Sudah satu minggu berlalu sejak Rania menolak lamaran Rakha secara mentah-mentah. Meski sejak hari itu, Rakha tak patah semangat untuk terus mengetahui keadaan Rania, baik dari mulut Devano, maupun menyambanginya langsung ke kediaman utama keluarga Dirgantara.
Kebetulan rumah mewah itu letaknya bersebelahan dengan sebuah lapangan sepak bola yang sangat luas.
Dan letak kamar Rania berhadapan tepat dengan lapangan tersebut. Jadilah, lapangan itu salah satu tempat favorit Rakha untuk dia sambangi tiap kali ada kesempatan. Sebab hanya dari lapangan itu Rakha bisa melihat sesosok tubuh kurus seorang wanita yang kerap menghabiskan waktunya dengan duduk termangu di tepi jendela sambil terus menatap pada satu arah.
Dialah Rania.
Meski jarak mereka sangat jauh, setidaknya Rakha hanya ingin memastikan bahwa Rania dalam keadaan baik-baik saja. Sebab hal itu dirasanya sudah lebih dari cukup.
Seperti biasa, hari ini Rakha memulai harinya sebagai salah satu karyawan di Perusahaan Dirgantara Grup.
Sudah menjadi buah bibir di kalangan kaum hawa bahwa ada seorang karyawan baru yang sangat tampan di bagian divisi perencanaan, bernama Rakha Al Farizi.
Meski dari kebanyakan karyawati yang sudah mengetahui perangai Rakha, langsung menyerah dan memilih untuk mundur teratur dalam mendekati Rakha. Semua hal itu terjadi akibat perangai Rakha yang bisa dibilang jauh di atas kata sempurna. Sangat-sangat sempurna, saking sempurnanya, wanita-wanita itu bahkan sudah minder duluan sebelum bertempur.
"Nggak deh, bukan tipe gue banget! Ganteng sih ganteng, tapi kalo kelewat alim kayak gitu, aneh juga! Bukannya di ajak ena-ena, yang ada gue malah diceramahin terus nanti setiap hari," celoteh Mirna yang kebetulan menjabat sebagai kepala bagian divisi perencanaan.
"Eh, dengerin deh, gue punya cerita lucu tentang tuh cowok," sambung Susi sambil cekikikan. "Jadi gini, lo tau dong rok sepan gue yang warna merah? Yang gue beli bareng Daniar?"
"Yang mininya kebangetan itukan?" sahut Tere.
"Yoi," jawab Susi membenarkan. "Jadi kemarinkan ceritanya gue pake tuh rok ke kantor. Terus gue duduk deh di samping si Rakha pas makan siang di kantin. Kebetulan kantin lagi rame, jadi gue dempet terus tuh cowok,"
"Hahaha... Pepet terrooos..." tambah Daniar di sertai tawanya yang terbahak-bahak.
"Gue kanan, Daniar kiri. Terus, lo semua bisa tebak nggak apa yang terjadi?" suara Susi terdengar menyelidik.
"Apa?" serobot Tere.
"Iya, apa?" tambah Mirna tak sabar.
"Dia pergi, terus nggak jadi makan! Hahahaha..."
"Jidatnya keringetan, pasti dese horny deh gara-gara si Susi Pe'a!" Daniar menoyor kepala Susi sang sahabat.
"Kenapa nggak sekalian aja lo buka tuh rok lo di depan dia, Susi-Susi," sambung Mirna dengan gelengan kepala.
Pagi itu Rakha tiba kepagian di kantor, saat dirinya memasuki ruangan kerjanya dia hanya mendapati gerombolan Susi CS di dalam ruangan itu. Mereka pasti sedang ghibah. Pikir Rakha dalam hati. Meski setelahnya Rakha langsung beristigfar karena sudah bersuudzon.
"Assalamualaikum," ucap Rakha dengan senyum tipis, tanpa sedikit pun memandang ke arah para wanita berpakaian ketat itu. Rakha tahu bahwa sudah sepatutnya dia menjaga pandangan dengan menundukkan kepala.
