pekan. Daffa berdiri di depan papan tulis, tangannya memegang spidol, wajahnya penuh tekad.“Kemarin kita dihantam masalah bertubi-tubi. Server down, bug, regulasi. Tapi aku percaya, ini bukan akhir ini justru jalan menuju solusi.”Semua anggota tim menatapnya dengan harapan. Karin duduk sambil memegang laptop, Bima siap dengan catatan, Fahri tampak masih lelah tapi fokus, Rizal menyalakan recorder agar rapat terdokumentasi, sementara Sinta menyiapkan slide presentasi sederhana.Daffa menuliskan tiga kata besar di papan tulis: Stabilitas – Strategi – Inovasi.“Ini tiga pilar kita sekarang,” ujarnya. “Tanpa stabilitas, pengguna nggak percaya. Tanpa strategi, kita kehilangan arah. Tanpa inovasi, kita akan ditinggalkan.”Fahri mendapat giliran bicara. Ia maju dengan membawa laptop.“Pertama soal server. Aku sudah riset beberapa opsi cloud service.

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 17

    Setelah kampanye promosi pertama EduCoin sukses, antusiasme pengguna meningkat pesat. Dalam waktu singkat, jumlah akun pelajar yang mendaftar melonjak lebih dari dua kali lipat.Daffa menatap dashboard server dengan mata berbinar. “Lihat, traffic kita naik gila-gilaan! Dalam sehari ada 500 user baru.”Bima ikut mencondongkan badan. “Ini luar biasa, Daf. Kita bener-bener bikin sesuatu yang disukai.”Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar. Malam harinya, notifikasi merah memenuhi layar Daffa. Server down.“Tidak… jangan sekarang!” Daffa menepuk jidat.Besok paginya, grup chat tim penuh pesan panik.Sinta: “Daf! Aku nggak bisa login. Anak-anak yang pakai juga pada ngeluh.”Rizal: “Twitter kita udah rame. Banyak yang nanya kenapa aplikasi error.”Fahri: “Aku cek log. Sepertinya server nggak kuat menahan lonjakan traffic.”Daffa langsung ke rumah Fahri untuk memperbaiki sistem. Dengan wajah lelah, mereka berdua begadang semalaman, mencoba menstabilkan server.“Masalahnya bukan di k

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 16

    Beberapa hari setelah uji coba pertama EduCoin selesai, Daffa masih tenggelam dalam evaluasi. Ia duduk di kafe kecil dekat kampus, menatap layar laptop penuh catatan bug dan feedback dari siswa.“Desain aplikasimu keren sih, Daf,” kata Bima yang duduk di seberangnya. “Tapi jujur aja, tampilannya agak… kaku. Anak-anak suka fungsinya, tapi kalau tampilannya lebih menarik, pasti makin nempel.”Daffa menghela napas. Ia tahu itu kelemahannya: urusan desain dan tampilan. Ia bisa membangun sistem yang aman, algoritma yang efisien, tapi kalau soal estetika? Nol besar.Tiba-tiba, seseorang dari meja sebelah menoleh. Seorang gadis berambut sebahu, mengenakan hoodie biru tua, sedang menggambar di tablet grafis. Ia tersenyum tipis.“Maaf, aku nggak sengaja dengar obrolan kalian,” katanya. “Aku setuju sama temanmu. Sistem yang bagus perlu wajah yang ramah. Kalau nggak, orang males pakai.”Daffa dan Bima saling pandang. “Eh, iya… kamu siapa?” tanya Bima agak kikuk.Gadis itu memperkenalkan diri. “A

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 15

    Hari itu terasa berbeda bagi Daffa. Ia bangun lebih pagi, sarapan seadanya, lalu duduk di depan laptop dengan tangan agak gemetar. Hari ini adalah hari yang sudah mereka tunggu-tunggu: uji coba pertama EduCoin.Selama berminggu-minggu mereka bekerja siang malam. Daffa dengan coding, Bima dengan riset, Sinta dengan konten edukasi, Fahri dengan server, dan Rizal dengan komunikasi ke sekolah. Akhirnya, sebuah sekolah menengah di pinggiran kota bersedia menjadi tempat uji coba terbatas.Sekolah itu bukan sekolah elite, melainkan sekolah negeri dengan fasilitas sederhana. Justru di situlah Daffa merasa ide mereka lebih relevan. EduCoin bukan sekadar teknologi, tapi alat untuk memberi semangat baru bagi pelajar biasa.Di ruang guru, mereka diterima oleh Bu Rini, seorang guru yang dikenal progresif.“Jadi, kalian mau bikin eksperimen kecil di sekolah ini?” tanya Bu Rini dengan nada penasaran.Rizal menjawab dengan antusias, “Iya, Bu. Sederhana saja. Kami ingin mencoba memberi reward berupa t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status