Seperti pemakaman lainnya, peristirahatan terakhir yang dikunjungi oleh Leonardo saat itu pun memiliki suasana adem dan aura tenang yang luar biasa. Pria itu mendatangi salah satu kuburan. Pada penanda di makamnya, tertulis nama Delilah Baskoro, ibunya yang telah meninggal delapan belas tahun yang lalu. Hari ini bertepatan dengan peringatan kepergian ibunya itu.
Leonardo meletakkan bunga di atas kuburan. Setelahnya, dia bersila di atas tanah sambil membuka kotak bekal yang berisi Getuk Lindri.
“Mama, Leo kangen,” lirihnya seraya memandangi nama ibunya yang tertulis di makam.
***
Mansion Keluarga Armadjati sudah besar dan megah ketika Leo dilahirkan. Tidak seperti sekarang yang bernuansa kelam, dahulu rumah itu penuh dengan warna dan keceriaan. Pagi di istana itu selalu diawali dengan musik riang gembira. Mama Leo, Delilah akan berkeliling dan menyapa semuanya, termasuk para pekerja. Jadi, tidaklah mengherankan apabila nyonya rumah itu dihormati juga disayangi oleh seluruh penghuni kediaman istana tersebut.
Begitu pula sewaktu Leo lahir, semuanya bersukacita menyambut kehadirannya. Anak pertama Bapak Hidayat dan Ibu Delilah itu baru berusia sehari ketika Mbok Surti hadir di sana. Dia dipekerjakan untuk membantu nyonya rumah mengurus Leo yang baru lahir itu.
“Masa saya panggil Mbok? Kelihatannya masih muda, kok.”
Mbok Surti tersipu mendengar pujian dari Delilah itu. “Anak-anak Mbok manggilnya juga itu.”
“Lho, kok mereka nggak dibawa ke sini juga?”
“Tinggal sama bapaknya. Mbok kan sudah bercerai, Bu.’
“Mereka nggak ikut Mbok?”
Mbok Surti menggeleng. “Keluarga Bapaknya lebih tercukupi dibanding Mbok, Bu. Di sana, mereka lebih terjamin, setidaknya bisa sekolah tinggi-tinggi.”
Delilah sibuk menenangkan Leo yang sedang menangis, sehingga hanya menepuk punggung tangan Mbok untuk menyatakan simpati.
“Tuan Leo kelihatan tidak nyaman, Bu,” kata Mbok Surti memperingatkan dengan hati-hati karena takut nyonya rumah itu tersinggung.
Di luar dugaan, Delilah malah tertawa terbahak-bahak. Akibatnya, Mbok Surti semakin ketakutan.
“Leo aja, Mbok. Jangan panggil Tuan. Geli, ah,” sambung Delilah masih terbahak-bahak.
“Mas Leo saja ya, Bu, seperti saya manggil anak saya juga begitu.”
Delilah tersenyum. “Saya suka. Mbok tolong doakan semoga Leo jadi anak yang penuh hormat ya, Mbok.”
***
Mbok Surti sedang membersihkan dapur ketika dia mendengar suara pelayan lain berdengung seperti sedang meributkan sesuatu. Dia menghampiri sumber suara dan melihat tiga pembantu lainnya tiba-tiba berhenti.
“Kenapa?”
Tiga pembantu itu tidak berkata apa-apa, tetapi menyingkir cepat-cepat.
Belum sempat kebingungan Mbok Surti terjawab, “Aaah,” teriakan itu mendarat di telinganya. Mbok Surti terburu-buru naik ke lantai dua. Suara itu dari kamar utama.
Pintu kamar itu terbuka sewaktu Mbok Surti tiba di sana. Oleh sebab itu, dia main masuk saja ke dalam. Tapi sungguh Mbok Surti tidak mempercayai penglihatannya. Di sana, Sang Nyonya Rumah bersimpuh sedangkan Tuan Rumah tegak berdiri di depannya.
