"Ayo, katakan padaku, siapa yang menghamilimu? Aku akan menyeretnya untuk menikahimu!" Teriakan ibunya sampai pada telinga seorang laki-laki yang sedang berbaring di tempat tidurnya.
Tristan termangu sambil meletakkan lengannya di atas kepalanya, suara tamparan di wajah Laura membuatnya bergidik.
"Aku...aku tidak mengenalnya." Laura tersedu sambil menurunkan tubuhnya, menggelosor ke bawah dan meringkuk melindungi wajahnya ketika dia melihat tangan ibunya terangkat untuk kesekian kalinya.
"Oh, astaga anak ini memang luar biasa. Berapa manusia yang telah menggilirmu hingga kamu tak mengenal orang yang menghamilimu?!" Ibu Laura menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan jijik pada anak kandungnya itu.
Laura hanya meringkuk tanpa menjawab apapun, wajah Bian lewat di depan matanya tetapi dia berusaha mengusirnya. Dia hanya bungkam seribu bahasa.
"Baiklah Laura jika kamu tak ingin mengatakan siapa bangsa@t yang telah menodaimu, aku tidak akan perduli lagi padamu! Kamu buang anak haram itu atau..." Ibu Laura yang kerempeng dan berbau alkohol itu, menyundutkan ujung rokoknya yang masih menyala itu ke lengan Laura yang berusaha melindungi wajahnya dari tamparan ibunya.
"Atau pergi dari rumah ini selamanya!"
Kepala Laura di dorong ibunya dengan gemas ke arah dinding, bunyinya bahkan sampai di kamar sebelah. Tristan memejam matanya kuat-kuat. Dia sudah biasa mendengar tentang keributan dari kamar sebelah itu, ibu Laura sudah biasa mengamuk tak jelas kepada anak-anaknya. Tetapi kali ini, kekacauan itu terdengar begitu luar biasa, Tristan tahu benar penyebabnya, pastilah kehamilan Laura.
Beberapa saat kemudian, bunyi pintu terdengar berdentam disertai sumpah serapah ibu Laura.
Sesaat suasana menjadi sepi.
Perlahan Tristan mendengar suara isak Laura lamat-lamat dibawa angin menembus dinding tembok yang tak seberapa tebalnya itu.
Tristan menutup telinganya dengan bantal, hatinya entah kenapa merasa sedih dengan apa yang di alami Laura. Gadis itu benar-benar keras kepala!
***
Laura baru saja pulang dari menjemput adiknya, Liam. Hari ini dia sangat sibuk, bahkan hampir malam baru selesai dengan tumpukan pakaian.
Ibunya sudah tak ada di rumah, seperti biasa, mungkin dia berada di bar tempatnya bekerja.
Laura tak ambil pusing, dia lebih senang jika ibunya tak di rumah, lebih tenang. Ibunya memang suka marah dan berteriak-teriak tak jelas, apa saja bisa membangkitkan emosinya, karena itu dia lebih lega mendapati ibunya tak di sana.
Setelah pertengkarannya dengan sang ibu beberapa hari yang lalu usai dia tahu Laura hamil, Laura berusaha menghindari pertemuannya dengan ibunya itu.
Hari menjadi gelap, ketika dia masuk ke dalam rumah, lampu ruang tamu itu temaram dan ibunya duduk di sana dengan kaki bersilang di atas kursi sofa yang sudah usang itu.
"Akhirnya kamu pulang." suara ibunya terdengar berat, asap rokok seperti kepulan kereta dari mulutnya.
Liam segera menghambur masuk menuju kamar, anak yang mengalami gangguan sulit berbicara ini, semenjak ayahnya meninggal menjadi sangat takut dengan ibunya itu.
Perubahan sikap ibunya yang aneh dan semakin kasar dari hari ke hari membuat anak itu hanya berani di dekat Laura, kakaknya.
"Ibu..." Laura menghentikan langkahnya, berdiri menatap wajah ibunya dengan tegang.
"Apakah kamu punya uang?" Tanyanya dengan sinis.
"Laura...Laura belum gajihan." Jawab Laura dengan terbata-bata.
"Ibu perlu uang." Ucap ibunya dengan suara tajam, tak perduli alasan Laura.
