Berhari-hari setelah Dina menceritakan semuanya kepada Mbok Surti, dia sudah menjelajahi hampir seluruh bagian mansion Keluarga Armadjati. Dia tahu di mana kamar yang ditempati oleh Bapak Hidayat dan Ibu Yasmine. Kalau sebelumnya dia berpikir sayap kiri tempat Bastian dan Wendy berdiam sudah mewah, maka bagian utama rumah ini jauh lebih mewah dari itu.
Dia juga menelusuri sayap kanan yang merupakan area kekuasaan Leonardo. Berbeda dengan dua bagian rumah lainnya yang penuh dengan perabot mewah, Leonardo menata sayap kanan gedung dengan lebih sederhana. Minimalis. Semua furnitur hanya berada di sana karena memang dibutuhkan.
Ada satu ruangan yang pintunya terbuka dan itu menyebabkan langkah Dina terhenti. Soalnya, dinding kamar itu sangat mencolok perhatian dengan warna ungu yang terang. Bukan pilihan yang biasa untuk seorang laki-laki seperti Leonardo. Dia melangkahkan kaki lebih dekat lagi.
“Kamar Mbak Olivia,” kata sebuah suara yang mengagetkannya.
Dina tahu diri dan mundur selangkah.
“Lihat saja, tidak apa-apa, Nduk. Asal jangan diberantakin.”
Dina kembali melongok isi kamar tersebut. Tembok ungu yang dia lihat sebelumnya hanya melapisi satu bagian saja sedangkan sisanya diberikan sentuhan putih gading. Ranjang dengan seprai merah muda diletakkan di tengah-tengah kamar dan selembar kelambu berwarna pastel menutupi empat tiang di sekelilingnya. Lantainya granit dengan ukuran besar yang menjadikan kamar tampak lebih luas. Beberapa lukisan juga disesuaikan dengan interior yang Dina tebak memiliki tema princess yang sesuai untuk remaja.
Tapi, satu benda yang paling menarik perhatian Dina adalah seperangkat alat perekam video; di antaranya ada kamera, tripod, dan lampu. “Olivia itu vlogger?” tanyanya memastikan karena ada satu peralatan yang tidak dilihatnya ada di sana, yaitu laptop atau komputer untuk mengedit dan mengunggah video ke media sosial.
“Bloger itu apa toh, Nduk?” Mbok Surti terkekeh menertawakan ketidaktahuannya. “Yang Mbok tahu, tiap hari Mbak Olivia bikin video, ngomong ke kamera, dandan-dandan….”
Jelas-jelas deskripsi seorang vlogger, pikir Dina. Dia kemudian menyalakan kamera yang terletak pada tripod.
“Nduk,” bisik Mbok Surti.
Dina tahu bahwa Mbok Surti tidak setuju dia menyentuh peralatan canggih itu. Tapi dia tidak peduli. Sesekali dia ingin merasakan kesenangan seperti seseorang yang bebas. Layar di kamera menduplikasi apa yang ada di depan lensa. Dina menekan beberapa tombol untuk mengaktifkan fungsi timer.
“Nduk!” kata Mbok Surti lebih keras.
Bukannya mematuhi, Dina malah memegang bahu Mbok Surti dan menggiringnya ke depan kamera. “Yuk foto bareng, Mbok.”
Mbok Surti canggung berdiri di samping Dina. Gadis itu memeluk bahunya semakin erat.
Terdengar peringatan timer bahwa sebentar lagi kamera akan merekam imaji apapun yang ada di depannya. “Senyum, Mbok,” kata Dina seraya mendekatkan pipinya ke wajah pembantu rumah tangga itu.
“Sudah, Nduk.”
Dina menyempatkan melihat hasil foto di kamera. Senyum kedua orang yang bekerja sebagai pembantu, - satu karena pilihan dan yang lain karena terpaksa -, memandangnya balik. Dina ikut tersenyum. Dalam foto itu, keduanya terlihat bahagia. Sayang dia tidak dapat menyimpannya. Dia malah harus menghapus foto tersebut.
“Ayo, Nduk. Nanti ketahuan.” Mbok Surti lagi-lagi memperingatkannya. Ini kali dari pintu kamar.
“Iya, Mbok.” Untuk terakhir kali dia memandangi imaji indah itu, tersenyum, lalu mematikan kamera tanpa menghapus foto itu sama sekali.
