“Sorry ya, Ta. Gue pikir lo nggak bakalan nerima kehadiran gue, jadi walau punya beberapa bengkel. Gue emang belum beli rumah.” Arga menjelaskan dengan raut menyesal. “Tapi setelah ini, gue bakalan beli aja itu rumah. Tapi apa lo mau lihat dulu besok?”“Jangan maksain kalau gitu, Ga. Gue nggak mau lo repot,” kata Tatu. Dia tentu tak ingin membuat Arga harus memprioritasnya. Dia memang ingin menikahi pria baik ini, tapi dia tak mau menyusahkan.“Kok gitu, sih. Justru gue emang sengaja ngasih pilihan, biar lo nyaman. Gue nggak mau ntar lo ngerasa nggak nyaman karena beda sama apa yang lo mau.” Arga meraih tangan Tatu, mencoba myakinkan.“Oke, gue ikut lo besok. Gue nggak pengen lo juga nggak suka dengan rumah ini,” ucap Tatu, rautnya berubah sendu. &ldq
Arga bukan penyelamat, bukan juga ia jadikan tumpuan atas kemalangan yang menimpa. Hatinya masih tetap sama, enggan percaya. Karena tak akan pernah ada jaminan pada perasaan setiap manusia.Tatu tahu apa yang dilakukannya kejam, terlepas dari perasaan Arga sesungguhnya. Ia tak peduli. Yang dia lakukan kini hanya demi bayi yang masih bersemayam dengan nyaman di rahimnya. Walau dia tega membebat ketika bekerja, itu dilakukan juga bukan tanpa alasan. Ia tak punya siapa-siapa, hanya dirinya yang kelak akan melindungi buah hati dari kejamnya dunia.Tawaran Arga untuk menikahinya pun terpaksa ia terima, walau sadar nanti pasti akan jadi gunjingan. Setidaknya dia hanya ingin putranya mempunyai dokumen sah ketika kelahiran, itu yang ada dibenar juga rencananya. Melihat sosok berkulit sawo matang yang kini sedang mempersiapkan sebuah hunian di kota Tangerang, berbincang dengan developer yang menjelaskan bagian-bagian rumah berfurniture lengkap siap ditinggali itu, ia semakin gamang.Arga dan
“Ta!” Lara menahan tangan Tatu yang akan menemui anak-anaknya. “Jangan seperti itu, ucapan adalah doa. Aku nggak mau ya, kamu ngomongnya ngaco gitu.” Ia berdiri, menatap sahabatnya dengan pandangan sedih. Perasaanya berkecamuk, di sisi lain Tatu adalah sahabat terbaiknya. Satu-satunya orang terdekat yang selalu ada dan tak pernah meninggalkannya. DI sisi lain Josh adalah sahabat suaminya, yang saat ini sedang berusaha membebaskan belahan hati. Dia hanya ingin juga berusaha meyakinkan Josh, merubah keputusan pria bule yang sudah menghamili orang terkasihnya. Mengembalikan gurat nestapa menjadi rona bahagia. Setidaknya di antara mereka berdua salah satu harus bisa menyemarakkan hati dengan sukacita bukan air mata. “Udah, Sayang.” Helaan napas gusar tak akan mampu ditutupi, tapi Tatiu masih bisa tersenyum lebar demi mengenyahkan perasaan yang cabar. “Biarkan bagiku dia seperti itu dan sebaliknya. Ayo aku bantu siap-siap duo kesayangan, kamu lekasi kemas yang lain jangan sampai ketingg
“Josh aku hamil,” lirih Tatu pada pria iris abu gelap yang duduk nyaman di hadapannya. “APA!!” teriakan nyaring Josh sudah menandakan bahwa pria itu sangat terkejut. Sontak berdiri berjalan mondar-mandir dan berkacak pinggang. “Iya aku HAMIL!!” sungut Tatu tegas, ikut berdiri. Menatap nanar pria yang juga sedang berkacak pinggang memicing padanya. “Bukankah kamu selalu meminum pil-mu?” cecar Josh dengan kepala ia miringkan dan pandangan menyelidik. “Kamu pikir aku sengaja menjebakmu? mati saja kau!” umpat Tatu tidak terima. Ia tidak tahu kehamilannya adalah anugerah atau musibah. Dokter pernah memvonisnya akan susah memiliki keturunan karena riwayat penyakit yang ia derita. Bahkan ia masih harus terus mengkonsumsi pil dan juga obat-abatan supaya ia tidak merasakan kesakitan saat periodenya datang. “Lalu bagaimana kamu bisa hamil?” Josh mengacak rambut tembaganya kasar. “Kamu lupa, berapa puluh kali kita beecinta? hah!?” sanggah Tatu dengan mata berapi-api. Dadanya naik turun, emo
