Share

No Way Out

Penulis: SURIYANA
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-14 17:30:06

Dina memutar pegangan pintu dan tidak juga terbuka. Tidak ada rencengan kunci yang menempel di pintu seperti yang dia lihat pada malam sebelumnya. Tidak, keluhnya dalam hati. Hanya ini pintu keluar yang dia hapal tanpa perlu ketahuan Mbok Surti. Dia menyentuhkan jari ke material kaca yang mendominasi pintu. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Terlalu riskan jikalau dia sampai memecahkan kaca.

Pikirannya berkelana memikirkan segala kemungkinan sampai membentur satu ide. Cepat-cepat dia berjalan menuju dapur. Dari sana dia bisa melewati pintu yang menuju kebun. Pintu bergeming saja sewaktu Dina mendorongnya. Hatinya kembali diliputi kekecewaan sehingga dia berteriak sambil mengatupkan mulut dengan bongkahan punggung tangannya.

Tiba-tiba, cahaya menerangi ruangan itu yang membuat tubuh Dina sedikit terlonjak.

“Nduk, ngapain?”

Dina menghampiri konter dapur dan mengambil gelas. “Haus,” kilahnya.

“Lho, di kamar ada air, kok?”

Tangan kanannya gemetaran sehingga dia memindahkan gelas ke satu tangan yang lain. Dia mengepalkan tangan lalu mencoba sesantai mungkin menuangkan air dari dispenser. “Kepengen yang dingin.”

“Oalah, Nduk, Nduk. Pantas Non Wendy marah sama kamu.”

Dia tidak melihat korelasi antara ingin meminum air es dengan keharusan memakai seragam selain karena kepribadian menantu Keluarga Armadjati yang super arogan. Tapi tidak apa-apalah, batinnya. Tidak perlu dia bantah kalau itu bisa menepis kecurigaan Mbok Surti. Hal terakhir yang dia inginkan adalah pembantu senior itu mengadukannya. Dina pun meminum air sampai tandas.

“Mbok kebangun juga?” tanya Dina sembari melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah empat pagi.

“Harus masak.”

“Bukannya ada chef….”

“Ini spesial, untuk Mas Leo. Kamu bantu Mbok, ya?”

Berkesempatan menggunakan dapur idamannya? Tentu saja Dina mau. Dia menyingkirkan selimut dari kepalanya dan menarik dua apron dari salah satu laci konter dapur. Tidak dipedulikannya pandangan Mbok Surti yang seolah-olah bertanya mengapa dia mengetahui letaknya dengan jelas.

Dina menyunggingkan senyum dan memakaikan salah satu celemek. “Kita masak apa, Mbok?”

“Getuk Lindri.” Untunglah, Mbok Surti dapat dialihkan dan dengan segera memerintahkannya, “Kamu cuci bersih singkongnya ya?” sambil mengeluarkan sebaskom singkong yang sudah dikupas dari rak paling bawah.

Dina melakukan titah. “Mas Leo suka?” tanyanya seraya menyalakan keran.

Mbok Surti mengangguk. “Waktu Mas Leo kecil, Mamanya sering masak Getuk Lindri.”

“Nggak nyangka Ibu Yasmine bisa masak kue Indonesia. Bule kan dia ya?”

Mbok Surti diam sejenak dan melirik tajam ke arahnya. Tapi lambat-laun pandangan itu melembut dan wanita separuh baya aitu menjawab, “Wong Londo. Tapi, beliau bukan ibu kandung Mas Leo.”

Dina berhenti menggosok-gosok singkong. Informasi itu sungguh di luar dugaannya. Dia membandingkan wajah Leonardo dan Bastian dan mengakui kalau keduanya tidak mirip. Gadis itu bergidik jijik sewaktu imaji Bastian menetap di kepalanya. Dia mengenyahkannya dengan mencuci singkong di bawah air keran yang mengalir.

“Setiap tahun Mas Leo selalu mengunjungi makam ibunya dan makan getuk di sana,” bisik Mbok Surti.

Mungkin menurut Mbok Surti perilaku itu aneh. Tapi tidak demikian halnya bagi Dina. Gadis itu justru menganggap apa yang dilakukan oleh Leonardo itu adalah sesuatu yang manis.

Dina sudah meletakkan singkong bersih ke dalam panci berisi air ketika dia memberanikan diri bertanya, “Apa yang terjadi dengan beliau?”

