Home / Romansa / DENDAM LUKA LAMA / 2. Dia Tidak Akan Datang

Share

2. Dia Tidak Akan Datang

last update Last Updated: 2025-07-14 22:56:52

DENDAM

- Dia Tidak Akan Datang

"Aku akan keluar kota. Seminggu lagi aku akan menjemputmu untuk kenalan sama keluargaku sebelum resepsi pernikahan kita." Vania masih teringat saat Sagara hendak pamit sore itu. Ketika mereka makan di sebuah kafe.

Namun sampai menjelang hari pernikahan, pria itu menghilang tanpa kabar. Jejaknya pun tidak ada. Sedangkan orang-orang yang masih bekerja di resort, kalau ditanya jawabannya tidak tahu semua. Memang tidak semua orang kenal secara langsung pada Sagara. Para pekerja kasar tahunya kalau pria itu adalah bos mereka. Sementara para atasan, semuanya bungkam.

"Vani, kamu kenapa, Nak. Ayo, berdiri!" Bu Endah membantu putrinya untuk bangkit dari lantai, lalu memapahnya duduk di sofa ruang keluarga.

"Aku sudah mendengar semuanya, Ma."

Bu Endah mengangguk dengan bibir bergetar karena menahan tangis. Dia tidak sanggup berkata-kata untuk beberapa saat. Tidak terbayangkan betapa hancur hati putri tunggalnya. Sedangkan tubuh Vania terguncang karena terisak. Bu Endah merangkulnya.

Pak Setya masuk dan duduk di sebelah kanan putrinya. Rahang lelaki itu menggeras, menahan amarah. Namun tangan kirinya yang mengepal sedikit gemetar. Tidak hanya marah, tapi juga ada sesal. Kenapa dia tidak mencari tahu lebih dulu siapa Sagara. Kenapa dia percaya begitu saja karena penampilan luar pria muda itu.

"Vania, acara minggu depan tetap berjalan sesuai rencana," kata Pak Setya menoleh pada Vania. Membuat sang anak kaget. Bagaimana mungkin bisa dilanjutkan sedangkan pengantin lelaki tidak ada. Apa papanya ingin mencari mempelai pengganti? Oh, tidak. Ini bukan cerita drama. Vania tidak bisa.

"Papa, ingin menikahkanku dengan siapa?"

Pak Setya menggeleng. "Kita ubah menjadi acara tasyakuran. Atas kelulusanmu di fakultas kedokteran."

"Prosesku untuk bisa disebut dokter masih panjang, Pa." Vania menunduk dalam-dalam.

"Dilanjutkan atau dibatalkan acara minggu depan, semua orang akan tetap tahu, Vania. Mau tidak mau kita akan menghadapi pergunjingan mereka." Suara Pak Setya penuh getar amarah yang ditahan, juga luka yang tak kalah dalam dibanding luka Vania. Ayah mana yang tidak hancur, anak kesayangannya diperlakukan seperti itu. Namun ia harus tetap berpikir jernih, untuk menenangkan keadaan.

"Papa benar, Van. Kita nggak akan bisa sembunyi dari mata orang-orang. Kamu nggak salah. Dan kami nggak akan membiarkanmu merasa sendirian. Mari kita hadapi bersama-sama, Nak." Bu Endah menatap wajah putrinya. Kelopak mata Vania bengkak dan memerah, napasnya terlihat berat.

"Kamu tetap semangat. Selesaikan koasmu. Masih banyak proses yang harus kamu tempuh untuk menggapai cita-cita. Jangan patah di tengah jalan karena hal ini," lanjut Bu Endah.

"Ya, Ma." Vania mengangguk dan satu bulir air mata luruh ke pangkuannya. Ia tahu itu bukan keputusan mudah. Tapi lebih sulit lagi kalau dia menghilang dari orang-orang. Lebih baik dihadapi dan jujur saja apa adanya. Begini akan membuatnya lebih tenang. Terserah mereka hendak menggunjingnya bagaimana.

Sebenarnya ada yang lebih sakit lagi dirasakan Vania. Namun ia tidak berani menceritakannya. Gadis itu bangkit dan pamit ke kamar mandi.

Pak Setya mencondongkan tubuhnya pada sang istri dan berkata pelan. "Ma, tanyakan ke Vania. Apa mereka sudah berhubungan? Kalau dengan Mama, Vania pasti akan terbuka. Papa tinggal ke depan dulu." Selesai bicara Pak Setya melangkah keluar.