"Tapi, Laura belum punya uang."
"Minggu-minggu kemarin, kamu sering membawa banyak makanan ke rumah. Bahkan aku melihat kamu membeli baju baru untuk Liam. Tidak mungkin kamu tidak punya uang." Sergah ibunya.
Laura menghela nafas, minggu-minggu kemarin dia masih berhubungan dengan om Bian, laki-laki itu sering memaksanya mengambil sejumlah uang untuknya berbelanja. Katanya untuk Laura membeli baju baru dan semua keperluan Laura bahkan om Bian membelikannya handphone baru.
Laura tidak meminta atau mengambilnya secara sukarela, Om Bian memaksanya untuk mengambil apapun yang di berikannya.
"Om memberikanmu ini karena Om Bian sayang padamu. Om Bian ingin melihatmu terlihat cantik."
"Apakah Laura terlihat tidak cantik?"
"Bukan begitu maksudku, kamu selalu cantik. Hanya saja om ingin kamu mengambilnya. Siapa tahu kamu memerlukannya."
Dan itulah alasan Laura kadang mengambil sebagian dari uang yang di berikan Om Bian, yang menurut omBian untuk jajannya saja.
Tapi itu sebelum dia memberitakan kehamilannya kepada Bian dan setelahnya hatinya hancur karena Bian ternyata telah mempunyai istri dan anak.
Dulu, saat Bian belum memperkenalkan kehangatan ranjang bercinta padanya, pernah dia bertanya, apakah Bian punya pacar tapi Bian menjawabnya tak punya.
Bian mungkin tak bohong dengan keterangannya tak punya pacar itu tetapi dia juga tak jujur pada Laura jika dia telah memiliki istri!
"Hey!" Sebuah jentikan jemari di depan matanya, menyadarkan Laura dari lamunan sesaatnya.
"Kamu sedang apa? Kesambit?" Wajah ibu laura hanya sejengkal dari wajahmya.
"I...ibu..."Laura tergagap, menatap wajah ibunya dengan takut-takut.
"Cepatlah mandi, setelah itu temui ibu di kamar ibu." Suara ibunya terdengar tajam, bau alkohol dari mulutnya membuat Laura tak tahan untuk tidak menutup hidungnya.
"Ada apa, bu? Aku akan mandi nanti setelah aku memasak sebentar untuk ibu dan Liam."
"Tidak perlu! ibu bisa membeli makanan dari warung depan untuk makan malam." Senyum ibu terkembang aneh.
"Mandilah cepat, pakai baju yang bagus."
"Kita mau kemana, bu?"
"Jangan banyak bertanya! Turuti saja perintah ibu, tidak perlu membuat ibu marah!"
Kalimat itu serupa bentakan dan Laura tahu mata ibunya telah menunjukkan dengan jelas bahwa dia tak mau di bantah. Tak ada pilihan, selain menuruti perintah ibunya, meski dia penasaran ibunya mau membawanya kemana, menjelang malam begini.
