DENDAM
- Terancam Gagal "Van, dibatalkan saja resepsi pernikahan ini." Vania, gadis yang tengah tegang menatap layar ponselnya itu kaget dan lemas mendengar ucapan papanya. Rasa cemas terpancar dari wajah ayunya yang sekarang terlihat pucat. Tangannya gemetar, lelaki yang akan menikahinya seminggu lagi, tiba-tiba menghilang tanpa kabar berita. Ponselnya tidak bisa dihubungi. Alamat rumahnya dicari memang ada, tapi di sana kosong. Pak Setya sendiri tidak tega melihat putrinya yang terlihat terpuruk. Dalam hati mengutuk lelaki yang tiba-tiba pergi tanpa jejak. Tidak menyangka pria yang begitu sopan, ramah, gagah, dan tampan itu tega menipu keluarganya. Padahal sejauh mereka saling kenal, tak ada gelagat mencurigakan. Makanya dengan sangat bersemangat, Pak Setya tidak keberatan pria itu dekat dengan putrinya. Ada apa sebenarnya dibalik kejadian ini? Kenapa Sagara yang baik itu mempermainkan mereka. "Bagaimana, Nduk?" tanya Pak Setya dengan tatapan cemas. Vania menarik napas panjang untuk melonggarkan dadanya yang terasa tersumbat. "Undangan sudah disebar, Pa. Semua rekan kerjaku juga sudah tahu. Masih ada waktu untuk mencari Mas Gara. Aku khawatir terjadi sesuatu yang membuatnya nggak bisa dihubungi." Meski panik, Vania masih berusaha tetap berpikiran positif. Dia berharap lelaki itu tetap datang. "Pernikahanmu tinggal menghitung hari." Pak Setya bicara dengan nada lesu. Tangis Vania hampir meledak. Sudah seminggu ini tiap malam dia tidak bisa tidur karena memikirkan lelaki yang sebenarnya sudah sah menjadi suaminya secara agama. Dua bulan yang lalu, Pak Setya memang menikahkan putrinya secara siri dengan Sagara. Mereka begitu dekat, khawatir berbuat zina, makanya nikah siri akan menghindarkan mereka dari maksiat. "Nak Gara, saya minta. Jangan sentuh Vania dulu meskipun kalian sudah sah menjadi suami istri. Nanti saja setelah kalian nikah resmi di KUA dan keluarga Nak Gara datang kesini untuk melamar sekalian resepsi pernikahan. Silakan kalian berbulan madu." Itu permintaan Pak Setya pada Sagara. "Bagaimana, Ma?" Pak Setya menoleh pada istri yang duduk di sebelahnya. Bu Endah menghela napas berat. "Kita usahakan dulu mencari Sagara, Pah. Masih ada waktu seminggu." "Bagaimana kalau dia tetap nggak datang?" Firasat Pak Setya sudah buruk. Mengingat orang-orang yang disuruh mencari, tak mendapat hasil. Hening. Sudah berapa orang saja yang dikerahkan bos properti itu untuk mencari menantunya. Namun tak ada jejak yang menunjukkan keberadaannya. "Rumah itu jarang dihuni katanya, Pak. Hanya sesekali saja seorang pria muda datang ke sana. Sebulan sekali belum tentu dia datang. Tapi katanya seminggu sekali ada seorang pekerja yang datang untuk bersih-bersih rumah." Ini penjelasan empat hari yang lalu dari orang suruhannya yang ditugaskan mencari alamat yang pernah Sagara berikan. "Cari saja alamat orang yang biasanya bersih-bersih di rumah itu. Pasti dia tahu tentang bosnya," perintah Pak Setya. Namun selama empat hari mengawasi di sana, tetap saja tidak ada hasilnya. Orang itu juga tidak datang. Bu Endah merangkul bahu putrinya dan mengusapnya lembut. Vania benar-benar lemas. Kalau Sagara tidak muncul, betapa