Share

In the Dream House

Author: SURIYANA
last update Last Updated: 2021-05-21 17:30:21

Seperti pemakaman lainnya, peristirahatan terakhir yang dikunjungi oleh Leonardo saat itu pun memiliki suasana adem dan aura tenang yang luar biasa. Pria itu mendatangi salah satu kuburan. Pada penanda di makamnya, tertulis nama Delilah Baskoro, ibunya yang telah meninggal delapan belas tahun yang lalu. Hari ini bertepatan dengan peringatan kepergian ibunya itu.

Leonardo meletakkan bunga di atas kuburan. Setelahnya, dia bersila di atas tanah sambil membuka kotak bekal yang berisi Getuk Lindri.

“Mama, Leo kangen,” lirihnya seraya memandangi nama ibunya yang tertulis di makam.

***

Mansion Keluarga Armadjati sudah besar dan megah ketika Leo dilahirkan. Tidak seperti sekarang yang bernuansa kelam, dahulu rumah itu penuh dengan warna dan keceriaan. Pagi di istana itu selalu diawali dengan musik riang gembira. Mama Leo, Delilah akan berkeliling dan menyapa semuanya, termasuk para pekerja. Jadi, tidaklah mengherankan apabila nyonya rumah itu dihormati juga disayangi oleh seluruh penghuni kediaman istana tersebut.

Begitu pula sewaktu Leo lahir, semuanya bersukacita menyambut kehadirannya. Anak pertama Bapak Hidayat dan Ibu Delilah itu baru berusia sehari ketika Mbok Surti hadir di sana. Dia dipekerjakan untuk membantu nyonya rumah mengurus Leo yang baru lahir itu.

“Masa saya panggil Mbok? Kelihatannya masih muda, kok.”

Mbok Surti tersipu mendengar pujian dari Delilah itu. “Anak-anak Mbok manggilnya juga itu.”

“Lho, kok mereka nggak dibawa ke sini juga?”

“Tinggal sama bapaknya. Mbok kan sudah bercerai, Bu.’

“Mereka nggak ikut Mbok?”

Mbok Surti menggeleng. “Keluarga Bapaknya lebih tercukupi dibanding Mbok, Bu. Di sana, mereka lebih terjamin, setidaknya bisa sekolah tinggi-tinggi.”

Delilah sibuk menenangkan Leo yang sedang menangis, sehingga hanya menepuk punggung tangan Mbok untuk menyatakan simpati.

“Tuan Leo kelihatan tidak nyaman, Bu,” kata Mbok Surti memperingatkan dengan hati-hati karena takut nyonya rumah itu tersinggung.

Di luar dugaan, Delilah malah tertawa terbahak-bahak. Akibatnya, Mbok Surti semakin ketakutan.

“Leo aja, Mbok. Jangan panggil Tuan. Geli, ah,” sambung Delilah masih terbahak-bahak.

“Mas Leo saja ya, Bu, seperti saya manggil anak saya juga begitu.”

Delilah tersenyum. “Saya suka. Mbok tolong doakan semoga Leo jadi anak yang penuh hormat ya, Mbok.”

***

Mbok Surti sedang membersihkan dapur ketika dia mendengar suara pelayan lain berdengung seperti sedang meributkan sesuatu. Dia menghampiri sumber suara dan melihat tiga pembantu lainnya tiba-tiba berhenti.

“Kenapa?”

Tiga pembantu itu tidak berkata apa-apa, tetapi menyingkir cepat-cepat.

Belum sempat kebingungan Mbok Surti terjawab, “Aaah,” teriakan itu mendarat di telinganya. Mbok Surti terburu-buru naik ke lantai dua. Suara itu dari kamar utama.

Pintu kamar itu terbuka sewaktu Mbok Surti tiba di sana. Oleh sebab itu, dia main masuk saja ke dalam. Tapi sungguh Mbok Surti tidak mempercayai penglihatannya. Di sana, Sang Nyonya Rumah bersimpuh sedangkan Tuan Rumah tegak berdiri di depannya.

Tidak sengaja, Mbok Surti terbatuk. Bapak Hidayat Armadjati dan istrinya sama-sama menoleh. Namun demikian, keduanya tetap membisu. Hening. Sedetik. Dua detik. Mbok Surti jengah karena rasanya sudah seperti satu jam saja.

Tidak ada yang berani memecah keheningan itu sampai suara tangis bayi membuat Mbok Surti bergerak cepat menggendong Leonardo dan menyingkir dari ruangan itu.