***
Merencanakan kabur dari mansion Keluarga Armadjati bukan usaha yang gampang. Apalagi jika satu-satunya jalan keluar dari tempat itu hanya satu, yaitu gerbang di penghujung jalan. Dan, ukuran rumah yang besar dan luas tidak membantunya sama sekali.
Kalau di siang hari Dina menjelajahi seluruh penjuru rumah, ketika malam tiba Dina akan melakukan perjalanan menelusuri jalan berdasarkan petunjuk yang diberikan oleh Mbok Surti. Tidak gampang berjalan di tengah kegelapan malam. Tapi, Dina harus berlatih karena jika kesempatannya tiba nanti, dia harus mampu melakukannya sampai keluar dari gerbang mansion.
“Jangan ikutin –
“Astaga!” umpat Dina kaget. “Mbok!” Dia tidak menyangka ada kehadiran wanita tua itu di sampingnya.
“Mbok mau ngingetin, jangan ikutin jalan setapaknya.”
“Kenapa?”
“Bacon dan timnya akan keliling ronda lewat jalan itu.”
Masuk akal, batin Dina. Dia bergeser ke arah kanan dan mengira-ngira jalan yang harus dilaluinya. Hasilnya, sangat susah.
Di saat dia kesulitan mengukur langkahnya, Mbok Surti menyalakan senter. “Lewat kebun anggrek saja, Nduk.”
Dina menghalau cahaya senter dengan mengarahkan alat penerang itu ke tanah. “Takut ketahuan,” bisiknya.
Mbok Surti mengangguk dan mematikannya. Beberapa langkah kemudian, dia menunjukkan sebuah tempat. “Dari sini tinggal sedikit lagi ke gerbang.”
Dina menoleh sekeliling dan hanya menyaksikan rerumputan panjang pertanda area itu tidak pernah atau jarang dibersihkan. Satu lagi, tidak ada anggrek apapun yang dapat dia temukan. Meskipun, ada tempat duduk yang terbuat dari beton yang menjadi bukti bahwa pada masanya kawasan itu kerap digunakan untuk bersantai.
“Sejak Ibu Delilah meninggal, kebun ini tidak ada yang merawat.” Mbok Surti menyentuhkan tangannya kepada rangka-rangka besi yang Dina tebak tadinya berguna untuk menyangga bunga. “Tepatnya, tidak boleh dirawat. Perintah Ibu Yasmine.”
Terbit geram dalam hati Dina. Dia bukannya mengkritisi rasa benci istri kedua Pak Hidayat sepenuhnya. Akan tetapi, dia menyayangkan kalau kebencian itu bergeser sehingga merusak apapun yang berhubungan dengan mantan istri yang pernah menjadi nyonya rumah tersebut. Kebun yang diciptakan oleh Ibu Delilah tidak punya salah. Jadi tidak perlu ada perintah untuk mengabaikannya segala.
“Tidak ada penjaga yang ke sini, Nduk.”
Kalau begitu, rute ini menjadi pilihan tepat untuk kabur dari mansion tersebut. Kepicikan Ibu Yasmine ternyata membuahkan keuntungan bagi Dina. Senang juga dia mengetahui hal itu.
“Dari sini, kamu jalan saja ke arah sana,” Mbok Surti menunjuk ke kanan. “Tapi temboknya cukup tinggi, Nduk.”
Dina mengikuti petunjuk dari Mbok Surti. Dan memang benar. Dia memerlukan kotak atau meja untuk dijadikan sebagai pijakan. Bagaimana caranya menyelundupkan barang itu ke sini? Tidak mungkin pada saat dia kabur akan menenteng benda berat yang dapat memperlambat langkahnya.
Tiba-tiba, terdengar suara jejak kaki di telinga Dina. Sambil merunduk, dia memberikan kode agar Mbok Surti ikut menunduk. Kebun anggrek bisa jadi tidak diperiksa oleh Bacon dan timnya. Namun, pinggiran tembok pembatas ini terbukti disambangi oleh penjaga seperti malam itu. Dina mendesah. Dia harus merancang strategi kabur dari mansion ini dengan mantap. Tidak boleh ada kesalahan. Dan sampai saat itu juga, dia belum menemukan satu cara yang dijamin berhasil.