Berhubung hari masih pagi, Rakha pun memilih untuk beranjak dari ruangannya menuju mushola kantor. Lumayan setengah jam bisa dia isi dengan membaca Al-quran, daripada dia harus terjebak di ruangannya bersama para wanita yang tanpa sadar justru telah mempermalukan diri mereka sendiri dengan sikap mereka yang membuat mereka terkesan sangat rendah.
Rakha sungguh miris, dengan apa yang terjadi di kantor ini. Seperti kejadian yang dialaminya di kantin kantor kemarin saat jam makan siang. Sangat-sangat memalukan bagi Rakha.
Manusia itu terkadang lupa bahwa hidup di dunia ini bukan hanya tentang mencari kesenangan semata. Tapi akhiratlah yang jauh lebih penting.
"Nunduk terus, Mas Rakha, nggak ada duit jatoh kali, hehehe," goda Susi yang langsung di sambut pelototan Mirna.
Rakha hanya menanggapinya dengan senyuman tanpa berkomentar.
"Mau kemana sih, buru-buru amat! Temenin kita dulu kali di sini, nggak liat apa kita udah dandan cantik-cantik begini, belum lagi pakaian kita yang seksi, pasti bakalan betah deketan sama kita," Susi kembali berulah. Dan kelakuannya semakin menjadi saat tiba-tiba dia menghadang langkah Rakha di depan laki-laki itu saat dia hendak keluar dari kubikel kerjanya. Dengan gaya menggoda Susi berpose bak fotomodel dewasa dihadapan Rakha. Memperlihatkan lekukan tubuh sensualnya dengan penuh percaya diri. Belum lagi satu pulasan senyuman mautnya, yang sudah paten terkenal di seantero perusahaan ini karena dianggap sangat manis.
"Permisi Mbak, saya mau ke mushola," ucap Rakha santun.
"Ngapain pagi-pagi ke Mushola? Mending di sini sama akiu..." ucap Susi seraya mengikis jaraknya dengan Rakha semakin dekat.
Lagi dan lagi Rakha hanya menanggapinya dengan sebuah senyuman penuh kharismatik. Hingga akhirnya, dia kembali bersuara.
"Maaf sebelumnya, sebagai seorang perempuan, sudah sepatutnya kamu menjaga martabatmu dihadapan pria. Bukannya malah sengaja mempertontonkan aurat dengan rasa bangga. Lalu menjadikan tubuhmu sebagai bahan untuk mengolok-olok orang lain, padahal sesungguhnya dirimu sendirilah yang sedang kamu permalukan tanpa kamu sadar akan hal itu. Jujur saja, ini pertama kalinya saya melihat seorang perempuan merendahkan harga dirinya secara terang-terangan dihadapan seorang laki-laki. Dan hal ini, sangat memalukan dimata saya. Semoga Mbak Susi paham dengan kata-kata saya tadi. Maaf jika saya terlalu lancang, permisi,"
Rakha pergi setelahnya.
Meninggalkan ruangan Divisi perencanaan yang mendadak senyap.
*****
Sejak keberadaan Rakha di perusahaan Dirgantara, Mushola kantor yang biasanya selalu dalam keadaan sepi, perlahan berubah menjadi sebuah tempat yang kerap menarik perhatian beberapa karyawan yang melintas di sana.
Tepatnya saat mereka mendengar lantunan ayat suci yang memenuhi ruangan itu.
Sekedar ingin tahu siapakah gerangan kaum adam yang memiliki suara merdu nan menyejukkan itu? Yang bahkan lebih sejuk dari terpaan angin di pagi hari. Damai menjadi satu-satunya hal yang merasuk dalam jiwa tatkala lantunan ayat suci itu terus dilafalkan oleh Rakha.
Lelaki itu tampak fokus pada bacaannya. Menikmati, meresapi dan mendalami. Terkadang buliran air matanya menetes tanpa mampu dia tahan tatkala ayat-ayat suci yang dia baca memiliki makna yang begitu mengena di hati. Seluruh pikirannya yang kalut seketika hilang. Sirna. Dan yang ada hanyalah ketenangan jiwa yang haqiqi. Itulah yang Rakha rasakan setiap kali dirinya menikmati alur bacaan kata demi kata yang ada di dalam Al-Quran.
