Mereka kembali ngobrol. Vania sempat menyuapi Erlangga bolu ketan hitam. Tapi hanya sepotong kecil. Sebab ia pun hati-hati karena dokter pasti menentukan makanan yang boleh dikonsumsi Erlangga karena luka di pinggangnya.Jam 6.30 Rendy datang. Vania pamit pulang. Sebelum pulang, Erlangga memeluknya erat. Mencium kening dan bibir Vania beberapa saat. "Kita akan melewati ini bersama-sama. Percayalah, akan ada jalan terbaik untuk kita. Maafkan atas apa yang terjadi. Aku tidak bisa melupakanmu, apalagi menggantimu dengan wanita lain. Kesalahanku memang fatal, Van. Bagimu mungkin terlalu gampang hanya meminta maaf, tapi sungguh aku menyesal dan tidak ingin kehilanganmu."Ada sesuatu yang luruh di dada Vania. Tidak ada hubungan yang sempurna. Mungkin memang begini coretan yang tertulis dalam kisah asmaranya. "Mas, aku turun dulu, ya. Nanti Mas Rendy kelamaan menunggu. Kalau ada apa-apa, panggil saja perawat. Maaf aku nggak bisa menemanimu sampe Ibu datang.""Tidak apa-apa, kemarin aku juga
"Sekarang kamu boleh memberitahu Cici, kalau aku suamimu. Biar dia tidak selalu curiga kalau aku menemuimu," lanjutnya.Mereka saling pandang. Vania kemudian mengalihkan perhatian. Mata tajam Erlangga tak sanggup ditatapnya lama-lama. "Aku belum bisa," jawab Vania."Kenapa? Kamu tetap ingin kita berpisah?"Hening. Dada Vania kembali sesak. Persoalan ini sungguh rumit."Nggak akan mudah Mas kita melalui ini semua. Aku nggak tega menyakiti Mbak Alina yang begitu baik. Dia pasti kembali terluka, setelah tahu anak dari lelaki brengsek itu adalah adik iparnya.""Tidak ada persoalan yang tak dapat diselesaikan, Van. Kita bisa melalui ini semua. Jangan menyerah dulu. Kita bersama-sama menghadapinya. Tidak apa-apa kalau untuk sementara kita sembunyikan identitas kita. Sampai internshipmu juga selesai. Aku juga tidak ingin menjadi penghalang cita-citamu."Vania mengangkat wajah dan memandang Erlangga sejenak. "Orang pertama yang akan kukasih tahu adalah mamaku. Baru nanti kalau keadaan sudah
DENDAM- Kamar Seroja 2Meski luka itu masih terasa sangat sakit dan dokter belum memperbolehkannya duduk, tapi Erlangga memaksakan diri untuk lebih bergeser ke tepi pembaringan.Ia memandang wajah Vania yang basah oleh air mata. Tangisnya sudah reda, tapi sisa-sisa kesedihan masih tergurat jelas di wajahnya. Vania menunduk dan menatap jemarinya yang terjalin dengan jemari Erlangga. Begitu erat seolah tak akan dilepaskan.Udara kamar rumah sakit menjadi lebih hangat. Padahal AC menyala dengan suhu 22°C. Mungkin karena dua insan itu kembali berdekatan begitu rapat.Erlangga masih memandangi wajah istrinya dalam diam. Ada kerinduan yang mengendap di dada. Namun luka di pinggangnya menjadi penghalang yang tidak bisa diterjang.Tiba-tiba ketukan pelan di pintu membuyarkan momen itu. Vania buru-buru menarik tangan dan menjaga jarak. Menghapus air matanya secepat mungkin. Jantungnya berdegup kencang. Ia memandang Erlangga. "Bu Ambar kembali, Mas?"Belum sempat Erlangga menjawab, pintu terbu
"Orang tua dokter perhatian banget, ya. Senang masih ada orang tua lengkap. Kadang saya rindu juga dengan almarhum Papa. Beliau pergi disaat saya sedang terpuruk. Hancur banget saya kala itu."Perasaan Vania tersentil. Bisa terbayang bagaimana penderitaan Alina waktu itu. Ia menunduk sejenak, lantas bicara pada Alina. Memberikan semangat, bahwa dia masih punya kesempatan untuk bahagia. "Saya suka kalau dokter ngasih semangat ke saya. Saya benar-benar punya teman sekarang," ujarnya dengan senyum bahagia. Tapi sedih di dada Vania.🖤LS🖤Setelah menyudahi jam praktik di klinik, Vania bersiap hendak pulang. Ia masih mengemas barang pribadinya masuk tas."Kamu ingin menyambangi Sagara, Van?" tanya Cici yang berdiri berhadapan di seberang meja Vania."Ya, Ci.""Hati-hati, ya," jawab Cici. Ia tak banyak bicara, karena paham apa yang menjadi kemelut di dada rekannya."Aku pulang dulu," pamit Vania."Iya."Vania melangkah cepat di trotoar. Sampai kosan langsung mandi. Air hangat membasuh tub
Bu Ambar memperhatikan sekeliling. Ia melihat ada baskom stainless di meja pojok ruangan. Lantas bangkit dari duduknya untuk mengambil benda itu beserta washlap. "Mama seka tubuh kamu, ya."Erlangga mengangguk pelan. "Setelah aku sembuh, ada yang ingin kuceritakan pada Mama.""Tentang apa?" Bu Ambar penasaran. Ia memandang putranya seraya mengelap lengan Erlangga."Nanti Mama akan tahu.""Tentang pakdhe dan sepupumu?""Bukan.""Tentang kakek?"Erlangga menggeleng. "Kalau sudah sembuh aku akan ceritakan ke Mama.""Baiklah. Tapi Mama juga ingin memberitahumu sesuatu. Ini tentang Jenny. Mama sempat bertemu dengan Bu Lany waktu arisan kemarin. Beliau melanjutkan pembicaraan yang dulu, bagaimana kalau kamu dan Jenny menikah."Spontan Erlangga menggeleng. "Keputusanku tetap sama, Ma. Selama ini aku menganggap Jenny hanya teman.""Sepertinya Jenny punya perasaan sama kamu, Er."Erlangga tidak menanggapi. Ia memperhatikan gerakan tangan sang mama yang mengelap lengan dan dadanya. Erlangga sa
DENDAM- Di Kamar Seroja"Kamu serius?" tanya Cici sampai matanya membulat saat Vania menceritakan apa yang terjadi. Sebab dia pun tahu siapa Nando yang dikenalkan Vania sebagai teman masa kecilnya.Vania mengangguk."Ya Allah, Van. Dia bajingan ternyata." Cici merapat dan merangkul sahabatnya. "Kamu mesti hati-hati sama dia setelah kejadian ini. Dia pasti takut kalau kamu cerita ke orang tuamu. Tapi, aku nggak nyangka yang menolongmu justru mantanmu itu.""Aku nggak bisa bayangin apa yang terjadi denganku kalau dia nggak muncul, Ci," suara Vania serak dan lirih."Alhamdulillah, kamu terselamatkan, Van. Aku nggak tahu kalau Sagara terluka karena itu. Tapi dia memang harus ke rumah sakit. Lukanya itu lumayan dan mungkin butuh pembedahan.""Kamu serius, Ci?" Vania kaget."Iya. Kurasa dia memang akan diambil tindakan operasi di rumah sakit."Vania terdiam. Rasanya campur aduk dalam dada. Khawatir, sedih, cemas, merasa bersalah, dan ... entahlah. Cici menepuk bahunya. "Semoga Sagara ngga