Dalam film The White Tiger digambarkan bahwa masyarakat miskin tidak dengan sendirinya menjadi miskin, tetapi sengaja dimiskinkan. Situasi tersebut melekat terus dalam diri warganya karena telah dikukuhkan selama mungkin, lengkap dengan penanaman sikap inferior dan pasrah berserah diri kepada Tuhan. Pada akhirnya, masyarakat kelas bawah akan merasa wajar diperlakukan rendah bak sampah oleh kalangan atas. Kemudian, mereka akan kehilangan niat untuk maju dan mematuhi tuan-tuan kaya itu laksana budak.
Penggambaran itu sepertinya cocok dengan apa yang dialami oleh Dina. Gadis itu mengaku kalau dia bukanlah berasal dari latar-belakang keluarga kaya. Dia dan ayahnya bersusah-payah agar dia dapat menyelesaikan kuliah. Di saat dia bersemangat karena berpikir akan terlepas dari jeratan kemiskinan dengan modal pendidikan yang dia terima, tahu-tahu dia terjerembab pada situasi yang menjadikannya sebagai warga kelas bawah.
Dina menggosok toilet dengan sekuat tenaga. Setelah noda-noda hitam menghilang, dia mengguyurnya dengan air. Pinggiran toilet sudah terlihat bersih. Namun, ada keanehan yang terjadi. Larutan air sabun yang menggumpal di bagian lubang toilet tidak segera menghilang tergantikan yang jernih. Dia flush sekali lagi. Jangan bilang kalau toilet itu….
“Mampet.”
Dina menoleh walaupun dia tidak perlu mengetahui siapa yang mengeluarkan kata tersebut. Pasti Wendy. Sejak diperintahkan untuk pindah menempati salah satu kamar di sayap kiri rumah Keluarga Armadjati ini, tidak sekalipun dia bebas dari suruhan dan omelan istri Bastian itu.
“Ini!” Menantu Keluarga Armadjati itu mengulurkan pompa sedot tinja.
Dina kembali mengarahkan wajahnya ke toilet sambil menggerutu pelan, menjaga agar jangan sampai kedengaran oleh majikannya itu.
“Yang mampet bukan toilet kami. Buat apa saya panggil tukang?”
Tidak ada yang menanyakan perihal tukang, walaupun itu akan sangat membantu pekerjaannya agar cepat beres. Dina yakin kalimat terakhir gadis itu bukan sebuah pertanyaan, melainkan sindiran untuk mengejeknya atau membuatnya putus asa. Dina menggemeretakkan giginya.
“Ini!” kata Wendy lagi dengan menyodorkan pompa sedot sampai mengenai punggungnya.
Tanpa melihat perempuan iblis berwajah malaikat itu, Dina menerima pompa sedot tersebut.
Wendy tertawa-tawa dengan nada khas yang serasa bengis di telinganya. Tawa menakutkan itu masih terdengar meskipun sumbernya telah menjauh dari posisi Dina berada.
Mata Dina berkaca-kaca. Dia tidak ingin menangisi nasibnya yang diperlakukan sebagai budak di rumah mewah Keluarga Amadjati itu. Kalau dia sampai membiarkan setitik air bergulir di pipinya, berarti dia sudah menyerah. Dia tidak ingin kalah. Dia tidak ingin gagal. Jalan hidupnya masih panjang dan tidak boleh dihabiskan sia-sia di tempat ini.
Dina berdiri dan melempar pompa sedot toilet ke sembarang arah.
***
Tinggal serumah dengan majikannya yang berhati iblis, jangan berharap Dina menempati kamar yang layak. Dia ditempatkan di gudang yang penuh dengan barang-barang yang memenuhi ruangan itu. Tumpukannya sampai ke langit-langit yang bahkan tidak menyisakan tempat nyaman untuk sekadar berbaring.
Dina mengusir sarang laba-laba yang menutupi buku-buku dan mengelapnya satu-persatu. Dia juga meminggirkan kayu-kayu bekas yang menjadi sumber sesaknya kamar. Dina memandang sekeliling dan mencari cara bagaimana supaya setidaknya dia dapat tidur dengan nyenyak malam ini. Dia bosan berhari-hari harus meringkuk dan melipat serta merapatkan kakinya yang jenjang.
Gadis itu memundurkan langkah dan berkacak pinggang. Sepertinya kemarin dia menemukan tali di salah satu rak di lemari besar yang menempel di tembok itu. Dina berjalan ke sana dan memeriksa rak-rak. Dia menemukannya. Dina merenggangkan tali dan memperkirakan seberapa panjang yang dia butuhkan. Dia lalu mengikat kayu-kayu yang berserakan itu.
