Tatu seakan lupa, kapan terakhir kali dia di peluk dengan hangat oleh ibu kandungnya. Karena dia tak pernah merasakan sejak ia kanak-kanak. Karmilah selalu berkelit dan menolak memberikan hal yang sangat di butuhkan seorang anak dari ibunya. Megingat itu, Tatu kembali tersedu dan tergugu. Dia tak mengenal siapa ayah kandungnya, pun sang ibu tak pernah memberikan kasih sayang yang ia butuhkan.
“Ada apa nduk? Kenapa sedih banget gini?” Pertanyaan Bu Anita tak kunjung membuat Tatu menghentikan tangisnya. Sesak terasa menghimpit dadanya, ia butuh melepaskan semua beban di jiwa. Untuk saat ini, setelah sekian lama menahan dahaga akan pelukan juga perlindungan yang disebut orang tua.
Pak Wawan mengelus lengan gadis yang melingkar di tubuh istrinya. Wajah tuanya terlihat sendu, merasa prihatin dengan gad
“Sek … sebentar … Josh yang kita kenal? Josh Temennya Nak Gary? Nak Joshua di obok-obok?” cercaan pertanyaan Pak Wawan membuat Tatu meringis. Joshua memang tengil dan suka bercanda. Lelaki itu senang sekali jika pada masa dulu ada artis cilik bernama yang sama di negeri ini dan mempunyai lagu yang lucu. Maka waktu berkenalan dengan Pak Wawan menyebutkan namanya dengan embel-embel di obok-obok. “Inggih Pak,” jawab Tatu dengan mengangguk pelan. Ia memproyeksi reaksi Pak Wawan yang hanya diam menatap Tatu dengan helaan napas beberapa kali. “Nak Josh sudah tahu?” tanyanya lagi. Tatu mengangguk, Bu Anita mengelus punggung tangan Tatu. Wanita paruh baya itu lantas berdiri, melanjutkan kegiuatannya membuat sarapan sambil mendengarkan obrolan suaminya dan wanita muda itu. Tatu menceritakan awal mula
Manis tapi bukan madu, lembut tapi bukan krim, kenyal tapi bukan mashmellow. Sesaat Tatu terhanyut, tapi kesadarannya seolah menghantam kepalanya dengan sangat menyiksa. Dengan spontan ia menggigit benda kenyal yang menjepit bibirnya. Mendorong kuat tubuh keras di hadapannya. Pekikan dari lelaki yang sudah merenggut ciuman pertama juga rasa malunya karena jeritan dari orang disekitar. Ini memang sudah malam dan mendekati larut. Tapi apotek itu adalah apotek 24 jam yang terkenal, walau tidak banyak pasti pelanggannya keluar masuk. ‘Josh sialan’ maki Tatu dalam hati. Ia menutup wajahnya berdiri lalu keluar dari dalam apotek itu. Josh gegas mengambil kwitansi di meja kasir dengan tergesa. Menyusul Tatu yang terlihat emosi, dia tak akan tenang membiarkan gadis itu berada di jalanan pada jam rawan seperti ini.
Usapan lembut dan penuh pemujaan di bibir Tatu membuat makian yang sempat terlontar teredam oleh perlakuan manis pria yang selalu menjadi lawan berdebatnya itu. Ya, semenjak berkenalan di kediaman sahabatnya Lara beberapa bulan lalu. Tak pernah ada kata akur dari dia dan Josh. Selalu ada hal yang membuat mereka berdebat, bagi sahabatnya dan orang-orang di sekitar mereka itu adalah hal lucu. Namun tidak untuk Tatu, perdebatan itu murni karena ia merasa sebal dengan semua tingkah konyol Josh. Tapi sekarang, alat yang biasanya melontarkan sanggahan-sanggahan dan ucapan tanda penolakan argumen dari masing-masing sedang bergelut menuntaskan rasa penasaran dan dahaga. Ternyata usapan tadi hanya selingan semata, buktinya dua bibir itu masih saling melumat dan mencecap rasa manisnya. Benar kata orang, setan-setan memang gencar melakukan tu
Tatu mengerjap, ingatan tentang awal mula hubungan layaknya suami istri berkedok sepasang kekasih antara dia dan Josh membuatnya merindukan ayah dari calon anaknya. Tak dipungkiri, Josh selalu menjadi tempatnya berkeluh kesah tak hanya soal materi kuliah, materi berupa uang pun lelaki itu sangat royal. Dan jangan lupakan profesinya yang seorang pengacara, segala permasalahan yang ia hadapi. Josh selalu bisa memberikan solusi, tapi tidak untuk dirinya sendiri. Lihat saja, sekarang ia menjadi luntang lantung karena keputusan pria itu. Niat hati ingin menjauh dan menenangkan diri. Tetap saja bayangan pria itu mengekori kemanapun ia bersembun
Tatu merasakan sesuatu yang tidak nyaman di antara kakinya. Rasa yang mengganggu, seperti akan meledak juga rasa panas. Sapuan kasar kadang lembut, membuat tidurnya terasa seperti melayang. “Huhhh.” Tatu mencoba menyingkirkan sesuatu di antara kakinya, tapi saat merasakan surai-surai di jarinya. Tatu tersentak lalu bangkit untuk duduk, tapi karena keterkejutannya membuat perutnya terasa tegang dan kaku. hingga ia merintih. “Auhhhh!” rintihan nyaring membuat Josh merangkak dengan panik. “Hunny, what happend?