***

Leonardo sudah berusia tiga tahun ketika suatu pagi, interkom di dapur berbunyi.

“Mbok,” lirih suara dari interkom memanggilnya.

“Iya, Bu.”

“Tolong antar teh lemon, Mbok.”

Mbok Surti mengantarkan pesanan Delilah itu ke kamarnya. Begitu memasuki peraduan majikannya itu, nampan yang dipegang Mbok Surti bergetar hampir jatuh. Di tempat tidur, Delilah terbaring dengan lebam biru di wajah dan tangan yang terbalut dengan bercak darah.

Dia mengatur degup jantungnya dan meletakkan gelas di meja nakas dengan hati-hati.

“Tolong ambil kamera di rak sana, Mbok. Baris ketiga dari atas. Terus, fotoin ya.” Delilah mengernyit saat mencoba duduk dan bersandar di kepala tempat tidur.

Dengan irama jantung yang lebih cepat dari biasanya, dia mematuhi perintah nyonya rumahnya itu. Sesekali Delilah mengarahkan bagaimana Mbok Surti memotretnya yang langsung dia patuhi.

“Mbok antar ke rumah sakit, ya,” begitu selesai menyimpan kamera, Mbok memberikan saran tersebut.

Delilah menggelengkan kepalanya. Majikannya itu kasih kode untuk membantunya menghirup teh.

“Ini harus diobati, Bu,” bujuk Mbok Surti begitu cangkir teh diletakkan kembali di meja nakas.

Delilah terdiam beberapa saat. Lalu berkata, “Telepon dokter Bambang aja, Mbok.”

Dalam hati Mbok Surti tidak terima. Dokter Bambang yang disebut oleh Delilah adalah teman karib Pak Hidayat. Boleh saja praktisi kesehatan itu menyembuhkan dan merawat luka-luka Delilah dengan baik. Tapi, dokter tersebut sudah jelas akan menyembunyikan tindak kekerasan yang dialami oleh nyonya rumahnya itu. Walaupun hatinya berontak, Mbok Surti mengangguk dan pamit dari ruangan dengan memegang nampan yang tadi dia bawa.

“Mbok,” panggil Delilah yang menghentikan langkahnya.

Mbok Surti menyangka Sang Nyonya Rumah membatalkan telepon dan hendak ke rumah sakit saja.

“Sebentar lagi Leo bangun. Tolong temani dia, dan jangan sampai dia melihat saya begini ya, Mbok.”

Bahu Mbok Surti melorot dan mengangguk sambil mendekap nampan erat-erat.

***

“Mbok, sekarang Mama sakit melulu,” kata Leonardo di sela-sela kunyahan makan siangnya.

Ketika menerima protes dari Leonardo, Mbok Surti hanya bisa mengelus-elus rambut anak yang sekarang sudah berusia empat tahun itu. Umur-umur cerewetnya seorang anak kecil.

“Makanya cepat besar biar nanti Mas Leo jagain Mama biar sehat terus.”

Mbok Surti menyaksikan Leo kecil yang berhenti mengunyah. Kepalanya bergoyang ke kanan dan kiri. Kemudian, anak kecil itu merebut sendok dari tangan Mbok Surti.

Mbok Surti ingin menegurnya namun berhenti karena anak pertama Keluarga Armadjati itu menyendokkan makanan serta menyuapnya sendiri.

“Aku harus makan banyak biar cepat besar!”

Mbok Surti tersenyum. “Benar Mas Leo. Biar bisa jaga Mama terus, ya.”

***

Kardus berbagai ukuran menumpuk rapi di foyer istana Keluarga Armadjati. Mbok Surti berdiri saja di sana sambil menahan isak tangisnya. Leonardo datang dan memeluknya.

“Jangan nangis dong, Mbok.”

Mbok Surti bersimpuh menyesuaikan tinggi badannya dengan Delilah yang duduk di kursi roda. Teringat olehnya kenapa nyonya rumah itu sampai tidak dapat menggerakkan bagian bawah tubuhnya, dia meringis.

Suatu malam, Bapak Hidayat pulang dalam keadaan kalut. Keduanya lalu bertengkar. Ketika Mbok Surti mendatangi tempat kejadian perkara, Leonardo yang masih lima tahun mencengkeram batang pintu. Bayangan Delilah yang dipukuli tertera jelas pada pupil mata anak kecil itu. Cepat-cepat Mbok Surti menggendong dan membawanya menjauhi kamar Mama dan Papa Leonardo tersebut.

