Share

Unnecessary Mistakes

Dengan segera, Dina menumbuk punggung Leonardo berharap apapun yang menghalangi jalan napas laki-laki itu segera dimuntahkan. Tidak ada hasil yang signifikan. Dina semakin khawatir. Sekilas keragu-raguan merongrong hatinya. Jika dia salah langkah, dia akan menjadi penyebab laki-laki itu menderita. Tapi, bayangan betapa bahaya kondisi Leonardo saat itu membuatnya mengambil sikap.

Dina memeluk laki-laki itu dari belakang. Lengannya kemudian menjerat badan Leonardo dengan erat. Sesak napas pria itu semakin menggema. Dina mencoba sekali lagi dengan mengerahkan tenaganya lebih kuat lagi. Sebongkah timun pun mencelat dari mulut Leonardo. Pria itu terbatuk sekali dan setelahnya dapat bernapas dengan normal. Untunglah, syukur itu hanya dapat diucapkan Dina dalam hati.

“Terima kasih.”

Ucapan penghargaan dari Leonardo itu itu tidak pantas dia terima. Dina seharusnya merasa bersalah karena dialah penyebab laki-laki itu tersedak. Dan hampir mati, Dina tersentak dengan hal yang bisa saja menjadi kenyataan pada malam itu.

“Mukamu pucat. Kamu nggak apa-apa?”

Kepedulian itu tiba-tiba itu terasa asing baginya. Dina tersentuh dengan ketulusan yang menyertai pertanyaan itu. Sepanjang yang dia ingat, sudah lama sekali gadis itu tidak mendengar seseorang memastikan keadaannya seperti itu. Dia menghela napas.

“Saya nggak apa-apa. Jadi, saya harap kamu nggak khawatir,” sambung Leonardo. Dugaan Dina, laki-laki itu ingin memastikan kalau dia dapat membuang kecemasannya.

Dina agak rikuh mendengarnya. Jadi dia mengatakan, “Aku… akan ambilkan air putih buat Mas Leo.”

“Nggak perlu. Ini masih ada,” katanya menunjuk mug. “Dan punyamu juga belum diminum.” Leonardo menepuk-nepuk kursi di sebelahnya.

Mau tidak mau, Dina menuruti laki-laki itu dan dia merasa beruntung karena itu. Setelah seharian direndahkan seperti binatang, kali ini dia diperlakukan selayaknya manusia. Dina menyenderkan punggung dan memandangi bulan yang memancarkan setengah cahayanya.

“Dari tadi saya menahan ini. Tapi boleh nanya?”

Dina menggigit lidahnya. Apa dia salah menduga kalau perhatian yang diberikan Leonardo itu tulus kepadanya? Pertanyaan apa yang kira-kira akan dilontarkan oleh laki-laki itu? Bagaimana jika pertanyaan itu justru membahayakan keselamatannya? Gadis itu memandang sekeliling dan mencari-cari benda apa yang dapat dia gunakan sebagai pertahanan diri.

“Ada apa dengan kebaya?”

“Hah?”

“Bukannya saya nggak suka, ya. Kamu cocok pakai itu. Tapi saya pikir kebaya bukan baju yang dipakai di rumah. Tapi bisa jadi saya salah.”

Dina menatap laki-laki itu setengah tidak percaya. Bukan hanya karena kepiawaiannya berbincang-bincang yang melebihi tante-tante cerewet, tapi juga kenaifan Leonardo yang tidak mencurigai apa-apa dengan penampakan Dina.

Dina batuk kecil seolah-olah membersihkan tenggorokannya dan menjelaskan, “Bagasiku hilang pas di bandara.” Semoga kebohongannya itu memuaskan Leonardo.

“Oh. Asalmu dari mana? Palembang seperti Rosidah?”

Benar kalau ada yang mengatakan sekali berbohong hanya melahirkan kebohongan baru. Dia hanya menganggukkan kepala. Semoga Leonardo tidak menanyakan apapun perihal kota yang dia akui sebagai asalnya tersebut.

“Agensimu nggak meminjamkan baju?”

“Hah?” Dina bukannya tidak mengerti pertanyaan itu. Dia hanya berusaha mengulur waktu demi mencari jawaban yang tepat.

“Ya, selama bagasimu belum ditemukan.”

Dina mengambil mug dan menandaskan minumannya. “Aku… harus kembali.” Tanpa mendengarkan balasan dari Leonardo, dia beranjak pergi.

“Dina….”

