Dina kembali ke kamar lamanya, kamar pembantu yang dia tempati bersama Mbok Surti. Melewati lemari, dia melihat bayangannya yang terpantul dari cermin yang tertempel di pintu lemari tersebut. Seorang gadis yang penampakannya kusut-masai balik menatapnya. Kondisinya… menyedihkan.
Seragam pelayan putih-putih ini penyebabnya. Mengenakannya setiap hari seperti merelakan kebebasannya direnggut oleh para majikan yang mempekerjakan para asisten rumah tangga. Tidak, tidak. Nasibnya lebih parah karena dia sama sekali tidak digaji. Dia adalah budak. Dina muak. Dengan emosi, dia melepas seragam itu dan mencampakkannya ke sembarang arah. Setelahnya, asal-asalan dia mengambil atasan berleher sabrina dan celana pendek.
Dina membaringkan tubuh di tempat tidur. Semua peristiwa yang mengantarnya kepada kejadian tadi membayang terus di pikirannya. Lima ratus juta! Jumlah uang yang sangat banyak yang bahkan Dina sendiri pun tidak berani memimpikannya. Berapa lama lagi dia akan dapat melunasinya? Seumur hidup saja dia tidak yakin akan dapat membayar kembali uang tersebut.
Dina menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Diam-diam dia menangis. Kali ini dia membiarkan tangisnya itu membanjiri wajahnya. Namun, dia menggigit bibirnya agar tidak muncul suara apapun yang menyertai tangisnya.
“Nduk…”
Dina makin menyembunyikan dirinya di dalam selimut.
“Nduk, kenapa?” tanya Mbok Surti lagi.
Dina mengusap pipi dengan buku jari telunjuk. Dia menghirup napas dalam-dalam dan melepaskannya kembali perlahan-lahan. Memorinya membentuk seorang sosok yang seharusnya menjadi pelindung. Ayah? Dia menggumamkan kata itu dalam hati. Bagaimana bisa ayahnya itu tidak juga menyelamatkannya sampai sekarang? Lima ratus juta! Itu jumlah yang sedikit, bukan? Apalagi jika dibandingkan dengan keselamatan anaknya sendiri. Ayah bisa meminjam dari tetangga, rekan kerja, atau teman-temannya. Cara itu jauh lebih gampang daripada menerima uang dari rentenir abad ke-21.
“Nduk?!”
Aaah, pembantu tua itu cerewet banget. Terganggu, Dina menyibakkan selimut dan duduk di pinggir ranjang dalam gerakan yang cepat. Tanpa menyahut apa-apa, dia memelototi asisten rumah tangga paling senior di rumah itu.
“Nduk –
“Apa?”
Dia dapat merasakan Mbok Surti tidak membalas tatapannya tetapi mengalihkan pandangan ke arah tubuhnya yang lain. Dagu mantan teman sekamarnya itu naik turun seperti meneliti sesuatu yang salah dari Dina. Ah, dia dapat menebak isi pikiran Mbok Surti dan itu membuatnya meledak.
Dina mengerti dan itu makin membuatnya muak. “APA? Mau marah karena aku nggak pakai seragam? HAH?”
“Eh tapi –
“Apa? HARUS?” Dina mengacungkan jari telunjuknya pertanda dia tidak mau mendengar apa-apa dari pembantu senior itu.
Sekelebat, sebuah ide untuk menyalurkan sesak dalam hatinya terpikir di otaknya. Dina pun tergesa-gesa berjalan menuju lemari pakaian. Dia memeriksa rak yang terletak di tengah-tengah. Hanya gunting kuku yang dapat dia temukan. Persetanlah, begitu otaknya berkecamuk dalam mengulik-ulik cara untuk dapat melaksanakan niatnya.
Dia memilih bagian pisau pada set gunting kuku itu. Tak lama setelahnya, lulusan Sekolah Tinggi Pariwisata itu memungut seragam yang tadi dia campakkan. Tepat di hadapan Mbok Surti, dia mengoyak seragam dengan gunting kuku tersebut. Aksinya memang hanya menciptakan lubang kecil. Tapi, dia bukan orang bodoh karena itu saja sudah cukup bagi Dina untuk mencabik-cabik kain dengan tangannya sendiri.
