Share

Bab 7. Bungkam

"Ayo, katakan padaku, siapa yang menghamilimu? Aku akan menyeretnya untuk menikahimu!" Teriakan ibunya sampai pada telinga seorang laki-laki yang sedang berbaring di tempat tidurnya.

Tristan termangu sambil meletakkan lengannya di atas kepalanya, suara tamparan di wajah Laura membuatnya bergidik. 

"Aku...aku tidak mengenalnya." Laura tersedu sambil menurunkan tubuhnya, menggelosor ke bawah dan meringkuk melindungi wajahnya ketika dia melihat tangan ibunya terangkat untuk kesekian kalinya. 

"Oh, astaga anak ini memang luar biasa. Berapa manusia yang telah menggilirmu hingga kamu tak mengenal orang yang menghamilimu?!" Ibu Laura menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan jijik pada anak kandungnya itu. 

Laura hanya meringkuk tanpa menjawab apapun, wajah Bian lewat di depan matanya tetapi dia berusaha mengusirnya. Dia hanya bungkam seribu bahasa. 

"Baiklah Laura jika kamu tak ingin mengatakan siapa bangsa@t yang telah menodaimu, aku tidak akan perduli lagi padamu! Kamu buang anak haram itu atau..." Ibu Laura yang kerempeng dan berbau alkohol itu, menyundutkan ujung rokoknya yang masih menyala itu ke lengan Laura yang berusaha melindungi wajahnya dari tamparan ibunya. 

"Atau pergi dari rumah ini selamanya!"

Kepala Laura di dorong ibunya dengan gemas ke arah dinding, bunyinya bahkan sampai di kamar sebelah. Tristan memejam matanya kuat-kuat. Dia sudah biasa mendengar tentang keributan dari kamar sebelah itu, ibu Laura sudah biasa mengamuk tak jelas kepada anak-anaknya. Tetapi kali ini, kekacauan itu terdengar begitu luar biasa, Tristan tahu benar penyebabnya, pastilah kehamilan Laura. 

Beberapa saat kemudian, bunyi pintu terdengar berdentam disertai sumpah serapah ibu Laura. 

Sesaat suasana menjadi sepi. 

Perlahan Tristan mendengar suara isak Laura lamat-lamat dibawa angin menembus dinding tembok yang tak seberapa tebalnya itu.

Tristan menutup telinganya dengan bantal, hatinya entah kenapa merasa sedih dengan apa yang di alami Laura. Gadis itu benar-benar keras kepala!

***

Laura baru saja pulang dari menjemput adiknya, Liam. Hari ini dia sangat sibuk, bahkan hampir malam baru selesai dengan tumpukan pakaian. 

Ibunya sudah tak ada di rumah, seperti biasa, mungkin dia berada di bar tempatnya bekerja. 

Laura tak ambil pusing, dia lebih senang jika ibunya tak di rumah, lebih tenang. Ibunya memang suka marah dan berteriak-teriak tak jelas, apa saja bisa membangkitkan emosinya, karena itu dia lebih lega mendapati ibunya tak di sana. 

Setelah pertengkarannya dengan sang ibu beberapa hari yang lalu usai dia tahu Laura hamil, Laura berusaha menghindari pertemuannya dengan ibunya itu. 

Hari menjadi gelap, ketika dia masuk ke dalam rumah, lampu ruang tamu itu temaram dan ibunya duduk di sana dengan kaki bersilang di atas kursi sofa yang sudah usang itu. 

"Akhirnya kamu pulang." suara ibunya terdengar berat, asap rokok seperti kepulan kereta dari mulutnya. 

Liam segera menghambur masuk menuju kamar, anak yang mengalami gangguan sulit berbicara ini, semenjak ayahnya meninggal menjadi sangat takut dengan ibunya itu. 

 Perubahan sikap ibunya yang aneh dan semakin kasar dari hari ke hari membuat anak itu hanya berani di dekat Laura, kakaknya. 

"Ibu..." Laura menghentikan langkahnya, berdiri menatap wajah ibunya dengan tegang. 

"Apakah kamu punya uang?" Tanyanya dengan sinis. 

"Laura...Laura belum gajihan." Jawab Laura dengan terbata-bata. 

"Ibu perlu uang." Ucap ibunya dengan suara tajam, tak perduli alasan Laura.

"Tapi, Laura belum punya uang." 

"Minggu-minggu kemarin, kamu sering membawa banyak makanan ke rumah. Bahkan aku melihat kamu membeli baju baru untuk Liam. Tidak mungkin kamu tidak punya uang." Sergah ibunya. 

Laura menghela nafas, minggu-minggu kemarin dia masih berhubungan dengan om Bian, laki-laki itu sering memaksanya mengambil sejumlah uang untuknya berbelanja. Katanya untuk Laura membeli baju baru dan semua keperluan Laura bahkan om Bian membelikannya handphone baru. 

Laura tidak meminta atau mengambilnya secara sukarela, Om Bian memaksanya untuk mengambil apapun yang di berikannya. 

"Om memberikanmu ini karena Om Bian sayang padamu. Om Bian ingin melihatmu terlihat cantik."

"Apakah Laura terlihat tidak cantik?" 

"Bukan begitu maksudku, kamu selalu cantik. Hanya saja om ingin kamu mengambilnya. Siapa tahu kamu memerlukannya." 

Dan itulah alasan Laura kadang mengambil sebagian dari uang yang di berikan Om Bian, yang menurut omBian untuk jajannya saja.

Tapi itu sebelum dia memberitakan kehamilannya kepada Bian dan setelahnya hatinya hancur karena Bian ternyata telah mempunyai istri dan anak. 

Dulu, saat Bian belum memperkenalkan kehangatan ranjang bercinta padanya, pernah dia bertanya, apakah Bian punya pacar tapi Bian menjawabnya tak punya. 

Bian mungkin tak bohong dengan keterangannya tak punya pacar itu tetapi dia juga tak jujur pada Laura jika dia telah memiliki istri!

"Hey!" Sebuah jentikan jemari di depan matanya, menyadarkan Laura dari lamunan sesaatnya. 

"Kamu sedang apa? Kesambit?" Wajah ibu laura hanya sejengkal dari wajahmya.

"I...ibu..."Laura tergagap, menatap wajah ibunya dengan takut-takut.

"Cepatlah mandi, setelah itu temui ibu di kamar ibu." Suara ibunya terdengar tajam, bau alkohol dari mulutnya membuat Laura tak tahan untuk tidak menutup hidungnya. 

"Ada apa, bu? Aku akan mandi nanti setelah aku memasak sebentar untuk ibu dan Liam." 

"Tidak perlu! ibu bisa membeli makanan dari warung depan untuk makan malam." Senyum ibu terkembang aneh. 

"Mandilah cepat, pakai baju yang bagus."

"Kita mau kemana, bu?" 

"Jangan banyak bertanya! Turuti saja perintah ibu, tidak perlu membuat ibu marah!"

Kalimat itu serupa bentakan dan Laura tahu mata ibunya telah menunjukkan dengan jelas bahwa dia tak mau di bantah. Tak ada pilihan, selain menuruti perintah ibunya, meski dia penasaran ibunya mau membawanya kemana, menjelang malam begini. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status