Rangkaian yang menjadi tanda kebesaran-Nya itu selalu berhasil membuat Rakha terhanyut dalam perasaan damai luar biasa yang tak akan dia dapatkan di tempat lain. Hanya dengan membaca Al-Quran, Rakha merasa segala masalah dalam kehidupannya seolah menguap di udara, terbang lantas menghilang tanpa bekas.
"Kha,"
Rakha masih fokus pada bacaan Al-Qurannya hingga tak menyadari ada sosok lain yang menghampirinya sejak tadi.
Duduk tak jauh dari sisinya. Mendengarkan lantunan yang dia baca dan memperhatikan dengan seksama. Air mata yang mengalir dari sudut mata Rakha menjadi fokus utamanya.
"Rakha," panggil suara itu lagi.
Rakha terhenyak. Kepalanya mendongak dan menoleh ke arah sebuah tangan yang terulur mengguncang lutut kanannya.
"Shadaqallahul adzim..." Rakha buru-buru menyudahi bacaannya seraya menyeka sudut matanya yang basah. Dia menaruh kembali Al-quran itu di tempatnya semula karena benda mulia itu adalah salah satu fasilitas kantor. "Eh, Pak Dev... Ma-maaf," ucap Rakha sungkan. Entah sejak kapan Devano duduk di sampingnya, Rakha sendiri tidak tahu, saking khusyunya dia membaca Al-Quran.
Devano tersenyum lebar. Hatinya jelas merasakan betapa dirinya tak salah menilai sosok Rakha. Devano terharu mendengar lantunan ayat suci yang sejak tadi di dengarnya keluar dari mulut Rakha.
"Bisa kita bicara sebentar, ada hal penting yang ingin saya bicarakan sama kamu," beritahu Dev saat itu.
"Oh, ya tentu. Bisa Pak, mau bicara dimana? Di sini atau di ruangan Bapak?" tanya Rakha kikuk.
"Di sini saja," Devano membetulkan posisi duduknya menghadap ke arah Rakha hingga posisi duduk ke duanya kini saling bersila dan berhadapan satu sama lain.
"Ada kabar baik untukmu dan keluargamu, Rakha, ini tentang Rania," beritahu Devano lagi. Wajahnya sumringah menatap Rakha yang tampak kebingungan.
Rakha hanya diam saja dan membiarkan Devano menyelesaikan kata-katanya. Dia tak mau berharap terlalu jauh.
"Rania sudah memutuskan kalau dia menerima lamaranmu..."
Deg!
Jantung Rakha seolah terhenti untuk memompa darah ke seluruh tubuhnya saat itu.
Pelupuk matanya kian menghangat menahan haru.
Allah kembali menunjukkan kuasanya dalam kehidupan Rakha. Jika sebelumnya harapan untuk bisa mempertanggung jawabkan perbuatannya terhadap diri Rania perlahan mulai pupus dan terkikis, kini Rakha tahu, Allah telah merestui rencana baiknya itu.
Karena Dialah sang maha pembolak-balik hati manusia.
"Alhamdulillah," gumam Rakha dengan suara pelan. "Lalu, bagaimana dengan ke dua orang tua Rania, Om Basti dan Tante Raline, apa mereka juga bersedia menerima lamaran saya atas diri Rania?" tanya Rakha lebih lanjut. Sebab pernikahan bukan hanya tentang bersatunya dua hati, tapi bersatunya dua keluarga.
"Kalau masalah itu kamu tidak perlu khawatir. Justru Mamah dan Papah orang pertama yang mendukung pernikahan ini," jelas Dev yang membuat Rakha tak henti mengucap kata syukur.
"Bagi kami, segenap keluarga Rania, kami percaya, tidak ada jodoh terbaik untuk Rania, selain diri kamu, Rakha..."
Allahumma Kamaa Farrohtanaa Fii Haadzi Hid Dun-Yaa Fa Farrihnaa Fil Aakhirat.
"Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memberikan kesenangan kepada aku di dunia, maka berilah aku kesenangan di akhirat."
Doa Rakha dalam hati.
Dia sungguh tak sabar untuk memberitahu kabar gembira ini pada Umi dan Abi di kampung.
*****
Langit malam terlihat gemintang.
Sang bulan si raja malam bertengger dengan kokohnya di angkasa. Membentuk bulatan yang sempurna dengan warna kuning keemasan. Seolah ingin menunjukkan pada dunia bahwa dirinyalah sang penguasa malam.
"Assalamualaikum, Umi," sapa Rakha di telepon.
Sejak sore tadi, sepulang dari kantor, Rakha pergi menuju sebuah tempat dan belum beranjak hingga malam mulai menjelang. Dia hanya pergi sebentar ketika waktu shalat maghrib dan Isya berkumandang lalu kembali lagi ke tempat semula.
Rakha duduk di salah satu bangku kosong di pinggir lapangan itu. Sesekali dia menengok ke arah jendela kamar sebuah rumah mewah di ujung sana. Jendela itu masih tertutup rapat bahkan sejak kedatangan Rakha sore tadi.
Sementara Rakha tak akan beranjak dari sana sebelum dia melihat jendela itu terbuka.
"Waalaikum salam, ada apa Nak?" sambut Umi penuh kelembutan.
"Rakha ingin menyampaikan kabar gembira untuk Umi dan Abi, ini mengenai lamaran Rakha untuk Rania. Pagi ini, Pak Dev, Kakak Rania baru saja memberitahu Rakha bahwa Rania menerima lamaran Rakha, Umi. Besok malam, mereka mengundang Rakha untuk makan malam bersama di kediaman Dirgantara. Katanya, mau membicarakan tanggal pernikahan," jelas Rakha panjang lebar. Dia tampak antusias sekali. Senyum di wajah tampannya yang tampak lelah terus terkembang.
Sekian detik berlalu, Rakha tak juga mendengar kalimat sambutan yang terlontar dari mulut sang Umi. Tak ada suara apapun di seberang sana. Hanya ada hening yang meraja.
"Halo, Umi? Umi dengerin Rakhakan?"
Kali ini, terdengar suara isakan tangis di sana.
"Umi menangis?" tanya Rakha cemas.
Sang Umi masih saja terdiam. Entah kenapa dirinya tak merasakan kebahagiaan mendengar berita itu. Semua hal yang dia rasakan berubah drastis semenjak dirinya menyaksikan langsung betapa perangai Rania yang sangat kasar. Kalimat yang keluar dari mulut Rania di hari lamaran itu telah mengiris hati keibuannya. Tak sampai hati, Umi melihat niat baik putranya justru dibalas dengan perlakuan yang sangat buruk. Sempat dia bertanya pada diri sendiri dan berusaha untuk memaklumi kondisi gadis bernama Rania itu, tapi tak tahu kenapa, Umi tak juga mendapatkan jawaban dari kekalutannya tersebut.
"Halo, Umi? Jawab Rakha Umi? Kenapa Umi diam saja?" cecar Rakha dengan kekhawatiran yang kian menjadi. Sebab, dia tahu betul, Umi tak mungkin menangis bila tak ada sebabnya. Atau mungkin, itu air mata bahagia? Entahlah, Rakha sendiri tidak tahu.
"Iya Nak, Umi dengar apa yang kamu katakan tadi," jawab Umi pelan. Isakan tangisnya masih terdengar.
"Lantas kenapa Umi menangis?" tanya Rakha sekali lagi.
"Umi hanya khawatir, apakah Rania memang benar-benar wanita yang pantas untukmu?"
"Kenapa Umi jadi berubah pikiran? Bukankah sebelumnya Umi mendukung apa yang telah menjadi keputusan Rakha?"
Cukup lama, Umi kembali terdiam. Dalam hati dia terus berdzikir meneriakkan kalimat-kalimat Allah untuk sekedar menata hatinya agar tidak melenceng dari takdir yang sudah menjadi ketetapan-Nya.
"Ada sesuatu yang ingin Umi tanyakan padamu Rakha?" tanya Umi memecah keheningan mereka.
