Dina memutar pegangan pintu dan tidak juga terbuka. Tidak ada rencengan kunci yang menempel di pintu seperti yang dia lihat pada malam sebelumnya. Tidak, keluhnya dalam hati. Hanya ini pintu keluar yang dia hapal tanpa perlu ketahuan Mbok Surti. Dia menyentuhkan jari ke material kaca yang mendominasi pintu. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Terlalu riskan jikalau dia sampai memecahkan kaca.
Pikirannya berkelana memikirkan segala kemungkinan sampai membentur satu ide. Cepat-cepat dia berjalan menuju dapur. Dari sana dia bisa melewati pintu yang menuju kebun. Pintu bergeming saja sewaktu Dina mendorongnya. Hatinya kembali diliputi kekecewaan sehingga dia berteriak sambil mengatupkan mulut dengan bongkahan punggung tangannya.
Tiba-tiba, cahaya menerangi ruangan itu yang membuat tubuh Dina sedikit terlonjak.
“Nduk, ngapain?”
Dina menghampiri konter dapur dan mengambil gelas. “Haus,” kilahnya.
“Lho, di kamar ada air, kok?”
Tangan kanannya gemetaran sehingga dia memindahkan gelas ke satu tangan yang lain. Dia mengepalkan tangan lalu mencoba sesantai mungkin menuangkan air dari dispenser. “Kepengen yang dingin.”
“Oalah, Nduk, Nduk. Pantas Non Wendy marah sama kamu.”
Dia tidak melihat korelasi antara ingin meminum air es dengan keharusan memakai seragam selain karena kepribadian menantu Keluarga Armadjati yang super arogan. Tapi tidak apa-apalah, batinnya. Tidak perlu dia bantah kalau itu bisa menepis kecurigaan Mbok Surti. Hal terakhir yang dia inginkan adalah pembantu senior itu mengadukannya. Dina pun meminum air sampai tandas.
“Mbok kebangun juga?” tanya Dina sembari melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah empat pagi.
“Harus masak.”
“Bukannya ada chef….”
“Ini spesial, untuk Mas Leo. Kamu bantu Mbok, ya?”
Berkesempatan menggunakan dapur idamannya? Tentu saja Dina mau. Dia menyingkirkan selimut dari kepalanya dan menarik dua apron dari salah satu laci konter dapur. Tidak dipedulikannya pandangan Mbok Surti yang seolah-olah bertanya mengapa dia mengetahui letaknya dengan jelas.
Dina menyunggingkan senyum dan memakaikan salah satu celemek. “Kita masak apa, Mbok?”
“Getuk Lindri.” Untunglah, Mbok Surti dapat dialihkan dan dengan segera memerintahkannya, “Kamu cuci bersih singkongnya ya?” sambil mengeluarkan sebaskom singkong yang sudah dikupas dari rak paling bawah.
Dina melakukan titah. “Mas Leo suka?” tanyanya seraya menyalakan keran.
Mbok Surti mengangguk. “Waktu Mas Leo kecil, Mamanya sering masak Getuk Lindri.”
“Nggak nyangka Ibu Yasmine bisa masak kue Indonesia. Bule kan dia ya?”
Mbok Surti diam sejenak dan melirik tajam ke arahnya. Tapi lambat-laun pandangan itu melembut dan wanita separuh baya aitu menjawab, “Wong Londo. Tapi, beliau bukan ibu kandung Mas Leo.”
Dina berhenti menggosok-gosok singkong. Informasi itu sungguh di luar dugaannya. Dia membandingkan wajah Leonardo dan Bastian dan mengakui kalau keduanya tidak mirip. Gadis itu bergidik jijik sewaktu imaji Bastian menetap di kepalanya. Dia mengenyahkannya dengan mencuci singkong di bawah air keran yang mengalir.
“Setiap tahun Mas Leo selalu mengunjungi makam ibunya dan makan getuk di sana,” bisik Mbok Surti.
Mungkin menurut Mbok Surti perilaku itu aneh. Tapi tidak demikian halnya bagi Dina. Gadis itu justru menganggap apa yang dilakukan oleh Leonardo itu adalah sesuatu yang manis.
Dina sudah meletakkan singkong bersih ke dalam panci berisi air ketika dia memberanikan diri bertanya, “Apa yang terjadi dengan beliau?”
“Sakit. Jantung.” Sekonyong-konyong, Mbok Surti mendekatkan diri ke arahnya dan membisikkan, “Kalau kata Mbok sih stres karena suaminya.”
Dina menyalakan kompor untuk merebus singkong, lalu mendekati Mbok Surti, “Kok bisa?” Sebenarnya, gadis itu bukan orang yang terbiasa menggosipkan orang lain. Tapi mumpung Mbok Surti bersikap terbuka, Dina memutuskan untuk melayaninya. Dalam situasinya sekarang, lebih baik menjaring banyak kawan ketimbang menimba musuh.
