Pernikahan Jenar dan Remo akan dilaksanakan dalam beberapa hari. Tak seperti kebanyakan selebriti, Remo menginginkan pernikahan sederhana di kampung halaman Jenar. Namun, resepsi kedua akan dibuat nantinya di kota setelah mereka kembali.
"Jadi kita cuma undang keluarga terdekat aja? Beneran gak usah besar acaranya?" tanya ibu Jenar memastikan pada suatu malam saat mereka sedang makan malam.
"Ya, Bu, cukup dua puluh orang aja. Kami nikah secara tradisional aja." Remo menjawab sambil terus mengunyah makanannya.
"Tapi nanti kalian nikah lagi di kota? Duh, Ibu sama Ayah harus datang lagi dong?" tanya ibu Jenar lagi.
Remo menggeleng pelan. "Gak, Bu, cuma resepsi untuk kawan-kawan sama management aja. Kalau Ibu sama Ayah mau datang juga, ya gak apa-apa."
Tanpa sengaja ayah Jenar menyeletuk, "Terus orang tua kamu datang juga?"
Suasana di atas
"Kenapa baru sekarang kamu tanya?" Jenar balik bertanya."Apa hanya karna kita udah sering tidur bareng?"Seakan mengabaikan respons Jenar, Remo terus bertanya-tanya. Jenar sendiri belum tahu harus menjawab apa. Gadis manis itu menarik tangan Remo dan meletakkannya di dada. "Kalau kamu anggap aku adalah kesempatan kedua, gak apa-apa, ayo kita buat kesempatan kedua untuk kita berdua," katanya.Mata Remo membulat. "Kesempatan kedua?""Kamu lupa? Yang tadi dibilang ibu aku, semua orang memang gak bisa memilih untuk dilahirkan di keluarga yang kayak mana. Tapi semua orang punya kesempatan kedua untuk membangun keluarga yang lebih baik. Anggap aja kayak gitu." Jenar tersenyum manis, membuat jantung Remo berdebar."Kamu gak menjawab pertanyaan aku," protes Remo.Jenar mendekatkan kepalanya, lalu tanpa berkata-kata, dia mempertemukan bibirnya dengan bibir Remo. Mere
Setelah seminggu di kampung halaman Jenar, keduanya akhirnya pulang kembali ke kota. Rasanya masih sulit dipercaya oleh Jenar, dia sungguh menikah dengan Remo. Ajaib rasanya. Remo tak mau buang waktu, dia langsung meminta bantuan jasa pindahan untuk memindahkan barang-barang Jenar ke rumahnya.Tidak banyak barang memang, dan terlihat jomplang di rumah Remo, tapi sayang juga kalau tidak dipakai. Sampai malam hari Jenar sibuk merapikan barang-barangnya."Keliatan cocok gak kalau kulkas aku kuletakin di kamar kita?" tanya Jenar meminta pendapat.Remo yang sedang sibuk membaca skrip untuk film baru hanya mengangguk sekenanya. "Apa gak kita jual aja dengan harga murah? Di dapur kita udah ada kulkas besar.""Jangan deh, lumayan ini buat tempat naruh minuman." Jenar menolak.Remo menutup skripnya, lalu merenggangkan tangan."Kamu besok ada sy
Gadis cantik bernama Nana itu mendekat ke arah Jenar, tapi Remo berusaha menghalanginya. "Mau apa lu, gila?!" hardik Remo takut kalau Nana akan berbuat nekad dan menyakiti Jenar.Nana justru menangis di hadapan Jenar, meringkuk seolah memohon dikasihani. "Lu sama gue tuh sesama perempuan, lu pasti tau perasaan gue, gue hamil anaknya Remo! Tolong bantu gue!" isak Nana sambil menatap lekat mata Jenar.Remo segera mendorong Nana agar keluar. "Kita omongin lain kali aja, gue mohon! Gue baru balik ama Jenar dari kampung, perjalanan jauh, gue juga habis sibuk pindahan! Kita capek, ini udah malam, Na!""Gue tau, kok! Lu baru aja nikah sama dia, makanya gue sengaja datang sekarang! Gue mau minta sedikit belas kasihan aja dari dia, gue gak bohong!" jerit Nana yang makin membuat kepala Jenar pusing.Jenar bingung harus mempercayai siapa dalam situasi rumit begini. Apakah Remo mengatakan yang
Mendengar pengakuan mengejutkan yang dilontarkan Remo barusan, hati Jenar cukup hangat, dia sama sekali tak tahu kalau motivasi Remo pada malam itu memang karena dia tertarik padanya. Meski bagaimana pun, hal itu tidak bisa dibenarkan, Jenar tetap saja terenyuh.Perlahan Jenar mendekati Remo, meraih tangannya, lalu mereka berpelukan. Remo memeluk Jenar dalam-dalam, kuat-kuat, dia seakan sedang mengirimkan perasaannya kepada Jenar melalui dekap yang berlangsung lama itu."I love you," bisik Remo di telinga Jenar.Jenar terdiam, tidak menjawab. Remo menarik dagu istrinya itu, menatap pada bola matanya yang indah. "Kamu kok gak balas, sih?" protesnya agak bermanja."Perlu banget?" ledek Jenar setengah bergurau.Remo pura-pura cemberut, bibirnya dia majukan, Jenar kemudian mencubitnya gemas. "Iya ...! iya ...! I love you too! I love you so much!" katanya seraya menyatukan bibir