"Apa Umi?"
"Apa kamu bahagia, Nak?"
Rakha diam.
"Umi ingin tahu, alasan sebenarnya, mengenai keputusanmu melamar Rania, apa hanya sekedar untuk bertanggung jawab atas kesalahanmu, atau karena memang kamu benar-benar mencintai Rania?"
Lagi-lagi Rakha masih saja diam. Pertanyaan demi pertanyaan Umi semakin menyudutkannya. Menenggelamkan Rakha ke dalam dilema berkepanjangan.
"Keterdiamanmu sudah menjawab pertanyaan Umi, Nak. Umi tahu betul dirimu. Sekali lagi, Umi hanya ingin memberitahumu, pernikahan itu bukanlah sebuah permainan. Pernikahan adalah sesuatu yang besar yang mampu menggetarkan kerajaan Allah, dikala seorang laki-laki mengikrarkan janji sucinya dihadapan seluruh makhluk-Nya. Jika keputusanmu menikahi Rania hanya karena wujud perasaan bersalahmu saja, lebih baik kamu urungkan sebelum hal yang lebih buruk terjadi. Sesungguhnya Allah maha melihat, kamu tidak sepenuhnya bersalah dalam kecelakaan itu. Jadi menurut Umi, kamu tidak perlu berkorban terlalu jauh, Rakha... Umi hanya tidak mau kamu mempermainkan pernikahan dengan membohongi semua orang akan perasaanmu yang sebenarnya terhadap Rania. Bagaimana jika suatu saat nanti Rania tahu yang sebenarnya? Dia pasti akan sangat kecewa padamu,"
"Apa... Rakha terlihat seperti seorang lelaki yang tak bisa mempertanggung jawabkan keputusannya? Apa di mata Umi, Rakha terlihat seperti seorang penipu?"
Air mata Umi semakin deras mengalir. "Umi tidak menganggapmu seperti itu, Nak... Umi menghormati keputusanmu. Sungguh... Hanya saja, Umi takut kamu justru tidak akan menemukan kebahagiaan dalam pernikahanmu kelak bersama Rania,"
"Astagfirullah, Umi. Istigfar Umi, istigfar. Bukankah selama ini Umi yang selalu mengajari Rakha bahwa kita harus selalu berhusnudzon pada siapapun, apalagi pada sang Pencipta. Allah telah memberikan kemudahan bagi niat baik Rakha untuk menikahi Rania. Rakha akan bertanggung jawab penuh atas keputusan Rakha. Rakha akan menjadikan Rania satu-satunya wanita dalam hidup Rakha, sampai waktunya Allah memanggil Rakha untuk pulang. Walau sampai detik ini Rakha sendiri belum tahu persis bagaimana perasaan Rakha yang sebenarnya terhadap Rania, tapi Rakha yakin, seiring waktu berjalan, semua pasti akan berubah. Semua akan indah pada waktunya. Rakha paham apa yang menjadi kecemasan Umi, Innallaha ma'ashobirin. Allah beserta orang-orang yang sabar. Insya Allah, bersama Rakha, Rania akan menjadi sosok yang lebih baik di masa depan. Rakha akan membimbing Rania dan menjadikan Rania seorang wanita sholehah sesuai harapan Umi... Insya Allah, Umi... Percaya sama Rakha,"
"Umi percaya sama kamu, Nak... Semoga Allah melancarkan segala urusanmu kelak..."
"Terima kasih, Umi,"
Dan sambungan telepon itu pun terputus.
Rakha menghela napas lega.
Ditatapnya langit nan luas di atas sana. Lalu dia tersenyum.
Diliriknya lagi ke arah rumah mewah itu, dan di saat yang bersamaan, sebuah jendela terbuka.
Wajah seorang gadis tampak dari balik jendela itu. Rambutnya panjang tergerai. Saat itu, dia menatap ke arah dimana Rakha duduk. Sama halnya seperti Rakha yang menatap ke arahnya.
Untuk waktu yang cukup lama, keduanya larut dalam tatapan masing-masing.