“Ibu Yasmine itu kan…” Mbok Surti melihat ke kiri dan kanan sebelum melanjutkan, “orang ketiga di pernikahan Bapak sebelumnya.”
“Oh, ya?”
“Iya. Bapak sama Ibu Yasmine ketemu di luar negeri.”
“Lho, Mas Leo sama ibunya?”
“Mas Leo memang lahir di rumah ini. Tapi waktu Ibu Delilah sakit, keduanya balik ke rumah Ibu. Mas Leo masih lima tahun waktu itu.”
“Kenapa begitu?”
“Biar ada yang rawat. Bapak kan lagi sibuk-sibuknya berbisnis di luar negeri. Pas Ibu Delilah meninggal, Mas Leo kembali ke sini, dia baru lulus SD. Tapi Bapak juga membawa Ibu Yasmine, Olivia, dan Bastian yang masih tiga tahun.”
Dina menunggu cerita sambil mengangkat singkong rebus dan menirisnya. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Mbok Surti sehingga dia menoleh.
“Mbok dengar langkah kaki,” jelas Mbok Surti dengan volume rendah.
Dina ikut menajamkan telinga tapi tidak mendengar apa-apa sehingga dia meneruskan menumbuk singkong agar halus.
“I thought I hear voices.”
Deg! Dari suaranya saja, Dina sudah mengenali suara itu. Wendy. Dia menyibukkan diri agar tidak perlu mengangkat wajahnya.
“Masak Getuk, Nona Wendy. Buat dibawa Mas Leo.”
Walaupun tidak terang-terangan menatap satu sama lain, Dina dapat merasakan Wendy meneliti sekujur tubuhnya. “I thought you are my maid,” kata Wendy.
“Maaf, Nona. Mbok yang minta tolong dibantu.”
Wendy mengalihkan pandangan ke selimut putih yang tergeletak di atas kursi bar.
Dina membersihkan kerongkongannya lalu berujar, “Agak dingin, ya.” Dengan tangan gemetaran dia melumat terus singkong sehalus mungkin. Dalam hati dia berdoa agar keberadaan selimut di dapur tidak menjadi pertanyaan besar bagi majikannya itu.
“Masih lama?” tanya Wendy kepada Mbok Surti. Tanpa menunggu jawaban dari pembantu senior rumah itu, Wendy menengok Dina, “Rupanya kamu bisa masak dan punya banyak energi. Prepare my breakfast!” perintah istri Bastian itu.
“Iya, iya. Nona mau apa?”
“Beef Stroganoff, with pasta.”
Dengan demikian, Wendy meninggalkan mereka dengan jalan khasnya yang terlihat sombong dengan mendongakkan dagu.
“Biar Mbok yang selesaikan. Kamu bikin yang diminta Non Wendy saja. Apa tadi? Pif sragen?”
“Beef Stroganoff.”
“Bisa, Nduk?”
Tentu saja sebagai lulusan yang bergerak di bidang kuliner perhotelan, dia hapal cara memasak menu itu. Tapi, Dina hanya mengedikkan bahu sebagai respons.
“Ah, mana mungkin kamu tahu. Apa kita perlu telepon Chef?” Mbok Surti mengecek jam dinding. “Mana mungkin diangkat sepagi ini.”
“Tenang, Mbok,” ujar Dina akhirnya karena tidak betah menyaksikan perempuan paruh baya itu bergerak ke sana ke mari seperti cacing kepanasan. Dina menyiapkan kukusan. Lalu, tangannya tidak berhenti menguleni adonan singkong untuk Getuk Lindri yang sudah dibubuhi garam dan gula. Kemudian dia membagi adonan menjadi tiga agar diberi warna yang berbeda dan meratakannya kembali. “Tinggal dicetak nih, Mbok. Kalau udah tinggal taruh di kukusan.”
Untunglah Mbok Surti tersadar dari kepanikannya dan dapat berkonsentrasi melanjutkan proses pembuatan kue. Dina kemudian memeriksa kulkas dan menemukan semua bahan yang dibutuhkan untuk memasak menu yang diinginkan oleh Wendy. Dengan telaten, dia mulai melakukan langkah demi langkah membuat Beef Stroganoff.
***
Dina yang sudah berganti dengan seragam membawa menu pesanan Wendy ke Ruang Santai tempat biasanya majikannya itu menghabiskan waktu. Senyumnya semringah karena yakin Wendy akan menyukai masakannya.
Wendy yang masih saja pelit senyum membuka penutup saji dan memeriksa Beef Stroganoff di depannya tanpa ekspresi. Istri Bastian itu mengambil garpu dan menyuapkan makanan ke mulutnya.