***
Merencanakan keluar dari mansion itu saja sudah melelahkan bagi Dina. Akan tetapi, dia tidak boleh melupakan tugasnya sebagai asisten Wendy dan Bastian. Hari itu, dia diminta memasuki kamar majikannya itu untuk membersihkan kamar mandi mereka.
Dina yang melongok ke dalam kamar mandi bergidik sendiri. Ada bekas muntahan di mana-mana dan baju-baju yang berserakan. Dia mendadak pusing memikirkan cara membersihkan itu semua. Sendirian.
Sekonyong-konyong, ada ketukan di pintu kamar. Dina menoleh dan menemukan kehadiran Mbok Surti. Dia sangat berharap rekan pembantunya itu boleh menemaninya. Tapi, harapan itu hanya dia simpan dalam hati karena tidak mungkin Wendy akan mengabulkannya.
“Mbok, kenapa?” tanya Wendy.
“Maaf, Non. Ada titipan ini dari Tuan Bastian.” Mbok Surti menyerahkan sebuah kotak. “Untuk Dina.”
Dina mengernyitkan dahi. Apa kira-kira yang dihadiahkan oleh laki-laki itu kepadanya? Yang tidak kalah penting, mengapa tuan bengis itu memberikan sesuatu kepadanya?
“Sini!” Wendy menarik dan membuka bungkusan itu.
Dina mendengar tawa Wendy yang semakin lama semakin membahana.
“It suits you,” kata Wendy sambil melempar kotak itu ke arahnya yang mengakibatkan isinya terjatuh.
Dina berganti-gantian memandang hadiah itu dan Wendy. Isinya adalah seragam pelayan baru berwarna hitam dengan aksen apron berwarna putih khas kostum French’s maid. Apa mereka sedang bercanda?
“Pakai!” perintah Wendy sebelum meninggalkan kamarnya itu.
Seketika Dina menyesal telah merusak semua seragamnya sehingga Bastian merasa perlu menyediakan yang baru untuknya. Dia lebih memilih yang lama ketimbang seragam baru yang terlihat lebih seksi itu. Tapi, apa mau dikata? Perintah majikannya adalah titah yang harus dipatuhi.
Setelah Dina berganti pakaian dan bersiap-siap membersihkan apapun yang akan dia hadapi di kamar mandi, dia melihat Mbok Surti membersihkan lemari obat. “Astaga, banyak banget.”
“Obat tidur Non Wendy. Sudah tidak dipakai, jadi mau Mbok buang.”
Dina yang sedang menarik-narik ujung rok yang kependekan, seketika terpaku. Berbagai ide berseliweran di kepalanya dan salah satunya mungkin bisa membantunya kabur dari istana Keluarga Armadjati itu. “Jangan dibuang!” pintanya sebelum obat tidur yang dikumpulkan wanita itu berakhir di tempat sampah.
“Lho?”
Dina mengambilnya dari tangan Mbok Surti. “Kita lakukan malam ini, Mbok!” Tentu saja yang dia maksud adalah rencana kabur yang sudah dia persiapkan selama ini.
“Apa rencanamu, Nduk? Kalau kepergok, bagaimana?”
Dina menunjukkan plastik obat tidur di tangannya. “Nggak akan,” katanya yakin.
Dengan barang itu, kesempatannya untuk kabur akan berhasil adalah sejumlah 99,9 persen. Kalaupun ternyata tidak, setidaknya dia telah berusaha sampai mati untuk memperjuangkan kebebasannya. Live free or die trying.
