Share

RAHASIA YANG DISEMBUYIKAN

Sedangkan kondisi di rumah Amertha, Pelayan Sisca sudah mengurung majikannya di dalam kamar. Ah, bukan mengurung. Lebih tepatnya, malam ini sudah sangat larut dan sudah waktunya untuk Amertha istirahat. Pelayan Sisca juga mengunci kamar Nona muda-nya, mengantisipasi dengan kedatangan tiba-tiba sang Nona, di tengah pemberitaan televisi pada malam ini yang menjadi banyak tontonan para pelayan malam ini. Termasuk dengan Jevan.

Pria itu menjatuhkan rahangnya, saat identitas dari korban kecelakaan tersebut disebut dengan amat sangat jelas. Mereka adalah orang tua Amertha, Nona muda-nya. Menatap sang ibu dengan rasa cemas, Pelayan Sisca berdeham. Hatinya juga sedih, namun, dia tidak bisa menunjukkannya di depan sang anak.

"Ibu, bagaimana ini?" tanya Jevan. Para pelayan sudah banyak yang menangis dengan tersedu-sedu. Pelayan Sisca menatap anaknya dalam, kemudian menatap sekitar. Semua bersedih.

"Tolong, jangan ada yang menangis. Jangan membuat hal yang akan mengakibatkan Nona muda bangun dari tidurnya," pintah Pelayan Sisca, dia adalah Kepala Pelayan di rumah ini. Semua pelayan menuruti perintah Pelayan Sisca. Namun, masih dengan beberapa isak yang sulit dihentikan.

Malam ini hujan mengguyur kota tempat tinggal Amertha, gadis itu masih bergelung dengan selimut tebalnya. Tanpa tau, bahwa berita kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya telah menggemparkan satu benua.

***

Pagi menyapa, bekas hujan tadi malam masih mengikuti pagi ini. Aroma embun dan tanah basah saling bersahutan memenuhi rongga penciuman Amertha. Gadis itu menggeliat, menandakan bahwa dia akan segera bangun. Namun, urung. Karena masih terbawa oleh suasana pagi yang lebih mendukungnya untuk kembali meringkuk di dalam selimut.

"Ah, nanti pasti Pelayan Sisca akan membangunkan ku," pikirnya saat memutuskan untuk kembali tidur lagi. Yah, memang biasanya Pelayan Sisca lah, yang akan menjadi alarm hidup bagi Amertha di setiap pagi hari gadis itu.

Namun, siapa sangka bahwa hari ini Pelayan Sisca tidak berada di rumah. Dan mengakibatkan Amertha tertidur sampai tengah hari, matahari sudah meninggi.

Gadis itu terbangun, karena rasa lapar di dalam perutnya. Belum lagi, dengan indra penciumannya yang menangkap aroma sedap dari arah samping. Perlahan, kelopak matanya terbuka. Masih menyesuaikan dengan cahaya yang masuk secara berkala ke dalam retina matanya. Menelisik satu persatu benda yang ada di kamarnya, terakhir tatapannya jatuh pada sebuah jendela yang menunjukkan sinar mentari cerah yang sudah berada di tengah langit.

"Sudah siang?" Amertha memekik kaget dan segera bangun dari ranjangnya, menatap nyalang pada mentari yang tersenyum ke arahnya.

Amertha segera beralih menuju kamar mandi, membersihkan tubuhnya. Kemudian menyantap makanan yang tersaji di atas nakas kamarnya. Selesai, kini dia bersiap ingin keluar dari kamarnya. Sayangnya, senyum gadis itu sirna saat mengetahui pintu kamarnya dikunci dari luar.

"Pelayan Sisca, tolong!! Sepertinya pintu kamarku sedang rusak," teriak Amertha.

Tak ada jawaban, gadis itu beralih memanggil nama Jevan. Dan lagi, hasilnya sama, tidak ada jawaban. Bahkan rumah yang ia tempati seakan sepi tanpa penghuni. Tak mau bersusah payah dengan pintu yang terkunci, Amertha beralih menuju jendela kamarnya. Yang tepat sekali menghadap sebuah taman.

Niatnya ingin mencari bantuan pada tukang potong rumput, sayangnya mereka seolah menulikan pendengaran. Bahkan pelayan lainnya juga seperti itu. "Ada apa yah? Kok pintu kamarku dikunci, terus mereka seolah tidak mendengar teriakan ku?" Amertha masih bergelung dengan berbagai pemikirannya, sempat menebak bahwa para pelayan merencanakan kejutan untuknya, namun, saat gadis itu kembali berpikir. Otaknya merangsang rasa tidak enak.