Tidak sengaja, Mbok Surti terbatuk. Bapak Hidayat Armadjati dan istrinya sama-sama menoleh. Namun demikian, keduanya tetap membisu. Hening. Sedetik. Dua detik. Mbok Surti jengah karena rasanya sudah seperti satu jam saja.
Tidak ada yang berani memecah keheningan itu sampai suara tangis bayi membuat Mbok Surti bergerak cepat menggendong Leonardo dan menyingkir dari ruangan itu.
***
Leonardo sudah berusia tiga tahun ketika suatu pagi, interkom di dapur berbunyi.
“Mbok,” lirih suara dari interkom memanggilnya.
“Iya, Bu.”
“Tolong antar teh lemon, Mbok.”
Mbok Surti mengantarkan pesanan Delilah itu ke kamarnya. Begitu memasuki peraduan majikannya itu, nampan yang dipegang Mbok Surti bergetar hampir jatuh. Di tempat tidur, Delilah terbaring dengan lebam biru di wajah dan tangan yang terbalut dengan bercak darah.
Dia mengatur degup jantungnya dan meletakkan gelas di meja nakas dengan hati-hati.
“Tolong ambil kamera di rak sana, Mbok. Baris ketiga dari atas. Terus, fotoin ya.” Delilah mengernyit saat mencoba duduk dan bersandar di kepala tempat tidur.
Dengan irama jantung yang lebih cepat dari biasanya, dia mematuhi perintah nyonya rumahnya itu. Sesekali Delilah mengarahkan bagaimana Mbok Surti memotretnya yang langsung dia patuhi.
“Mbok antar ke rumah sakit, ya,” begitu selesai menyimpan kamera, Mbok memberikan saran tersebut.
Delilah menggelengkan kepalanya. Majikannya itu kasih kode untuk membantunya menghirup teh.
“Ini harus diobati, Bu,” bujuk Mbok Surti begitu cangkir teh diletakkan kembali di meja nakas.
Delilah terdiam beberapa saat. Lalu berkata, “Telepon dokter Bambang aja, Mbok.”
Dalam hati Mbok Surti tidak terima. Dokter Bambang yang disebut oleh Delilah adalah teman karib Pak Hidayat. Boleh saja praktisi kesehatan itu menyembuhkan dan merawat luka-luka Delilah dengan baik. Tapi, dokter tersebut sudah jelas akan menyembunyikan tindak kekerasan yang dialami oleh nyonya rumahnya itu. Walaupun hatinya berontak, Mbok Surti mengangguk dan pamit dari ruangan dengan memegang nampan yang tadi dia bawa.
“Mbok,” panggil Delilah yang menghentikan langkahnya.
Mbok Surti menyangka Sang Nyonya Rumah membatalkan telepon dan hendak ke rumah sakit saja.
“Sebentar lagi Leo bangun. Tolong temani dia, dan jangan sampai dia melihat saya begini ya, Mbok.”
Bahu Mbok Surti melorot dan mengangguk sambil mendekap nampan erat-erat.
***
“Mbok, sekarang Mama sakit melulu,” kata Leonardo di sela-sela kunyahan makan siangnya.
Ketika menerima protes dari Leonardo, Mbok Surti hanya bisa mengelus-elus rambut anak yang sekarang sudah berusia empat tahun itu. Umur-umur cerewetnya seorang anak kecil.
“Makanya cepat besar biar nanti Mas Leo jagain Mama biar sehat terus.”
Mbok Surti menyaksikan Leo kecil yang berhenti mengunyah. Kepalanya bergoyang ke kanan dan kiri. Kemudian, anak kecil itu merebut sendok dari tangan Mbok Surti.
Mbok Surti ingin menegurnya namun berhenti karena anak pertama Keluarga Armadjati itu menyendokkan makanan serta menyuapnya sendiri.
“Aku harus makan banyak biar cepat besar!”
Mbok Surti tersenyum. “Benar Mas Leo. Biar bisa jaga Mama terus, ya.”
