Share

Under the Moon

“Siapa?”

Dina tidak mengenali suara itu. Tapi yang jelas, dia ketahuan. Dari balik selimut, matanya melirik ke kiri dan kanan. Dia memperkirakan apa yang terjadi jika dia bertindak nekat. Sedikit lagi. Hanya tinggal dua langkah dia sampai ke teras yang pintunya sudah terbuka. Dina mengambil ancang-ancang untuk berlari.

Sekonyong-konyong   teriakan, “Berhenti!” memenuhi udara dan selimut yang menutupi Dina terlepas. “Nyi Roro Kidul?” sambung pemilik suara misterius itu.

“Bukan,” bisik Dina ketakutan.

Tidak berapa lama kemudian, lampu menyala. Sekarang, Dina dapat mengetahui siapa yang menggagalkan rencananya. Leonardo.

“Ah, asisten yang….”

Gadis itu agak kesal. Mentang-mentang orang kaya, mereka tidak merasa perlu mengenal pekerja yang status sosialnya di bawah mereka. Sekalian saja perlakukan mereka seperti narapidana yang hanya dipanggil berupa angka saja.

Leonardo menghentikan kata-katanya. Laki-laki itu pelan-pelan mendekati Dina. “Saya Leo. Kamu?” sapa laki-laki itu sambil mengulurkan tangan. “Tadi pas dinner kita belum kenalan.”

Wajah Dina memerah. Dia malu karena sudah salah sangka. Leonardo benar. Sepanjang makan malam tadi, dia tidak pernah mengucapkan kalimat apapun. Akhirnya dia bisa mengenalkan diri, “Dina,” katanya.

“Nggak bisa tidur?” tanya laki-laki itu.

Dina menoleh ke arah teras dan Leo secara bergantian. Bahunya melorot dan kepalanya tertunduk. Bukan hanya usahanya kabur dari tempat ini gagal, melainkan dia pasti harus menghadapi hukuman karena itu. Seketika dia teringat ayahnya. Dina menggeleng-gelengkan kepala. Tidak, jangan sampai ayahnya harus dipukuli karena ini.

“Saya mengerti. Tidur pertama kali di tempat baru, pasti sulit.”

Itu bisa jadi alasan yang bagus, pikir Dina. “Iya, aku pikir cari angin dulu biar bisa tidur.”

“Kamu tahu apa yang lebih manjur? Susu panas.”

***

Tadi sore sewaktu dituntun berkeliling oleh Mbok Surti, Dina hanya melihat dapur dari pintu masuknya saja. Namun, begitu saat ini dia menjelajahi isinya, Dina terpukau dengan segala perabotan yang ada di sana. Kompor gas yang memiliki empat pemanas. Oven bertingkat tiga yang modern. Belum lagi sushi maker, mesin pembuat es krim, dan juga popcorn. Desainnya yang didominasi warna hitam semakin menambah kesan kekinian tapi elegan. Dina menelusuri countertop yang terbuat dari marble dengan ujung jari tangannya. Dia sudah membayangkan mengiris bumbu untuk memasak kari.

Tiba-tiba, perhatian Dina tertumbuk pada kemasan mi instan yang sudah terbuka bungkusnya.

“Saya masih lapar. Kurang berselera sama sup krim tadi.”

“Aku masakin,” kata Dina cepat. Dia tidak mau melewatkan kesempatan menggunakan dapur itu.

Tanpa menunggu persetujuan tuan rumah, dia membuka lemari es dan lagi-lagi tercengang. Untuk ukuran keluarga yang tidak pernah memasak, isi kulkas itu penuh dengan berbagai bahan makanan. Dina mengambil telur, sayur-mayur yang jenisnya beraneka ragam, dan jeruk. Langsung saja dia mencuci tangan dan meracik bahan-bahan yang dia kumpulkan itu.

Dina menyalakan dua kompor sekaligus dan meletakkan tiga panci di atasnya. Pada panci pertama dia menumis sayur-mayur sedangkan di sebelahnya dia menuang susu. Ketika sayuran yang dia masak layu, dia mendidihkan air.

Dia menunggui susu sampai berbuih kecil-kecil, lalu dia masukkan serbuk kayu manis dan sejumput garam. Dia aduk-aduk lalu mematikan kompor.