“Nduk….” Lirih Mbok Surti berkomentar.
Dina senang menyaksikan ekspresi Mbok Surti yang membelalak tidak percaya. Tapi dia belum puas. Dia melangkahkan kakinya ke lemari. Tumpukan seragam putih-putih adalah tujuannya. Dia melakukan hal yang sama terhadap baju-baju itu menggunakan gunting kuku. Siapa sangka benda yang tidak dapat digolongkan tajam itu dapat menunaikan tugasnya dengan baik?
“Dina!”
Panggilan yang berbeda dari Mbok Surti itu membuat Dina terpaku. Dia menyaksikan kain baju yang sudah tercabik-cabik. Lalu, dia menjatuhkan kakinya dan berlutut. Bukan kehidupan seperti ini yang dia mau. Apakah ayahnya baik-baik saja? Bagaimana caranya agar dia bisa keluar dari neraka ini? Berbagai pertanyaan itu selalu berseliweran memenuhi otaknya tanpa sekalipun mengambil jeda.
Mbok Surti mendekatinya. Seketika dia dapat merasakan lingkaran tangan perempuan tua itu di belakangnya. Kemudian, Mbok Surti menyenderkan kepala di punggungnya.
***
Kamar pembantu yang biasanya selalu rapi terkotori oleh sobekan kain-kain yang tertimbun di lantai. Di atasnya, Dina duduk bersila. Sisa tangis dapat terlihat dari matanya yang menggenang dan memerah.
Mbok Surti masuk ke kamar dan menyerahkan segelas air minum kepada Dina yang segera dia teguk sampai tandas. “Maafin si Mbok ya, Nduk,” kata pelayan Keluarga Armadjati itu.
Dina memegang erat-erat gelas kosong sebelum meletakkannya di lantai. Dalam hati, dia menyesal karena melampiaskan kemarahannya kepada Mbok Surti yang sebenarnya tidak tahu apa-apa. Bukan Mbok Surti yang seharusnya minta maaf, justru dialah orang jahatnya di sini.
“Kamu mau berhenti kerja, Nduk?”
Dina meremas-remas jari-jarinya. Pada awal pertemuannya dengan Mbok Surti, dia ragu-ragu apakah bisa mempercayai wanita tua tersebut atau tidak? Sekarang, pertanyaan Mbok Surti mencerminkan kalau pembantu senior itu benar-benar menganggapnya sebagai orang yang datang ke rumah ini secara sukarela untuk bekerja sebagai pembantu.
“Kalau iya, mau Mbok yang ngomong?”
Dina memandangi mata Mbok yang berkaca-kaca. Terlihat ketulusan di sana bahwa perempuan paruh baya itu sebenarnya peduli kepadanya. Apakah dia dapat menumpahkan masalah yang dia hadapi kepada Mbok Surti?
Dia menggigiti bibirnya sebelum akhirnya memberanikan diri, “Mbok, aku mau cerita.”
***
Dina dan Mbok Surti tidak tidur semalaman kemarin, dan pagi ini keduanya sudah berada di dapur untuk menyiapkan sarapan. Tepatnya Dina yang memasak dan dia tidak membolehkan pembantu senior itu ikut-ikutan membantunya. Dina menggulung omelette dan membiarkannya matang sedikit lebih lama sebelum menyajikannya di piring.
Mbok Surti mencicipi. “Enak, Nduk,” pujinya tulus. “Kamu bisa buka restoran lho, ini.”
“Memang niatnya begitu, Mbok. Tapi….” Dina duduk di samping wanita paruh baya itu.
Mbok Surti meletakkan sendok dan garpu, lalu menepuk-nepuk punggung tangannya. “Mbok tidak bisa membayangkan nasibmu, Nduk.”