“Mbok tahu Ibu memang harus pergi, mumpung Bapak lagi di luar negeri. Tapi….” Lagi-lagi, air mata menuruni pipinya.

“Nanti kita juga ketemu lagi, kok.”

Benar juga, batin Mbok bersuara. Dengan demikian, isakan asisten rumah tangga itu perlahan-lahan mereda. Namun, kenyataan yang berbeda belum diketahui Mbok Surti pada saat itu. Delilah dan dirinya tidak pernah bersua lagi.

***

Pagi itu, Mbok Surti sedang membersihkan lorong lantai dua sewaktu mendengar cekikikan dari kamar majikannya. Dia berusaha menulikan telinga. Sejak kepergian Delilah dari rumah tersebut, Bapak Hidayat kerap kali membawa tamu wanita yang berbeda-beda menginap. Mbok Surti ingin melayangkan protes. Tapi tentu saja jiwa ‘nrimo’ dan patuh pada perintah majikan sudah terpatri dalam dagingnya sehingga akhirnya dia diam saja.

Cekikikan itu semakin lama semakin kencang terdengar. Tapi kali ini ada yang aneh. Pasalnya, tidak ada sahutan dari suara yang lebih berat yang seharusnya berasal dari mulut Bapak Hidayat. Sekonyong-konyong, Mbok Surti menghentikan gerakan sapu. Dia ingat kalau majikannya itu sedang dalam perjalanan bisnis ke luar negeri. Dia menelusuri kepalanya untuk menggali informasi kapan Bapak Hidayat mengatakan akan pulang?

Lalu, Mbok Surti terkesiap. Belum waktunya tuannya itu kembali. Jadi, siapa yang ada di sana?

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DEBTLY IN LOVE (Indonesia)   Last Hurrah

    Dina tidak lagi takut berhadap-hadapan dengan wanita secantik malaikat itu. Dia sudah mendengar semuanya dari Leonardo. Bagaimana Wendy sebenarnya memiliki cita-cita lain sekadar dari menjadi seorang nyonya rumah. Dia bahkan mengagumi upaya Leo agar istri Bastian itu mendapatkan apa yang diinginkan. Awalnya, dia tidak setuju kalau niat baik itu dibalut dengan perjanjian antara Wendy dan Bastian untuk tetap dalam ikatan pernikahan. Namun, dia bisa bilang apa kalau dua-duanya telah setuju. Seperti Leo, dia hanya berharap di tengah-tengah perjanjian itu, cinta antara Wendy dan Bastian akan kembali bertumbuh.“Hai,” sapa Dina.Wendy mengedikkan bahu. Bahkan cara wanita itu bersikap tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekeliingnya tampak menakjubkan. Elegan dan membuat orang lain berniat untuk memberikan apa saja yang diminta oleh Wendy.“Nona Wendy ikut makan, ya,” ajaknya santai sambil menata piring baru di meja yang kosong.Tidak

  • DEBTLY IN LOVE (Indonesia)   A Good Life

    Dari kejauhan, Dina sudah melihat bayangan Leonardo. Senyum di wajah laki-laki itu menerbitkan cahaya benderang di kepalanya. Leonardo setengah berlari menghampirinya. Pria itu langsung mengambil alih kursi roda dari pegawai bandara untuk mendorong ayahnya. Cerminan seorang pria yang bertanggung jawab.“Gimana Bali?” tanya laki-laki itu.“Sepi.” Itu karena tidak ada kehadiran Leonardo di sana. Tapi, tentu saja Dina tidak akan mengungkapkan bagian terakhir dari pikirannya itu terang-terangan. Dia masih malu mengakui perasaannya terhadap laki-laki itu. Ditambah, dia juga tidak ingin Leonardo menggodanya terus-terusan.Mereka telah berada di parkiran mobil. Dengan sigap laki-laki itu membantu mendudukkan Ayah di kursi tengah, sedangkan Dina mengatur tas bawaan mereka di bagasi. Ketika Dina menutup pintu bagasi, Leonardo sedang mengembalikan kursi roda kepada petugas bandara.Dina cukup heran karena tidak menemukan satu orang pengawal