"Tapi, hari ini kan bukan hari ulang tahun ku, lalu kejutan apa yang akan mereka berikan dengan cara ini?" Amertha mulai bertanya-tanya dalam diamnya.

***

"Anda akan datang ke rumah duka?" tanya seorang dengan kemeja hitamnya.

"Tentu, aku juga harus ikut bersedih atas meninggalnya kerabat jauh ku itu. Terlebih, aku yang akan menjadi pewaris dari semua perusahaannya. Aku akan mengambil banyak simpati dari para klien yang datang ke rumah duka." Pria di sampingnya hanya mengangguk paham.

"Ayo, kita harus cepat! Jangan sampai si Ramon tua itu lebih dulu mendapatkan apa yang tidak seharusnya didapatkan," ujar pria paruh bayah tersebut pada tangan kanannya. Mereka berdua bergegas menuju rumah duka, tempat pengantaran terakhir jenazah Ferdi dan Alea, sepasang suami istri keluarga konglomerat yang meninggal akibat kecelakaan.

Sedangkan di tempat lain. "Berikan imbalan yang sesuai untuk sopir itu," ucap pria bertubuh tegap yang kini duduk bersandar di kursi kebesarannya, dengan kaki yang berada di atas meja.

Lawan berbicaranya mengangguk paham, kemudian melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Bosnya. Pria itu masih menikmati kepulan asap, dan hisapan nikotin dari ceruk kesayangannya.

Matanya menelisik pada jam pasir yang berada di atas meja kerjanya, jam pasir itu sudah sepenuhnya turun. Dan kini tangan besar pria itu membolak-balik jam pasir kecil itu.

"Ternyata, semudah itu menghabisi dirimu Tuan Ferdi," ucapnya, dengan senyum sengit. Sorotan matanya seolah puas dengan apa yang ia dengar hari ini. Berita kecelakaan keluarga konglomerat yang menewaskan empat orang dalam sekaligus.

Di rumah Amertha, gadis itu baru saja keluar dari kamar yang terkunci saat petang tiba. Jevan yang membukakan pintu untuknya, tentu atas perintah dari sang ibu. Kini mereka tengah berada di ruang makan, Jevan menemani Amertha. Hal seperti ini sudah biasa, Amertha menganggap Jevan adalah saudaranya sendiri, karena dia adalah anak tunggal. Dan hanya Jevan yang mampu memberikan kasih sayang yang ia inginkan dari seorang saudara laki-laki yang selalu menemaninya di rumah ini sejak kecil.

Orang tua Amertha tentu sibuk dengan bisnisnya yang berada di Ibu kota, mereka hanya menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah tiga bulan sekali. Jelas hal itu membuat Amertha kesepian dan sering bertanya-tanya, sebenarnya apa pekerjaan orang tuanya itu.

Namun, Ferdi dan Alea selalu menjawab bahwa mereka adalah karyawan biasa di sebuah perusahaan, mereka menutupi kebenaran. Yah, karena mereka tahu, dunia bisnis tidak seindah profit dan hasil yang didapatkannya, banyak tipuan. Maka dari itu, mereka tidak ingin sang putri tunggal dalam bahaya jika mereka nekat mempublikasikan keberadaan Amertha Queenara. Alhasil, yang publik tahu, keluarga konglomerat Ferdi dan Alea tidak memiliki keturunan ataupun keluarga dekat. Hanya ada Alex, itupun dia hanya kerabat jauh dan hubungan antara keduanya tidak berjalan baik.

"Kemana Pelayan Sisca? Aku tidak melihatnya sama sekali sejak keluar dari kamar?" tanya Amertha, menyadari bahwa Pelayan Sisca tidak ada di sekitarnya. Padahal dia adalah pelayan paling rajin, dan sigap dalam hal yang berhubungan dengan Nona muda-nya.

Jevan menghela nafasnya sejenak, kemudian menjawab pertanyaan dari Amertha. "Ibu sedang berkunjung ke kampung halaman, ada keluarga yang sakit."

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Cowok Inisial R
kejutan utk kmu sangat memgejutkan, Amartha. btw, pria itu?...
goodnovel comment avatar
Inthary
Alex kn pasti?
goodnovel comment avatar
Nur Cahaya
musuh dalam selimut.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status