Dina sudah menceritakan kronologi kemunculannya di rumah ini. Bukan karena keinginannya, bukan pula untuk mencari pekerjaan. Dia menumpangkan tangannya di atas tangan Mbok Surti yang menepuk-nepuknya. “Tolong aku, Mbok?” Matanya mencari pupil Mbok Surti mengajukan tatapan putus asa.
Mbok Surti menundukkan dan menggeleng-gelengkan kepala. “Rumah ini kan jauh dari mana-mana, Nduk. Cuma ada satu pintu, dan itu dijaga Bacon.”
Dina dapat mendengar getaran suara Mbok Surti sewaktu mengucapkan nama bodyguard bertubuh raksasa itu.
“Kalau gitu, bisa tolong telepon Ayah? Atau polisi sekalian?”
Gelengan kepala Mbok Surti semakin kencang. “Mbok tidak berani,” ujarnya kemudian. Ada jeda sejenak sebelum wanita itu menghela napas dan menjelaskan, “Mbok ingin ketemu anak Mbok yang sudah lama kepisah, Nduk. Dan mereka punya alamatnya. Tuan Bastian janji akan antar Mbok ke sana ketika pensiun nanti. Sampai bisa ketemu anak si Mbok, Mbok tidak berani macam-macam.”
Dina mengangguk-angguk. Tentu saja Bastian memiliki cara agar orang-orang mematuhinya. Seharusnya dia sudah dapat menduga kalau anak manja itu pasti akan melakukan tindakan selicik ini. Merenggut kebebasan seseorang, menahan hak orang lain, mengancam, dan meneror mereka adalah perbuatan paling keji yang bisa dilakukan oleh seorang manusia. Tidak, laki-laki itu bukan manusia. Lebih pantas apabila disebut seonggok kotoran.
“Susah lolos dari pengawasan Bacon dan teman-temannya, Nduk. Mungkin kalau perginya malam hari.” Ada ragu-ragu ketika Mbok Surti melanjutkan kalimatnya, “Tapi… tidak ada rumah tetangga di dekat-dekat sini karena tempat dikelilingi hutan sekitar Gunung Salak. Mau minta tolong ke siapa?”
Dina sudah tidak mempedulikan kalimat pembantu senior itu setelah Mbok Surti menyebutkan “malam hari” karena harapannya untuk kabur dari rumah itu telah melambung tinggi. Usaha dia sebelumnya memang gagal, tapi Dina yakin kalau itu karena dia belum memiliki sekutu seperti Mbok Surti.
“Seandainya malam hari, Mbok tahu jalan mana yang harus aku lewati?”
Mata Mbok Surti membelalak. “Nduk, nanti ketahuan,” bisik pelayan itu.
Dina menggeleng. “Nggak akan asal Mbok kasih tahu akses keluar rumah ini,” katanya dengan nada tegas sekuat tekadnya yang membara.
***
Berhari-hari setelah Dina menceritakan semuanya kepada Mbok Surti, dia sudah menjelajahi hampir seluruh bagian mansion Keluarga Armadjati. Dia tahu di mana kamar yang ditempati oleh Bapak Hidayat dan Ibu Yasmine. Kalau sebelumnya dia berpikir sayap kiri tempat Bastian dan Wendy berdiam sudah mewah, maka bagian utama rumah ini jauh lebih mewah dari itu.Dia juga menelusuri sayap kanan yang merupakan area kekuasaan Leonardo. Berbeda dengan dua bagian rumah lainnya yang penuh dengan perabot mewah, Leonardo menata sayap kanan gedung dengan lebih sederhana. Minimalis. Semua furnitur hanya berada di sana karena memang dibutuhkan.Ada satu ruangan yang pintunya terbuka dan itu menyebabkan langkah Dina terhenti. Soalnya, dinding kamar itu sangat mencolok perhatian dengan warna ungu yang terang. Bukan pilihan yang biasa untuk seorang laki-laki seperti Leonardo. Dia melangkahkan kaki lebih dekat lagi.“Kamar Mbak Olivia,” kata sebuah suara yang mengagetkannya.