“Sakit. Jantung.” Sekonyong-konyong, Mbok Surti mendekatkan diri ke arahnya dan membisikkan, “Kalau kata Mbok sih stres karena suaminya.”

Dina menyalakan kompor untuk merebus singkong, lalu mendekati Mbok Surti, “Kok bisa?” Sebenarnya, gadis itu bukan orang yang terbiasa menggosipkan orang lain. Tapi mumpung Mbok Surti bersikap terbuka, Dina memutuskan untuk melayaninya. Dalam situasinya sekarang, lebih baik menjaring banyak kawan ketimbang menimba musuh.

“Ibu Yasmine itu kan…” Mbok Surti melihat ke kiri dan kanan sebelum melanjutkan, “orang ketiga di pernikahan Bapak sebelumnya.”

“Oh, ya?”

“Iya. Bapak sama Ibu Yasmine ketemu di luar negeri.”

“Lho, Mas Leo sama ibunya?”

“Mas Leo memang lahir di rumah ini. Tapi waktu Ibu Delilah sakit, keduanya balik ke rumah Ibu. Mas Leo masih lima tahun waktu itu.”

“Kenapa begitu?”

“Biar ada yang rawat. Bapak kan lagi sibuk-sibuknya berbisnis di luar negeri. Pas Ibu Delilah meninggal, Mas Leo kembali ke sini, dia baru lulus SD. Tapi Bapak juga membawa Ibu Yasmine, Olivia, dan Bastian yang masih tiga tahun.”

Dina menunggu cerita sambil mengangkat singkong rebus dan menirisnya. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Mbok Surti sehingga dia menoleh.

“Mbok dengar langkah kaki,” jelas Mbok Surti dengan volume rendah.

Dina ikut menajamkan telinga tapi tidak mendengar apa-apa sehingga dia meneruskan menumbuk singkong agar halus.

I thought I hear voices.”

Deg! Dari suaranya saja, Dina sudah mengenali suara itu. Wendy. Dia menyibukkan diri agar tidak perlu mengangkat wajahnya.

“Masak Getuk, Nona Wendy. Buat dibawa Mas Leo.”

Walaupun tidak terang-terangan menatap satu sama lain, Dina dapat merasakan Wendy meneliti sekujur tubuhnya. “I thought you are my maid,” kata Wendy.

“Maaf, Nona. Mbok yang minta tolong dibantu.”

Wendy mengalihkan pandangan ke selimut putih yang tergeletak di atas kursi bar.

Dina membersihkan kerongkongannya lalu berujar, “Agak dingin, ya.” Dengan tangan gemetaran dia melumat terus singkong sehalus mungkin. Dalam hati dia berdoa agar keberadaan selimut di dapur tidak menjadi pertanyaan besar bagi majikannya itu.

“Masih lama?” tanya Wendy kepada Mbok Surti. Tanpa menunggu jawaban dari pembantu senior rumah itu, Wendy menengok Dina, “Rupanya kamu bisa masak dan punya banyak energi. Prepare my breakfast!” perintah istri Bastian itu.

“Iya, iya. Nona mau apa?”

Beef Stroganoff, with pasta.”

Dengan demikian, Wendy meninggalkan mereka dengan jalan khasnya yang terlihat sombong dengan mendongakkan dagu.

“Biar Mbok yang selesaikan. Kamu bikin yang diminta Non Wendy saja. Apa tadi? Pif sragen?”

Beef Stroganoff.”

“Bisa, Nduk?”

Tentu saja sebagai lulusan yang bergerak di bidang kuliner perhotelan, dia hapal cara memasak menu itu. Tapi, Dina hanya mengedikkan bahu sebagai respons.

“Ah, mana mungkin kamu tahu. Apa kita perlu telepon Chef?” Mbok Surti mengecek jam dinding. “Mana mungkin diangkat sepagi ini.”

“Tenang, Mbok,” ujar Dina akhirnya karena tidak betah menyaksikan perempuan paruh baya itu bergerak ke sana ke mari seperti cacing kepanasan. Dina menyiapkan kukusan. Lalu, tangannya tidak berhenti menguleni adonan singkong untuk Getuk Lindri yang sudah dibubuhi garam dan gula. Kemudian dia membagi adonan menjadi tiga agar diberi warna yang berbeda dan meratakannya kembali. “Tinggal dicetak nih, Mbok. Kalau udah tinggal taruh di kukusan.”