Meski salah satu dari mereka tak benar-benar menatap apa yang ada dihadapannya.
Karena semua terlihat gelap baginya.
Senja di Jakarta memang jauh berbeda dengan Senja di tepi pantai parang tritis.Apalagi suasana malamnya.Jakarta yang terkenal sebagai kota yang tak pernah tidur membuka peluang bagi banyak kalangan untuk mencari sepeser uang. Baik itu di waktu pagi, siang, sore, bahkan hingga malam kembali berganti menjadi pagi.Seolah tak mengenal lelah. Hiruk pikuknya terus bergulir penuh keambisian. Tak lekang oleh waktu.Malam ini, Rakha berencana untuk kembali menyambangi kediaman Dirgantara karena dirinya di undang makan malam bersama oleh calon Ibu dan Bapak mertuanya.Sayangnya, Rakha lupa bahwa kini dirinya bukan lagi hidup di daerah pedesaan dimana jalanannya lengang tanpa polusi dan kemacetan. Kini dirinya berada di Jakarta. Kota dengan tingkat kemacetan tertinggi seantero Indonesia.Untungnya kali ini Rakha memilih untuk naik Ojol ketimbang harus nai
Akhirnya, hari pernikahan pun tiba.Kumandang akad yang baru saja diteriakkan Rakha di dalam kantor KUA Jakarta, disambut antusias dan tangis haru oleh seluruh keluarga yang hadir, baik itu dari pihak keluarga pengantin perempuan maupun pihak keluarga pengantin laki-laki.Kalimat kabul itu berhasil dilafalkan dalam satu kali tarikan napas yang diikuti oleh kata 'Sah' dari para saksi.Hari ini, Rakha telah membuat keputusan besar dalam hidupnya. Bukan hanya dihadapan makhluk, melainkan dihadapan Allah SWT.Sebuah ikrar janji suci yang akan dimintai pertanggung jawabannya di akhirat kelak. Semoga saja ini bukan keputusan yang salah. Rakha berharap ridha Allah senantiasa mengiringi setiap langkah dan usahanya dalam menata biduk rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warrahmah, bersama Rania.Wanita yang kini sudah sah menjadi istrinya.
Bisik-bisik tetangga terus saja terdengar di sepanjang Rakha berjalan menuju ruangan kerjanya, yaitu bagian Divisi Perencanaan.Semua pasang mata melirik dengan lirikan aneh yang sama sekali tidak Rakha mengerti. Bukan hanya dari kaum hawa, namun mereka para lelaki pun menatap dengan tatapan yang sama ke arah Rakha. Yakni, tatapan mencemooh dan menyelidik. Seolah Rakha adalah seorang tersangka atas kasus berat yang hendak dihakimi.Di pintu masuk menuju ruang kerjanya, Rakha berpapasan dengan Pak Rizwan, manager utama di kantor ini.Dan menjadi sebuah hal yang wajar jika Rakha menyapanya dengan sopan di sertai senyuman super ramah, meski apa yang dia dapat setelahnya justru berbanding terbalik dengan apa yang dia berikan.Dengan tatapan nyalang, Pak Rizwan membalas senyuman Rakha. Bahk
Hari ini Rakha pulang telat ke kediaman Dirgantara. Sore tadi sepulang dari kantor, Rakha di telepon oleh Wisnu yang memberitahunya bahwa keadaan Siti tiba-tiba kritis. Jadilah, Rakha langsung beranjak ke rumah sakit detik itu juga. Kondisi sang Kakak sama sekali tak menunjukkan kemajuan melainkan justru semakin memprihatinkan. Di sepanjang perjalanan menuju kediaman Dirgantara, Rakha terus menangis di metromini dengan tasbih yang tergenggam di tangannya. Lelehan air matanya seolah tak mau berhenti. Tangisan Runi di rumah sakit membuat batin Rakha ingin berteriak sekencang mungkin. Meneriakkan bahwa dirinya tak sanggup melihat sang keponakan menjadi seorang piatu jika sampai sesuatu hal buruk terjadi menimpa Siti. Takdir Allah memang sudah digariskan tak ada yang bisa