***
Kardus berbagai ukuran menumpuk rapi di foyer istana Keluarga Armadjati. Mbok Surti berdiri saja di sana sambil menahan isak tangisnya. Leonardo datang dan memeluknya.
“Jangan nangis dong, Mbok.”
Mbok Surti bersimpuh menyesuaikan tinggi badannya dengan Delilah yang duduk di kursi roda. Teringat olehnya kenapa nyonya rumah itu sampai tidak dapat menggerakkan bagian bawah tubuhnya, dia meringis.
Suatu malam, Bapak Hidayat pulang dalam keadaan kalut. Keduanya lalu bertengkar. Ketika Mbok Surti mendatangi tempat kejadian perkara, Leonardo yang masih lima tahun mencengkeram batang pintu. Bayangan Delilah yang dipukuli tertera jelas pada pupil mata anak kecil itu. Cepat-cepat Mbok Surti menggendong dan membawanya menjauhi kamar Mama dan Papa Leonardo tersebut.
“Mbok tahu Ibu memang harus pergi, mumpung Bapak lagi di luar negeri. Tapi….” Lagi-lagi, air mata menuruni pipinya.
“Nanti kita juga ketemu lagi, kok.”
Benar juga, batin Mbok bersuara. Dengan demikian, isakan asisten rumah tangga itu perlahan-lahan mereda. Namun, kenyataan yang berbeda belum diketahui Mbok Surti pada saat itu. Delilah dan dirinya tidak pernah bersua lagi.
***
Pagi itu, Mbok Surti sedang membersihkan lorong lantai dua sewaktu mendengar cekikikan dari kamar majikannya. Dia berusaha menulikan telinga. Sejak kepergian Delilah dari rumah tersebut, Bapak Hidayat kerap kali membawa tamu wanita yang berbeda-beda menginap. Mbok Surti ingin melayangkan protes. Tapi tentu saja jiwa ‘nrimo’ dan patuh pada perintah majikan sudah terpatri dalam dagingnya sehingga akhirnya dia diam saja.
Cekikikan itu semakin lama semakin kencang terdengar. Tapi kali ini ada yang aneh. Pasalnya, tidak ada sahutan dari suara yang lebih berat yang seharusnya berasal dari mulut Bapak Hidayat. Sekonyong-konyong, Mbok Surti menghentikan gerakan sapu. Dia ingat kalau majikannya itu sedang dalam perjalanan bisnis ke luar negeri. Dia menelusuri kepalanya untuk menggali informasi kapan Bapak Hidayat mengatakan akan pulang?
Lalu, Mbok Surti terkesiap. Belum waktunya tuannya itu kembali. Jadi, siapa yang ada di sana?
***
Mendadak, pintu kamar utama itu terbuka. Seorang wanita berkulit seputih pualam keluar sambil tertawa-tawa. Mata mereka bertatap-tatapan dan tawa itu terhenti. Di belakang, ada Bapak Hidayat yang menyamakan langkah dengan wanita tersebut.Diawali dengan dehaman, Pak Hidayat menjelaskan, “Ini Mbok Surti, yang mengurus rumah ini.”Wanita berkulit cerah itu memandangnya dari ujung rambut ke ujung kaki. Takut-takut Mbok Surti balas menatap, namun hanya berani sebentar saja. Meskipun demikian, dia dapat menilai kalau wanita itu cantik sekali. Rambutnya cokelat panjang diikat ekor kuda, Matanya teduh dengan kelopak yang dalam. Bibirnya penuh dipoles gincu merah. Pipi yang mulus seolah-olah tidak berpori-pori. Tubuhnya langsing dengan lekuk-lekuk di tempat yang tepat yang dibungkus dengan baju ketat berwarna merah.“She’s a maid? Kenapa tidak pakai seragam?”“Yaaah di sini bebas saja, Honey.”Perempuan it
