Share

Striking Leonardo

Sesuai yang diperintahkan oleh Mbok Surti, gadis itu berdiri tepat di samping meja yang penuh dengan hamparan makanan. Bukan, bukan dia yang menatanya. Memang benar informasi dari Mbok Surti. Ada chef khusus yang menyiapkan semuanya.

Mbok Surti memindahkan gelas dari meja makan utama dan mengembalikannya kepada Dina. “Nona Wendy nggak minum jus nanas, Nduk.”

Dina menggantinya dengan gelas yang berisi jus kiwi daripada apel dan jeruk. Mbok Surti menyetujui pilihan itu. Tepat pada saat asisten rumah tangga itu meletakkan jus di meja, ketukan langkah kaki terdengar memasuki ruang makan.

“Nona Wendy,” sapa Mbok Surti sambil menarik sebuah kursi. “Mau roti?”

“Papi kan belum datang.”

“Tapi Nona nggak boleh kelaparan.”

“Tenang, sebentar lagi dimulai, kan?” Wendy mengusap-usap perutnya.

Ucapan Wendy terbukti karena setelah itu terdengar langkah kaki baru. Cepat-cepat Mbok Surti mendekati partisi penghubung yang bergaya arch dan bersuara, “Tuan….”

Sapaan Mbok Surti terhenti. Dina menoleh ingin mengetahui penyebabnya. Di sana, berdiri seorang laki-laki yang lebih tinggi dari dirinya. Rambutnya yang hitam dipotong pendek crew cut. Bulu-bulu halus di atas bibir dan dagunya semakin menambah daya tariknya. Hidung laki-laki itu tinggi dan meruncing. Bibirnya tidak tebal namun juga tidak tipis dengan sudut yang menukik sehingga tampak selalu tersenyum.

“Mbok, ini aku. Mas Leo, bukan Tuan Krabs.”

“Spongebob kali,” sahut Mbok terkekeh-kekeh sambil memukul pelan bahu laki-laki yang dipanggil ‘Mas Leo’ itu. Oh, jadi ini anak pertama Pak Hidayat Armadjati, batin Dina. Dia menikmati interaksi antara Leo dan Mbok Surti yang penuh canda.

Mendadak, terdengar dehaman yang bikin Mbok Surti menghentikan candaannya. Asalnya dari Wendy pertanda gadis itu butuh perhatian. Oleh karenanya Mbok Surti bertanya, “Mbok siapin sup, mau Non?”

Wendy menggeleng. “Tunggu Papi sama Mami aja.”

“Kalau gitu, Mbok panggil, deh.”

Dina membuka mulut untuk mencegah Mbok Surti pergi. Bukan apa-apa, dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya? Kabur? Dia masih belum tahu jalan keluar dari rumah ini dan sudah terlambat untuk menyusul Mbok Surti. Tidak ada jalan lain selain mematung.

“Selamat, Wen.”

“Mas Leo nggak datang.”

Leo mengedikkan bahu. “Yang penting kan hadiahnya sampai.”

“Nggak.”

“Hadiahnya nggak sampai?” tanya Leo sambil duduk di kursi di hadapan Wendy. Malang bagi Dina karena itu berarti laki-laki itu bebas menelitinya dengan jangkauan penglihatan 180 derajat.

“Bukan itu.”

“Terus apa?”

“Iiih, pura-pura nggak tahu.”

Tunggu, seperti ada yang aneh dari pembicaraan itu. Ini terlalu kasual kalau tidak bisa dibilang mesra, pikir Dina.

Leo menatapnya. Dina dapat merasakan bola mata laki-laki itu memeriksa rambutnya. Dina berharap rambut cepolnya tidak terlihat berantakan. Sewaktu tatapan Leo merunduk, Dina ikut menunduk demi menyembunyikan bekas lukanya.

Laki-laki itu memiringkan kepala namun perhatiannya tetap terpusat kepadanya. Dina berdiri dengan gelisah. Kali ini sambil menarik turun rok seragam pelayannya kependekan.

“Siapa kamu?” tanya Leo.

Dina menggaruk-garuk lehernya. Tatapan tajam laki-laki itu kepadanya tidak juga melunak. Dia sudah siap menjelaskan identitasnya sewaktu satu pasangan berusia paruh baya memasuki ruang makan yang diikuti oleh Mbok Surti.

Wendy sigap berdiri dan menghampiri mereka lalu memeluk keduanya.

How’s your honeymoon, Wen?”

Pertanyaan itu datang dari wanita yang kelihatan bukan berdarah Indonesia; kulitnya sangat pucat dan rambutnya sepirang serabut jagung. Pasti ini yang namanya Ibu Yasmine.

Great, Mi. Thanks buat hadiahnya.”