malunya keluarga mereka. Pesta pernikahan megah sudah 90% persiapannya. Undangan yang disebar papanya lebih dari 2000 orang. Vania anak tunggal. Jadi tidak heran kalau acara pernikahannya dibuat semegah dan semewah mungkin. "Ma, aku ke kamar dulu." Dengan gontai, calon dokter itu melangkah menuju ke kamarnya. Impiannya terancam pupus. Sudah banyak perencanaan yang dirancang dengan matang, tapi kini serasa tinggal catatan kelam saja. Sebagai co-assistant yang memiliki tanggung jawab nyata terhadap pasien. Harus kuat secara fisik dan mental karena tekanan kerja yang sangat tinggi. Kini tinggal dua bulan saja akan selesai, diterpa permasalahan yang ruwet begini. Keputusan menikah disetujuinya, mengingat dia sudah selesai koas. Disamping dirinya anak tunggal dan kedua orang tuanya ingin segera punya mantu dan cucu, Sagara juga pria yang baik. Namun sekarang, jalan yang tinggal sejengkal lagi ke pelaminan terlihat sangat suram. Vania meraih ponselnya kembali. Nama Sagara dihubungi, tapi tetap nihil. Sudah ratusan pesan dikirim, tak ada satu pun yang masuk. Kenapa dia begitu bodoh. Gampang mempercayai lelaki yang baru beberapa bulan ia kenal. Rombongan Sagara menyewa rumah tepat di seberang rumah orang tuanya. Dia seorang manager proyek yang sedang membangun sebuah resort mewah yang lokasinya di pinggiran kota kecil mereka. "Van, keluar dulu, Nak. Ada yang mau minta tolong." Sang mama memanggilnya dari luar kamar. Suatu sore sekitar setahun yang lalu. "Ada apa, Ma?" "Ada Mas yang terluka tangannya, kena pecahan cermin yang jatuh." "Kenapa nggak dibawa ke rumah sakit saja." "Mungkin nggak terlalu parah, tapi butuh penanganan. Coba kamu lihat. Biar kamu di anterin ke sana sama Mbak Mar." Vania masuk kembali ke kamarnya untuk mengambil perlengkapan yang tersedia. Kemudian bergegas pergi di temani oleh ART-nya. Menyeberang jalan, lalu dipersilakan masuk ke dalam rumah yang penghuninya lelaki semua. Di ruang tamu itu dia bertemu pertama kali dengan pria muda yang memperkenalkan dirinya bernama Sagara. Dia sosok tinggi, tegap, dan rupawan. Vania berdesir saat menatapnya. Sudah sering dia bertemu dengan banyak lelaki, mulai dari teman kuliah, dokter di rumah sakit, atau pun relasi bisnis papanya. Namun Sagara sangat berbeda. Dia pria yang sangat memikat. Tatapan matanya menghipnotis. "Terima kasih, Dok," ucap Sagara setelah Vania selesai membalut lukanya. "Saya belum menjadi dokter, Mas. Saya mahasiswa kedokteran yang masih menjalani program profesi untuk memperoleh gelar dokter." "Oh." Saat mengingat kenangan itu, Vania berkeringat dingin meski kamarnya ber-AC. Dirinya benar-benar takut. Tak sanggup menghadapi pergunjingan kalau sampai Sagara tidak muncul. Dengan kaki gemetar, ia kembali ke luar kamar untuk mengambil air minum. Langkahnya terhenti saat mendengar percakapan sang ayah dengan orang suruhannya. "Bagaimana?" "Rumah itu tetap sepi, Pak. Saya ke kantor pusat tempatnya bekerja, satpam dan pegawai di sana bilang tidak ada manager proyek bernama Sagara. Bahkan saya sudah menunjukkan fotonya, tapi mereka bilang tidak kenal." Mendengar kabar itu, tubuh Vania luruh ke lantai. Apa ini sebagai tanda kalau dirinya