Tiga menit kemudian, Vania kembali duduk di sofa. Bu Endah meraih tangan sang anak dan menggenggamnya. "Van, Mama mau bertanya. Jawab jujur, ya."

"Tanya apa, Ma?"

"Sagara sudah menyentuhmu?"

Vania terkesiap. Ini pertanyaan yang paling ditakutinya. "Nggak, Ma," jawab gadis itu cepat.

"Beneran, Van? Jujur saja, Mama nggak apa-apa."

"Sudah kujawab kan, Ma." Vania memandang sang mama dengan tatapan tenang. Padahal degup jantungnya berpacu hebat. Bu Endah mengangguk pelan. Selain Pak Setya yang berpesan pada Sagara, Bu Endah juga mewanti-wanti putrinya. Jangan dulu. Tunggu sampai pernikahan tercatat negara.

Bukan melarang apa yang sudah dihalalkan, tapi hanya untuk berhati-hati. Dan apa yang ditakutkan ternyata terjadi juga, kan? Sagara menghilang entah ke mana.

Air mata Vania kembali mengalir deras. Bu Endah mengambilkan tisu. Sebagai seorang ibu, dia curiga. Namun tetap berusaha untuk mempercayai pengakuan putrinya. Semoga saja dugaannya salah.

🖤LS🖤

Seminggu kemudian ....

Tenda di halaman rumah megah itu dipenuhi bunga dan lampu gantung, persis seperti rencana pernikahan mereka sebelumnya. Tamu undangan berdatangan mulai dari pihak keluarga, tetangga, dan kolega Pak Setya.

Namun tak ada gaun pengantin mewah yang sudah disiapkan, tidak ada pelaminan, juga tidak ada pasangan pengantin.

Yang ada hanya panggung didominasi warna putih dan monokrom, bunga-bunga baby breath, dan lampu hias. Di atas panggung itu, Vania berdiri mengenakan kebaya putih bersih dengan selendang abu-abu lembut. Wajahnya tampak tenang, tapi matanya menyimpan luka yang amat dalam. Ia diapit oleh kedua orang tuanya.

Suara MC yang membuka acara terdengar hangat.

"Selamat datang di acara tasyakuran keluarga Bapak Setya. Semoga beliau senantiasa dikuatkan dalam segala ujian dan diberkahi dalam setiap langkah ke depan. Awalnya ini acara pernikahan seperti yang tertera dalam undangan, tapi karena sesuatu hal, akhirnya menjadi acara yang penuh berkah juga. Yaitu tasyakuran."

Beberapa tamu saling berbisik, sebagian menahan napas. Mereka tahu kabar itu. Gosip sudah beredar sejak dua hari lalu, meski tak seorang pun berani membicarakannya di hadapan keluarga Setya. Namun para kerabat dan kolega dekat, sudah menemui keluarga Pak Setya untuk memberikan doa dan dukungan.

MC mempersilakan Vania untuk memberikan kata sambutan.

Gadis itu menghela napas panjang. Baru kemudian melangkah maju ke mikrofon. Kakinya lemas, tapi ia paksakan berdiri. Di balik kerumunan tamu, ia melihat beberapa teman kuliahnya yang menatap dengan mata berkaca-kaca. Teman-teman koas dan dokter rumah sakit yang merupakan seniornya. Di bawah panggung, ada Tara, sahabatnya sejak SMA yang sudah tahu betapa Vania mencintai Sagara dengan seluruh jiwanya.

Suara Vania terdengar pelan di awal. Ia membuka dengan mengucapkan salam dan rasa syukur. Juga ucapan rasa terima kasih kepada semua tamu.

"Saya tidak akan berpura-pura bahwa hari ini mudah bagi saya. Pasti para tamu undangan semua, datang berharap menyaksikan hari bahagia saya. Tapi kenyataan tidak selalu berjalan sesuai rencana." Vania menahan tangisnya. Ia menelan ludah. Jemarinya yang memegang kertas kecil gemetar. Tapi ia tak membacanya. Ia memilih menatap tamu yang hadir.

"Calon suami saya memilih pergi tanpa penjelasan. Dan saya harus belajar menerima kenyataan itu." Vania berhenti lagi dan menarik napas dalam-dalam. "Tapi hari ini, saya tetap berdiri di sini untuk menghargai seluruh undangan yang sudah hadir. Saya berdiri di sini sebagai seorang perempuan yang sedang belajar berdamai dengan kehilangan."