***
Seperti kebiasaan yang telah dipelajari oleh Dina begitu pertama kali dia menjejakkan kaki di sana, malam itu seluruh anggota Keluarga Armadjati telah ditunggu untuk makan bersama. Menu telah disiapkan oleh chef langganan keluarga.Dina memperhatikan sekeliling dan mendapati tangan Mbok Surti yang gemetaran sewaktu memindahkan sup tom yam ke mangkok kecil. Dia langsung mengambil alih sendok dari tangan pembantu senior itu dan melanjutkan tugas tersebut. Ada lima mangkok untuk lima penghuni yang dia letakkan di samping set piring masing-masing.Pada meja buffet, Mbok Surti menyiapkan minuman kesukaan masing-masing penghuni. Dina menuangkan serbuk obat tidur ke dalamnya; jus apel favorit Pak Hidayat dan kopi hitam tanpa gula milik Ibu Yasmine.Tiba-tiba, tangan Dina dihentikan sewaktu hendak menambahkan obat yang telah dia siapkan ke dalam jus kiwi-nya Wendy. “Yang ini jangan, Nduk!”“Tapi –“Non Wendy tidak aka
Leonardo memasuki sebuah kantor dengan tulisan Pitidoku tertera pada dinding. Tidak ada resepsionis yang menyambut. Luas ruangan itu juga biasa-biasa saja. Kalau dibandingkan dengan ruang kerja beberapa kantor lainnya dari bidang usaha Armadjati Group, Pitidoku tidak ada apa-apanya.Dia disambut oleh Danny dan beberapa karyawan lain yang bertepuk tangan. “Selamat, Mas. Pitidoku sudah terdaftar.”Leonardo berterima kasih. “Berkat kerja keras kalian semua.” Dia kemudian memberikan kartunya kepada Danny dan memberikan instruksi kepada asistennya itu untuk mentraktir makan karyawan Pitidoku.Tentu saja berita itu membuat semuanya bergembira dan serta-merta berlalu dan meninggalkan Leonardo sendirian. Laki-laki yang biasa dipanggil Leo itu memandang sekeliling. Kantor Pitidoku hanya memiliki satu ruangan berkonsep open space. Semua anggota tim akan menyalakan laptop masing-masing untuk bekerja di meja panjang. Untungnya, saat itu juml
Leonardo memasuki rumah besar yang disebut-sebut haknya oleh ayahnya sebagai anak pertama Keluarga Armadjati. Dia ingat kalau sempat menghabiskan masa kecilnya di sini. Namun, sampai sekarang dia tidak menganggap kediaman itu sebagai rumahnya. Tidak ada sisa-sisa kenangan bahagia yang menempel di benaknya saat menempati rumah tersebut. Momen suka cita yang terpatri dalam ingatannya justru berada di panti asuhan tempat dia dan Mama tinggal dahulu.Dia baru kembali ke rumah ini ketika Mama meninggal. Kedatangannya saat itu disambut oleh tiga orang asing yang tidak pernah dikenalnya; yaitu Tante Yasmine, Olivia, dan Bastian yang belum genap berusia tiga tahun. Tentu saja, dia yang baru lulus Sekolah Dasar tidak mengerti bagaimana bersikap dengan ketiganya. Entah karena Papa ingin mengakrabkan Leo dengan mereka atau bermaksud lain, tiba-tiba saja ayahnya itu menitahkan agar mereka makan malam bersama, setiap harinya. Padahal, ketika Mamanya masih ada sekalipun, laki-laki tua itu
Kata orang, ketika kita di ambang kematian, kilas balik perjalanan hidup kita akan terbayang-bayang di mata. Tidak demikian halnya yang dialami oleh Dina. Dia yakin akhir hidupnya telah tiba sewaktu Bastian melucutinya. Tapi, bukan fragmen kehidupannya yang memenuhi isi kepalanya, melainkan rasa yang campur aduk, antara malu, tidak berdaya, muak, geram, jijik, dan tidak berharga dia alami sekaligus.Dia memejamkan mata dan mencoba mengosongkan apapun yang ada dalam pikirannya. Dina merasakan sentuhan di bahunya yang langsung saja dia tepis. Walaupun keadaannya sudah terpojok, dia akan tetap melawan laki-laki bajingan yang ada di belakangnya itu sekuat tenaga. Karena dia tahu, hanya kematian yang dapat membebaskannya dari kekejaman Bastian.“Ini aku, Leo.”Apakah yang dia dengar itu benar? Dina tidak mempercayai telinganya sehingga ingin mengonfirmasi dengan matanya. Di sanalah laki-laki itu tersenyum kepadanya. Senyum Leonardo sebenarnya tipis saja d