Untunglah Mbok Surti tersadar dari kepanikannya dan dapat berkonsentrasi melanjutkan proses pembuatan kue. Dina kemudian memeriksa kulkas dan menemukan semua bahan yang dibutuhkan untuk memasak menu yang diinginkan oleh Wendy. Dengan telaten, dia mulai melakukan langkah demi langkah membuat Beef Stroganoff.

***

Dina yang sudah berganti dengan seragam membawa menu pesanan Wendy ke Ruang Santai tempat biasanya majikannya itu menghabiskan waktu. Senyumnya semringah karena yakin Wendy akan menyukai masakannya.

Wendy yang masih saja pelit senyum membuka penutup saji dan memeriksa Beef Stroganoff di depannya tanpa ekspresi. Istri Bastian itu mengambil garpu dan menyuapkan makanan ke mulutnya.

Tiba-tiba, di luar dugaan Dina, perempuan berwajah secantik malaikat itu membuang piringnya dengan hentakan yang keras. Dina terlonjak menyaksikan pasta dan daging yang berserakan di lantai.

“Kamu mau membunuh saya?! teriak Wendy yang membuat Dina semakin mengerutkan tubuhnya pertanda ketakutan.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • DEBTLY IN LOVE (Indonesia)   Last Hurrah

    Dina tidak lagi takut berhadap-hadapan dengan wanita secantik malaikat itu. Dia sudah mendengar semuanya dari Leonardo. Bagaimana Wendy sebenarnya memiliki cita-cita lain sekadar dari menjadi seorang nyonya rumah. Dia bahkan mengagumi upaya Leo agar istri Bastian itu mendapatkan apa yang diinginkan. Awalnya, dia tidak setuju kalau niat baik itu dibalut dengan perjanjian antara Wendy dan Bastian untuk tetap dalam ikatan pernikahan. Namun, dia bisa bilang apa kalau dua-duanya telah setuju. Seperti Leo, dia hanya berharap di tengah-tengah perjanjian itu, cinta antara Wendy dan Bastian akan kembali bertumbuh.“Hai,” sapa Dina.Wendy mengedikkan bahu. Bahkan cara wanita itu bersikap tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekeliingnya tampak menakjubkan. Elegan dan membuat orang lain berniat untuk memberikan apa saja yang diminta oleh Wendy.“Nona Wendy ikut makan, ya,” ajaknya santai sambil menata piring baru di meja yang kosong.Tidak

  • DEBTLY IN LOVE (Indonesia)   A Good Life

    Dari kejauhan, Dina sudah melihat bayangan Leonardo. Senyum di wajah laki-laki itu menerbitkan cahaya benderang di kepalanya. Leonardo setengah berlari menghampirinya. Pria itu langsung mengambil alih kursi roda dari pegawai bandara untuk mendorong ayahnya. Cerminan seorang pria yang bertanggung jawab.“Gimana Bali?” tanya laki-laki itu.“Sepi.” Itu karena tidak ada kehadiran Leonardo di sana. Tapi, tentu saja Dina tidak akan mengungkapkan bagian terakhir dari pikirannya itu terang-terangan. Dia masih malu mengakui perasaannya terhadap laki-laki itu. Ditambah, dia juga tidak ingin Leonardo menggodanya terus-terusan.Mereka telah berada di parkiran mobil. Dengan sigap laki-laki itu membantu mendudukkan Ayah di kursi tengah, sedangkan Dina mengatur tas bawaan mereka di bagasi. Ketika Dina menutup pintu bagasi, Leonardo sedang mengembalikan kursi roda kepada petugas bandara.Dina cukup heran karena tidak menemukan satu orang pengawal