“Aah,” Dina menjatuhkan kayu. Tampaknya bobot barang itu melebihi kesanggupannya. Dia mengangkatnya kembali. Ini kali dia memanggulnya di punggung.
Dengan badan sedikit membungkuk, dia melangkahkan kakinya dan berhenti sewaktu sampai di tangga. Dia lupa kalau gudang yang menjadi kamarnya itu terletak di lantai dua. Tapi ada hal yang lebih penting lagi. Dina mengedarkan pandangan terutama ke arah kamar utama di ujung dekat balkon. Jangan sampai dia ketahuan.
Dina menaikkan ikatan kayu yang posisinya sempat turun dan siap-siap menuruni tangga. Pelan-pelan, ingatnya dalam hati. Punggungnya melengkung akibat beban di atasnya sehingga jarak pandangan matanya pun terbatas. Namun demikian, posisinya yang menunduk masih dapat menyaksikan anak tangga tempat dia mendaratkan kaki.
Dia tiba di beberapa anak tangga yang terakhir sebelum dia benar-benar sampai di lantai bawah. Pada salah satu anak tangga itu, Dina menemukan percikan cairan berwarna keemasan, seperti warna minyak goreng. Napas Dina tertahan. Tapi sudah terlambat karena satu kakinya sudah melayang di udara. Sewaktu jari kakinya melekat pada lantai tersebut, serta-merta dia terjatuh. Sedetik kemudian, satu bagian kayu yang terlepas menghantam punggungnya. Tak bisa dicegah, Dina berteriak kesakitan.
Dari arah kanan, telinga Dina menangkap suara tawa, awalnya pelan namun lama-kelamaan semakin kencang. “So funny.”
Nada suara itu sudah familiar bagi Dina. Tidak perlu mendongakkan kepalanya untuk mengetahui bahwa pemiliknya adalah Wendy. Meskipun tidak melihatnya secara langsung, Dina yakin perempuan itu jugalah penyebab dia jatuh saat itu. Dia menggerakkan pinggang dan mengangkat punggungnya. Sisa kayu yang tadi dia panggul pun jatuh ke sisi kanan.
Bertumpu pada tangan, dia mencoba bangkit berdiri. Kaki kirinya sedikit goyah. Untung saja tadi sebelum terjatuh dia telah tiba di dua anak tangga terbawah, batinnya sambil memutar-mutar pergelangan kakinya. Setelah itu, dia menjejakkan kaki dengan lebih mantap. Dia mengernyit tapi ditahannya karena di belakangnya dia bisa mendengar tawa Wendy yang semakin kencang. Dina tidak mau menambah kegembiraan kepada menantu Keluarga Armadjati tersebut.
“Bersihkan!”
Tanpa bisa dia cegah, Dina nyeletuk, “Hah?” tanpa berbalik dan tetap memunggungi majikannya itu.
“Iya, clean them up. Bahaya kalau ada yang jatuh.”
Dina mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Giginya sudah saling beradu. Dia mengepalkan tangannya sampai telapaknya perih seakan-akan tertusuk jarum. Labirin otaknya bercabang-cabang memilih respons apa yang akan dia tujukan kepada wanita pencipta neraka baginya itu?
Jantungnya berdegup kencang dan napasnya mulai tidak beraturan. Dia bersiap-siap, baik mental maupun tenaga. Dina merenggangkan jari-jarinya untuk kemudian berbalik demi membalas perbuatan cewek keji itu.
“Hei… Mas Leo!”
Kaki Dina batal memutar. Akan tetapi, hatinya masih berdetak tidak karuan. Sekuat tenaga, dia berusaha menyembunyikan bunyi dengusan napasnya.
“Eh, ada Dina.”
Dina tidak mampu memperlambat irama denyut jantungnya meskipun aliran keluar masuk oksigennya sudah normal kembali.
“Dina, kamu baik-baik saja kan?”
Matanya memanas. Itu hanya berarti satu hal. Pipinya akan dibombardir oleh rentetan cairan kesedihan. Gawat, protesnya dalam hati. Dia tidak mau Leo menyaksikannya seperti itu. Dia tidak ingin pria itu menyaksikan kelemahannya. Dia tidak siap kehilangan harga diri yang tersisa karena laki-laki itu menyadari betapa menyedihkan hidupnya.
Jadi, tanpa pikir panjang Dia berlari menghindari Leonardo. Sejauh yang dia bisa!