Gadis itu tidak memedulikannya, meskipun dia teringat kewajibannya membawa mug dan mangkuk kotor kembali ke dapur. Ah, Dina mengabaikannya. Orang kaya pasti bisa-bisa saja kalau harus mencuci piring. Tidak akan membuat mereka tersiksa, begitu Dina beralasan dalam hatinya. Dia pun mempercepat langkah agar terbebas dari pertanyaan-pertanyaan Leonardo.

***

Oleh karena tidur lewat tengah malam, Dina baru membuka mata sewaktu matahari sudah tidak malu-malu lagi memancarkan sinar. Ranjang yang ditempati Mbok Surti sudah rapi dengan seprai yang terpasang kaku.

Dina duduk di pinggir ranjang. Tidurnya tidak nyenyak. Penyebabnya karena dia masih mengenakan kebaya dan kain batik. Baju satu-satunya. Bagaimana lagi? Dina enggan mengambil selimut yang dibawanya ke teras ruang makan, sedangkan kasur lain di kamar itu sama sekali tidak memiliki penutup apapun.

Dia membongkar lemari satu-satunya di ruangan itu dan berharap dapat menemukan baju apapun yang bisa dia pakai. Dina menarik satu dan membentangkannya. Gadis itu menduga baju tersebut adalah milik Mbok Surti. Dia mencoba. Tidak muat. Bukan berarti dia gendut atau apa. Hanya saja, tubuhnya yang tinggi memiliki perawakan yang lebih berlekuk ketimbang rata-rata wanita Indonesia. Konon pula harus disamakan dengan Mbok Surti yang kecil dan kurus. Tentu saja tidak akan bisa.

Dalam kebingungannya, sekonyong-konyong Mbok Surti masuk ke kamar. Pembantu senior itu menatapnya yang membuat Dina tidak berani membalas tatapan itu.

Mbok Surti menuju meja yang terletak di sudut dan mengangkat tumpukan baju. “Dari Mas Leo,” katanya.

Dina melihat selimut putih berada paling bawah. Seketika ingatannya kembali pada kejadian tadi malam. Dia menggigiti bibirnya penasaran apakah Leo menceritakan semuanya? Seraya menerima baju-baju tersebut, dia meneliti air muka Mbok Surti.

“Ingat, Nduk. Itu baju pinjaman punya Mbak Olivia, ya.”

Apapun, yang penting dia bisa menyelamatkan tubuhnya dari bau apek dari mengenakan pakaian yang sama berhari-hari. Dia meneliti baju pada tumpukan teratas dan mengepasnya. Sekilas tampak muat di tubuhnya.

“Setengah jam lagi, kamu harus lapor Nona Wendy ya, Nduk.”

Cepat-cepat, Dina ke kamar mandi.

***

Sesuai pesan Mbok Surti tadi, dia sudah berada di sayap kiri bangunan, tepatnya di Ruang Santai untuk melapor keberadaannya kepada Wendy. Dia melirik istri Bastian tersebut yang sedang duduk di meja kerja.

Dina mendeham. “Saya….”

Belum lagi kalimat Dina selesai, Wendy sudah memotong, “Serius kamu? Nggak sopan.”

Ucapan Wendy itu disampaikan dengan nyinyir dan merendahkan dirinya. Dina tidak berani menjawab. Dia berkutat memikirkan apa yang salah dengan dirinya.

Meskipun tidak menemukan apa kesalahan yang membuat majikannya itu berteriak, Dina berujar, “Maaf….”

Menantu Keluarga Armadjati berdiri dan mendekati Dina. Wendy juga memelototinya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tapi, alih-alih mengatakan langsung apa yang mengganggu, Wendy malah berteriak, “Mboook!”

Tidak menunggu waktu lama, pembantu senior itu muncul di hadapan mereka. Tampaknya lengkingan Wendy dapat terdengar seantero rumah. Itu atau Mbok Surti yang memiliki pendengaran super.

“Iya, Non.”

“Memangnya Mbok nggak kasih tahu dia peraturan di rumah ini?”

Dina menahan rasa kesalnya dalam hati. Menjadi pesuruh rumah tangga adalah satu hal. Dia tidak berkeberatan menjalani tugas itu. Tapi diomeli tanpa dia tahu apa kesalahannya adalah sesuatu yang kelewatan batas.

“Nduk, bajunya?”

Dina menengok baju yang dia kenakan. Atasan berleher sabrina dan celana bermodel skinny jeans yang diberikan oleh Mbok Surti tadi pagi. Dina sangat beruntung karena ukurannya pas dengan bentuk tubuhnya. Penampilannya sangat sopan sehingga menurutnya tidak ada yang salah dengan baju itu.

“Aaah udahlah. Lapor ke Bastian aja!” ancam Wendy.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status