  • DEBTLY IN LOVE (Indonesia)   In Between

    Ditinggal oleh Dina, Leonardo belingsatan. Apa jawaban Dina? Apa dia kelewatan sudah menarik tangan perempuan itu? Apa dia tidak sopan karena terdengar begitu memaksa? Bagaimana kalau Dina menolaknya? Jantungnya berdegup kencang. Biasanya, Leonardo adalah orang yang dapat menerima apa saja: baik ataupun buruk. Tapi kali ini, dia punya asa. Dia ingin harapannya kali ini terkabul. Dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan kalau usahanya gagal.Leonardo berjalan mondar-mandir dengan sepatu Dina di tangannya. Sekarang apa? Menunggu gadis itu dan menuntut jawaban darinya? Atau, dia bisa pergi dan keinginannya. Tidak, tidak. Leo tidak siap apabila dia gagal mendapatkan bahagia.“Mas Leo.”Leonardo membalikkan badannya. Dan di sana, pada salah satu anak tangga, ada Dina yang memandanginya. Rambut panjang gadis itu ditata kuncir kuda. Mata besarnya berbinar-binar dan senyumnya merekah sampai ke telinga. Seakan-akan waktu bergerak melambat, Leonardo menikmati

  • DEBTLY IN LOVE (Indonesia)   Growing Love Together

    Begitu Leo turun ke lantai bawah, dia tepergok dengan Dina yang sedang mendudukkan ayahnya di kursi di foyer. Di sebelah Ayah, telah tersedia tas dan satu buah koper. Rupanya, gadis itu serius dengan rencana kepindahannya ke Bali. Leo sedikit kesal karena perempuan itu tidak berniat sedikitpun untuk pamit kepadanya.“Uhm, Pak Hidayat ada?” tanya gadis itu.Dengan dagunya, Leonardo memberikan kode kalau ayahnya ada di ruang kerja di lantai atas. Dia menyaksikan Dina yang berjongkok dan pamit kepada Ayah sebelum meneruskan langkah sesuai petunjuk Leo.Leo sudah memerhatikan bahwa sejak bertemu dengan ayahnya kembali, Dina selalu enggan untuk berjauh-jauhan dengan orangtuanya itu. Seolah-olah gadis itu takut akan terjadi apa-apa kepada ayahnya jika dia meleng sebentar saja. Benar-benar sosok yang penyayang.Kata-kata Olivia jadi terngiang-ngiang di telinganya. Satu yang tidak dapat dia enyahkan adalah perihal penyesalan karena kata-kata

  • DEBTLY IN LOVE (Indonesia)   It's Time to Change

    Sepeninggal Mbok Surti, Bacon mengambil sebuah amplop dari balik jas belakangnya. Pengawal itu memberikannya kepada Pak Hidayat, bos paling tinggi dalam hierarki Grup Armadjati.“Itu dari pantat kamu?” sindir Pak Hidayat. Mana mungkin dia mau memegang sesuatu yang entah sudah berapa lama mengendap di bokong pengawal itu. “Apa itu?” tanyanya seraya menyembunyikan tangan di punggung, pertanda dia tidak mau menyentuh amplop tersebut.Bacon mengeluarkan isinya yang berupa kertas-kertas dokumen, dia menjejerkan semuanya di atas meja kopi. “Identitas pembunuh bayaran Danny.”“Foto dan kirim ke saya,” perintah Pak Hidayat sedikitpun tidak mau memegang dokumen.Bacon melakukan apa yang dia perintahkan. Sebaik foto-foto itu masuk ke folder pesan di telepon genggamnya, Pak Hidayat mengamati dokumen tersebut. Sayangnya, tidak banyak yang dapat dia telaah dari laporan Bacon tersebut. Pasalnya, ada beberapa kartu tanda p

  • DEBTLY IN LOVE (Indonesia)   One More Thing

    Pak Hidayat mencoret satu baris dari daftar kegiatan yang harus dia lakukan hari ini. Tahu-tahu, teleponnya mengalunkan notifikasi tanda pesan masuk. Dia membacanya sekilas. Dari sekretarisnya yang menanyakan apakah dia akan datang ke kantor hari ini.Jawabannya adalah tidak, pikir laki-laki itu seraya membalas pesan. Beberapa hari terakhir, dia harus membereskan kekacauan yang terjadi di rumahnya. Pak Hidayat mengecek email. Dia menunggu kabar penting seputar keberadaan istrinya dan Danny. Geram hatinya kalau mengingat-ingat dua makhluk tak berguna itu.Notifikasi pesan terdengar lagi. Every ship needs a captain.Pak Hidayat mengembuskan napas panjang. Dia juga tahu maksud tersembunyi dari pesan yang dikirimkan oleh sekretarisnya itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Keluarganya lebih membutuhkan perhatiannya saat ini. Pak Hidayat tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti yang sudah-sudah dengan mengabaikan mereka. Terlebih sewaktu anak-anaknya telah b

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status