Inka tidak ingin melepaskan kesempatan itu. Ia segera menghubungi ayahnya. Bisa jadi, hanya saat itu saja ayahnya bisa untuk berbicara. Inka tahu betul jika sang ayah harus mencuri kesempatan untuk menghubunginya. Itu artinya saat ini beliau sedang sendirian saja tanpa si ibu tiri.“Halo, Ayah. Bagaimana kabarmu?” Inka langsung bertanya saat panggilan itu dijawab. “Aku sangat khawatir tidak menerima pesan setelah hari ini.”“Tenanglah. Ayahmu ini baik-baik saja. Kami sudah akan menuju bandara sekarang. Pastikan kamu menjemput nanti tepat waktu ya?”“Ayah ini sangat lucu. Perjalanan ke sini saja masih sangat lama,” balasnya santai. Inka sedang membayangkan penerbangan yang panjang itu. “Ya, tenanglah, Ayah. Aku pasti akan menjemput!”“Ayah tak bisa memberimu kabar karena Ibumu menyembunyikan ponsel Ayah. Baru-baru ini ia masuk rumah sakit. Ayah tidak tega meninggalkannya begitu saja. Kamu juga pasti setuju dengan tindakan ayah, bukan?”Terdengar helaan napas yang cukup keras. Inka suda
4 jam sebelumnya …. Plak! Tamparan keras mendarat di pipi seorang wanita muda. Ia mengusap pipinya pelan berharap rasa sakit itu perlahan berkurang. Setelahnya, dipandangi wanita di depannya. Mata yang memicing dengan tatapan sangar kembali dilihatnya. “Bodoh! Kau memang bodoh! Aku tak menyangka telah membesarkan anak bodoh sepertimu!” Marah dan geram. Dua kata itu yang tepat menggambarkan bagaimana sosok wanita di sana saat ini. “Ma … aku hanya memilih jalanku sendiri. Lagipula, perusahaan itu bukan milik kita.” Ia berusaha membela dirinya. “Harusnya otakmu itu dipakai dengan baik. Apanya yang bukan milik kita? Aku adalah istri pemilik perusahaan itu. Harusnya bisa menjadi milikmu juga.” “Anak kandung orang itu yang paling berhak. Aku juga tak menginginkannya,” imbuhnya lagi. Plak! Lagi, satu tamparan mengenai pipinya. Belum puas juga wanita itu menampar, ia menaikkan tangannya lagi dan siap dengan serangan selanjutnya. “Hentikan!” cegah seorang pria. “Ca-Candra?” Mata wanit
Inka merasa terpojok saat ini. Keputusannya untuk mengijinkan Candra masuk ke dalam apartemen disesalinya sekarang. Jika saja ia tidak berani membuka pintu apartemen, mungkin kejadian itu tidak akan terjadi. Gadis itu perlahan berjalan mundur dan masuk ke dalam kamarnya. Ia mengunci secepat kilat.Tuk tuk tuk!Candra semakin agresif di sana. Beberapa kali diketuk pintu itu bahkan semakin keras.“Hei, Inka. Kenapa harus sampai begini, sih? Hahaha! Aku hanya bercanda! Bukalah pintunya dan kita bicara baik-baik.”Inka tidak bereaksi. Ia ada di atas tempat tidur dan menutupi telingannya dengan bantal. Untuk kali ini, tindakan Candra sama sekali tidak bisa lagi ditoleransi. Bukan untuk pertama kalinya Candra seperti ini dan masih terus berlanjut.Pria yang berdiri di balik pintu mulai merasa menyesal. Ia membuat seseorang di sana trauma. Dikirimkannyalah sebuah pesan dan permintaan maaf. Meski begitu, Inka belum mau menemuinya.Semalaman Candra menunggu Inka untuk berbicara tetapi tidak ad
“Bersihkan dengan benar lalu bersiap-siap. Jangan malah melamun!”Teriakan Candra membuat Inka langsung tersadar. Tidak ada gunanya memperhitungkan ucapan dan tingkah manis. Semua itu hanyalah permainan seorang pria dewasa. Inka segera membereskan piring lalu mandi. Ia mengunci rapat kamarnya dan kamar mandi. Rasa trauma karena candaan calon suaminya betul-betul membuatya jera.‘Sekarang meski ia tidak ada di sini, aku akan tetap mengunci pintu. Bahaya sekali hidup bersamanya. Aish, aku lupa menanyakan tentang status rumah setelah kami menikah nanti.’Itu adalah hal penting yang terlewatkan oleh Inka. Sekarang ia mulai memikirkannya dengan sangat serius. Jika tinggal bersama keluarga besar Candra, ia sudah pasti haru tidur satu kamar dengan pria itu. Ini membuatnya sama sekali tidak bisa bergerak.‘Semakin memikirkan itu, semakin pusing rasanya. Aku memang bodoh karena menyetujui semua ini!’30 menit kemudian, keduanya telah bersiap-siap. Kaos putih dan celana jeans sudah cukup untuk