akan dipermalukan seminggu lagi? Tidak hanya dirinya, tapi keluarganya juga. Kalau materi bisa dicari, tapi bagaimana dengan rasa malu dan harga diri. Ya, harga diri. Pria itu telah mengambil darinya. Next .... - Teman-teman semua, selamat datang di cerbung baruku, ya. Jangan lupa subscribe, like, dan komentar. Kita akan memulai petualangan wanita tangguh bernama Vania.Sosok dewasa itu turun dari mobilnya setelah Cici muncul di depan pintu. Surprise sekali bagi Cici. Tak menyangka Angkasa rela nyetir sendirian dari Jogja demi mencari rumahnya di Kediri. Orang tua Cici menyambut dengan ramah. Pertemuan dimulai dengan perkenalan. Dan ini sungguh mengejutkan, Cici dan orang tuanya baru tahu kalau Angkasa bukan dari keluarga biasa. Hampir semua keluarganya berprofesi dokter. Pemilik sebuah klinik yang dikelola bersama. Dan lewat video call, Cici berkenalan dengan kedua orang tua Angkasa."Minggu depan, kami sekeluarga akan berkunjung ke rumah Bapak dan Ibu untuk melamar Nak Ciciana." Ucapan mamanya Angkasa sungguh mengejutkan.Tanpa bertanya pada Cici, mamanya langsung bilang. "Kami tunggu, Bu."Penantian Cici pada dokter Raka 2,5 tahun, akhirnya terbayar manis dengan kehadiran dokter spesialis bedah jantung yang baru dikenalnya belum lama.🖤LS🖤Semua proses menuju pernikahan begitu cepat. Orang tua Angkasa datang melamar dan langsung membicarakan ha
"Mas, makasih banyak. Nggak nyangka kita bisa jadi teman selama dua hari ini." Cici memandang Angkasa."Nggak hanya dua hari. Kita bisa jadi teman seterusnya. Saya akan mengunjungimu ke Blitar nanti."Cici tersenyum. Lalu mengulurkan tangan karena ia harus segera naik ke kereta. "Hati-hati. Nanti sesampainya di Blitar kabari.""Ya." Cici kemudian mengikuti porter yang berjalan di depannya. Lalu menoleh sejenak pada Angkasa sebelum ia menjauh.🖤LS🖤Hari-hari berikutnya, Cici makin tertekan. Raka jarang sekali menghubungi. Sekalinya bicara, hanya tentang pekerjaan dan keluh kesah tugas. Tidak pernah menyinggung soal masa depan mereka.Sementara Angkasa semakin gencar mendekati. Ia menanyakan kabar lewat pesan dan telepon. Padahal sebagai dokter bedah, dia juga sangat sibuk. Bahkan mengirim bunga ke kosan Cici,Di titik itu, hati Cici makin terombang-ambing. Angkasa bicara secara terbuka, kalau ingin mengenal lebih jauh dengan Cici. Sedangkan Raka tak memberikan perkembangan apapun. Pa
"Itu Mbah saya. Beliau sudah nungguin. Sudah sepuh banget beliau, Mas. Umurnya hampir 90 an. Agak pikun, tapi alhamdulillah masih sehat." Cici bicara sambil memperhatikan ke arah rumah."Alhamdulillah. Boleh saya ikut turun?""Eh, jangan, Mas. Saya nanti diomelin sama beliau. Walaupun sudah sepuh, beliau peka sekali hal begini.""Oke. Saya minta nomer ponselnya, ya." Angkasa mengambil ponsel dari konsol box. Cici menyebut nomernya. Setelah itu bersiap untuk turun. "Makasih banyak untuk dinner di angkringannya, Mas."Angkasa tersenyum lebar. Dia menyukai cara Cici berbicara dan bercanda. Asyik dan menyenangkan meski baru juga kenal. Seru gadis itu. Pria itu memperhatikan sampai Cici kembali memandang ke arahnya dan melambaikan tangan. Baru ia meninggalkan tempat itu.Cici mencium tangan neneknya yang duduk menunggu. "Kamu dari mana saja?" tanya sang nenek."Dari Malioboro, Mbah. Jalan-jalan. Yuk, kita masuk." "Siapa mobil yang mengantarmu tadi?" Sambil dibimbing melangkah masuk rumah