“Apa yang menjadi masalahmu, Ania? Kau hanya ikut denganku ke negarku, kita tinggal bersama membesarkan anak kita. Its easy, right?” Josh merangkum wajah Tatu, mencoba meyakinkan kekasihnya. Ia hanya ingin hidup bersama agar bisa menjaga keduanya, bertanggung jawab seperti apa yang Tatu inginkan. Tapi tidak untuk pernikahan, hatinya belum pada tahap itu. Menghabiskan seumur hidup dengan orang yang sama belum menjadi target dan rencana dalam hidupnya. Tatu mencoba tetap waras, ia berpikir. Sebenarnya apa alsan Josh begitu kukuh tak ingin menikah. Selama tiga tahun kebersamaan mereka, tak pernah sekalipun ada pembahsan pribadi tentang laki-laki itu. Pria yang otaknya selalu di selangkangan jika sudah dekat dengannya. Dan pagutan lembut yang memabukkan kembali ia rasakan, dengan spontan ia memejamkan mata membalas setiap kuluman yang sebenarnya ia rindukan. Ah hormon sialan. Josh memang pintar mengobrak abrik hati dan jiwanya. Ia selalu kalah, tapi tidak kali ini. Tatu mendoron
Tatu mematut dirinya di depan cermin yang tertempel di lemari pakaiannya. Perutnya sudah terlihat membesar, celana kerjanya sudah tidak bisa ia kancingkan lagi. Gadis itu duduk di ranjang yang berantakan. Menghempaskan badan dengan kasar, ia tak peduli dengan kandungannya. Rasa ingin menyerah dan menggugurkan saja, tapi teringat pesan Pak Wawan dan Ibu Anita membuatnya dilema. Jemari lentik tatu meraih ponsel pintarnya, membuka aplikasi online shop untuk mencari celana kerja yang ban perutnya menggunakan karet. Namun matanya terpaku pada gurita melahirkan juga bengkung. Mengelus perutnya yang tak lagi terlihat rata, Tatu segera memasukkan beberapa item yang fungsinya sama. Josh bilang uang tidak masalah bukan? Tatu menggunakan uang di rekening kekasihnya itu untuk memborong alat untuk membuat perut wanita terlihat langsing lagi. Senyum terbit di bibir tipisnya, dia segera membuka lemari. Lalu mencari korset yang pernah Lara berikan. Ternyata alat yang sering ia gunakan untuk menahan
Lara berjalan gontai ke ruangan suaminya -Gary- yang berada di lantai dua. Ia hanya tersenyum samar pada rekan yang menyapanya. Jam kerja sudah dimulai, tapi kegelisahannya membuat Lara memaksakan diri untuk mengunjungi sang suami. Lara mengetuk pintu putih di hadapannya. Setelah mendengar sahutan untuk masuk, Lara dengan tak sabar memutar gagang monocrom dingin itu. “Sweetie? Ada apa?” Gary yang tadi sempat memasang muka suntuk dan penuh dengan tekanan, memasang mimik bahagia. Setidaknya, penyemangatnya ada di ruangan itu menemuinya. Gary berdiri dan menghampiri Lara, ia membantu menutup pintu dan mengunci. “Mas, sibuk ya? Aku mau cerita dikit. Tapi kalau Mas Gary sibuk terus lagi males dengerin, ntar malam aja deh. Peluk aja boleh?” Lara mengulurkan tangan dan memeluk tubuh tegap suaminya. Gary membalas pelukan Lara, mengelus rambut lurus dan lembut itu dengan sayang. “Aku senang kamu datang, kita bisa bicara sebentar. Pekerjaanmu banyak tidak hari ini?” tanya Gary mengurai peluk