“Bastian mana?” tanya Ibu Yasmine seraya mengambil tempat duduk.

“Ya, di mana dia? Party ke mana lagi?”

“Dia lagi kerja,” bela Wendy yang sudah kembali ke kursinya. “Lagian, mana ada party sore-sore begini?” Memang untuk ukuran penghuni klab malam, hari masih terlalu dini untuk bersenang-senang.

Tepat pada saat itu, Bastian memasuki ruangan, “Well well well, miss me?” dengan tangan terbuka. Pria itu melirik Dina yang membuat gadis itu bergidik.

“Mbok, makanan,” perintah Ibu Yasmine.

Dengan sigap, Dina memindahkan enam mangkok sup dan dua keranjang roti ke atas kereta makanan sehingga Mbok Surti tinggal lanjut menyajikannya.

“Mbok, aku lihat ada… pengganti Rosidah?” tanya Leo sewaktu Mbok Surti menyajikan sup untuk laki-laki itu.

“Bukan!” jawab Bastian cepat. “Seperti yang kita tahu, Wendy bakal perlu bantuan setahun ke depan. Jadi dia yang akan bantu-bantu.”

Good thinking, Bas,” kata Ibu Yasmine.

“Sambal kesukaanku nggak ada, Mbok?” tanya Leo mencari-cari di meja makan.

Dina mengecek meja dan menemukan satu-satunya sambal di sana. Dia membawa sambal itu langsung ke pemintanya.

“Siapa yang campur sambal di sup krimnya?” ejek Bastian. “Dan biarkan Mbok Surti yang mengambilnya,” begitu Bastian bertitah sambil memandang tajam Dina.

Dina terkesiap. Dia lupa kalau tugasnya hanya dalam radius meja bundar penyangga makanan. Cepat-cepat dia kembali ke posisinya.

“Tenang, sudah bagus ada yang bersedia bekerja di rumah ini. Yang lain menghilang sejak….”

Bastian memotong kalimat Leo, “Bukannya laki-laki dewasa harusnya keluar dari rumah when they graduated from high school?”

“Stop!”

Hardikan dari Pak Hidayat itu ampuh membuat orang menghentikan kegiatannya masing-masing.

“Baru appetizer tapi kalian sudah bikin selera makan Papi hilang.”

“Mungkin itu pertanda kalau sudah saatnya kita dinner sendiri-sendiri,” saran Leo. “Bastian sudah berkeluarga dan sepantasnya buat tinggal di rumah sendiri. Aku juga mending tinggal di dekat kantor biar bisa….”

Nonsense. Kita ini satu keluarga. Jadi bersikaplah seperti keluarga. Sekarang, makan sup kalian!”

Menakjubkan, baik Bastian dan Leonardo menghentikan kalimat-kalimat sindiran mereka dan semuanya menikmati makan malam selayaknya keluarga bahagia.

***

Malam itu, Dina berbaring di salah satu ranjang di kamar pembantu sedangkan Mbok Surti menempati tempat tidur sebelahnya. Matanya nyalang memandang langit-langit. Jemari kanannya mengetuk-ngetuk pergelangan tangan kiri. Pikirannya berkelana memikirkan segala kemungkinan.

Terdengar suara dengkuran dengan ritme yang teratur dari tempat Mbok Surti. Dina mengembuskan napas. Dia menjejakkan kaki ke lantai. Dengan berjingkat-jingkat dia mengenakan kebaya dan kainnya kembali, menarik selimut putih, lalu ke luar kamar.

Meskipun penerangan rumah itu temaram, Dina sudah menghapal langkah-langkah yang harus dijalaninya menuju ruang makan yang memiliki teras. Mendekati tujuan, Dina mendengar bunyi-bunyian. Dia tidak yakin namun kedengarannya seolah-seolah seperti nyanyian. Napasnya menderu-deru. Dia bersembunyi di salah satu pilar besar. Begitu suara itu tidak lagi terdengar, dia melanjutkan perjalanan kabur yang sudah dia rencanakan.

Jantungnya semakin berdegup kencang karena dia akan membuka pintu teras yang menjadi jalan keluarnya dari rumah itu. Tiba-tiba, suara asing itu terdengar kembali dengan volume semakin kencang dan nadanya seperti mantra dari makhluk gaib. Bulu kuduknya merinding.

Dina ketakutan tapi dia tidak mau menyerah. Sambil menahan gemetar, dia mendekati teras dan bersiap-siap mengikat selimut sebagai jalur turunnya nanti.

Mendadak, nyanyian itu berhenti dan diganti geraman bercampur dengan teriakan tertahan, “Aaaaaah!”

Dina menutup kepalanya dengan selimut putih yang berbuah teriakan kembali.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status