Tepat pada saat itu, panci yang satu lagi sedang berdesis. Dia memasukkan telur dan mengatur agar jangan sampai bentuk telurnya berantakan. Kemudian, dia memindahkan telur dimasak ala poach egg dengan memodifikasinya sedikit itu ke wadah, dan memasukkan mi instan serta paket bumbunya ke dalam panci yang masih mengepul. Tidak menunggu waktu lama, dia juga mematikan kompor dan membiarkan sisa uap panas membangkitkan aroma kelezatan mi.

“Wanginya enak banget.”

Dina memindahkan susu ke dalam dua mug besar dan menyorongkan salah satunya kepada Leo. “Silakan, Tuan.”

“Tuan, tuan. Tuan Crap?”

Ini seperti candaan Leo dengan Mbok Surti kemarin. Bedanya, alih-alih menyamakan dengan pemilik Krusty Krabs, sekarang lebih mirip dengan kata sampah dalam Bahasa Inggris. Dina menahan senyumnya. Sandingan kata Tuan dan Crap lebih cocok menggambarkan Bastian.

“Maaf Mas Leo,” katanya mengingat bagaimana Mbok Surti memanggil laki-laki itu.

“Mungkin Bastian menyuruhmu memanggilnya Tuan. Tapi, saya nggak setuju. Kita sudah bukan di zaman kolonial lagi.” Ada jeda sejenak sebelum laki-laki itu melanjutkan, “Maklumi saja, sampai dia lulus SMA, hidupnya dihabiskan di asrama di Inggris sana. Dia nggak bisa tenang sebelum orang-orang mengelu-elukannya.”

Dina manggut-manggut seraya mengatur mi instan agar lebih bagus penyajiannya. Dia menambahkan timun dan tomat sebagai penghias.

“Wah, ini sih jauh lebih menarik dari foto mi di bungkusnya.”

Dina tersenyum senang.

“Bawa ke sini, Din. Ikuti saya!” Leonardo mengangkat mug-nya dan beranjak dari dapur.

Dina buru-buru mencari nampan dan mengikuti langkah majikannya itu.

***

Dari dapur modern rumah itu, ada pintu dorong yang mengarah ke dapur kotor. Tipikal rumah orang-orang kaya di Indonesia. Dapur bersih adalah tempat untuk pencitraan dengan masakan-masakan yang bebas dari asap dan kuatnya wangi rempah. Akan tetapi, di dapur kotorlah proses mengkreasikan kelezatan makanan Indonesia terjadi. Tungku dengan kayu bakar atau arang untuk memasak rendang atau membuat bakso dengan meremas-remasnya dengan tangan. Justru di sinilah semua keajaiban itu tercipta.

“Hei, ke sini!”

Dina batal berlama-lama di dapur kotor karena Leonardo sedang menahan daun pintu untuknya. Dia mematuhi dan mengikuti pria itu. Lalu, Dina terkagum-kagum untuk ke sekian kalinya.

Pintu itu menghubungkannya dengan halaman belakang yang juga tersambung dengan bagian kolam renang. Dan di halaman itu, berbagai jenis tanaman bumbu dapur, dari cabai, jeruk nipis, daun bawang, tomat, dan pandan. Jika tidak dalam keadaan sebagai tawanan, Dina pasti akan senang luar biasa tinggal di rumah ini.

Dina menduga kalau pondok di sebelah kanan bangunan adalah tujuan mereka. Pasalnya, Leo sudah berjalan terlebih dahulu ke sana dan langsung meletakkan mug susunya di meja. Setelah itu, laki-laki itu mengambil nampan dari tangan Dina. Gadis itu tersenyum tipis dengan kepedulian sang pemilik rumah. Bahkan, ketika Dina kesulitan menaiki tangga dengan bawahan kainnya, Leo mengulurkan tangannya. Ditemani oleh sinar bulan yang temaram, entah kenapa sekelebat Dina terpikir kalau malam itu terasa romantis.

Dina menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak, tidak, dia tidak boleh terbuai dengan itu semua. Dia harus fokus pada tujuannya untuk lari dari tempat ini. Dia juga harus memastikan ayahnya baik-baik saja. Dia harus melunasi utang ayahnya. Oh, Tuhan. Lima ratus juta!

Mendadak, suara batuk-batuk tertangkap di telinganya. Dina menoleh ke arah sumber suara. Leonardo dengan muka serupa kepiting rebus memegangi lehernya sendiri. Dia tidak dapat menebak apa penyebabnya. Namun, semakin lama, batuk-batuk itu semakin mengecil dan Leo kesusahan bernapas. Dina harus melakukan sesuatu. Sekarang juga!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status