***
Dina kembali ke kamar lamanya, kamar pembantu yang dia tempati bersama Mbok Surti. Melewati lemari, dia melihat bayangannya yang terpantul dari cermin yang tertempel di pintu lemari tersebut. Seorang gadis yang penampakannya kusut-masai balik menatapnya. Kondisinya… menyedihkan.Seragam pelayan putih-putih ini penyebabnya. Mengenakannya setiap hari seperti merelakan kebebasannya direnggut oleh para majikan yang mempekerjakan para asisten rumah tangga. Tidak, tidak. Nasibnya lebih parah karena dia sama sekali tidak digaji. Dia adalah budak. Dina muak. Dengan emosi, dia melepas seragam itu dan mencampakkannya ke sembarang arah. Setelahnya, asal-asalan dia mengambil atasan berleher sabrina dan celana pendek.Dina membaringkan tubuh di tempat tidur. Semua peristiwa yang mengantarnya kepada kejadian tadi membayang terus di pikirannya. Lima ratus juta! Jumlah uang yang sangat banyak yang bahkan Dina sendiri pun tidak berani memimpikannya. Berapa lama lagi dia akan dap
Berhari-hari setelah Dina menceritakan semuanya kepada Mbok Surti, dia sudah menjelajahi hampir seluruh bagian mansion Keluarga Armadjati. Dia tahu di mana kamar yang ditempati oleh Bapak Hidayat dan Ibu Yasmine. Kalau sebelumnya dia berpikir sayap kiri tempat Bastian dan Wendy berdiam sudah mewah, maka bagian utama rumah ini jauh lebih mewah dari itu.Dia juga menelusuri sayap kanan yang merupakan area kekuasaan Leonardo. Berbeda dengan dua bagian rumah lainnya yang penuh dengan perabot mewah, Leonardo menata sayap kanan gedung dengan lebih sederhana. Minimalis. Semua furnitur hanya berada di sana karena memang dibutuhkan.Ada satu ruangan yang pintunya terbuka dan itu menyebabkan langkah Dina terhenti. Soalnya, dinding kamar itu sangat mencolok perhatian dengan warna ungu yang terang. Bukan pilihan yang biasa untuk seorang laki-laki seperti Leonardo. Dia melangkahkan kaki lebih dekat lagi.“Kamar Mbak Olivia,” kata sebuah suara yang mengagetkannya.
Seperti kebiasaan yang telah dipelajari oleh Dina begitu pertama kali dia menjejakkan kaki di sana, malam itu seluruh anggota Keluarga Armadjati telah ditunggu untuk makan bersama. Menu telah disiapkan oleh chef langganan keluarga.Dina memperhatikan sekeliling dan mendapati tangan Mbok Surti yang gemetaran sewaktu memindahkan sup tom yam ke mangkok kecil. Dia langsung mengambil alih sendok dari tangan pembantu senior itu dan melanjutkan tugas tersebut. Ada lima mangkok untuk lima penghuni yang dia letakkan di samping set piring masing-masing.Pada meja buffet, Mbok Surti menyiapkan minuman kesukaan masing-masing penghuni. Dina menuangkan serbuk obat tidur ke dalamnya; jus apel favorit Pak Hidayat dan kopi hitam tanpa gula milik Ibu Yasmine.Tiba-tiba, tangan Dina dihentikan sewaktu hendak menambahkan obat yang telah dia siapkan ke dalam jus kiwi-nya Wendy. “Yang ini jangan, Nduk!”“Tapi –“Non Wendy tidak aka
Leonardo memasuki sebuah kantor dengan tulisan Pitidoku tertera pada dinding. Tidak ada resepsionis yang menyambut. Luas ruangan itu juga biasa-biasa saja. Kalau dibandingkan dengan ruang kerja beberapa kantor lainnya dari bidang usaha Armadjati Group, Pitidoku tidak ada apa-apanya.Dia disambut oleh Danny dan beberapa karyawan lain yang bertepuk tangan. “Selamat, Mas. Pitidoku sudah terdaftar.”Leonardo berterima kasih. “Berkat kerja keras kalian semua.” Dia kemudian memberikan kartunya kepada Danny dan memberikan instruksi kepada asistennya itu untuk mentraktir makan karyawan Pitidoku.Tentu saja berita itu membuat semuanya bergembira dan serta-merta berlalu dan meninggalkan Leonardo sendirian. Laki-laki yang biasa dipanggil Leo itu memandang sekeliling. Kantor Pitidoku hanya memiliki satu ruangan berkonsep open space. Semua anggota tim akan menyalakan laptop masing-masing untuk bekerja di meja panjang. Untungnya, saat itu juml
