"Gue gak butuh tanggung jawab lu! Manusia monster!" Jenar memukul lengan Remo kuat-kuat. Dia masih belum tenang juga.
Remo melongo melihat amukan Jenar yang tak main-main. Pikirannya jadi diimpit dua hal, dia merasa bersalah sekaligus merasa tak bersalah dalam waktu bersamaan. "Santai! Rileks ~! Udah kayak mau mati aja!" sahutnya mencoba menganggap remeh."Ya! Gue lebih baik mati ketimbang harus ngelakuin ini sama lu!" Air mata Jenar terus membanjiri pipinya.Rasa iba Remo jadi kian membumbung, rasa bersalahnya pada Jenar jadi makin tinggi. Biasanya hal seperti ini terjadi, para perempuan itu justru senang, baru kali ini ada perempuan yang secara mentah-mentah menolak dirinya. Dia tak bisa tinggal diam begitu saja. "Gue tau gue salah ... tapi gue akan tanggung jawab kalau terjadi apa-apa, gue gak akan meninggalkan lu gitu aja, rileks oke?" katanya pelan, matanya berkedip-kedip, menandakan tak enak hati pada Jenar."Apa kata Jaka nanti? Gue harus bilang apa ke Jaka?" isak Jenar sembari menyeka air matanya.Remo berusaha untuk menggapai Jenar dan nemeluknya, tapi Jenar langsung menepisnya cepat. "Minggir! Jangan berani-berani lu megang gue!" bentak Jenar galak.Remo menelan air ludahnya kasar, dia cukup takut pula melihat Jenar mengamuk. "Ya udah ... lu ganti baju aja dulu, kita sarapan, terus gue antar pulang gimana?" tawar Remo masih berusaha bersikap baik."Gak butuh! Gue bisa pulang sendiri! Lu keluar dulu! Gue mau pake baju!" teriak Jenar bersikap seolah berada di dalam rumah sendiri.Meski Remo mulai kesal, tapi dia turuti permintaan Jenar. Pria muda itu keluar dari kamarnya sebentar, membiarkan Jenar memakai pakaiannya di kamar sendirian saja.***"Yakin gak mau diantar?" tanya Remo setelah Jenar keluar dari kamar dengan pakaian lengkap di tubuh rampingnya."Ogah!!!" teriak Jenar sembari mengambil langkah panjang untuk keluar.Namun, tiba-tiba tangan Remo menyambar tangan kanan Jenar dan memutarnya cepat sampai tubuh Jenar nyaris terpeleset, untung Remo dengan sigap menangkapnya. "Apaan sih?! Minggir!" Jenar diserang berbagai perasaan, dia marah tapi dia juga tersipu malu, bahkan Jaka saja tidak pernah memperlakukannya seperti ini. Hubungannya dengan Jaka sangat kaku."Tunggu, jangan pergi begitu aja! Minimal kamu harus meninggalkan nomor kamu, yang bisa aku hubungi! Kita jangan sampe terputus kontak gitu aja!" pinta Remo memaksa.Jenar berusaha melepaskan diri, tapi Remo benar-benar memegangnya kuat, sampai pergelangan tangan Jenar tampak merah. "Gue gak mau berurusan lagi sama lu! Cepat lepasin gue!" teriak Jenar.Remo menyudutkan punggung Jenar di dinding rumahnya. "Gue gak akan lepasin lu sebelum lu kasih nomor lu ke gue! Kita harus tetap berhubungan, jangan bikin gue kayak penjahat!" teriak Remo tak mau mengalah.Dengan bersikap seperti itu justru Remo makin terlihat seperti seorang kriminal. Jenar sangat frustrasi melihat tingkah Remo. "Kenapa lu malah kayak terobsesi sama gue sih?" gerutu Jenar."Jangan ge-er! Gue cuma gak mau merasa bersalah, lagian bisa aja lu nuntut ke pengadilan dan bikin masalah, gue gak akan biarin itu terjadi!" Remo memberi alasan.Jenar tak bisa lagi menolak, dia terpaksa memberi nomor whatsapp-nya pada Remo. "Sekarang minta alamat!" paksa Remo seolah tak mau melepas Jenar begitu saja. Jenar bagaikan seekor ikan besar yang dia pancing, dan sedang mati-matian menarik tali pancing agar ikan besar itu tak lolos darinya."Alamat? Buat apa?!" Mata Jenar melotot."Lu bisa aja blokir gue nanti, atau ganti nomor! Minta alamat sekarang!" desak Remo.Jenar menghela napas berat, kenapa pula dia harus berurusan dengan pria aneh seperti Remo. Pria ini sudah mengubah hidupnya dalam semalam, dia menyentuhnya tanpa seizinnya tadi malam, lalu dia juga telah menghina tubuhnya tadi, dan sekarang dia malah memaksa tetap berhubungan, seolah ada yang salah dengan otaknya. Dia melakukan apa yang dia mau, dia pria tipe yang selalu melakukan apa yang dia suka, tak peduli apa kata orang lain, tak peduli bagaimana perasaan orang lain, dia seenaknya.Setelah menyelesaikan segala urusan dengan Remo, Jenar akhirnya benar-benar bisa pulang dengan naik taksi. Saat sampai di kamar kostnya, kaki Jenar langsung terjatuh dengan lemas, dia masih tak percaya dengan apa yang semalam terjadi. Bentuk tubuh tegap Remo dan wajahnya yang tampan dan mulus masih menghantui pikiran Jenar.Jenar berusaha untuk melupakan soal itu dulu, dia terlalu lapar sekarang. Gadis manis itu menyalakan kompornya, dia akan memasak mi instan, dia tak punya tenaga untuk memasak lauk pauk sekarang.