DENDAM - Mengambil Sikap "Hai, Mas." Cici menoleh pada pria jangkung di sebelahnya. Tidak menyangka bertemu lagi dengan dokter itu."Nggak nyangka ketemu sama dokter di sini.""Jangan panggil saya dokter, panggil nama saja," kata Cici.Angkasa tersenyum. "Cici, sendirian?"Cici mengangguk. "Boleh saya ikut duduk.""Silakan!" Cici bergeser. Memberi tempat untuk Angkasa. "Mas, juga sendirian?""Ya," jawab Angkasa dengan raut wajah segar. Dia baru selesai salat Maghrib di mushola yang tak jauh dari tempat Cici berada.Tapi jujur saja, dokter tampan itu memang sengaja jalan-jalan. Siapa tahu bertemu dengan gadis yang ditemuinya kemarin malam. Entah kenapa dia tertarik. Padahal sama sekali tak mengenalnya. Belum tahu juga Cici ini sudah punya kekasih apa belum. Sudah bertunangan atau justru istri orang.Walaupun tidak yakin akan bertemu. Apalagi Malioboro sangat luas dan ramai pengunjung. Terlebih akhir pekan begini. Namun keberuntungan berpihak padanya. Ia bertemu Cici dalam situasi sa
Kereta melaju kencang melintas beberapa kota. Sawah, rumah-rumah, dan pepohonan berganti cepat di balik kaca. Ia mengalihkan pandangan, menenggelamkan diri pada pemandangan senja. Jogjakarta baginya bukan sekadar kota asing. Dia sering datang ke sana mengunjungi neneknya.Kali ini ia kembali ke sana, siapa tahu di kota itu ia bisa menemukan jawaban atas dilema dalam hatinya.Tepat jam delapan malam, kereta akhirnya berhenti di Stasiun Tugu. Hiruk-pikuk penumpang yang turun bercampur aroma khas stasiun, bau besi, keringat, dan jajanan kaki lima langsung menyambut. Cici menenteng ranselnya, berjalan keluar bersama arus orang banyak.Udara malam Jogja menyapa dengan hangat. Lampu jalanan berkelip. Namun, baru beberapa langkah keluar stasiun, keributan kecil menarik perhatiannya. Seorang ibu-ibu jatuh dari motor, menabrak pembatas trotoar. Orang-orang berkerumun tapi hanya memandang tanpa berani menyentuh.Cici spontan berlari mendekat.Wanita itu tidak sadarkan diri. Dengan cepat ia memp
"Dok, kenapa keliatan suntuk seharian ini?" tanya seorang perawat yang sangat akrab dengannya. Bahkan mereka memang sudah dekat semenjak Cici masih koas di Harapan Sentosa.Cici tersenyum hambar. "Nggak apa-apa.""Jangan bohong. Biasanya kamu cerewet. Pasti ada yang dipikirin.""Kita ke kafe depan sana, yuk. Minum dulu sebelum pulang.""Yuk," jawab perawat bernama Dinda itu.Mereka menyeberang jalan. Kemudian memesan sandwich dan dua gelas jus melon. "Ada apa tiba-tiba dokter pulang kemarin sore?" tanya Dinda."Jangan panggil dokter. Biasa aja kalau di luar.""Oke. Ada masalah apa yang membuatmu murung begitu?""Ada pria yang ingin melamarku, Din.""Dokter Raka?" Dinda memang tahu kedekatan tak biasa antara Cici dan dokter itu.Cici menggeleng. "Bukan. Orang lain, Din.""Lalu ....""Entahlah." Cici diam sejenak, lalu kembali bicara. Kali ini agak lirih dan memandang lurus ke temannya. "Din, menurutmu wajar nggak kalau cewek duluan nanyain kejelasan hubungan?""Ya, wajar aja. Zaman se