Meskipun sudah dilarang, Leonardo tetap menerobos masuk ke ruang kerja Ibu Kepala Panti. Mama ada di sana yang serta-merta melebarkan kedua tangannya. Tapi, bukan kehangatan pelukan ibunya itu yang dia cari, Leo mengalihkan mata kepada laki-laki gagah di hadapan Mama.“Papaaa!” panggilnya seraya menghampiri laki-laki itu. Kemudian dia mengulurkan mangkok yang dipegangnya erat-erat dari tadi. “Getuk Lindri.” Dia ingin Papa mencoba makanan favoritnya tersebut.Leonardo dapat menyaksikan kalau ayahnya menunduk sambil menggerak-gerakkan kepala ke kiri dan ke kanan. Dia menduga Papa sedang meneliti makanan bertabur kelapa parut itu, sama seperti sewaktu Leo pertama kali mencobanya. Namun, bukannya menerima mangkok yang disodorkan oleh Leonardo, ayahnya malah menepuk-nepuk kepala Leo dengan lembut.“Nggak suka?” kata Leo dengan pupil mata yang membesar.Alih-alih menjawab, Papa justru mengatakan, “Kamu di sini dan jaga
Dalam film The White Tiger digambarkan bahwa masyarakat miskin tidak dengan sendirinya menjadi miskin, tetapi sengaja dimiskinkan. Situasi tersebut melekat terus dalam diri warganya karena telah dikukuhkan selama mungkin, lengkap dengan penanaman sikap inferior dan pasrah berserah diri kepada Tuhan. Pada akhirnya, masyarakat kelas bawah akan merasa wajar diperlakukan rendah bak sampah oleh kalangan atas. Kemudian, mereka akan kehilangan niat untuk maju dan mematuhi tuan-tuan kaya itu laksana budak.Penggambaran itu sepertinya cocok dengan apa yang dialami oleh Dina. Gadis itu mengaku kalau dia bukanlah berasal dari latar-belakang keluarga kaya. Dia dan ayahnya bersusah-payah agar dia dapat menyelesaikan kuliah. Di saat dia bersemangat karena berpikir akan terlepas dari jeratan kemiskinan dengan modal pendidikan yang dia terima, tahu-tahu dia terjerembab pada situasi yang menjadikannya sebagai warga kelas bawah.Dina menggosok toilet dengan sekuat tenaga. Setel
Dina kembali ke kamar lamanya, kamar pembantu yang dia tempati bersama Mbok Surti. Melewati lemari, dia melihat bayangannya yang terpantul dari cermin yang tertempel di pintu lemari tersebut. Seorang gadis yang penampakannya kusut-masai balik menatapnya. Kondisinya… menyedihkan.Seragam pelayan putih-putih ini penyebabnya. Mengenakannya setiap hari seperti merelakan kebebasannya direnggut oleh para majikan yang mempekerjakan para asisten rumah tangga. Tidak, tidak. Nasibnya lebih parah karena dia sama sekali tidak digaji. Dia adalah budak. Dina muak. Dengan emosi, dia melepas seragam itu dan mencampakkannya ke sembarang arah. Setelahnya, asal-asalan dia mengambil atasan berleher sabrina dan celana pendek.Dina membaringkan tubuh di tempat tidur. Semua peristiwa yang mengantarnya kepada kejadian tadi membayang terus di pikirannya. Lima ratus juta! Jumlah uang yang sangat banyak yang bahkan Dina sendiri pun tidak berani memimpikannya. Berapa lama lagi dia akan dap
Berhari-hari setelah Dina menceritakan semuanya kepada Mbok Surti, dia sudah menjelajahi hampir seluruh bagian mansion Keluarga Armadjati. Dia tahu di mana kamar yang ditempati oleh Bapak Hidayat dan Ibu Yasmine. Kalau sebelumnya dia berpikir sayap kiri tempat Bastian dan Wendy berdiam sudah mewah, maka bagian utama rumah ini jauh lebih mewah dari itu.Dia juga menelusuri sayap kanan yang merupakan area kekuasaan Leonardo. Berbeda dengan dua bagian rumah lainnya yang penuh dengan perabot mewah, Leonardo menata sayap kanan gedung dengan lebih sederhana. Minimalis. Semua furnitur hanya berada di sana karena memang dibutuhkan.Ada satu ruangan yang pintunya terbuka dan itu menyebabkan langkah Dina terhenti. Soalnya, dinding kamar itu sangat mencolok perhatian dengan warna ungu yang terang. Bukan pilihan yang biasa untuk seorang laki-laki seperti Leonardo. Dia melangkahkan kaki lebih dekat lagi.“Kamar Mbak Olivia,” kata sebuah suara yang mengagetkannya.