  • DEBTLY IN LOVE (Indonesia)   In Between

    Ditinggal oleh Dina, Leonardo belingsatan. Apa jawaban Dina? Apa dia kelewatan sudah menarik tangan perempuan itu? Apa dia tidak sopan karena terdengar begitu memaksa? Bagaimana kalau Dina menolaknya? Jantungnya berdegup kencang. Biasanya, Leonardo adalah orang yang dapat menerima apa saja: baik ataupun buruk. Tapi kali ini, dia punya asa. Dia ingin harapannya kali ini terkabul. Dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan kalau usahanya gagal.Leonardo berjalan mondar-mandir dengan sepatu Dina di tangannya. Sekarang apa? Menunggu gadis itu dan menuntut jawaban darinya? Atau, dia bisa pergi dan keinginannya. Tidak, tidak. Leo tidak siap apabila dia gagal mendapatkan bahagia.“Mas Leo.”Leonardo membalikkan badannya. Dan di sana, pada salah satu anak tangga, ada Dina yang memandanginya. Rambut panjang gadis itu ditata kuncir kuda. Mata besarnya berbinar-binar dan senyumnya merekah sampai ke telinga. Seakan-akan waktu bergerak melambat, Leonardo menikmati

  • DEBTLY IN LOVE (Indonesia)   Growing Love Together

    Begitu Leo turun ke lantai bawah, dia tepergok dengan Dina yang sedang mendudukkan ayahnya di kursi di foyer. Di sebelah Ayah, telah tersedia tas dan satu buah koper. Rupanya, gadis itu serius dengan rencana kepindahannya ke Bali. Leo sedikit kesal karena perempuan itu tidak berniat sedikitpun untuk pamit kepadanya.“Uhm, Pak Hidayat ada?” tanya gadis itu.Dengan dagunya, Leonardo memberikan kode kalau ayahnya ada di ruang kerja di lantai atas. Dia menyaksikan Dina yang berjongkok dan pamit kepada Ayah sebelum meneruskan langkah sesuai petunjuk Leo.Leo sudah memerhatikan bahwa sejak bertemu dengan ayahnya kembali, Dina selalu enggan untuk berjauh-jauhan dengan orangtuanya itu. Seolah-olah gadis itu takut akan terjadi apa-apa kepada ayahnya jika dia meleng sebentar saja. Benar-benar sosok yang penyayang.Kata-kata Olivia jadi terngiang-ngiang di telinganya. Satu yang tidak dapat dia enyahkan adalah perihal penyesalan karena kata-kata

  • DEBTLY IN LOVE (Indonesia)   It's Time to Change

    Sepeninggal Mbok Surti, Bacon mengambil sebuah amplop dari balik jas belakangnya. Pengawal itu memberikannya kepada Pak Hidayat, bos paling tinggi dalam hierarki Grup Armadjati.“Itu dari pantat kamu?” sindir Pak Hidayat. Mana mungkin dia mau memegang sesuatu yang entah sudah berapa lama mengendap di bokong pengawal itu. “Apa itu?” tanyanya seraya menyembunyikan tangan di punggung, pertanda dia tidak mau menyentuh amplop tersebut.Bacon mengeluarkan isinya yang berupa kertas-kertas dokumen, dia menjejerkan semuanya di atas meja kopi. “Identitas pembunuh bayaran Danny.”“Foto dan kirim ke saya,” perintah Pak Hidayat sedikitpun tidak mau memegang dokumen.Bacon melakukan apa yang dia perintahkan. Sebaik foto-foto itu masuk ke folder pesan di telepon genggamnya, Pak Hidayat mengamati dokumen tersebut. Sayangnya, tidak banyak yang dapat dia telaah dari laporan Bacon tersebut. Pasalnya, ada beberapa kartu tanda p

  • DEBTLY IN LOVE (Indonesia)   One More Thing

    Pak Hidayat mencoret satu baris dari daftar kegiatan yang harus dia lakukan hari ini. Tahu-tahu, teleponnya mengalunkan notifikasi tanda pesan masuk. Dia membacanya sekilas. Dari sekretarisnya yang menanyakan apakah dia akan datang ke kantor hari ini.Jawabannya adalah tidak, pikir laki-laki itu seraya membalas pesan. Beberapa hari terakhir, dia harus membereskan kekacauan yang terjadi di rumahnya. Pak Hidayat mengecek email. Dia menunggu kabar penting seputar keberadaan istrinya dan Danny. Geram hatinya kalau mengingat-ingat dua makhluk tak berguna itu.Notifikasi pesan terdengar lagi. Every ship needs a captain.Pak Hidayat mengembuskan napas panjang. Dia juga tahu maksud tersembunyi dari pesan yang dikirimkan oleh sekretarisnya itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Keluarganya lebih membutuhkan perhatiannya saat ini. Pak Hidayat tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti yang sudah-sudah dengan mengabaikan mereka. Terlebih sewaktu anak-anaknya telah b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status