Share

The Master Has Spoken

Di dapur, Dina menahan air matanya sewaktu mencuci piring bekas wadah Beef Stroganoff yang dicampakkan oleh Wendy.

“Nona Wendy tidak tahan asin, Nduk.”

“Dia kan bisa bilang. Lagian ini juga nggak keasinan.” Dina mencuci tangannya, mengambil sendok, dan menyuapkan sebagian sisa Beef Stroganoff ke mulut Mbok Surti.

Mata pelayan itu merem melek, “Enak, Nduk.”

“Ya pasti enak,” gerutunya masih tidak menerima perlakuan Wendy yang semena-mena membuang makanan buatan Dina.

Mbok Surti mengambil Getuk Lindri matang yang tadi didinginkan di dalam kulkas lalu mulai menyusunnya. Dina memperhatikan wadah kotak plastik yang disiapkan pembantu itu. Dia menggantinya dengan kotak besek bambu tradisional dengan mengalasinya pakai daun pisang.

“Wah, bagus Nduk.”

Dina menaburkan serutan kelapa di atasnya. Memang, gadis itu puas dengan penampakan kue tradisional tersebut.

Tepat pada saat itu, Leonardo memasuki dapur dan memuji, “Cantik sekali getuknya, Mbok. Beda dari sebelumnya.” Dia mengambil satu potong yang belum dipindahkan ke wadah besek. “Enak.”

Dina menyembunyikan senyum mendengar pujian itu.

“Dina yang bikin, Mas.”

Memerah pipi Dina tatkala laki-laki itu menatapnya kagum dan mengacungkan jempol.

“Mas Leo pulang apa menginap?”

Mendadak, interkom di dapur menjerit menghalangi Leonardo menjawab pertanyaan itu. Oleh karena posisi Dina yang terdekat dengan perangkat komunikasi tersebut, dia pun mengangkatnya. Mendengar suara di seberang sana, gadis itu seketika menyesal. Wendy mengomelinya karena makanan pengganti Beef Stroganoff tadi tak kunjung diantar dan majikannya itu sudah kelaparan.

“Nggak ada lagi dispensasi. Saya lapor Bastian!” Saking tingginya volume suara Wendy, Dina masih dapat menangkapnya dengan jelas meskipun sudah menjauhkan gagang interkom. Seketika itu juga wajahnya memucat mendengar nama Bastian yang disebut-sebut.

Dina bergelimang dalam pikirannya sendiri dan melupakan bunyi “Tut tut” dari interkom yang menggantung. Sampai pada akhirnya, Leonardo mengambil alih dan mengembalikan perangkat itu ke tempatnya semula.

“Kamu bisa bikin Sup Kacang Merah?”

Dina mengangguk.

“Antar itu buat Wendy dan kasih roti gandum di pinggirnya.”

Dina mengecek isi kulkas kembali dan tidak ada keheranan sama sekali begitu melihat bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat menu yang disarankan oleh Leonardo pun lengkap tersedia di sana.

Bersamaan dengan itu, Leonardo mengambil kartu nama dari dompetnya dan menuliskan sesuatu di balik kartu lalu melipatnya dua. Kartu itu dia letakkan di atas nampan yang ada di meja konter. “Berikan ini waktu kamu antar makanan,” perintahnya.

Dia membelokkan tubuh ke arah Mbok Surti, “Mbok, saya pamit. Nanti malam juga pulang.”

***

Dina mengelap keringat yang mengucur deras di dahinya. Dia ditugaskan membersihkan semua lemari dan perabotan dari debu-debu di sayap kiri bangunan, tepatnya kediaman Wendy dan Bastian. Tapi dia tidak mengeluh. Lebih baik begini daripada berhadapan dengan dua manusia paling keji sedunia.

Dina mengingat kembali saat dia mengantarkan Sup Kacang Merah. Dia sudah bersiap-siap kena amukan dan lemparan sup dengan berdiri agak menjauh dari sang majikan. Rupanya, pesan yang tertulis di kartu nama mengubah suasana hati Wendy menjadi gembira. Tadi, Dina dapat melihat seulas senyum hadir di wajah istri Bastian itu.

Dina penasaran apa gerangan isi yang tertulis di sana. Dia sempat melihatnya sekilas tadi. Namun, hanya ada gambar berupa garis-garis dan titik yang tidak Dina mengerti artinya. Tampaknya, mereka berbicara dalam bahasa kode hanya dipahami keduanya. Di satu sisi, dia beruntung karena apapun isi kartu itu, dia terbebas dari kemarahan Wendy. Di sisi lain, dia ingin tahu mengapa sikap Wendy melunak karena Leonardo.

“Hei!”

Dina terhenyak mendengar hardikan itu. Kemoceng yang dipegang Dina sampai terjatuh. Dia buru-buru mengambil peralatan kebersihan itu sebelum menyadari bahwa ternyata Bastian yang meneriakkan panggilan tersebut.

“Ikut saya!”

Tergopoh-gopoh Dina mematuhi perintah tersebut dan berjalan di belakang si manusia bengis.

***

Dia kembali ke tempat itu. Gudang berantakan yang menjadi saksi pertama kali dia menginjakkan kaki di tempat itu. Sama seperti sebelumnya, Bastian juga ditemani oleh Bacon, pengawal setianya yang bertubuh raksasa.