Seperti kebiasaan yang telah dipelajari oleh Dina begitu pertama kali dia menjejakkan kaki di sana, malam itu seluruh anggota Keluarga Armadjati telah ditunggu untuk makan bersama. Menu telah disiapkan oleh chef langganan keluarga.Dina memperhatikan sekeliling dan mendapati tangan Mbok Surti yang gemetaran sewaktu memindahkan sup tom yam ke mangkok kecil. Dia langsung mengambil alih sendok dari tangan pembantu senior itu dan melanjutkan tugas tersebut. Ada lima mangkok untuk lima penghuni yang dia letakkan di samping set piring masing-masing.Pada meja buffet, Mbok Surti menyiapkan minuman kesukaan masing-masing penghuni. Dina menuangkan serbuk obat tidur ke dalamnya; jus apel favorit Pak Hidayat dan kopi hitam tanpa gula milik Ibu Yasmine.Tiba-tiba, tangan Dina dihentikan sewaktu hendak menambahkan obat yang telah dia siapkan ke dalam jus kiwi-nya Wendy. “Yang ini jangan, Nduk!”“Tapi –“Non Wendy tidak aka
Leonardo memasuki sebuah kantor dengan tulisan Pitidoku tertera pada dinding. Tidak ada resepsionis yang menyambut. Luas ruangan itu juga biasa-biasa saja. Kalau dibandingkan dengan ruang kerja beberapa kantor lainnya dari bidang usaha Armadjati Group, Pitidoku tidak ada apa-apanya.Dia disambut oleh Danny dan beberapa karyawan lain yang bertepuk tangan. “Selamat, Mas. Pitidoku sudah terdaftar.”Leonardo berterima kasih. “Berkat kerja keras kalian semua.” Dia kemudian memberikan kartunya kepada Danny dan memberikan instruksi kepada asistennya itu untuk mentraktir makan karyawan Pitidoku.Tentu saja berita itu membuat semuanya bergembira dan serta-merta berlalu dan meninggalkan Leonardo sendirian. Laki-laki yang biasa dipanggil Leo itu memandang sekeliling. Kantor Pitidoku hanya memiliki satu ruangan berkonsep open space. Semua anggota tim akan menyalakan laptop masing-masing untuk bekerja di meja panjang. Untungnya, saat itu juml
Leonardo memasuki rumah besar yang disebut-sebut haknya oleh ayahnya sebagai anak pertama Keluarga Armadjati. Dia ingat kalau sempat menghabiskan masa kecilnya di sini. Namun, sampai sekarang dia tidak menganggap kediaman itu sebagai rumahnya. Tidak ada sisa-sisa kenangan bahagia yang menempel di benaknya saat menempati rumah tersebut. Momen suka cita yang terpatri dalam ingatannya justru berada di panti asuhan tempat dia dan Mama tinggal dahulu.Dia baru kembali ke rumah ini ketika Mama meninggal. Kedatangannya saat itu disambut oleh tiga orang asing yang tidak pernah dikenalnya; yaitu Tante Yasmine, Olivia, dan Bastian yang belum genap berusia tiga tahun. Tentu saja, dia yang baru lulus Sekolah Dasar tidak mengerti bagaimana bersikap dengan ketiganya. Entah karena Papa ingin mengakrabkan Leo dengan mereka atau bermaksud lain, tiba-tiba saja ayahnya itu menitahkan agar mereka makan malam bersama, setiap harinya. Padahal, ketika Mamanya masih ada sekalipun, laki-laki tua itu