Seperti kebiasaan yang telah dipelajari oleh Dina begitu pertama kali dia menjejakkan kaki di sana, malam itu seluruh anggota Keluarga Armadjati telah ditunggu untuk makan bersama. Menu telah disiapkan oleh chef langganan keluarga.Dina memperhatikan sekeliling dan mendapati tangan Mbok Surti yang gemetaran sewaktu memindahkan sup tom yam ke mangkok kecil. Dia langsung mengambil alih sendok dari tangan pembantu senior itu dan melanjutkan tugas tersebut. Ada lima mangkok untuk lima penghuni yang dia letakkan di samping set piring masing-masing.Pada meja buffet, Mbok Surti menyiapkan minuman kesukaan masing-masing penghuni. Dina menuangkan serbuk obat tidur ke dalamnya; jus apel favorit Pak Hidayat dan kopi hitam tanpa gula milik Ibu Yasmine.Tiba-tiba, tangan Dina dihentikan sewaktu hendak menambahkan obat yang telah dia siapkan ke dalam jus kiwi-nya Wendy. “Yang ini jangan, Nduk!”“Tapi –“Non Wendy tidak aka
Leonardo memasuki sebuah kantor dengan tulisan Pitidoku tertera pada dinding. Tidak ada resepsionis yang menyambut. Luas ruangan itu juga biasa-biasa saja. Kalau dibandingkan dengan ruang kerja beberapa kantor lainnya dari bidang usaha Armadjati Group, Pitidoku tidak ada apa-apanya.Dia disambut oleh Danny dan beberapa karyawan lain yang bertepuk tangan. “Selamat, Mas. Pitidoku sudah terdaftar.”Leonardo berterima kasih. “Berkat kerja keras kalian semua.” Dia kemudian memberikan kartunya kepada Danny dan memberikan instruksi kepada asistennya itu untuk mentraktir makan karyawan Pitidoku.Tentu saja berita itu membuat semuanya bergembira dan serta-merta berlalu dan meninggalkan Leonardo sendirian. Laki-laki yang biasa dipanggil Leo itu memandang sekeliling. Kantor Pitidoku hanya memiliki satu ruangan berkonsep open space. Semua anggota tim akan menyalakan laptop masing-masing untuk bekerja di meja panjang. Untungnya, saat itu juml
Leonardo memasuki rumah besar yang disebut-sebut haknya oleh ayahnya sebagai anak pertama Keluarga Armadjati. Dia ingat kalau sempat menghabiskan masa kecilnya di sini. Namun, sampai sekarang dia tidak menganggap kediaman itu sebagai rumahnya. Tidak ada sisa-sisa kenangan bahagia yang menempel di benaknya saat menempati rumah tersebut. Momen suka cita yang terpatri dalam ingatannya justru berada di panti asuhan tempat dia dan Mama tinggal dahulu.Dia baru kembali ke rumah ini ketika Mama meninggal. Kedatangannya saat itu disambut oleh tiga orang asing yang tidak pernah dikenalnya; yaitu Tante Yasmine, Olivia, dan Bastian yang belum genap berusia tiga tahun. Tentu saja, dia yang baru lulus Sekolah Dasar tidak mengerti bagaimana bersikap dengan ketiganya. Entah karena Papa ingin mengakrabkan Leo dengan mereka atau bermaksud lain, tiba-tiba saja ayahnya itu menitahkan agar mereka makan malam bersama, setiap harinya. Padahal, ketika Mamanya masih ada sekalipun, laki-laki tua itu