“Wendy selalu mengeluhkanmu.”

Salah siapa? Komentar itu tentu saja hanya berani Dina suarakan dalam hati saja. Kalau dipikir-pikir, dia sendiri tidak tahu mengapa Wendy selalu naik darah melihatnya. Padahal dia sudah mengikuti apapun perintah majikannya itu yang selalu mengada-ada.

“Tapi kali ini, dia melaporkan satu yang berbeda.”

Dina memberanikan diri menatap tajam laki-laki itu. Itu adalah sebagai usaha terakhirnya untuk tidak merasa terintimidasi.

“Bacon!” teriak Bastian.

Tanpa diinstruksikan lebih lanjut, pengawal bernama aneh itu menoyor kepalanya dengan kuat. Dina menundukkan kepala.

You don’t need other clothes than our uniform.”

Dina mendesah. Ini pasti menyinggung kesalahannya yang muncul di depan Wendy dengan memakai atasan biasa. Salah siapa? Ulang Dina dalam hati.

“Seragammu itu untuk menyadarkan statusmu ada di level mana.”

Dina menggigit bibir menahan rasa kesal.

“Jadi harus kamu pakai terus supaya nggak ada yang menyangkanya sejajar dengan kami,” kata Bastian dilanjutkan dengan gestur seperti membuang ludah.

“Kasihan, gila hormatmu itu hanya sebatas penampilan luar.” Dina melongo. Ternyata, kalimat itu dia ucapkan keras-keras. Refleks, gadis itu menutup mulut dengan tangannya rapat-rapat.

Dari tempatnya berdiri, Dina dapat melihat Bastian menyisir sisi kanan rambut cokelatnya. Laki-laki itu memang tidak memelototinya. Namun demikian, gadis itu dapat merasakan kengerian dari sorot matanya yang menyipit ke arahnya.

Bacon yang menampar pipinya sebelum Bastian mengambil tindakan apa-apa. Dina sampai jatuh tersungkur. Di tengah-tengah usahanya mengangkat tubuh, dia memperhatikan Bastian yang membuang muka.

“Cukup! Mukanya harus tetap bersih. Leo sudah mulai bertanya-tanya.”

Leo? Dina meneliti nada suara yang terlontar dari Bastian tadi. Dugaannya kedua laki-laki di Keluarga Armadjati itu bukanlah sebuah sekutu. Setitik harapan timbul di hatinya.

Mendadak, Dina merasakan rambutnya tertarik ke belakang. Dina sampai terjengkang dibuatnya.

“Eww, rambutmu berminyak!” Bastian menjauhkan tangannya seolah-olah memegang bom yang setiap saat siap meledak.

Bacon adalah pengawal yang cepat tanggap karena laki-laki itu langsung mengambil dan menuangkan hand sanitizer ke tangan bosnya. “Lagi Bos?”

Bastian mengulurkan tangannya kembali dan mengusap-usap demi memastikan kebersihannya. Dina mencibir dalam hati. Orang kaya di mana-mana selalu sama; merendahkan orang lain bahkan untuk hal-hal dasar yang sudah pasti dia juga punya atau melakukannya.

“Kamu jangan merasa lebih pintar, ya.”

Dina mengubek-ubek isi kepalanya. Mengapa Bastian mengatakan itu? Sejak ke rumah ini, dia hanya dua kali dia memiliki kesempatan berada di satu ruang yang sama dengan rentenir itu. Pertama di gudang ini dan kedua di ruang makan. Kedua-duanya tidak ada penyebab yang membuatnya pantas dikatakan sok pintar. Atau jangan-jangan? Dina menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Aku ini lulusan sekolah luar negeri. Lebih pintar dari pribumi macam kalian.”

Dina mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat.

“Apa kamu pikir tindak-tandukmu bisa lolos dari pengawasan?”

Dugaan Dina semakin mengarah pada kebenaran. Tapi, bagaimana laki-laki tahu? Selain keluarga inti Armadjati, hanya Mbok Surti dan dirinya yang menjadi penghuni rumah itu. Apa Mbok Surti yang melaporkannya? Tapi apa yang dapat disampaikan oleh sesama teman pembantunya itu? Apa iya Mbok Surti menambah-nambah cerita?

“Sekecil selimut pun nggak akan bisa lepas dari perhatian kami.”

Dina menggertakkan gigi. Tentu saja. Bagaimana dia bisa menyepelekan selimut dan kehadiran Wendy. Dia tidak menyangka kalau selimut itu menjadi alasan dia dipanggil oleh Bastian saat itu.

“Kamu jangan lupa. Orang-orangku sedang mengawasi bapakmu.”

Dina harus berlagak tidak tahu. Dia tidak mau mengiba-iba memohon maaf kepada laki-laki itu. Jika itu dia lakukan, Bastian langsung besar kepala dan mengecapnya melakukan kesalahan fatal.

“Mulai sekarang, kamu pindah kamar di bagian rumah kami!”

Dina menoleh. Perintah laki-laki itu memang bukanlah segera menghabisinya, tapi bukan juga merupakan suatu keuntungan baginya. Jalannya untuk kabur, sekarang lebih sulit. Tuan Bastian sudah mengeluarkan titahnya. Terpaksa, dia harus mengatur strategi baru lainnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status