Sedang jam istirahat makan siang di kantor tempat kerja Jenar. Tak disangka, Nana datang menemuinya dan mengajak untuk makan bersama di kafetaria. Jenar sebetulnya ingin menolak, tapi karena Nana sudah datang jauh-jauh, akhirnya dia turuti saja permintaan gadis itu, apa lagi saat ini dia tidak sedang dalam kondisi mabuk.Jenar dan Nana duduk berhadapan, Jenar hanya menyantap seporsi salad saus tomat sedang Nana cuma minum kopi. Anehnya lagi, Nana menyulut sebatang rokok dengan cueknya. Jenar bingung tentu saja, sebab yang dia tahu berdasarkan pengakuan Nana, dia sedang hamil saat ini. Gila saja jika seorang ibu hamil malah merokok, apa lagi usia kehamilan masih muda, pikir Jenar. Namun, dia memilih untuk menyimpan keresahannya sendiri saja, tak mau protes lantaran merasa tak punya urusan untuk mencampuri Nana.Diam-diam juga tanpa sepengetahuan Jenar, di meja belakang, Jackson sedang makan siang pula, pria itu menajamkan pendenga
Jenar mundur perlahan, tak nyaman dengan tatapan Jackson yang seakan siap untuk menerkam. "Gue gak bisa menerima lu, lu tau kan kalau gue udah nikah? Jangan gila deh!" tolak Jenar cepat.Rahang Jackson tampak mengeras, tinjunya pun mengepal. "Nar, gue denger sendiri apa yang terjadi! Si Remo punya anak dari cewek lain, apa yang lu harapkan dari dia? Hah?!" Jackson mencengkeram kedua lengan Jenar. Jenar segera menepisnya."Gue hargai niat baik lu Jackson, tapi lu gak tau apa-apa! Kenyataan gak selalu sama dengan apa yang lu kira! Gue ..., gue masih percaya kok sama Remo! Tolong hargai keputusan gue, gue percaya sama suami gue, dia gak seburuk yang lu kira, Son." Jenar menarik napas panjang, lantas berbalik badan hendak pergi, tapi sekali lagi Jackson menarik tangannya."Aku suka sama kamu, Nar! Please! Dulu aku kalah sama Jaka, tapi sekarang aku harus kalah lagi sama Remo?!" Air mukanya berubah sendu.
Mata Jenar melotot agak lebar, sulit untuk mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh suaminya. Tangannya bahkan sampai berhenti bergerak di atas talenan."Hah? Adegan ranjang? Adegan buat apa itu? Kayak apa?"Tidak. Jenar tidak sepolos itu sampai tak memahami perkataan Remo, dia tahu apa itu adegan ranjang, hanya saja dia memang sengaja ingin menguji jawaban Remo, entah apa yang akan dia jelaskan sekarang."Ya ... Kamu tau, dong!" Remo menyahut santai."Nope! Aku bukan aktor loh, Yang. Aku gak tau spesifiknya itu kayak gimana dan bagaimana." Cukup masuk akal alasan Jenar."Ya ..., you knowlah, orang di ranjang ngapain! Jangan pura-pura, deh!""Ya ... Apa? Aku gak pura-pura, Remo! Bisa aja kan orang di ranjang main gaplek!" Jenar tetap kukuh ingin meminta penjelasan."Ya ... Oke, aku akan jelasin!" Remo menghadap kepada Jenar.
"Nar, gue bisa minta tolong gak?" Ratna, salah seorang karyawan, teman sekantor Jenar menghampiri meja kerja Jenar dengan sebuah file di tangan.Jenar yang sedang menatap laptop segera menoleh. "Hm? Apaan?" tanyanya."Mesin foto kopi kita rusak, nih. Bisa pergi ke depan dulu gak? Foto kopiin file ini, gue lagi sibuk banget sumpah. Minta tolong ama OB juga lagi pada repot mereka di bawah, ada satu lantai yang mau dipake buat rapat besar jadi mereka mesti bersih-bersih di sono. Lu bisa bantu kan? Ini file udah gue kumpulin semua, lu tinggal minta kopi aja." Ratna meletakkan sebuah tumpukan file itu di atas meja kerja Jenar."Aduh, kenapa sih yang kayak gini-gini selalu jadi bagian gue? Gak Ratu, gak Ratna, lu bedua tuh ngatur gue mulu!" protes Jenar."Duh, mohon pengertian dong Nar! Lagian, kan lu gak lagi sibuk-sibuk amat. Lu keluar juga enak kali, bisa sekalian ke kafe bentar buat beli kopi!" kata Ra