Tiba-tiba, di luar dugaan Dina, perempuan berwajah secantik malaikat itu membuang piringnya dengan hentakan yang keras. Dina terlonjak menyaksikan pasta dan daging yang berserakan di lantai.
“Kamu mau membunuh saya?! teriak Wendy yang membuat Dina semakin mengerutkan tubuhnya pertanda ketakutan.
***
Di dapur, Dina menahan air matanya sewaktu mencuci piring bekas wadah Beef Stroganoff yang dicampakkan oleh Wendy.“Nona Wendy tidak tahan asin, Nduk.”“Dia kan bisa bilang. Lagian ini juga nggak keasinan.” Dina mencuci tangannya, mengambil sendok, dan menyuapkan sebagian sisa Beef Stroganoff ke mulut Mbok Surti.Mata pelayan itu merem melek, “Enak, Nduk.”“Ya pasti enak,” gerutunya masih tidak menerima perlakuan Wendy yang semena-mena membuang makanan buatan Dina.Mbok Surti mengambil Getuk Lindri matang yang tadi didinginkan di dalam kulkas lalu mulai menyusunnya. Dina memperhatikan wadah kotak plastik yang disiapkan pembantu itu. Dia menggantinya dengan kotak besek bambu tradisional dengan mengalasinya pakai daun pisang.“Wah, bagus Nduk.”Dina menaburkan serutan kelapa di atasnya. Memang, gadis itu puas dengan penampakan kue tradisional tersebut.Tepat pada saat it
Seperti pemakaman lainnya, peristirahatan terakhir yang dikunjungi oleh Leonardo saat itu pun memiliki suasana adem dan aura tenang yang luar biasa. Pria itu mendatangi salah satu kuburan. Pada penanda di makamnya, tertulis nama Delilah Baskoro, ibunya yang telah meninggal delapan belas tahun yang lalu. Hari ini bertepatan dengan peringatan kepergian ibunya itu.Leonardo meletakkan bunga di atas kuburan. Setelahnya, dia bersila di atas tanah sambil membuka kotak bekal yang berisi Getuk Lindri.“Mama, Leo kangen,” lirihnya seraya memandangi nama ibunya yang tertulis di makam.***Mansion Keluarga Armadjati sudah besar dan megah ketika Leo dilahirkan. Tidak seperti sekarang yang bernuansa kelam, dahulu rumah itu penuh dengan warna dan keceriaan. Pagi di istana itu selalu diawali dengan musik riang gembira. Mama Leo, Delilah akan berkeliling dan menyapa semuanya, termasuk para pekerja. Jadi, tidaklah mengherankan apabila nyonya rumah itu dihormat
Mendadak, pintu kamar utama itu terbuka. Seorang wanita berkulit seputih pualam keluar sambil tertawa-tawa. Mata mereka bertatap-tatapan dan tawa itu terhenti. Di belakang, ada Bapak Hidayat yang menyamakan langkah dengan wanita tersebut.Diawali dengan dehaman, Pak Hidayat menjelaskan, “Ini Mbok Surti, yang mengurus rumah ini.”Wanita berkulit cerah itu memandangnya dari ujung rambut ke ujung kaki. Takut-takut Mbok Surti balas menatap, namun hanya berani sebentar saja. Meskipun demikian, dia dapat menilai kalau wanita itu cantik sekali. Rambutnya cokelat panjang diikat ekor kuda, Matanya teduh dengan kelopak yang dalam. Bibirnya penuh dipoles gincu merah. Pipi yang mulus seolah-olah tidak berpori-pori. Tubuhnya langsing dengan lekuk-lekuk di tempat yang tepat yang dibungkus dengan baju ketat berwarna merah.“She’s a maid? Kenapa tidak pakai seragam?”“Yaaah di sini bebas saja, Honey.”Perempuan it
Meskipun sudah dilarang, Leonardo tetap menerobos masuk ke ruang kerja Ibu Kepala Panti. Mama ada di sana yang serta-merta melebarkan kedua tangannya. Tapi, bukan kehangatan pelukan ibunya itu yang dia cari, Leo mengalihkan mata kepada laki-laki gagah di hadapan Mama.“Papaaa!” panggilnya seraya menghampiri laki-laki itu. Kemudian dia mengulurkan mangkok yang dipegangnya erat-erat dari tadi. “Getuk Lindri.” Dia ingin Papa mencoba makanan favoritnya tersebut.Leonardo dapat menyaksikan kalau ayahnya menunduk sambil menggerak-gerakkan kepala ke kiri dan ke kanan. Dia menduga Papa sedang meneliti makanan bertabur kelapa parut itu, sama seperti sewaktu Leo pertama kali mencobanya. Namun, bukannya menerima mangkok yang disodorkan oleh Leonardo, ayahnya malah menepuk-nepuk kepala Leo dengan lembut.“Nggak suka?” kata Leo dengan pupil mata yang membesar.Alih-alih menjawab, Papa justru mengatakan, “Kamu di sini dan jaga