Leonardo memasuki rumah besar yang disebut-sebut haknya oleh ayahnya sebagai anak pertama Keluarga Armadjati. Dia ingat kalau sempat menghabiskan masa kecilnya di sini. Namun, sampai sekarang dia tidak menganggap kediaman itu sebagai rumahnya. Tidak ada sisa-sisa kenangan bahagia yang menempel di benaknya saat menempati rumah tersebut. Momen suka cita yang terpatri dalam ingatannya justru berada di panti asuhan tempat dia dan Mama tinggal dahulu.Dia baru kembali ke rumah ini ketika Mama meninggal. Kedatangannya saat itu disambut oleh tiga orang asing yang tidak pernah dikenalnya; yaitu Tante Yasmine, Olivia, dan Bastian yang belum genap berusia tiga tahun. Tentu saja, dia yang baru lulus Sekolah Dasar tidak mengerti bagaimana bersikap dengan ketiganya. Entah karena Papa ingin mengakrabkan Leo dengan mereka atau bermaksud lain, tiba-tiba saja ayahnya itu menitahkan agar mereka makan malam bersama, setiap harinya. Padahal, ketika Mamanya masih ada sekalipun, laki-laki tua itu
Kata orang, ketika kita di ambang kematian, kilas balik perjalanan hidup kita akan terbayang-bayang di mata. Tidak demikian halnya yang dialami oleh Dina. Dia yakin akhir hidupnya telah tiba sewaktu Bastian melucutinya. Tapi, bukan fragmen kehidupannya yang memenuhi isi kepalanya, melainkan rasa yang campur aduk, antara malu, tidak berdaya, muak, geram, jijik, dan tidak berharga dia alami sekaligus.Dia memejamkan mata dan mencoba mengosongkan apapun yang ada dalam pikirannya. Dina merasakan sentuhan di bahunya yang langsung saja dia tepis. Walaupun keadaannya sudah terpojok, dia akan tetap melawan laki-laki bajingan yang ada di belakangnya itu sekuat tenaga. Karena dia tahu, hanya kematian yang dapat membebaskannya dari kekejaman Bastian.“Ini aku, Leo.”Apakah yang dia dengar itu benar? Dina tidak mempercayai telinganya sehingga ingin mengonfirmasi dengan matanya. Di sanalah laki-laki itu tersenyum kepadanya. Senyum Leonardo sebenarnya tipis saja d
Panas matahari yang menembus dinding kaca membangunkannya. Dina memandang sekeliling. Kamar itu kosong. Tidak ada perabotan sama sekali. Matanya beralih ke jaket yang menutupi sebagian tubuhnya. Dina bangkit berdiri dan menarik ritsleting jaket sampai ke leher. Sewaktu menyadari kain bawahannya sudah robek sana sini, Dina ke luar kamar mencari-cari pakaian cadangan yang bisa dia pakai.Apartemen itu didominasi dengan pembatas kaca sehingga pantulan surya menerangi semua ruangannya. Dina mengelilingi ruang tamu yang berdamping-dampingan dengan dapur. Semuanya kosong melompong. Dia juga memeriksa kamar mandi. Sama saja. Tidak ada apa-apa. Dina memutar keran dan lega begitu air mengalir membasahi tangannya. Dia membasuh wajah dan mengernyit akibat rasa perih yang mengenai luka di wajahnya.Tiba-tiba, Dina terkesiap. Mas Leo? Di mana laki-laki itu? Dina mengingat-ingat kejadian tadi malam. Matanya berkaca-kaca akan kenangan buruk yang mampir di kepalanya sehingga
Bastian, anak bungsu Keluarga Armadjati berdiri mematut di depan cermin yang ada di dalam ruang walking closet-nya tanpa mengenakan atasan sama sekali. Dia menyentuhkan jarinya ke pipinya yang lebam. Matanya menyipit menahan perih. Dia menggemeretakkan gigi. Berani-beraninya benalu itu merusak ketampanannya.Dia mengambil ponselnya dan menekan satu nomor. Terdengar nada panggil tapi telepon tidak diangkat. Bastian menggerutu dan mencampakkan gawai itu ke sofa.Setelahnya, Bastian mengambil kemeja yang sudah disiapkan di atas sofa. Dia mengenakannya. Tapi dahinya langsung mengerut sewaktu kain pakaian itu menempel ke pinggangnya. Laki-laki itu melepaskan kemeja dan memeriksa tubuhnya yang terasa sakit itu.“Aaagh,” keluhnya dengan segera menjauhkan tangannya dari luka itu.“Are you okay?” Tiba-tiba, Wendy masuk dan mengeceknya.Tanpa memperdulikan pertanyaan istrinya itu, Bastian menarik kaos oblong putih da