Menghempaskan tubuh pada kasur queensize di kamar kost. Air mata Tatu kembali merebak, hampir tiga tahun hubungan mereka. Tatu kira cinta Josh begitu besar untuknya. Namun hari ini ia tersadar, Josh hanya menginginkan tubuhnya, menjadikan ia budak nafsu pria itu selama ini. Membenamkan wajahnya pada bantal, ia berteriak lantang dan menangis tergugu. Pada awalnya Tatu tidak menyukai pria bule yang kelihatan sangat playboy itu walau desiran sering ia rasakan saat bersentuhan dengannya. Namun ternyata pesona Josh mampu meluluh lantakkan hatinya. Terkenang pertemuan pertama dengan Josh, hampir tiga tahun lalu di rumah sahabatnya Lara. 3 tahun lalu di kediaman keluarga Lara, Saat ini Lara sedang mengadakan syukuran ulang tahun Gary. Tatu datang membawa beberapa kotak kembang api untuk Gendhis dan untuk memeriahkan juga menebus kesalahan bule teman Gary beberapa waktu lalu ketika acara Aqiqahan dan sukuran untuk kese mbuhan Lara. Tatu baru saja turun dari taksi online yang mengantarn
Bangun dengan kepala seperti menyunggi karung berton-ton, dan perut di putar mesin molen dengan kecepatan penuh. Tatu mencoba mengangkat tubuhnya, mengirim perintah pada saraf motoriknya untuk bisa menggerakkan badan. Dia butuh ke kamar mandi, dia harus memuntahkan sesuatu. Dan ternyata, Tuhan masih berbaik hati. Ia bisa menegakkan badan dan berdiri, berjalan walau sempoyongan dan memuntahkan semua isi perutnya. Rasa pahit menjalar dari ujung lidah hingga tenggorokan. Duduk di atas closet dengan lemas setelah menyiram hingga bersih, tenaganya seperti tercabut dan tak bersisa. Dengan sebelah tangannya di bantu tangan lainnya, mencoba melepaskan kaos yang menempel di tubuhnya. Bersuka ria dengan keberhasilan dua anggota tubuh melepaskan benda yang menjadi korban muntahannya. Melemparkan pada ujung ruangan sempit berukuran 1,5 x 1,5 meter persegi. Kembali mengayunkan tangan kurusnya demi menjangkau gagang shower, memutar kran pada posisi penuh. Ia butuh menghilangkan kenangan-kenangan
Deringan pada ponsel pintarnya menyadarkan Tatu dari lamunan, saat ini ia sedang istirahat di kantin. Menunggu Lara datang. Menghela napas berat, saat melihat nama yang membuatnya darah tinggi setiap menghubungi. Dengan enggan Tatu mengangkat panggilan tersebut. “Assalamu’alaikum ....“ jawab Tatu dengan malas. “Gimana kabarmu, nduk? Udah makan belum?” suara berat dari seberang sana menyapa Tatu, nadanya sumringah dan sangat ramah. “Baik, Pak. Ini baru mau makan. Bapak sudah makan belum?” basa-basi Tatu kepada bapaknya. “Lha ini bapak nelpon, mau ada perlu sama kamu. Bapak belum makan, duit bapak habis. Bisa to kamu kirimi bapak uang?” todong Sarjono, ayah kandung Tatu. Selalu dan selalu, membuat Tatu jengah dengan alasan yang suka mengada-ada. “Pak, ‘kan udah aku kirim awal bulan kemarin. Itu jatah Bapak sama Ibu malahan. Kalo sekarang ga ada, aku belum gajian … “ ucap Tatu dengan raut kesal, mendongak,menatap Lara yang baru saja datang. Lara duduk di hadapannya, membuka beberapa
Kehamilan adalah sebuah proses yang membuat wanita berpasrah kepada kekuatan Tuhan yang tidak terlihat di balik semua takdir kehidupan manusia. Kehamilan juga sangat menakjubkan, ia bisa mengubah mental seorang wanita menjadi lebih baik untuk dirinya sendiri. Begitu pula dengan yang dialami Tatu. Ia menjadi pribadi yang berbeda, rasa malasnya yang dulu sering melanda perlahan terkikis. Dia tidak ingin sifat dasar keluarganya akan menurun pada anaknya kelak. Yaitu malas. Jika ia malas karena rasa lelah setelah bekerja. Berbeda dengan kakak tirinya. Di umur hampir menginjak 30 tahun, pria itu masih saja selalu merecokinya. Tatu masih dongkol dengan bapaknya yang meminta uang, kakak tirinya pun setali tiga uang. Setelah kemarin dipusingkan dengan Mbak Ayu yang menuduhnya dengan fakta yang tak terpikirkan olehnya. Tatu berhasil berkelit lagi. Dan melepaskan diri dari wanita julid itu. Namun kesialannya belum berakhir. Setelah makan malam sederhananya, ya, tatu hanya makan malam dengan t