Dalam film The White Tiger digambarkan bahwa masyarakat miskin tidak dengan sendirinya menjadi miskin, tetapi sengaja dimiskinkan. Situasi tersebut melekat terus dalam diri warganya karena telah dikukuhkan selama mungkin, lengkap dengan penanaman sikap inferior dan pasrah berserah diri kepada Tuhan. Pada akhirnya, masyarakat kelas bawah akan merasa wajar diperlakukan rendah bak sampah oleh kalangan atas. Kemudian, mereka akan kehilangan niat untuk maju dan mematuhi tuan-tuan kaya itu laksana budak.Penggambaran itu sepertinya cocok dengan apa yang dialami oleh Dina. Gadis itu mengaku kalau dia bukanlah berasal dari latar-belakang keluarga kaya. Dia dan ayahnya bersusah-payah agar dia dapat menyelesaikan kuliah. Di saat dia bersemangat karena berpikir akan terlepas dari jeratan kemiskinan dengan modal pendidikan yang dia terima, tahu-tahu dia terjerembab pada situasi yang menjadikannya sebagai warga kelas bawah.Dina menggosok toilet dengan sekuat tenaga. Setel
Dina kembali ke kamar lamanya, kamar pembantu yang dia tempati bersama Mbok Surti. Melewati lemari, dia melihat bayangannya yang terpantul dari cermin yang tertempel di pintu lemari tersebut. Seorang gadis yang penampakannya kusut-masai balik menatapnya. Kondisinya… menyedihkan.Seragam pelayan putih-putih ini penyebabnya. Mengenakannya setiap hari seperti merelakan kebebasannya direnggut oleh para majikan yang mempekerjakan para asisten rumah tangga. Tidak, tidak. Nasibnya lebih parah karena dia sama sekali tidak digaji. Dia adalah budak. Dina muak. Dengan emosi, dia melepas seragam itu dan mencampakkannya ke sembarang arah. Setelahnya, asal-asalan dia mengambil atasan berleher sabrina dan celana pendek.Dina membaringkan tubuh di tempat tidur. Semua peristiwa yang mengantarnya kepada kejadian tadi membayang terus di pikirannya. Lima ratus juta! Jumlah uang yang sangat banyak yang bahkan Dina sendiri pun tidak berani memimpikannya. Berapa lama lagi dia akan dap
Berhari-hari setelah Dina menceritakan semuanya kepada Mbok Surti, dia sudah menjelajahi hampir seluruh bagian mansion Keluarga Armadjati. Dia tahu di mana kamar yang ditempati oleh Bapak Hidayat dan Ibu Yasmine. Kalau sebelumnya dia berpikir sayap kiri tempat Bastian dan Wendy berdiam sudah mewah, maka bagian utama rumah ini jauh lebih mewah dari itu.Dia juga menelusuri sayap kanan yang merupakan area kekuasaan Leonardo. Berbeda dengan dua bagian rumah lainnya yang penuh dengan perabot mewah, Leonardo menata sayap kanan gedung dengan lebih sederhana. Minimalis. Semua furnitur hanya berada di sana karena memang dibutuhkan.Ada satu ruangan yang pintunya terbuka dan itu menyebabkan langkah Dina terhenti. Soalnya, dinding kamar itu sangat mencolok perhatian dengan warna ungu yang terang. Bukan pilihan yang biasa untuk seorang laki-laki seperti Leonardo. Dia melangkahkan kaki lebih dekat lagi.“Kamar Mbak Olivia,” kata sebuah suara yang mengagetkannya.
Seperti kebiasaan yang telah dipelajari oleh Dina begitu pertama kali dia menjejakkan kaki di sana, malam itu seluruh anggota Keluarga Armadjati telah ditunggu untuk makan bersama. Menu telah disiapkan oleh chef langganan keluarga.Dina memperhatikan sekeliling dan mendapati tangan Mbok Surti yang gemetaran sewaktu memindahkan sup tom yam ke mangkok kecil. Dia langsung mengambil alih sendok dari tangan pembantu senior itu dan melanjutkan tugas tersebut. Ada lima mangkok untuk lima penghuni yang dia letakkan di samping set piring masing-masing.Pada meja buffet, Mbok Surti menyiapkan minuman kesukaan masing-masing penghuni. Dina menuangkan serbuk obat tidur ke dalamnya; jus apel favorit Pak Hidayat dan kopi hitam tanpa gula milik Ibu Yasmine.Tiba-tiba, tangan Dina dihentikan sewaktu hendak menambahkan obat yang telah dia siapkan ke dalam jus kiwi-nya Wendy. “Yang ini jangan, Nduk!”“Tapi –“Non Wendy tidak aka