Kata orang, ketika kita di ambang kematian, kilas balik perjalanan hidup kita akan terbayang-bayang di mata. Tidak demikian halnya yang dialami oleh Dina. Dia yakin akhir hidupnya telah tiba sewaktu Bastian melucutinya. Tapi, bukan fragmen kehidupannya yang memenuhi isi kepalanya, melainkan rasa yang campur aduk, antara malu, tidak berdaya, muak, geram, jijik, dan tidak berharga dia alami sekaligus.Dia memejamkan mata dan mencoba mengosongkan apapun yang ada dalam pikirannya. Dina merasakan sentuhan di bahunya yang langsung saja dia tepis. Walaupun keadaannya sudah terpojok, dia akan tetap melawan laki-laki bajingan yang ada di belakangnya itu sekuat tenaga. Karena dia tahu, hanya kematian yang dapat membebaskannya dari kekejaman Bastian.“Ini aku, Leo.”Apakah yang dia dengar itu benar? Dina tidak mempercayai telinganya sehingga ingin mengonfirmasi dengan matanya. Di sanalah laki-laki itu tersenyum kepadanya. Senyum Leonardo sebenarnya tipis saja d
Panas matahari yang menembus dinding kaca membangunkannya. Dina memandang sekeliling. Kamar itu kosong. Tidak ada perabotan sama sekali. Matanya beralih ke jaket yang menutupi sebagian tubuhnya. Dina bangkit berdiri dan menarik ritsleting jaket sampai ke leher. Sewaktu menyadari kain bawahannya sudah robek sana sini, Dina ke luar kamar mencari-cari pakaian cadangan yang bisa dia pakai.Apartemen itu didominasi dengan pembatas kaca sehingga pantulan surya menerangi semua ruangannya. Dina mengelilingi ruang tamu yang berdamping-dampingan dengan dapur. Semuanya kosong melompong. Dia juga memeriksa kamar mandi. Sama saja. Tidak ada apa-apa. Dina memutar keran dan lega begitu air mengalir membasahi tangannya. Dia membasuh wajah dan mengernyit akibat rasa perih yang mengenai luka di wajahnya.Tiba-tiba, Dina terkesiap. Mas Leo? Di mana laki-laki itu? Dina mengingat-ingat kejadian tadi malam. Matanya berkaca-kaca akan kenangan buruk yang mampir di kepalanya sehingga
Bastian, anak bungsu Keluarga Armadjati berdiri mematut di depan cermin yang ada di dalam ruang walking closet-nya tanpa mengenakan atasan sama sekali. Dia menyentuhkan jarinya ke pipinya yang lebam. Matanya menyipit menahan perih. Dia menggemeretakkan gigi. Berani-beraninya benalu itu merusak ketampanannya.Dia mengambil ponselnya dan menekan satu nomor. Terdengar nada panggil tapi telepon tidak diangkat. Bastian menggerutu dan mencampakkan gawai itu ke sofa.Setelahnya, Bastian mengambil kemeja yang sudah disiapkan di atas sofa. Dia mengenakannya. Tapi dahinya langsung mengerut sewaktu kain pakaian itu menempel ke pinggangnya. Laki-laki itu melepaskan kemeja dan memeriksa tubuhnya yang terasa sakit itu.“Aaagh,” keluhnya dengan segera menjauhkan tangannya dari luka itu.“Are you okay?” Tiba-tiba, Wendy masuk dan mengeceknya.Tanpa memperdulikan pertanyaan istrinya itu, Bastian menarik kaos oblong putih da
Bastian kecil cemberut dan menyisihkan sarapan waffle-nya. Dia menatap Mami yang duduk di depannya dengan pandangan seolah-olah ingin melenyapkan ibunya itu. Tentu saja Mami tidak dapat menyaksikan laser yang dipancarkan Bastian dari matanya karena perempuan itu mengenakan kacamata hitam.“Pokoknya Bas mau pindah!” bentaknya sambil melipat tangan di dada.“Where to?”“Kita harus pindah, Mi. Kita bisa tinggal sama Gramma! Sekolah di sana?!” rayunya. Menyadari perilaku Papi yang tidak menyenangkan terhadap Mami, ini usaha Bastian kecil untuk menyelamatkan ibunya tersebut.“Memangnya bisa Bahasa Inggris?” goda Mami.Bastian sudah akan membuka mulut, namun mendadak berhenti karena mendapati Papi yang tahu-tahu muncul di balkon rumah utama tempat mereka menikmati sarapan. Dia menarik piring berisi waffle yang tadi sempat dia singkirkan. Dia kemudian memakannya dengan lahap.