Laura mengenakan pakaian yang dibelikan oleh Bian terakhir kali, dia mematutnya sebentar di cermin lemarinya yang terpecah dua itu. cermin lemari usang yang telah menemaninya sekian lama. Rasa sakit mengiris hatinya, di elusnya perutnya yang mulai sedikit membuncit itu. Belum kentara memang tetapi laura tahu ada bayi di dalamnya, bayi hasil hubungan terlarangnya dengan Bian, suami seseorang yang tak dia tahu bagaimana wajah istrinya itu. Setetes bulir bening jatuh untuk kesekian kalinya, selalu saja jika dia mengingat om Bian kesedihannya tak terbendung. Laura sangat menyukai Bian. Sangat menyukainya, karena itulah dia percaya sepenuhnya dengan apapun yang di ucapkan oleh Bian padanya. Sosok laki-laki dewasa yang begitu lembut dan perhatian ditemukannya pada laki-laki ini, dia bahkan berharap wajah ayah kandungnya setampan om Bian. Laki-laki ini begitu sabar mendengar keluh kesahnya, memperhatikannya layaknya seorang ayah tetapi dia punya tatapan penuh cinta yang selalu membuat
"Kenakan cepat! Ibu akan menunggumu di kamar ibu. Secepatnya!" Ibu Laura tersenyum misterius, dia terlihat puas dengan apa yang di lakukannya. Laura masih berdiri, terpana sambil memegang dress yang ada di tangannya itu. "Kamu yang memakaikan sendiri? atau ibu yang akan memaksamu memakainya?" Mata ibunya terlihat nyalang, dia terlihat sangat tidak sabar sekarang. "A..aku..aku akan memakainya sendiri." Sahut Laura dengan takut-takut. Ibunya mengangguk puas mendengarnya. "Lakukan cepat! dan langsung temui ibu di kamar ibu!" "BRAK!" Pintu itu ditutup dengan kasar, teriakannya menggema, selanjutnya hanya terdengar langkah kaki yang diseret-seret dari balik pintu, langkah kaki itu menjauh. Laura mengalihkan perhatiannya kembali pada dress di tangannya itu, entah kapan ibunya membelinya. Dia tak pernah mengenakan pakaian se seksi ini tetapi dia tahu dari kemarahan ibunya itu, tak ada alasan untuknya tidak memakainya. Dengan gemetar dia melepas kancing kemeja yang di pakainya dan be
Laura yang badannya lebih kecil dari sang ibu tak bisa melawan saat dia di seret dengan paksa ke dalam kamar ibunya. Dan dengan kasar ibunya mendorongnya ke atas tempat tidur. Tubuh Laura terhempas di atas tilam tipis sang ibu. "Aww..." laura Terpekik dan ketika dia menoleh ke sebuah arah, dia baru menyadari ada sesosok tubuh yang duduk di sebuah kursi sudut kamarnya. Tubuh tambun dengan rambut ikal dan kumis jarang-jarang yang membuat laura terkejut bukan alang kepalang. "Hai, Lina...jangan terlalu kasar padanya. Dia kan anakmu?" Tegur laki-laki itu sambil menyeringai pada laura, sama sekali sebenarnya tak menampakkan simpatik dengan apa yang telah terjadi pada Laura. Dia hanya berpura-pura perduli saja. "Tidak perlu banyak bicara, aku tidak perlu banyak bacotmu." Ibu Laura mendelik sambil berkacak pinggang lalu mengeluarkan sebuah kertas yang dilipat begitu ryupa dari dalam saku bajunya. "Harman, kamu boleh melakukan apapun padanya dalam waktu satu jam. Tapi jangan sampa
"Toloooong, lepaskan aku Om..." Laura berontak dari cengkeraman Harman, dia merasa jijik dengan dengus nafas laki-laki itu yang menyentuh kulit lehernya. Tapi, Harman tak perduli dia terus saja memeluk laura dengan tak sabar, dia mendengus-dengus tak jelas dan mendaratkan ciumannya dengan mulutnya yang basah itu. "Jangan...kumohon jangan!" Laura mendorong tubuh Harman membuat laki-laki itu hampir terjatuh ke lantai. Harman terkejut bukan kepalang dengan perlawanan Laura, matanya mendelik dengan amarah yang tak bisa di bendungnya. "PLAK!!!" Sebuah tamparan mengenai wajah Laura, membuat gadis muda itu terjengkang sampai ke atas tempat tidur. Laura terpekik kecil sambil memegang pipinya, dia tergeletak setengah terbaring sehingga paha mulusnya nampak hampir sampai pangkal pahanya, dress marun yang di gunakannya itu sangat pendek memang. Harman menatap nyalang pemandangan itu, jakunnya turun naik di balik lemak yang ada di lehernya yang pendek itu. Tak ada lagi aura manusia dar