***Jenar duduk di lantai kostnya dengan semangkuk mi instan di hadapannya, dia nyalakan TV kecil agar tak terlalu merasa sepi. Pikirannya tak bisa fokus, bayangan soal Remo masih terus mengisi kepalanya."Si brengsek itu!!!" Jenar mengumpat sambil mengunyah mi instannya yang tak terasa lezat saat ini.Mata Jenar kembali ke layar TV, dan kebetulan saat itu muncul sebuah iklan mobil mewah. Dan, sialnya, bintang iklan mobil mewah bermerek ternama itu adalah Remo! Jenar langsung memejamkan matanya saking kesalnya dia, pria ini muncul lagi bahkan saat dia di rumah. Remo terlihat sangat keren di TV, dia memakai setelan hitam dan juga jam tangan mahal. Jenar bisa melihat jelas wajahnya sekarang, tak diragukan memang pesona pria itu. Dia mengingatkannya pada aktor keren dari negeri ginseng Korea Selatan, Remo memiliki mata sendu yang tajam, matanya punya pesona yang paling kuat, sanggup mengiris hati perempuan mana saja."Sial, kenapa dia harus seganteng ini?" gerutu Jenar seraya mengganti channel.Jenar nyaris tersedak ketika di channel yang baru dia putar pun, muncul kembali Remo. Ada promo dari film baru yang dia bintangi, dia berperan sebagai pria penyakitan, wajah pucatnya membuat jantung Jenar makin berdebar, tapi dia masih jengkel. "Kenapa dia kayak hantu di mana-mana?!" gerutu Jenar sambil mematikan TV-nya.Bisa-bisa Jenar harus berhenti menonton TV kalau begini, dia tak mau melihat wajah Remo lagi. Sudah cukup pria itu mengusik hidupnya. Remo adalah bintang papan atas, hampir di seluruh channel dia akan muncul, minimal ada iklan yang dia bintangi. Jenar kehabisan kata-kata sekarang.***TOK TOK TOKTepat saat Jenar sedang mencuci mangkuk kotornya, ada seseorang yang mengetuk pintu kamar kost. Jenar membuka cepat-cepat, matanya melebar saat menemukan Jaka di hadapannya. "Kamu gak angkat telepon aku semalam?! Kamu di mana aja?! Gak pulang semalam dari pesta Ratu?!" Jaka langsung menghujaninya dengan pertanyaan tak berujung."Ma-Masuk dulu ... kita ngomong di dalam ...." Jenar mempersilakan Jaka untuk masuk, dia terasa sangat gugup, bayangan soal yang terjadi dengan Remo berputar bagai kaset usang di kepalanya."Kamu keliatan aneh, ada apa? Terjadi sesuatu?" tanya Jaka setelah dia duduk di lantai."Bentar, aku buatkan teh dulu, ya." Jenar tak langsung menjawab pertanyaan Jaka.***Berita tentang kejadian di Bandara sampai disiarkan di Amerika, tapi untungnya Remo dan Jenar bisa lolos tanpa dijerat masalah apa pun. Nana terbukti bersalah, namun dia tidak dijebloskan ke penjara sebab berdasarkan pengecekan yang dilakukan dokter kejiwaan, mental Nana tidak stabil dan dia mesti menjalani pengobatan dan terapi di rumah sakit jiwa. Pihak keluarga sempat menolak, tapi dibanding harus membiarkan anak mereka masuk penjara, terpaksa mereka setuju agar Nana mendapat pengobatan.Apartemen baru Remo dan Janer terletak di pusat kota, sementara restoran yang mereka beli ada di seberang jalan. Harapan untuk memulai hidup baru yang normal kian bersemi, syuting film Hollywood Remo yang pertama pun berjalan lancar sesuai ekspektasi.Nasib baik memang sedang berada di pihak mereka, bagaimana tidak, film Hollywood pertama Remo sukses ebsar, dan berhasil melambungkan namanya. Berkat film itu, dia berhasil mendapat peran untuk bermain