Mobil itu mengantar keluarga Inka menuju apartemen. Saat masuk ke sana, ayah Inka mulai mengomentari Candra. Ini karena mereka tinggal bersama semalam. Pria itu itu mengira jika Candra setiap hari tinggal di sana. Itu sama saja dengan ‘kumpul kebo’. “Aku sama sekali tidak melarang jika kalian memilih hidup seperti anak-anak muda lainnya. Tapi ini berlebihan.” “Astaga, Ayah. Harus berapa kali Candra menjelaskan pada Ayah? Hm … dia ini masih tinggal di kediaman orang tuanya. Kalau tidak percaya, tanyalah nanti pada besan Ayah.” Inka sedikit kaku saat mengatakan kata ‘besan’. Tetiba, ia mengingat tentang pernikahan palsu yang akan berakhir tahun depan. Kebahagiaan sang nenek dan ayah saat mendengar berita pernikahan tentunya akan menjadi duka yang mendalam saat mendengarnya bercerai nanti. Sungguh, itu menyesakkan batin Inka. “Jadi, apa saja yang sudah kalian lakukan di rumah ini?” tanya ayah Inka sekali lagi. Kali ini dengan wajah yang serius. “Ayah!” Inka sedikit memerah. Pertanyaa
Sampai hari lamaran tiba. Candra menyewa sebuah gedung untuk acara itu. Hanya keluarga dan kerabat dekat yang datang di sana. Selain untuk keintiman acara, Candra juga tidak ingin kebohongan ini nantinya akan diungkit. Di ruangan yang terpisah, ia sedang bersiap diri. Rehan juga ada di sana memandangi sang sepupu yang berusaha menghapal beberapa kalimat yang perlu diucapkannya nanti.“Ada-ada saja WO ini. Apakah perlu acara ini memakai janji setia? Aku malas sekali!” keluhnya sambil mengenakan jas hitam.“Apa, sih? Ayolah, ini adalah momen yang sangat penting—tak kalah penting dengan hari pernikahan nanti. Kamu harus full senyum. Ada mertua mu di sana. Jangan sampai belum hari H, kamu sudah tak disukai. Ah, aku tak bisa membayangkannya!”“Jika saja bukan karena Inka, aku tidak mau melakukan semua ini.”“Kamu benar mencintainya? Atau hanya pura-pura? Entahlah, aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan hubungan kalian.” Rehan sedang menyelidiki.“Mau aneh atau tidak, sama sekali tidak ada
Inka memandangi wajah Sasha lebih dekat lagi. Ia mencari sebuah alasan untuk mengatakan semua rahasia kelam ini. Rasanya menyimpan fakta besar sendirian tidak enak. Ia butuh seseorang sebagai tempat berbagi.‘Sha … apa aku bisa mempercayaimu? Kamu tidak akan memberitahukan orang lain, ‘kan?’ “Hei, Inka. Kamu sedang memikirkan sesuatu? Mau kubantu melarikan diri sekarang?”Inka tertawa kecil. Apa yang dipikirkan Sahsa sama sekali berbeda dengan kenyataannya. Bukan tentang Candra, ini adalah perjanjian 2 milyar. Meski berhasil lari, dari mana akan mendapat uang 2 milyar sebagai pembayaran denda.Sudah terlambat juga untuk memikirkan itu. Bagaimana dengan keluarga yang sudah datang jauh dari Paris? Gadis itu mengangguk lalu berdiri menegarkan hatinya. Semakin banyak gerakan yang keluar dari tubuh Inka, semakin Sasha meyakini sesuatu.“Aku akan meminta Candra agar tak kasar padamu. Mungkin Rehan bisa membantu saat kalian sudah menikah nanti.”“Hahaha! Berhenti membuatku tertawa, Sha. Sun
Empat mata di sana saling beradu. Hanya sisa menunggu salah satu dari keduanya yang terlebih dulu menyerang maka akan berakhir dengan baku hantam. Untungnya, kedua pria itu sama-sama menahan diri untuk tidak terpancing.Sang tuan besar yang ada di sana pun ikut kesal dengan tingkah keluargnya. Candra anak lelakinya yang emosian ditambah keponakannya yang sangat lebar mulut. Kedamaian di rumah seakan hanya mimpi belakan. Pak tua itu juga sudah tahu jika mantan kekasih Candra pernah berselingkuh dengan Rehan. Itulah sebabnya ia bisa sedikit mengerti tentang percikan api yang terlihat di antara keduanya.Brak!Ia memukul meja.“Kalian sama sekali tidak menghargai aku di sini. Kalau mau berkelahi, lakukan di luar sana! Kenapa masih di dalam rumah dan membuat keributan? Hanya demi seorang gadis saja seperti ini,” katanya.Mendengar itu, Candra tertawa dalam hatinya. Itu sama saja mempermalukan diri sendiri. Ya, pak tua itu sedang mempermalukan dirinya. Ia tidak sadar jika dirinya juga terg