Harman terkejut hampir telonjak dari tempat tidur itu, sementara Laura membuka lebar matanya. Kedua orang itu sama memandang ke arah pintu. Di sana berdiri seorang laki-laki dengan masih menggunakan baju jaket ojek online, wajahnya merah padam dengan kacamata yang melekat di matanya. "Hentikan semua ini!" Teriakan itu terdengar kerasdan penuh dengan amarah. Laura segera meloncat dari atas tempat tidur dengan raut ketakutannya, saat sadar yang datang itu adalah orang yang sangan dikenalnya. "Kak Tris..." Dia menarik dengan sembarangan sebuah taplak meja yang ada di samping tempat tidur itu dan menutup bagian dadanya dengan gemetar. "Anak kurang ajar!!!" Ibu laura berteriak di belakang punggung Tristan. Menarik lengan Tristan dengan kasar sementara yang di tarik sama sekali tak bergeming. Dia berdiri di tengah pintu yang jebol itu, kedua tangannya mengepal keras. "Siapa setan kecil yang mengangguku ini, Lina? Kenapa dia ada disini?" Harman beringsut turun dari atas tempat ti
"Kenapa kak Tris melakukan ini padaku?" Tanya Laura saat dia sudah berada di dalam rumah Tristan, yang tepat berada di sebelah rumahnya. Kediaman mereka hanya terpisah dinding tembok saja. Rumah itu adalah rumah petak 4 pintu yang di kontrakkan. Tristan tinggal di kamar paling pinggir bersebelahan dengan kamar Laura, dulu Tristan tinggal bersama adiknya. Tetapi setelah Tika, adiknya lulus kuliah, adiknyaitu bekerja di kota sebelah sebuah Bank Swasta, hanya kadang-kadang jika saat libur akan mengunjungi Tristan. Tristan dan adiknya Tika, dua bersaudara yatim piatu. Tristanlah yang menyekolahkan adiknya itu dengan menjadi ojek online. Dia sudah tinggal di rumah petak ini kurang lebih lima tahun dan tak pernah pindah. Bahkan saat Tika mengajaknya ikut ke kota sebelah, Tristan menolaknya. Dia sudah betah tinggal di situ. "Aku melakukannya karena ayahmu." jawab Tristan sambil memberikan sebuah handuk dan baju daster. Itu adalah baju adiknya. "Ayah?" "Ya, ayahmu."Jawab Tristan pend
"Aku mungkin kurang ajar tetapi aku rasa kita sama saja urusan akhlak, tidak perlu berhitung tinggi dan rendah. Aku akan bersikap sopan jika ibu juga bisa bersikap hal yang sama. Aku tak bisa memaksa diriku menghormati ibu jika ibu sendiri tak pantas mendapat rasa hormatku." Tristan mundur dua langkah, tangannya bersidekap dengan santai di depan dadanya. "Bagaimana kalau kita bernegosiasi saja?" Pertanyaan itu meluncur dari mulut Tristan tepat saat ibu Laura mengepalkan tangannya, berusha memukul ke arah Tristan. "Negosiasi? Negosiasi apa?" Ibu Laura membeliak, tangannya mengepal di udara. "Aku akan menikahi Laura dan mempertanggungjawabkan semua yang kulakukan padanya tetapi ibu harus melepaskannya.""Kamu kira aku akan dengan mudah menyetujuinya? Kamu telah membuatku malu di depan Harman. Jangan kira akau kan memaafkanmu dengan mudah. Lebih baik akau akan mebuat bayi di perut Laura itu mati dari pada harus bermenantukan anak kurang ajar sepertimu!" Dengus ibu Laura dengan tatapa
Laura duduk di pinggir tempat tidur sambil memuntir ujung dasternya, dia menunduk dalam-dalam sambil mengusap air matanya ketika Tristan masuk ke dalam kamar. "Kenapa kak Tris melakukannya?" Tanya Laura lamat-lamat dengan suara serak. "Ya...? Maksudmu apa?" Tristan mengerutkan keningnya sambil merapikan letak kacamatanya, senyumnya sedikit terkembang melihat Laura sudah menggunakan baju dasteradiknya, setidaknya baju itu jauh lebih sopan dari baju yang tadi dikenakan oleh Laura. "Kenapa kak Tris mau...mau menikahiku?" "Oh." satu kata pendek di ucapkan Tristan lalu perlahan laki-laki itu duduk di sebuah kursi kayu yang berada di depan meja kecilnya dimana ada sebuah laptop kecil dan printer miliknya, tempat biasanya dia menerima orderan pembuatan atau pengetikan naskah skripsi. Ya, meskipun Tristan tidak tamat kuliah karena orangtuanya keburu meninggal dalam sebuah kecelakaan tetapi dia pernah 5 semester mengecap bangku kuliah delapan tahunan yang lalu sebelum dia memutuskan b