Sejenak para tamu yang hadir diam. Suasana tenda megah di halaman rumah Pak Setya menjadi hening.

Beberapa hadirin mulai mengusap air mata. Tara mengusap air matanya menggunakan tisu. Pak Setya berdiri tegap, bangga sekaligus hancur melihat keberanian anak perempuannya.

"Saya ...." Vania berhenti lalu menunduk menahan isak.

Next ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (10)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
Semangat dan Sehat serta Kuat Mbak Vania jalani Semuanya dengan Syukur ALLAH SWT punya Rencana Indah untukmu ...
goodnovel comment avatar
Eka Murti Muryitno
keren alur ceritanya
goodnovel comment avatar
Eka Murti Muryitno
Vanya tegar.....menjalani takdirnya.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • DENDAM LUKA LAMA   224. Mengambil Sikap 4

    Sosok dewasa itu turun dari mobilnya setelah Cici muncul di depan pintu. Surprise sekali bagi Cici. Tak menyangka Angkasa rela nyetir sendirian dari Jogja demi mencari rumahnya di Kediri. Orang tua Cici menyambut dengan ramah. Pertemuan dimulai dengan perkenalan. Dan ini sungguh mengejutkan, Cici dan orang tuanya baru tahu kalau Angkasa bukan dari keluarga biasa. Hampir semua keluarganya berprofesi dokter. Pemilik sebuah klinik yang dikelola bersama. Dan lewat video call, Cici berkenalan dengan kedua orang tua Angkasa."Minggu depan, kami sekeluarga akan berkunjung ke rumah Bapak dan Ibu untuk melamar Nak Ciciana." Ucapan mamanya Angkasa sungguh mengejutkan.Tanpa bertanya pada Cici, mamanya langsung bilang. "Kami tunggu, Bu."Penantian Cici pada dokter Raka 2,5 tahun, akhirnya terbayar manis dengan kehadiran dokter spesialis bedah jantung yang baru dikenalnya belum lama.🖤LS🖤Semua proses menuju pernikahan begitu cepat. Orang tua Angkasa datang melamar dan langsung membicarakan ha

  • DENDAM LUKA LAMA   223. Mengambil Sikap 3

    "Mas, makasih banyak. Nggak nyangka kita bisa jadi teman selama dua hari ini." Cici memandang Angkasa."Nggak hanya dua hari. Kita bisa jadi teman seterusnya. Saya akan mengunjungimu ke Blitar nanti."Cici tersenyum. Lalu mengulurkan tangan karena ia harus segera naik ke kereta. "Hati-hati. Nanti sesampainya di Blitar kabari.""Ya." Cici kemudian mengikuti porter yang berjalan di depannya. Lalu menoleh sejenak pada Angkasa sebelum ia menjauh.🖤LS🖤Hari-hari berikutnya, Cici makin tertekan. Raka jarang sekali menghubungi. Sekalinya bicara, hanya tentang pekerjaan dan keluh kesah tugas. Tidak pernah menyinggung soal masa depan mereka.Sementara Angkasa semakin gencar mendekati. Ia menanyakan kabar lewat pesan dan telepon. Padahal sebagai dokter bedah, dia juga sangat sibuk. Bahkan mengirim bunga ke kosan Cici,Di titik itu, hati Cici makin terombang-ambing. Angkasa bicara secara terbuka, kalau ingin mengenal lebih jauh dengan Cici. Sedangkan Raka tak memberikan perkembangan apapun. Pa

  • DENDAM LUKA LAMA   222. Mengambil Sikap 2

    "Itu Mbah saya. Beliau sudah nungguin. Sudah sepuh banget beliau, Mas. Umurnya hampir 90 an. Agak pikun, tapi alhamdulillah masih sehat." Cici bicara sambil memperhatikan ke arah rumah."Alhamdulillah. Boleh saya ikut turun?""Eh, jangan, Mas. Saya nanti diomelin sama beliau. Walaupun sudah sepuh, beliau peka sekali hal begini.""Oke. Saya minta nomer ponselnya, ya." Angkasa mengambil ponsel dari konsol box. Cici menyebut nomernya. Setelah itu bersiap untuk turun. "Makasih banyak untuk dinner di angkringannya, Mas."Angkasa tersenyum lebar. Dia menyukai cara Cici berbicara dan bercanda. Asyik dan menyenangkan meski baru juga kenal. Seru gadis itu. Pria itu memperhatikan sampai Cici kembali memandang ke arahnya dan melambaikan tangan. Baru ia meninggalkan tempat itu.Cici mencium tangan neneknya yang duduk menunggu. "Kamu dari mana saja?" tanya sang nenek."Dari Malioboro, Mbah. Jalan-jalan. Yuk, kita masuk." "Siapa mobil yang mengantarmu tadi?" Sambil dibimbing melangkah masuk rumah