Panas matahari yang menembus dinding kaca membangunkannya. Dina memandang sekeliling. Kamar itu kosong. Tidak ada perabotan sama sekali. Matanya beralih ke jaket yang menutupi sebagian tubuhnya. Dina bangkit berdiri dan menarik ritsleting jaket sampai ke leher. Sewaktu menyadari kain bawahannya sudah robek sana sini, Dina ke luar kamar mencari-cari pakaian cadangan yang bisa dia pakai.Apartemen itu didominasi dengan pembatas kaca sehingga pantulan surya menerangi semua ruangannya. Dina mengelilingi ruang tamu yang berdamping-dampingan dengan dapur. Semuanya kosong melompong. Dia juga memeriksa kamar mandi. Sama saja. Tidak ada apa-apa. Dina memutar keran dan lega begitu air mengalir membasahi tangannya. Dia membasuh wajah dan mengernyit akibat rasa perih yang mengenai luka di wajahnya.Tiba-tiba, Dina terkesiap. Mas Leo? Di mana laki-laki itu? Dina mengingat-ingat kejadian tadi malam. Matanya berkaca-kaca akan kenangan buruk yang mampir di kepalanya sehingga
Bastian, anak bungsu Keluarga Armadjati berdiri mematut di depan cermin yang ada di dalam ruang walking closet-nya tanpa mengenakan atasan sama sekali. Dia menyentuhkan jarinya ke pipinya yang lebam. Matanya menyipit menahan perih. Dia menggemeretakkan gigi. Berani-beraninya benalu itu merusak ketampanannya.Dia mengambil ponselnya dan menekan satu nomor. Terdengar nada panggil tapi telepon tidak diangkat. Bastian menggerutu dan mencampakkan gawai itu ke sofa.Setelahnya, Bastian mengambil kemeja yang sudah disiapkan di atas sofa. Dia mengenakannya. Tapi dahinya langsung mengerut sewaktu kain pakaian itu menempel ke pinggangnya. Laki-laki itu melepaskan kemeja dan memeriksa tubuhnya yang terasa sakit itu.“Aaagh,” keluhnya dengan segera menjauhkan tangannya dari luka itu.“Are you okay?” Tiba-tiba, Wendy masuk dan mengeceknya.Tanpa memperdulikan pertanyaan istrinya itu, Bastian menarik kaos oblong putih da
Bastian kecil cemberut dan menyisihkan sarapan waffle-nya. Dia menatap Mami yang duduk di depannya dengan pandangan seolah-olah ingin melenyapkan ibunya itu. Tentu saja Mami tidak dapat menyaksikan laser yang dipancarkan Bastian dari matanya karena perempuan itu mengenakan kacamata hitam.“Pokoknya Bas mau pindah!” bentaknya sambil melipat tangan di dada.“Where to?”“Kita harus pindah, Mi. Kita bisa tinggal sama Gramma! Sekolah di sana?!” rayunya. Menyadari perilaku Papi yang tidak menyenangkan terhadap Mami, ini usaha Bastian kecil untuk menyelamatkan ibunya tersebut.“Memangnya bisa Bahasa Inggris?” goda Mami.Bastian sudah akan membuka mulut, namun mendadak berhenti karena mendapati Papi yang tahu-tahu muncul di balkon rumah utama tempat mereka menikmati sarapan. Dia menarik piring berisi waffle yang tadi sempat dia singkirkan. Dia kemudian memakannya dengan lahap.
Dina terpaku melihat ponsel yang tergeletak di lantai dapur apartemen tempatnya berada saat itu. Pikirannya yang sudah kalut bertambah mumet. Apakah gawai yang dia pinjam dari Leo itu rusak? Kalau ya, bagaimana dia bisa menggantinya? Dina mengutuk dirinya sendiri karena tidak berhati-hati.Dia menarik napas dalam-dalam. Tidak ada gunanya mengkhawatirkan perangkat elektronik itu. Coba saja dulu diperiksa. Lagi pula, ada masalah lain yang lebih penting untuk segera dia selesaikan. Ya, ya, banyak urusan yang memenuhi kepalanya. Satu masalah sudah ditimpa dengan masalah lainnya. Serumit itu!Belum sempat Dina meraih telepon genggam yang jatuh itu, sebentuk tangan lain sudah mendahuluinya. “Maaf,” kata Dina sambil mendongakkan kepala. Leonardo.Leonardo memeriksa telepon genggam itu. “Kosong, delapan, dua, satu, empat, empat….” Leo menatapnya lama. “Ini siapa?” tanya laki-laki itu.Dina menjauhkan pandangan matanya. H