"Kamu sudah shalat isya, Rania?" tanya Rakha ketika Rania sudah selesai dengan acara kumpul-kumpul bersama kawan-kawan satu kampusnya. Baru juga gue masuk kamar, udah ditanyain begituan! Keluh Rania dalam hati. "Nggak usah mulai deh!" ucap Rania acuh. Dia masih berjalan dengan tongkatnya mencari keberadaan ranjang tempat tidurnya. "Ini udah hampir jam sebelas malam! Kamu darimana aja tadi? Kenapa nggak ijin dulu sama saya kalau kamu mau keluar sama temen-temen kamu? Kamu pikir saya ini apa? Patung?" ucap Rakha. Suaranya terdengar tegas. "Gue udah bilang Mamah kok tadi, ribet lo! Lagian juga gue cuma nongkrong di kafe doang sama mereka, nggak jauh-jauh juga," jawab Rania yang mulai kesal. Dia melepas sepatu ketsnya, lalu kaus kakinya dan hendak merebahkan diri
"Ihhh, kenapa juga harus pakai jilbab sih? Gerah tau!" keluh Rania saat dirinya diajak pergi oleh Rakha untuk mengantar kepulangan keluarga Rakha di stasiun gambir. Hari ini, Umi, Abi, Aminah dan Latifah hendak pulang ke Bantul setelah hampir dua minggu lebih mereka ada di Jakarta. Niatan untuk pulang terus tertahan, akibat keadaan Siti yang kritis kemarin. Kini, keadaan Siti sudah mulai stabil meski belum menunjukkan kemajuan apapun. Rakha baru saja membelikan tiket untuk keluarganya. Dia terdiam sesaat ketika dilihatnya isi uang di dalam dompetnya kini hanya tersisa selembar uang dua puluh ribu rupiah. Uang tabungan Rakha sudah habis terkuras. Terpakai untuk segala keperluan hidupnya selama dia tinggal di Jakarta pun untuk biaya pernikahannya dengan Rania. Belum lag
Rania dan Rakha baru saja menunaikan shalat isya berjamaah, seperti biasa. Meski masih diawali oleh perdebatan kecil terlebih dahulu. Kini, mereka turun bersama-sama menuju meja makan untuk makan malam. Rakha menuntun Rania dengan sangat hati-hati saat mereka mulai menuruni tangga. Bastian dan Raline tersenyum sumringah melihat betapa mesranya mereka. Akhir-akhir ini Rania sudah mulai membuka diri dan mau diajak pergi keluar meski hanya sekedar berputar-putar di jalan menjaja kuliner pinggiran. Rania juga sudah mulai banyak tersenyum. Bahkan terkadang bibir tipisnya seringkali mengoceh ketika mereka makan malam bersama. Raline dan Bastian sangat bersyukur akan hal itu. Dan mereka berpikir semua hal itu terjadi berkat kehadiran Rakha di sisi putri mereka. Seperti biasa, jika Raline mengambilkan makanan untuk sang suami, Bastian, tapi untuk Rakha dan Ran
Malam kian larut, Bastian bahkan sudah pamit undur diri untuk tidur setelah dia memperlihatkan hadiah motor yang diberikannya pada Rakha. Sebuah motor kawasaki ninja keluaran terbaru yang Rakha perkirakan harganya berada di kisaran 50 jutaan keatas. Meski tidak memiliki motor, sebagai seorang lelaki, Rakha tentu tahu sedikit hal tentang otomotif. Meski dirasanya berlebihan, tapi kali ini Rakha menerima pemberian itu. Bahkan dia berulang kali mengucapkan banyak terima kasih pada Bastian. Sudah hampir satu jam Rakha duduk di halaman samping kediaman Dirgantara sambil berulang kali melirik arah jam di tangannya. Mobil sedan hitam milik teman Rania yang bernama Cassie masih terparkir di tempat semula dan itu artinya, wanita itu masih ada di dalam kamar Rania. Mengetahui hal itu, Rakha jelas enggan untuk masuk ke kamar. Dan lebih memilih untuk menunggu sampai Cassie pulang. Tak berselang l