  • DENDAM LUKA LAMA   221. Mengambil Sikap 1

    DENDAM - Mengambil Sikap "Hai, Mas." Cici menoleh pada pria jangkung di sebelahnya. Tidak menyangka bertemu lagi dengan dokter itu."Nggak nyangka ketemu sama dokter di sini.""Jangan panggil saya dokter, panggil nama saja," kata Cici.Angkasa tersenyum. "Cici, sendirian?"Cici mengangguk. "Boleh saya ikut duduk.""Silakan!" Cici bergeser. Memberi tempat untuk Angkasa. "Mas, juga sendirian?""Ya," jawab Angkasa dengan raut wajah segar. Dia baru selesai salat Maghrib di mushola yang tak jauh dari tempat Cici berada.Tapi jujur saja, dokter tampan itu memang sengaja jalan-jalan. Siapa tahu bertemu dengan gadis yang ditemuinya kemarin malam. Entah kenapa dia tertarik. Padahal sama sekali tak mengenalnya. Belum tahu juga Cici ini sudah punya kekasih apa belum. Sudah bertunangan atau justru istri orang.Walaupun tidak yakin akan bertemu. Apalagi Malioboro sangat luas dan ramai pengunjung. Terlebih akhir pekan begini. Namun keberuntungan berpihak padanya. Ia bertemu Cici dalam situasi sa

  • DENDAM LUKA LAMA   220. Menanti Janji 3

    Kereta melaju kencang melintas beberapa kota. Sawah, rumah-rumah, dan pepohonan berganti cepat di balik kaca. Ia mengalihkan pandangan, menenggelamkan diri pada pemandangan senja. Jogjakarta baginya bukan sekadar kota asing. Dia sering datang ke sana mengunjungi neneknya.Kali ini ia kembali ke sana, siapa tahu di kota itu ia bisa menemukan jawaban atas dilema dalam hatinya.Tepat jam delapan malam, kereta akhirnya berhenti di Stasiun Tugu. Hiruk-pikuk penumpang yang turun bercampur aroma khas stasiun, bau besi, keringat, dan jajanan kaki lima langsung menyambut. Cici menenteng ranselnya, berjalan keluar bersama arus orang banyak.Udara malam Jogja menyapa dengan hangat. Lampu jalanan berkelip. Namun, baru beberapa langkah keluar stasiun, keributan kecil menarik perhatiannya. Seorang ibu-ibu jatuh dari motor, menabrak pembatas trotoar. Orang-orang berkerumun tapi hanya memandang tanpa berani menyentuh.Cici spontan berlari mendekat.Wanita itu tidak sadarkan diri. Dengan cepat ia memp

  • DENDAM LUKA LAMA   219. Menanti Janji 2

    "Dok, kenapa keliatan suntuk seharian ini?" tanya seorang perawat yang sangat akrab dengannya. Bahkan mereka memang sudah dekat semenjak Cici masih koas di Harapan Sentosa.Cici tersenyum hambar. "Nggak apa-apa.""Jangan bohong. Biasanya kamu cerewet. Pasti ada yang dipikirin.""Kita ke kafe depan sana, yuk. Minum dulu sebelum pulang.""Yuk," jawab perawat bernama Dinda itu.Mereka menyeberang jalan. Kemudian memesan sandwich dan dua gelas jus melon. "Ada apa tiba-tiba dokter pulang kemarin sore?" tanya Dinda."Jangan panggil dokter. Biasa aja kalau di luar.""Oke. Ada masalah apa yang membuatmu murung begitu?""Ada pria yang ingin melamarku, Din.""Dokter Raka?" Dinda memang tahu kedekatan tak biasa antara Cici dan dokter itu.Cici menggeleng. "Bukan. Orang lain, Din.""Lalu ....""Entahlah." Cici diam sejenak, lalu kembali bicara. Kali ini agak lirih dan memandang lurus ke temannya. "Din, menurutmu wajar nggak kalau cewek duluan nanyain kejelasan hubungan?""Ya, wajar aja. Zaman se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status