Remo dan Jenar menarik koper di tangan masing-masing, mereka akan berangkat hari ini. Sekali lagi Jenar memeriksa segala yang mereka bawa. "Gak ada yang tinggal kan?" Dia bicara dengan dirinya sendiri."Gak ada, tenang aja." Remo menyahut.Setelah menunggu beberapa menit di ruang tunggu, seseorang setengah berlari ke arah mereka, mata Jenar terbelalak mendapati yang datang adalah Jaka! Padahal beberapa hari lalu dia sudah berpamitan pula dengan orang-orang di kantor, tapi mau apa Jaka datang ke sini? Jenar berdesis di hatinya.Sorot mata Remo seolah siap untuk menerkam Jaka. "Kenapa?" tanyanya dingin."Ada apa?" Jenar bertanya sopan."Cuma mau liat kamu terakhir kali," jawab Jaka pelan, namun sukses membakar hati Remo.Sesaat Jenar menoleh pada Remo, matanya meminta agar Remo tetap tenang, toh ini hanya perpisahan biasa. "Ya, semoga suatu hari nanti kit
Keputusan untuk pindah sudah bulat, semakin cepat lebih baik sebab akan ada waktu bagi Remo dan Jenar untuk mempersiapkan rumah baru, usaha, dan persiapan kelahiran anak pertama mereka tentunya. Rencana syuting film baru dibatalkan, dan Remo harus membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi. Tak apa, pikirnya. Dia masih bisa mencari uang yang lebih banyak dari itu nantinya di Amerika. Namun, saat produser tahu bahwa Remo akan pindah ke Amerika, justru berita baik yang dia terima. Produser itu menawarinya film Hollywood, tapi sebagai pemeran pembantu tentunya, tawaran itu disambut positif, setidaknya sebelum usaha mereka nanti berjalan stabil.Sebelum berangkat, Remo dan Jenar lebih dulu menemui ayah dan ibu Jenar. Betapa girangnya mereka saat melihat perut Jenar kian membesar walau masih tak seberapa besar, membayangkan akan menggendong cucu saja sudah cukup membuat hati mereka berbunga.***"Jadi, kalian udah beli r
Remo tak bisa menahan dirinya, setidaknya untuk menunggu sampai dirinya dan Jenar duduk manis di sofa. Belum sampai pantatnya berada di atas sofa, mulutnya sudah mengoceh, "Dokter bilang kamu hamil, berhenti kerja dari kantor itu, sayang!""Kamu bisa kasih aku waktu gak? Minimal aku mau minum dulu, aku haus!" protes Jenar.Sebagai suami siaga dan cepat tanggap, Remo berdiri dan mengambil segelas air minum dari dapur. "Nih, silakan tuan puteri," katanya lembut."Mentang-mentang sekarang aku lagi hamil anak kamu, kamu mau memperlakukan aku kayak ratu?" cibir Jenar."Dimanjakan salah, entar gak dimanjakan juga salah!" gumam Remo mengomel.Jenar menenggak habis segelas air putih dingin itu. "Kalau memang kamu mau aku berhenti dari kantor aku, oke aku lakukan," katanya pelan.Roman muka langsung semringah seperti orang baru gajian, "Iya?! Makasih, sayang! Makasih!
Baru selangkah turun dari taksi yang mengantar sampai ke depan rumah, Jenar dan Remo kompak dikejutkan dengan kehadiran Nana di depan pagar."Baru pulang bulan madu ya, pasutri muda?" sapa Nana dengan senyum picik tersungging di sudut bibir."Lu mau ngapain ke sini? Besok-besok aja ngomongnya, kami baru nyampe, masih capek efek jetlag." Remo menyahut datar."Jetlag? Yelah, ke india doang pake acara jetlag!" Nana tertawa."Tau dari mana kami bulan madu ke india?" tanya Remo lagi. Namun, belum terjawab pertanyaannya itu, Jenar menyela,"Udah deh, Mo, ngapain sih kita ladeni dia? Aku capek banget nih! Ayo masuk, aku mau tidur!""Lu mau tidur ya tidur aja sendiri! Gue gak ada urusan sama lu, gue cuma punya urusan sama Remo!" sergah Nana."Udah ..., udah ..., ini kenapa malah ribut sih?" Remo segera menengahi sebelum perang dunia ketiga pecah
Kawanan burung beterbangan di atas langit yang tak seberapa cerah. Untuk Jenar yang pertama kali datang ke Taj Mahal tentu momen ini begitu menakjubkan baginya, tak cukup-cukup dia mengambil gambar sementara Remo memandangi sambil sesekali tertawa mengejek sikap Jenar yang terlihat begitu norak."Udah ambil fotonya, kamu diliatin orang tuh!" Remo menunjuk cowok-cowok lokal yang memandangi Jenar seperti memandang manusia berkepala tiga."Ayo ambil foto ala film india! Ayo, yang! Biar kayak pasangan romantis gitu!" pinta Jenar setengah merengek."Ogah ah, aku masih punya urat malu!" tolak Remo.Muka Jenar langsung cemberut. "Ayo lah ..., mumpung kita di sini!" Jenar menarik tangan Remo, akhirnya Remo menurut.Seorang pria lokal memotret keduanya dengan pose yang menurut Remo sangat menggelikan, namun petualangan mereka tak sampai di sana, kini beberapa cewek justru memandang